Pulang
(Yogyakarta – Kla Project)
Pulang ke kotamu.
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu.
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna.
“Mas Dimas!” Sebuah suara cempreng familiar menyambutku begitu kakiku melangkah dari pintu keluar gerbang kedatangan domestik Bandara Internasional Yogyakarta. Kepalaku sontak menoleh ke arah tersebut. Hayu, adik perempuanku yang berusia 16 tahun, melompat-lompat heboh sambil melambaikan tangan di udara, berharap dapat menarik perhatianku.
Kutarik koper mendekati keluargaku yang sudah menunggu di depan mobil. Hayu tersenyum cemerlang. Dua tahun tidak melihatnya secara langsung—hanya dapat bertemu via telepon video—tingginya sudah hampir menyamaiku, padahal terakhir aku melihatnya mukanya kusut akibat persiapan diri menuju ujian akhir sekolah menengah pertama. Ibu juga tidak banyak berubah, mungkin hanya uban yang semakin mendominasi warna rambutnya. Bisa kurasakan lengan Ibu yang bergetar seperti ingin memelukku, tetapi ia tahan oleh sebab pandemi membuatku harus sedikit menjaga jarak dengan mereka. Sementara Bapak, beliau langsung menyemprot barang bawaanku dengan alkohol dan memasukkannya ke bagasi. Sekilas bisa kulihat matanya berkaca-kaca.
“Yuk, masuk,” ajak Ibu seraya berbalik membuka pintu penumpang depan di sebelah kursi pengemudi Bapak.
“Pakai maskernya, Dek,” Bapak mengingatkan adikku.
Aku duduk di belakang Bapak, Hayu di sampingku. Meski begitu kami terhalang oleh tirai plastik demi keamanan bersama. Mobil menyala, menyusuri jalan keluar bandara baru Jogja. Pemandangan pesisir pantai Kulon Progo ikut menyambut kepulanganku.
Masih kuingat jelas dalam ingatan saat keberangkatanku ke Kuala Lumpur waktu itu. Nyaris tepat dua tahun lalu. Dia ikut bersama Ibu, Bapak, dan Hayu mengantar kepergianku di Bandara Adisucipto. Sudah firasatku juga bahwa saat itu adalah terakhir kali aku melihatnya. Melihat wajahnya, senyumnya, tangisannya. Terakhir kali untuk aku memeluknya serta kesempatan satu-satunya untuk mengucapkan selamat tinggal.
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama, suasana Jogja
Yogyakarta bukan hanya daerah asalnya, kota ini juga merupakan kota kelahiranku.
Aku bertemu Ajeng sewaktu SMA, kami teman sekelas. Rumahnya di Jalan Ibu Ruswo, dekat keraton. Tidak heran, sih, jika melihat bagian depan namanya yang menyandang gelar Raden Roro. Sekolah Negeri Gadean, sekolah kami, menjadi pilihan orang tuanya karena dekat sehingga Ajeng bisa naik sepeda pulang dan pergi.
Dan memang sepeda juga yang menyatukan kami. Rumahku dekat Jembatan Sayidan sehingga seperti orang tua Ajeng, Bapak dan Ibuku juga menyuruhku untuk berangkat ke sekolah naik sepeda. Kami suka sampai di waktu yang hampir bersamaan. Bahkan sering juga kami bersepeda bersisian jika tidak sengaja bertemu di Malioboro. Beberapa kali aku juga menunggu Ajeng di depan Gedung Agung hanya supaya kami bisa sampai di sekolah berbarengan.
Kami membawa kesenangan bersepeda berdua ini pada intensitas yang lebih serius. Pada hari Minggu dan tanggal merah, khususnya. Sepeda biru-putihku dan sepeda hitam dengan keranjang milik Ajeng menyusuri rute yang berbeda, jalur yang lebih jauh. Tempat favorit kami adalah rel kereta api di depan Stasiun Tugu, angkringan di depan kantor Kedaulatan Rakyat, Jembatan Gondolayu (untuk melihat matahari terbenam kalau sedang beruntung), atau jika ingin sedikit lebih jauh kami akan pergi ke Pasar Minggu Pagi di Lembah UGM.
Setiap sudutnya kota ini menyimpan cerita tersendiri antara aku dan Ajeng. Rindu sekali rasanya. Dadaku seperti sesak oleh ingatan-ingatan yang berebutan masuk. Overwhelmed, kalau kata orang. Padahal selama dua tahun ini aku sudah bisa mulai menata lagi hati yang sempat terobrak-abrik. Aku lupa, bahwa pulang tidak hanya bertemu lagi dengan keluarga yang sudah lama kutinggalkan, tetapi harus kembali berkutat dengan alasan besar mengapa aku jauh-jauh menerima pekerjaan di negeri orang.
