Puan yang Ditinggal Tuan

Lagu: Di Batas Kota Ini – Tommy J Pisa (1980)

Di batas kota ini, kumenatap wajahmu, Puan yang akan kutinggalkan. Suara debur ombak dan burung-burung laut menjadi saksi kepergianku menuju perantauan untuk masa depan kita berdua yang indah.

Wajahmu sendu karena harus berpisah denganku yang entah kapan akan kembali lagi. Netra indah sepekat obsidian milikmu, mulai tampak berkaca-kaca, membendung cairan bening yang sebentar lagi mungkin akan luruh dan menjadi bulir-bulir air mata yang mengalir mengikuti lekukan pipimu, lalu akhirnya menetes ke kayu dermaga tempat kita berdiri saat ini.

“Jangan menangis,” kataku sambil mengusap pelan pipi gembil milikmu, berharap bendungan matamu kuat menahan air penanda lara hatimu itu.

Kau menabrakkan tubuh kecilmu, memelukku dengan sangat erat. Aku tahu, sebenarnya kau sedang menyembunyikan tangis yang akan segera pecah. Kubelai dengan mesra rambut sebahumu yang hitam legam alami khas gadis-gadis nusantara, sesekali kucium puncak kepalamu sambil menghirup aroma mint dari shampo yang sering kau gunakan. Wangi yang akan menjadi pengingatku akan dirimu kelak saat kita terpisah ruang dan waktu.

Gema lolongan peluit kapal yang memekakkan telinga, akhirnya menjadi batas waktu pelukan hangat kita berdua. Kecupan singkat penuh kasih sayang kudaratkan tepat di bibirmu yang ranum sebagai tanda perpisahan kita.

Sendiri kau terpaku, melepas kepergianku, air matamu berlinang membasahi pipi. Sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak kembali mendekatimu dan menghapus bulir-bulir air mata yang mulai mengalir deras membasahi pipimu. Aku tahu, perpisahan ini sangat menyakitkan bagimu, pun sama bagiku. Perpisahan ini, bukanlah inginku, tapi ini sudah menjadi keharusan agar aku bisa memilikimu seutuhnya.

Puan, kalau saja orang tuamu tidak memandang cinta suci yang kumiliki melalui harta dan tahta. Mungkin hari ini kita tidak akan berada di dermaga ini, tidak akan saling merasa kehilangan yang pada akhirnya menghasilkan luka dalam hati yang mungkin akan kekal.

Namun, aku harus berjuang demi cinta kita. Merantau ke ibu kota mencari rupiah. Entah apa jadinya aku nanti di sana, mungkin akan menjadi budak dari orang-orang berdasi yang duduk nyaman di kursi empuk dalam ruang sejuk. Menjadi seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, diperintah sana-sini, ditunjuk-tunjuk dan dibodoh-bodohi seperti orang yang tak mempunyai harga diri. Tapi, aku hanya manut dengan ucapan mereka karena takut tidak mendapatkan hak atas kerja kerasku. 

Mungkin, nasibku berada di jalanan, mengemudikan angkutan tua reot. Setiap hari, siang hingga malam menjelang mencumbu panasnya aspal, berkutat dengan debu jalanan dan terik matahari. Saling sikut sana-sini demi mendapatkan penumpang yang kadang berlaku curang dengan pergi begitu saja dengan bayaran yang tak sepadan atau bahkan tidak memberikan uang.

Atau, menjadi pedagang liar dengan gerobak roda tiga, mangkal di trotoar jalanan yang dilalui orang-orang. Bertahan di panasnya suhu ibu kota. Terkadang di hari-hari tertentu harus kucing-kucingan dengan petugas tatib. Bersembunyi kala mereka datang, dan kembali berdagang saat mereka sudah jauh dari pandangan. Juga harus berhadapan dengan pembeli yang kurang ajar, menawar harga seenaknya bahkan jauh dari modal yang dikeluarkan, jika tak diberi ia akan berlagak pergi hingga akhirnya mau tidak mau menjual dagangan sesuai dengan harga yang diinginkannya karena belum satu pun dagangan laku terjual. Sebagai penglaris.

