Lentera Dari Utara

Satu Bintang di Langit Kelam – Rita Sita Dewi (1994)


KAU DATANG dengan sederhana ….

Satu bintang di langit kelam ….

Semuanya sudah terjadi lama sekali sejak Paul memutuskan pindah—membuang diri dan meninggalkan populasi, di sebuah hutan kecil di daerah utara Polandia yang terasing dari pusat kota dan militer. Usia mematut ingatan. Menapaki enam puluh tahun di muka bumi, menjadi sesuatu yang mungkin dan wajar bila otak berkaratnya salah mengonfirmasi beberapa hal. Namun, Paul yakin melakukan hal benar. Sama sekali tidak menyesal. Kecuali kengerian yang timbul ketika membayangkan bahwa mungkin di bawah rumahnya tertimbun setidaknya dua puluh ribu mayat orang-orang Yahudi, termasuk saudara dan keluarganya, dibantai, dihabiskan.

Ingatan-ingatan perlahan melesak sederas air hujan ketika suara depak langkah kecil yang lari masuk ke rumah. Paul yang menatap dirinya sendiri di dalam kaca retak, mengalihkan atensi pada pintu dan istrinya yang menceteng sekeranjang penuh tomat, wortel, dan tanaman kubis. "Hujan tiba-tiba turun deras sekali," katanya, menurunkan panen hari ini ke atas meja.

Hujan memang sedang turun deras sekali. 

Paul mengulangi dalam hati, sementara jemari tangan kirinya sibuk mengancing baju. Matanya kembali ke arah cermin. Retak di segala sisi, pecah di beberapa penjuru. Hatinya tergores mendapati kancing tak serta-merta masuk ke dalam lubang. Paul merasa rahangnya menegang. 

Lina mengambil beberapa langkah di samping suaminya, menyatakan, "Anda bisa meminta bantuan saya." Lalu, mengancingkan kancing terakhir untuk Paul. Membuat memori melesat pada satu perjalanan. 


Dalam kegelapan Paul mendapati dirinya terbaring dengan kaki terjerat sesuatu. Brankar bangkar meledakkan rasa nyeri di pinggulnya. Dia duduk di antara rasa sakit tersebut, memaksakan matanya menemukan tanda-tanda sedang bersama siapa ia dalam kegelapan. Seberkas cahaya muncul, tampak seseorang bergegas mendekati Paul, rupanya mendapat peringatan dari suara giring-giring, yang kini Paul mengerti, terikat pada kakinya sebuah kelintingan.

Seorang perempuan berlapis mantel, rambut terang terikat dalam satu gelungan yang lepek berkat keringat. Tampak menyala ditempa cahaya lembut api dari dalam lampu. 

"Ini benar-benar sesuatu yang bagus. Kau bangun setelah Paulina memaksa agar terus dibiarkan merawatmu." Suaranya berat, muncul dari belakang perempuan tadi. Paul sedikit mengernyit agar mendapatkan gambaran siapa yang berbicara. Dia berjenggot dan berperut berisi, melanjutkan bicara. "Kami sudah berniat membiarkanmu mati, karena tidak ada yang sanggup mengatasimu kecuali, Paul. Ini keajaiban, aku tahu, kau sungguh sudah sekarat tadi."

Suara lain muncul dari dalam kegelapan, satu ini lebih cerah dan tinggi. "Apa yang bagus? Oh, Paulina, kau berhasil menyelamatkannya? Bagus. Kini suplai obat dan makanan kita akan benar-benar habis dalam waktu dekat."

"Diam, Josef."

"Kau masih bisa menggunakan senapan?" Dia menatap Paul yang semakin mematung. "Kalau tidak, kau tidak perlu merasa keberatan jika kami tidak memperbolehkanmu menggunakan sisa persediaan—lebih baik dari mati, kan? Kau harus sangat berterima kasih."

"Josef! Kumohon."

"Apa? Dia akan menyusahkan kita. Aku hanya menemukan kamera, sampah, dan botol-botol di dalam tasnya. Lagipula, dengan tubuh yang seperti itu, tidak mungkin dia bisa berguna."

"Cukup diam dan pergi. Biarkan aku menyelesaikan tugasku."

Paul mendengar suara perempuan tersebut lantang dan berani, kepribadian tegasnya tersembul begitu saja dari bagaimana ia bertahan di sekitar para lelaki ini. Josef mendengkus memasuki tenda, sementara Paulina (ya, Paul yakin tidak salah dengar, namanya benar-benar Paulina) kembali menyelesaikan membungkus tangan kanannya dengan kain baru yang tidak lebih baik dari kain sebelumnya.