Pulang… itu seperti membuka keran air yang sudah lama disumbat.
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, ditelan deru kotamu…
“Mau makan dulu atau nggak, Le (Nak)?” Ibu membuyarkan lamunanku. “Ada angkringan nek (kalau) mau. Ibu nggak masak soale.”
Aku otomatis mengangguk. Terlalu banyak makan nasi lemak di Kuala Lumpur membuatku takut lupa dengan rasanya nasi oseng tempe dan sambal teri khas angkringan. “Mau, Bu.”
“Makan di mobil aja, Bu. Rame nggone (tempatnya),” saran Bapak.
“Bu, sate ati!” Hayu mengingatkan Ibu.
Tak lama ibu sudah membawa delapan bungkus nasi kucing beserta lauk-pauk dan empat bungkus plastik teh hangat. Keluargaku memang jarang minum minuman dengan es jadi teh hangat atau panas adalah minuman kami sehari-hari.
Dulu Ajeng yang setiap kami pergi pasti beli es teh di angkringan manapun yang sedang kami lewati. Padahal kami lebih sering keluar bersepeda saat malam hari untuk menghindari teriknya matahari. Walaupun Jogja bukan dataran tinggi, tetapi tetap saja udara malam hari membuat rambut halus di sepanjang lenganku berdiri.
Kami suka makan malam di angkringan Lik Man di Jalan Wongsodirjan, bahkan hingga kami sudah lulus SMA dan melanjutkan di perguruan tinggi yang berbeda. Di sana selalu ramai. Pesanan Ajeng itu-itu saja, sampai hapal aku sehingga aku yang selalu pesan menembus deretan bapak-bapak yang mengopi di meja depan si penjual. Es teh manis, sate kulit, dan jadah yang dibakar adalah titipan gadis itu.
“Inget nggak, waktu kita harusnya kunjungan ke Benteng Vredeburg tapi kita malah mlipir (arti secara tidak langsung: membolos) ke Taman Pintar,” aku mencoba membawa kenangan kami waktu sekolah pada malam nahas itu.
“He-em,” gumam Ajeng, tersenyum tipis. Tangannya sibuk mengaduk gula di cangkir es tehnya. Ia agak sedikit lebih pendiam, entah mengapa.
Akhirnya kuberanikah untuk bertanya. “Kamu lagi ada masalah kuliah atau gimana?”
Aku tidak tahu seberat apa masalahnya karena Ajeng masih bungkam dan malah menghela napas dua kali lau menunduk. Pundaknya naik turun mengiringi hembusan dan tarikan udara menuju paru-parunya. Setelah beberapa menit barulah ia mendongak menatapku.
“Mas,” panggilnya. “Aku dijodohin sama orang tuaku.”
“Sama?” Kudengar sepotong kata keluar dari tenggorokanku yang tiba-tiba saja kering.
“Anak temennya Papa, kayaknya. Belum dipertemukan, sih. Tapi namanya RM Ditra.”
“Oh.” Cuma itu komentar yang berhasil kulontarkan. “Selamat.”
Ajeng tersenyum kecil. “Makasih.”
Bumi gonjangi-ganjing, langit kelap-kelap. Mungkin kalimat dalang itu mampu menggambarkan perasaanku. Kukira kami bakal terus bersama. Kukira Dimas memang diciptakan untuk Diajeng. Niat hati ingin kuutarakan impian hatiku selama ini harus kandas tak bersisa.
Dimas mungkin cocok dengan Diajeng, tetapi akan kalah dengan yang bergelar Raden Mas di mata orang tuanya, batinku kecut.
Walau kini kau t’lah tiada, tak kembali.
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi.
Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi.
Bila hati mulai sepi tanpa terobati.
Yah, semua hanya tinggal kenangan. Ajeng menikah tahun lalu secara sederhana di rumahnya. Aku hanya mampu menghadiri pernikahan itu secara virtual. Matanya berbinar bahagia. Sepertinya Ditra sesuai dengan keinginan hatinya.
Meski begitu cerita bersama Ajeng tetap akan ada di setiap sudut Kota Jogja. Menemaniku memutar ingatan, meski Ajeng tidak bisa berada di sampingku lagi.
Nb. Cerpen ini didedikasikan untuk gebetan penulis yang suka pulang-pergi sekolah bareng sama penulis waktu SMP. Sekian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top