Petang Itu

Ebiet G. Ade - Titip Rindu Buat Ayah

***

"Assalamualaikum. Ayah pulang."

Suara berat nan teduh yang selalu Sophie tunggu itu akhirnya memasuki indra pendengarannya. Senyumnya terbit, hingga gigi-gigi mungilnya tampak. Segera saja ia menghentikan kegiatan mencuci piringnya, membasuh tangannya yang penuh busa, dan berlari hati-hati menuju pria tua yang selama ini ia panggil ayah.

"Waalaikumsalam."

Sophie menyambut ayahnya dengan pelukan hangat, dan selalu begitu setiap beliau pulang dari pekerjaannya. Gadis itu melepas pelukannya, tersenyum lebar. "Ayah tunggu sini dulu, Sophie buatkan teh, ya!"

Belum sempat sang ayah menolak, anak semata wayangnya itu sudah berlari kembali ke dalam rumah. Mau tak mau ia mengiyakan saja kehendak anak gadisnya itu. Sophie memang masih kecil, tapi ia jadi terbiasa melakukan banyak pekerjaan rumah semenjak ibu dinyatakan telah berpulang satu tahun yang lalu.

Secangkir teh dengan uap mengepul dibawakan oleh Sophie. Gigi mungilnya tampak lagi saat ia menyengir lebar. Namun tanpa gadis itu ketahui, ayahnya menahan rasa haru, menahan malu sebab sering merepotkan dan tak bisa membantu tugas rumah tangga.

Kini, teh itu tersaji di atas meja kayu berukiran yang berbentuk persegi panjang. Sophie kecil perlahan menaiki sofa kasar yang sudah banyak sobek sana-sini. Ayahnya memandang penasaran Sophie yang ternyata duduk tepat di sebelahnya, memintanya untuk merebahkan kaki, dan mulai memijat dengan tangan mungilnya.

Ayahnya terenyuh.

Dengan mata berbinar penasaran yang ditujukan pada ayahnya,Sophie tersenyum lebar. "Sebagai ganti upah pijat kaki, Sophie mau dengar cerita ayah di pasar tadi!"

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa

Beliau tertawa kecil. Dan entah bagaimana, hanya mendengar kalimat lugu itu saja seolah berhasil mengangkat semua beban dan melupakan semua permasalahan rumit sejenak. Lantas menatap Sophie dengan kedua sudut bibir yang masih mengarah ke atas.

Benturan dan empasan terpahat di keningmu

"Hmm, apa, ya?" Mendengar Ayahnya tampak seperti menyetujui, Sophie memasang pendengarannya dengan seksama. Tak lupa, sorot antusias bergemilauan di matanya.

Kau nampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah

Sebab gadis kecil itu tahu hanya dirinya seorang-lah yang dapat menghapuskan raut kesedihan dari wajah ayahnya kini.

"Oh, ya. Ayah ada cerita menarik. Mau dengar?"

Sophie semakin tertarik. Segera saja secercah senyum lebar terbit, kepalanya mengangguk cepat. "Mau dengar!"

Meski napasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin sarat

Ayah balas mengangguk sekali dan mulai bercerita. Sepanjang itu, Sophie memberikan senyum lebarnya semanis yang ia bisa. Sesekali ia menimpali dengan tawa, melongo, dan kagum mendengar orang-orang yang diceritakan ayahnya.

Kau tetap bertahan

Sophie memang masih kecil, tapi ia cukup tahu untuk terus membuat ayahnya senang. Bukanlah hal yang mudah bagi mereka untuk melanjutkan hidup semenjak ibu pergi. Dan bagaimana cara ayah lepas dari keterpurukan membuat Sophie kagum, sekaligus sedih sebab pasti ada rindu yang tak pernah berkesudahan.

Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini

Sorot mata antusias Sophie perlahan berubah sendu ketika menilik wajah dan postur ayahnya saat ini. Dengan tangan yang masih setia memijat, hatinya mulai dirayapi nestapa.

Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari

Lihat, ayahnya sangat berubah setahun belakangan. Seolah kondisinya sekarang mengisyaratkan bagaimana beliau bertahan dengan usia yang semakin renta, dan keganasan rindu yang terus menggerus fisiknya.

Kini kurus dan terbungkuk

Hati Sophie perih, matanya mulai berlinang. Hilang sudah minat untuk mendengarkan cerita yang dituturkan ayah.

Seakan sadar pada perubahan sorot mata anaknya, beliau berhenti bercerita. Sedikit bingung sebelum akhirnya menatap Sophie penuh kelembutan, bibirnya tersenyum teduh. Tangan beliau terulur untuk mengusap linangan kristal bening itu sebelum ia sempat meluncur ke pipi.

"Kenapa?"

Suara berat, tegas, dan lembut itu berhasil menggoyahkan Sophie untuk menangis. Tepat pada saat itu juga, pertahanannya luruh, sebagai seorang anak yang memang belum cukup mengerti. Akan tetap, ia lebih dari tahu apa yang dirasakan ayahnya selama ini.

Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar

Sophie bangkit, lantas memeluk pria tua yang selama ini mengasuhnya dengan erat. Gadis kecil itu memilih untuk melepaskan semua perasaan hati yang selama ini ia tak pernah pahami. Pelukannya semakin erat kala ayah membalas, lalu membisikkan kalimat penguat nan indah yang sangat menenangkan hati. 

Jika saja Sophie diperbolehkan untuk menetap di mana waktu terhenti selamanya, maka inilah momen yang ia inginkan.

Kau tetap setia

.

.

.

Kejadian petang itulah yang paling melekat kuat dalam ingatan Sophie. Memori beberapa tahun silam yang masih saja membuat hati Sophie menghangat kala mengingatnya.

Usai bernostalgia sejenak, Sophie mengusap kedua matanya pelan, menghapus air mata rindu yang hampir saja meloloskan diri. Tangannya terulur untuk mencabuti rerumputan yang tumbuh pada gundukan tanah bernisan di hadapannya. Lantas, mulai menaburi bebungaan yang harum baunya. Ia melakukan sambil mencoba mengecap kenangan bagaimana rasanya merawat ayah seperti dulu.

Ayah, dalam hening sepi kurindu

Seolah tak pernah cukup, dua tahun yang lalu Tuhan mengambil nyawa satu-satunya orang yang paling disayanginya. Hanya ayahnya yang ia punya. Tetapi nahas, kejadian lampau kembali terulang. Dan kini, kecelakaan itu menjemput ajal beliau.

Sophie menahan perih di hatinya. Lagi-lagi pertanyaan retoris nan egois menyeruak dari balik hatinya. Pertanyaan-pertanyaan yang selama ini sudah susah payah Sophie bungkam. Tentang takdir, tentang Tuhan yang tak adil.

Pun, tinggal bersama sepupu jauh bukan hal yang bagus. Tetapi Sophie memilihnya sebab tak ada opsi lain. Lagi pula, pulau ini menyimpan terlalu banyak badai memori yang tak pernah mengenakkan bagi kepala maupun hatinya. Dan entah sejak kapan, kata 'pindah' terdengar lebih indah daripada bermalam selamanya dengan trauma dan mimpi buruk.

Kedua tangan Sophie perlahan terangkat, bibirnya bergerak pelan melayang doa. Batinnya melirihkan sajak-sajak rindu dan harapan yang terbaik untuk ayahnya di atas sana. Tak lupa, sedikit ia selipkan penggalan cerita bahagia dalam hidupnya. Sebab jikalau ia menceritakan semuanya, tentu ayahnya pasti akan khawatir dengan putri kecilnya yang mulai beranjak dewasa itu.

Untuk menuai padi milik kita

Sophie mengaminkan doanya. Ia memaksakan senyum dan memandang nisan bertuliskan nama ayahnya dengan penuh arti. Membayangkan seolah kini beliau ada di sana, duduk dengan tatapan teduh mengarah padanya. Hati rapuh gadis itu sudah berulang kali ia coba tegarkan. Sebab hidup tanpa kedua orang tua dan menumpang pada 'orang lain' bukanlah perkara mudah. Sophie tahu persis, ayahnya pasti akan sebal mendengar pengalamannya tinggal dengan sepupu jauhnya itu.

Ingin rasanya Sophie meluruhkan semua bentengnya saat ini seperti momen petang itu. Namun, ia cukup sadar. Menumpahkan air tanpa wadah hanya akan berujung sia-sia. Untuk saat ini, ia cukup puas dengan memendam semuanya. Ayahnya melihat atau tidak dari atas sana, Sophie tetap hanya ingin membagikan hal-hal membahagiakan saja.

Cukup lama ia termenung. Memikirkan semua biaya hidup yang sebetulnya harus ia tanggung sendiri. Kepalanya memang terasa ingin pecah dan Sophie ingin sekali menangis serta mengadu lama sebab utang yang ditinggalkan kedua mendiang orang tuanya tidaklah sedikit. Tetapi ia sama sekali tak sampai hati mengomel-omel di depan makam ayahnya.

Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan

Sophie menghela napas. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan waktu sudah semakin petang. Mendadak teringat jadwal bis yang untuk mengantarnya kembali akan segera berangkat. 

Sophie tersenyum sedih. Rasanya berat sekali.

"Ayah, Sophie pulang dulu, ya," katanya pelan. "Rumah Tante memang bukan yang terbaik, tapi Sophie nggak punya pilihan.

Ayah tenang aja. Rumah kecil kita dulu, bakalan selalu jadi rumah yang terbaik bagi Sophie."

Untuk terakhir kalinya, Sophie benar-benar pamit. Meninggalkan makam itu dengan rindu yang bersisa; tak pernah benar-benar hilang.

Raganya memang sudah tak ada. Tetapi eksistensinya tak pernah lekang dalam hati. Sophie meneguhkan itu.

Anakmu sekarang banyak menanggung beban

— s e l e s a i —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top