Begitulah yang pernah aku dengar dari orang-orang tanah kelahiran kita yang merantau ke ibu kota. Apalagi untuk diriku yang tidak memiliki bakat dan kecerdasan di atas rata-rata. Bisa jadi salah satu dari tiga kisah yang pernah diceritakan para perantau terdahulu adalah profesiku di ibu kota nanti. Tapi, semoga nasib baik membawaku pada kesuksesan. Karena, aku pergi membawa cintamu, dan aku akan pulang menyatukan kembali cinta kita.

Janganlah kau sesali, jangalah kau tangisi. Aku pergi untuk kembali lagi. Hapuslah air matamu, hapus luka hatimu. Aku ingin kepergianku dilepaskan dengan ikhlas olehmu. Biar aku tenang di sana, mencari pundi-pundi rupiah agar bisa kurubah menjadi bongkahan emas dan berlian, hingga nanti saatnya telah tiba aku meminta kamu kepada kedua orang tuamu. Bukan sebagai kekasihmu yang miskin dan tidak memiliki masa depan yang cerah seperti saat ini. Tapi, sebagai calon suamimu yang sukses dengan harta dan tahta yang mereka idam-idamkan.

Puan, aku pamit pergi. Tunggu aku kembali. Nantikan aku di batas kota ini.

~~~

Tuan, hatiku perih, melihatmu naik ke tangga kapal. Bersama orang-orang yang sama denganmu.  Mengadu nasib di ibu kota.

Aku menyesal, kenapa perpisahan ini harus terjadi pada kita, yang semesta pun tahu kalau aku dan kau saling mencinta. Tapi nyatanya, bagi kedua orang tuaku, kita saling mencinta saja belum cukup. Perlu harta dan tahta agar cinta kita bisa terikat janji suci sehidup, semati.

“Mau kau beri makan apa anakku?” Ucapan bapak dengan nada tinggi masih terngiang di kepalaku saat kemarin sore kau melamarku.

Tuan, kau tahu? Saat bapak mengucapkan kalimat itu. Netra sepekat obsidian favoritmu ini sudah mulai berkaca-kaca. 

“Cinta saja tidak akan bisa membuat istri dan anakmu kenyang. Mereka perlu sandang, pangan dan papan!” Mamak menambahkan dan kau semakin terpojok. Begitu pun aku, semakin tertunduk dan akhirnya meneteskan cairan bening penanda pilu.

Pagi ini, bahkan fajar baru saja muncul ke permukaan. Kau mengajakku pergi ke pelabuhan, tak kusangka kau akan mengambil jalan untuk pergi meninggalkan kota ini dan mengadu nasib di ibu kota yang kata orang-orang bahkan lebih kejam dari seorang ibu tiri.

Belai mesra darimu di pipiku membuat dadaku semakin sesak, tubuhku bergetar menahan tangis, sesuatu yang paling kau benci di dunia ini.

“Aku berjanji, jika nanti rupiah yang kumiliki sudah setinggi gunung, aku akan kembali pulang untuk meminangmu,” ucapmu dengan penuh keyakinan, bahwa suatu saat kamu akan kembali ke sini dengan kesuksesan. 

Aku tak kuasa lagi menahan tangis, pelukan erat dan belaian mesra darimu membuatku semakin sulit untuk melepaskanmu pergi untuk waktu yang entah sampai kapan.

“Hapuslah air matamu, hapus luka hatimu. Nantikan aku di batas kota ini!” Kau pun membalikan badan setelah dengan mesranya mengecup bibirku. Walau hanya beberapa saat saja.

Pelabuhan jadi saksi, dermaga tua menanti. Di saat engkau berjanji ‘tuk kembali lagi. 

Di dermaga tua pelabuhan ini, aku berjanji akan menanti kepulanganmu yang entah akan sampai kapan berada di perantauan. 

Suara lolongan peluit kapal kembali menggema ke seluruh penjuru pelabuhan, kapal yang kau naiki perlahan mulai berlayar menuju lautan luas, meninggalkan dermaga batas kota tanah kelahiran kita.

Kulepas dirimu kasih. Kulambaikan tangan, melepas kepergianmu dengan ikhlas. Meski, nanti kita akan terpisah jarak dan waktu. Tapi cinta kita tidak akan terhalang oleh apa pun.

Kuharap engkau kembali untukku lagi.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top