"Efek rudal. Saya tidak punya pilihan lain, Bay mengatakan pada saya," jedanya sambil menoleh pada pria berjenggot, "lebih baik dipotong dari pada membiarkan infeksinya menyebar. Itu tadi parah—sangat parah." Dia berdiri, hendak pergi melihat lawan bicaranya tak berniat membalas. 

"Merasa butuh sesuatu, Anda bisa minta bantuan saya." Pandangannya bermaksud menunjuk kelinting yang menggantung pada kaki. 

Paul termenung. Dirinya selamat. 

...

Sinarmu rimba pesona, dan kutahu telah tersesat ….

Lina memandang suaminya, lalu sup kubis sama sekali tak tersentuh. Ia mencicipi sup dalam mangkuknya sendiri. Tidak ada yang salah. Paul memang tidak pernah sekalipun memuji masakannya. Namun, iris yang memancar getir mengubah sup hangat menjadi hidangan yang dingin dan basi.

"Apa segala sesuatu berjalan dengan baik?" Semenjak pernikahannya, Lina mengusahakan dirinya dengan keras agar tidak mengatakan kalimat negatif. 

"Apa kau bahagia?" Paul menjeda, tetapi tidak mendapatkan jawaban. Kemudian, saat Lina menganggukkan kepala, dia melanjutkan, "Apa kau sungguh merasa bahagia?"

"Apa saya harus menjawab pertanyaan Anda, sementara tidak ada jawaban atas pertanyaan saya?" tukas Lina bergejolak. 

Satu helaan napas seolah mencairkan es pada suasana yang sekonyong-konyong memanas.

"Ada yang mengganggu pikiran Anda?" tanyanya tenang merujuk pada mimik wajah suaminya yang mengacau.

Paul meletakkan sendok, mendorong mangkuknya jauh ke depan. Semakin tampak pada wajahnya rasa kesal dan bingung. "Karena kau tidak tampak bahagia."

Dahi Lina berkerut-kerut. "Maaf, Andalah yang jelas-jelas tampak sangat tidak bahagia."

"Kenapa kau mau menikahiku?"

"Dengar, Tuan, kalau ada masalah yang mengganggu pikiran Anda, setidaknya biarkan saya mengetahuinya. Saya tidak meng—"

"Cukup berikan alasan yang masuk akal kenapa kau sudi menikahiku! Aku buntung, pincang, tidak berguna. Puluhan lelaki sempurna setia menunggu di belakangku, tetapi kau memilihku?" Tatapan Paul berubah sangsi. "Berikan alasan jika kau mau perasaanku lebih baik."

Kini Lina turut meletakkan sendoknya. Tatapannya tidak sengaja mengarah pada lengan kanan yang menggantung. Kain putih ternoda merah di bagian bawah. Kakinya membuat Lina mendekat tanpa sadar. "Apa sakitnya semakin parah?"

"Apa ini yang membuatmu sudi?" Pertanyaan Paul membuat Lina mendongak dengan terkejut. "Kau masih menganggapku pasienmu?"

"Dengar, Tuan, saya tidak mengerti apa yang membuat Anda berpikir demikian. Namun, perban ini benar-benar perlu diganti."

"Benar, kau berbelas kasihan," ucapnya kesal. Namun, tetap membiarkan lengannya diganti penutupnya. Dia sendiri merasa tak tahan menanggung rasa sakit. "Paulina, kau bukan wanita yang berprinsip," desisnya.

"Maaf?!"

Mengembus napas pada tubuh yang bergelut dengan kemarahan. Paul kecewa pada dirinya sendiri, marah, sekaligus tidak berdaya. Sambil menopang tubuhnya untuk berdiri, dia berkata penuh penekanan. "Kau menikahiku karena belas kasihan. Aku heran kenapa kau mau saja menuruti pria tua—Bay, naif. Seenaknya menjodohkan orang lain lantaran kesamaan nama. Kau seharusnya menolak kalau tidak mau! Itu membuatmu terlihat layak disebut wanita gampangan! Aku tidak heran mengapa Josef nyaris membuangmu di kamp penghabisan. Kau mengikuti arah angin, menolong prajurit musuh, sama sekali tidak berprinsip. Kau berbelas kasihan pada mereka, padaku juga."

