Mungkinkah

Judul  Mungkinkah
Penyanyi (tahun): Stinky (1997)

Mungkinkah kita 'kan selalu bersama

Taman rumah sakit bukanlah tempat kencan yang asyik. Walau rindang dan sepi, bau obat dari troli yang didorong para perawat tetap mampir ke lubang hidungku. Sekeras apa pun aku menghiraukannya, tetap saja terhirup. Rasanya seperti tersengat. Kalau bukan karena Eno, aku tidak akan mau repot-repot. 

Laki-laki itu terus tersenyum sambil menyantap salad sayur dengan sedikit mayones yang kubawa dari rumah. Dia sangat lahap sampai aku bertanya-tanya dalam hati, apakah makanan orang sakit se-tidak enak itu?

"Aku bosan dengan makanan di sini. Rasanya hambar," ucapnya tiba-tiba seolah tahu apa yang kupikirkan.

"Ya sudah, makan yang banyak. Harus dihabiskan, ya."

Dia mengangguk. Lucu sekali. Pipinya yang tirus tetap menggemaskan sebab bola matanya kian membulat dengan binar yang memesona. Aku hanya bisa tersenyum saat melihatnya.

Eno adalah salah satu penari balet di kota ini. Tinggi dan berat badan yang proporsional membuatnya terlihat indah saat berlenggak-lenggok di atas panggung. Sungguh, dia sangat anggun, meski dibalut pakaian superketat. Sebagai wanita, aku kerap minder dengannya. Ah, tetapi tidak apa-apa. Kapan lagi punya kekasih seorang balerino, 'kan?

Ya, awalnya semua ini memang baik-baik saja. Sampai suatu hari, tepatnya saat latihan ketiga di bulan Maret, Eno merasa sakit di kaki kiri--yang sudah dirasakan beberapa minggu sebelumnya--semakin menjadi-jadi. Tidak mau mengambil risiko, pelatih dan orang tua Eno membawanya ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan.

Hingga di sinilah dia sekarang.

Tumor tulang di bagian betis.

Walau terbentang jarak antara kita

"Jadi, bagaimana keputusan dokter?"

Aku tidak tahan lagi. Lidahku serasa gatal untuk menanyakan hal tersebut. Semula aku hanya menunggu sampai dia mau bercerita dengan sendirinya. Namun, sekian lama menanti, Eno belum juga tergerak untuk berbagi.

"Ibu sudah sepakat dengan mereka. Aku akan melanjutkan pengobatan di Singapura."

Sudah kuduga. Tidak mungkin kabar baik untukku bila dia terus bungkam.

Terpisah jarak seperti ini bukan hal baru bagiku. Eno kerap kali mengikuti kompetisi di luar kota dan aku sudah terbiasa. Namun, mendengar hal ini bukan berarti membuatku tenang seperti yang sudah-sudah.

Singapura. Bukan hanya kota, melainkan negara. Aku tahu, ini semua demi kebaikan Eno, tetapi haruskah kami terpisah sejauh ini? 

Aku bisa apa? Hak untuk melarang pun tak punya. Kewajibanku di sini juga tidak bisa dialihkan. Ah, sungguh memuakkan.

"Aura?"

Mungkin aku terlalu lama bergeming hingga Eno perlahan-lahan meraih tanganku, menggenggamnya dengan hangat, lalu mencium punggung tanganku tipis dan cukup lama. Aku tidak bisa menolak. Mata kami beradu. Tanpa sadar, aku menggigit bibir dan memalingkan wajah. Melihatnya hanya membuat kata 'berpisah' semakin teringat.

"Aku pasti pulang dengan keadaan baik-baik saja."

"Sungguh?"

Eno mengangguk. "Asal kamu mau menungguku di sini."

Lembut suaranya kian mengiris hati. Aku tak lagi bisa membendung air mata. Bukan apa-apa, hanya saja aku tidak tahu berapa lama Eno akan tinggal di sana. Tidak, tidak hanya itu. Apa yang dia lakukan, dia rasakan, dia hadapi, dia lewati, semuanya aku tidak akan tahu-menahu. Lantas, bagaimana bisa aku menunggu dengan tenang?

"Apakah aku memiliki pilihan lain?" tanyaku dengan suara bergetar, "aku ingin menemani sakitmu, No. Aku mau jadi salah satu orang pertama yang melihatmu baik-baik saja, setelah menghadapi semua ini."

Eno pun tersenyum. Alisku berkerut sebab dia tak segera menjawab. Malah, kini dia mengangkat tangan kiri lalu mengusap pipiku yang agak basah. Lembut, aku refleks memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku ke telapak tangannya. 

"Sebentar saja. Aku pasti pulang. Aku pasti menari lagi. Untukmu, Aura."

Aku mendongak, kemudian melepas genggamannya. Sebelum menarik napas dalam-dalam, aku mengusap wajah dan menyisir rambut dengan sela-sela jari. Setelahnya, kutatap raut muka Eno yang setia menanti responsku.

"Baiklah," Aku berusaha tersenyum, "aku pasti menunggumu."

"Janji?" Eno menawarkan kelingkingnya.

"Janji."

Biarkan kupeluk erat bayangmu

Dua hari setelah hari itu, Eno benar-benar berangkat ke Singapura dan sudah sebulan pula aku kembali ke jalanan, mengajar anak-anak yang dipaksa mengamen untuk mencari uang. Hampir setiap pagi aku singgah ke pinggir perempatan Jalan Asih.

"Pagi," sapaku pada mereka yang tengah berebut nasi bungkus.

