Kenangan
Satu per satu mulai dipanggil takdir. Jejak di pantai kian pudar. Jelaga petang tak seramai tahun-tahun silam. Waktu telah melahirkan sosok senja dari Dalu. Digenapkan pula oleh empat puluh malam lalu saat rumahnya sesak oleh tangis anak dan cucu.
Kini mereka telah pulang. Dipanggil oleh rutinitas di tanah rantau. Sementara Dalu hanya menuai lelah dari menyirami anggrek serta memanen mentimun dan cabai rawit untuk dijual. Ya, ini adalah hari keempat puluh sejak ia mulai memasak lagi. Sebab Ranti dan dirinya telah berbeda alam. Dengan seadanya ia mengiris, menumis bumbu-bumbu sambil terbatuk-batuk. Segera makanan berbau arang itu dimasukkan dalam rantang dan dijinjing pada keranjang sepeda jengki berkaratnya.
"Oh iya lupa!" Dalu segera masuk ke dalam kamar dan membawa ukulele serta album bersampul coklat tua. Ia tata benda ini di keranjang.
"Seperti ada yang janggal." Dalu melihat sepedanya yang bercorak karat cokelat dan sisa cat merah. "Eh iya."
Segera kaki Dalu beradu menuju kamar dan mengambil benda antik kesayangan. Dia ikat benda itu dengan tali hitam.
"Ukulele, rantang, radio. Sepertinya sudah," ucap Dalu setelah memeriksa perlengkapan.
Tangan Dalu menuntun sepeda keluar dan lekas mengunci pintu depan dengan gembok. Kemudian ia beralih lagi pada sepeda dan mengayuh dengan tunggang langgang. Keriut dari setiap pancalan terdengar menggelitik telinga. Bersama dengan bising deru napasnya serta bulir keringat yang jatuh pada udara sore. Ia berusaha memantik keindahan yang sempat mengerikan.
"Akhirnya." Napas Dalu tersengal-sengal. Ia menepi pada mushola tepi pantai dan hendak beribadah sejenak. Selepas itu ia berjalan membawa ukulele dan radio pada pantai lepas.
Mata Dalu menelisik pada keramaian di ujung selatan. Para pemuda bergotong royong membawa jaring dan lampu teplok, ada pula yang tangannya penuh dengan rantang serta jajanan pengganjal perut. Mereka akan berlayar.
Pandangan Dalu menuntut mereka berlabuh, sampai rabun menjadi pembatasnya untuk melihat mereka lebih lama. Kini Dalu bergeming. Kepalanya mendongak untuk melihat gemerlap bintang bertabur indah, purnama yang menyorot. Samar-samar, perasaan itu datang menghampiri. Tentang tangan yang dingin minta digenggam, kuping yang minta dibisingkan empat sekawan. Ia menyetel lagu sembari melihat keindahan alam.
Kemilau ombak bercahaya seperti kilau perak dan berlian. Langit yang bergejolak merah menuju kepekatan serta purnama yang mulai terbit di ufuk barat membawa meniup kenangannya kala puasa di umur 28. Dia bersama Ranti, Thoriq, dan Rozaq yang menggendong rangsel serta alat musik.
"Ayo, kita berangkat,” seru Pak Khalil---salah satu nelayan di kapal.
Saat itu empat sekawan segera menaiki perahu layar besar dengan ulasan senyum di bibir. Uang dari bermusiknya lumayan cukup untuk naik kapal nelayan ini, serta bekal untuk keluarga. Para nelayan memantik sumbu teplok dengan api, beberapa menyalakan mesin diesel di lambung kapal.
Di sini Dalu berkumpul dengan teman-teman. Mereka saling duduk berbincang menikmati pemandangan bintang yang berkelap-kelip pada dirgantara. Udara di sekitar seperti mengamuk. Ia merusak ikatan rambut Ranti.
"Anginnya sangat kencang!" seru salah satu nelayan.
"Apa itu?" sahut nelayan lain dengan mata membulat.