"Perhatikan kata-kata Anda, Tuan!" Paul terperanjat. Mata istrinya menyalang dengan ketajaman seperti induk singa yang kehilangan buruan. Keheningan muncul sejenak dalam ruangan kecil berdinding kayu tersebut. Lina menghapus aliran air mata di pipinya. "Ini bukan belas kasihan. Saya menolong siapa saja yang butuh pertolongan. Dan kalau itu bukan berarti Anda, adalah kesalahan saya yang terlalu menuruti ego diri sendiri. Lihatlah Anda sendiri, siapa yang meminang saya, siapa yang mencuri ciuman pertama saya di hadapan semua orang dan berkata bahwa cinta tidak butuh alasan. Itu jawaban saya, kalau sekarang kita sedang membicarakan prinsip. Apa perilaku Anda sendiri sudah mencerminkan sebuah prinsip?"

Pintu berdebam. Angin dingin menyeruak masuk melalui celah kecil. Menerobos ke dalam benak panas Paul, mengedari jantung yang dilubangi rasa malu. Dia membuka pintu dengan lebar, melangkah keluar. Bukan untuk mengejar Paulina. 

Redup kilaumu tak mengarah ….

Di hadapannya sekarang berbaris puluhan nisan. Epitaf-epitaf kecil yang membuat dadanya tertembak ribuan butiran kecil. Semua teman-temannya maju di garis terdepan, kecuali dirinya. Apa perilaku Anda sudah mencerminkan sebuah prinsip? Paul menanyakannya pada diri sendiri. Perilaku pengecutnya yang lari ketika Jerman menduduki perbatasan. Bersembunyi di balik kabut, dan muncul ketika pedut sudah beringsut. Membuka mata ketika seseorang dengan lembut membangunkannya dan berkata, "Bangun, Tuan. Berbahagialah, semuanya sudah berakhir. Kita bebas. Kelam sudah berakhir".

Paul secara sadar menanamkan jiwa pengecut dalam hatinya. Jantung berdebar-debar, akal memberontak diremas kemarahan atas rasa bersalah. "Sudah berakhir teman-teman. Hidup si pengecut sudah berakhir."

Jadilah diriku selatan ….

Lina buru-buru menyembunyikan dirinya ke belakang rumah ketika Paul menekuri langkahnya ke utara. Pelan-pelan kakinya membuntuti ke mana suaminya akan pergi.

Lina tercekat. Langkahnya berhenti pada sebuah pemakaman. Matanya menatap pemandangan yang mengharu biru. Paul duduk di antara batu-batu yang mencuat seolah muncul dari dalam tanah. Tersedu-sedu, menumbuk tanah dengan lengan yang bersimbah darah. Terulang lagi, kakinya berlari tanpa sadar. Memeluk tubuh kurus Paul yang terus bergerak, menolak untuk berhenti. 

"Zaman penyiksaan sudah berhenti, Tuan. Tolong jangan menyiksa diri."

… 

Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam ….

Paul terbaring dengan tubuh kesakitan. Mata tuanya menyipit mencari-cari cahaya. Kulitnya saling menarik-tarik, tenggorokan dicekik. Paul merasakan dunianya mengecil, bersama seberkas cahaya dari utara yang menjemputnya untuk pergi. Namun, yang dimasukinya sebuah kegelapan. Kegelapan yang terus memutih perlahan. Enam puluh tahun di muka bumi, belum pernah dirasakannya kegelapan seterang ini. 

Di samping, duduk Paulina dan Khazia. Dengan sigap Lina mengelap wajah sang suami, kian mengendur bersamaan dengan habisnya napas. Dibisikinya telinga Paul dengan suara lembut. 

"Tuan, saya selalu mengatakan bahwa kapan pun, Anda bisa meminta bantuan saya. Namun, apa yang telah terjadi sekarang, adalah saya tidak bisa meminta Anda menemani saya lagi."

"Berbahagialah, Tuan. Kelam lekas berakhir."

-TAMAT-


… = pergantian periode.

[a/n]: Ini bentuk balas dendam atas salah satu cerpen saya yang enggan memiliki klimaks. Kenapa orang mengharap klimaks sementara dirinya saja menolak direnggut masalah.

Terinspirasi oleh kisah The Lady with the Lamp, Yang Mulia Ibunda Florence Nightingale. Dan buku berjudul "Bukan Belas Kasihan" yang kisahnya saya puja dan baca di kelas 5 SD.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top