"Kak Aura!"

Tidak sedikit yang berlari ke arahku dan tidak sedikit pula yang memanfaatkan momen tersebut untuk menghabiskan makanan. Aku hanya menggeleng melihatnya.

"Dihabiskan dulu sarapannya."

Mereka mengangguk. Aku pun meletakkan ransel di atas meja lawas yang sedikit rusak. Kukeluarkan seluruh kertas gambar dan pensil warna yang kubawa.

Sambil menunggu, aku duduk tanpa alas di atas batu, memperhatikan anak kecil yang kurang beruntung itu. Kalau matahari sudah menyapa dan jalanan kian ramai, mereka akan menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan, lalu kembali ke sini saat senja tiba. Itulah mengapa aku datang sepagi ini.

"Hari ini belajar apa, Kak?"

Lamunanku terkecoh saat gadis cilik berambut panjang tak tersisir mendekat dan menepuk-nepuk pahaku. Aku lekas tersenyum kemudian berdiri, mengambil bahan yang sudah kusiapkan untuk mereka.

"Sekarang, Kak Aura mau adik-adik menggambar apa pun di sini lalu mewarnainya. Paham?"

"Paham."

Satu per satu mulai tengkurap di atas tikar. Ada juga yang duduk bersandar pada tiang. Aku pun menunggu sambil membuka surat yang Eno berikan.

Surat pertama dan aku berharap bukan yang terakhir itu adalah satu-satunya yang kumiliki. Sudah kesekian kali aku membacanya tanpa bosan. Mungkin, jarak yang terlampau jauh membuat surat-surat itu tidak segera sampai. Ya, aku hanya memikirkan kemungkinan tersebut. Aku yakin, Eno pasti menulis sesuatu untukku.

Dia sedang menjalani radiasi. Itu kabar terakhir yang kudapatkan. Setelahnya, aku hanya dihantui rasa cemas akan hasil dan kelanjutannya.

"Kak Aura, gambaran Cipluk sudah selesai."

Aku buru-buru mengusap air mata di pelupuk dan menyunggingkan senyum. Segera kuambil kertas gambar yang dari kejauhan terlihat warna-warni. Cipluk lekas mendekat dan spontan duduk di pangkuanku. Sebuah kebiasaan yang entah dari mana asalnya.

"Wah, cantik sekali," pujiku, "ini siapa?"

"Yang ini Kak Aura, yang ini Kakak Tinggi."

Sebuah gambaran sederhana, yaitu dua orang yang dibedakan dengan rambut panjang dan warna baju. Mereka menautkan kedua tangan serta tersenyum di bawah pelangi dan matahari. Cipluk telah menggambar sosokku dengan Eno. Julukan tinggi itu miliknya. 

"Terima kasih, Sayang."

Aku mencium pipi gadis cilik tersebut dan menuntunnya untuk kembali ke anak-anak yang lain. Tak berniat, aku spontan menunduk dan menatap kertas gambar itu lagi. Sudut bibirku tergerak naik, meski dada terasa panas dan bergemuruh.

Perlahan, aku mengusap tangan mereka yang saling genggam. Lekat dan semakin lekat saja aku dalam melihatnya. Seketika wajah Eno menggantikan sosok laki-laki yang digambar oleh Cipluk. Senyum yang tidak pernah kulupakan lantas memenuhi lembaran tipis itu. Aku pun mendekapnya. Erat, sangat erat. Sungguh, aku benar-benar merindukannya. 

Tuk melepaskan semua kerinduanku

Tidak seperti biasanya, aku pulang lebih awal. Rasanya sesak bila harus melanjutkan kesakitan ini di depan anak kecil. Sial, hanya dengan gambaran gadis cilik superpolos, aku uring-uringan tak keruan.

Kuambil secarik kertas di atas meja belajar. Pena langganan yang sudah berulang kali refil tinta kembali kugenggam. Lagi, aku menulis sebuah surat untuk Eno.

Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai. Aku tidak tahu apakah surat sebelumnya sudah sampai. Aku tidak tahu apakah surat-surat ini ada gunanya.

Jika penasaran akan kabarku, aku tidak baik-baik saja, No. Namun, bukan berarti aku melanggar janji. Aku masih menunggumu dan tetap menunggu. Akan tetapi, bisakah sepucuk saja kaukirim surat? Aku bisa gila tanpa mengetahui keadaanmu saat ini.

Tak kuat, aku melempar penaku ke sembarang arah lalu menenggelamkan wajah di atas meja. Kutumpahkan seluruh kesalku di sana. Aku tidak peduli dengan mata sembap setelah sesenggukan seperti ini. Jelasnya, aku hanya ingin lega, meski hanya sedetik.

Aku pun mendongak, meraih tisu untuk mengusap ingus. Namun, tanganku terhenti saat fotoku dan Eno di bawah pohon beringin terpampang di pigura duduk. Aku langsung meraihnya.

"Kamu sedang apa di sana, No?"

Kakiku beranjak, mendekati tape recorder milik Eno yang kusita saat ulang tahun hubungan kami. Aku menekan tombol yang memutar lagu favoritnya saat latihan balet di akhir pekan.

Tanpa sadar, tubuhku tergerak untuk menari. Tanganku merentang, seolah Eno hadir untuk meraihnya. Langkahku ke kiri lalu ke kanan, mengikuti irama musik. Aku pun tersenyum dan memejamkan mata, membayangkan sosoknya benar-benar datang dan melepas rindu.

Hanya dengan ini, aku kembali baik-baik saja.

_____

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top