Dalu dan kawan-kawan terperangah. Membeku di tempatnya berdiri. Pasrah akan takdir yang akan melalap habis seluruh nyawa di kapal.
"Ambil ban di bawah. Segera terjun ke lautan!"
Mereka bergegas menerima perintah. Secara serentak pun acak mereka menjatuhkan diri pada lautan yang bergejolak.
Semua manusia di sana saling melawan arus. Namun alam sepertinya tidak mau ditentang. Pusaran itu menyedot habis semua yang ada di sekitar. Termasuk empat sekawan itu. Sesaat sebelum kesadaran Dalu habis. Ia melihat ikan tongkol melayang berputar dalam pusaran. Pun suara patahan dari aluminium dan kayu dari layar kapal yang terkoyak badai.
"Sepertinya ini akhir." Dalu memejamkan mata. Keringat telah bercampur pada asin lautan. Luka di tubuhnya seperti digarami. Badannya terasa ditarik dan dihantam beban kuat. Lalu semuanya rasa sakit itu perlahan musnah.
*
Nyawa masih bertahan di tubuh renta Dalu. Kain perban membelit di tangannya yang patah. Pemandangan yang sama juga terlihat pada Ranti. Mereka datang bersama dengan pakaian hitam. Tangan mereka saling menggenggam ikatan bunga dan sebungkus bunga kenanga untuk ditabur pada makam kedua sahabatnya.
Sesampainya pada gundukan tanah yang masih basah, mereka melantunkan doa, setelahnya saling termenung tak menyangka bahwa hasil tawa merekah ini berjalan sekejap. Kini di pikiran mereka hanya ada sebuah gejolak rindu, marah yang tak tertahankan, dan sembilu kepedihan. Namun secara perlahan waktu mengambil peran. Memberi kesibukan bagi keduanya untuk saling berbincang dan lamat-lamat mulai mengikhlaskan. Dalu dan Ranti semakin dekat, namun putus asa di saat bersamaan. Gitar dan alat musik berukuran kecil lainnya dimusiumkan dalam lemari kayu.
“Melepas mimpi ini akan menidurkan kenangan buruk. Tak ada salahnya,” ucap Dalu meyakinkan Ranti, “Tetapi di sini kita bisa merajut mimpi baru, bersama.”
Ranti menatap Dalu dengan senyuman, lalu gadis itu mengangguk menyetujui. Selepas itu sebuah pernikahan kecil dirayakan dua puluh tahun lalu. Mereka mengubah kecintaan mereka pada buah dan bunga, serta menghindar memakan ikan.
Hingga akhirnya detik ini tiba, perpisahan antara Dalu dan Ranti. Satu-satunya sahabat hidup yang tersisa. Dalu merasakan nyeri di dada, napasnya berat, matanya berembun, sembari mengamati petang telah menggenapkan gaung kesunyian dalam dirinya. Kini giliran Dalu yang menunggu antrian untuk semesta menjemput. Sebab ia selalu terngiang akan wasiat yang Ranti tuliskan. Banyak! Entah itu tentang ibadah, makan teratur, atau masalah tidur cukup. Di sini Dalu merasakan bagaimana kecerewetan Sang Istri bahkan saat dia telah meninggal. Dalam hati ia berbisik pedih, andai saja istrinya bisa bicara sekali lagi, membunyikan salah satu wasiatnya yang berisi, “Tetaplah hidup dan rawatlah bunga anggrekku!”
Mungkin Dalu tak akan berkata, “Ya, nanti.” Seperti dulu-dulu.
TAMAT
Dalam hitam kelap malam
Ku berdiri melawan sepi
Di sini di pantai ini
Telah terkubur sejuta kenangan
Dihempas keras gelombang
Dan tertimbun batu karang
Yang tak kan mungkin dapat terulang
Kau sandarkan sejenak beban diri
Kau taburkan benih kasih
Hanyalah emosi
Melambung jauh terbang tinggi
Bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri
Kau tlah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
Kini hanya rasa rindu
Merasuk di dada
Serasa sukma melayang pergi
Terbawa arus kasih membara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top