RyoujiSama ~•~ Sahabat Kecil
Sahabat Kecil ~ Ipang
• • • • • • • • • • • • • • • • •
Minggu pagi ini tak seramai minggu minggu sebelumnya. Mentari juga masih malu-malu kucing tuk sekadar menampakkan sinarnya yang begitu terang, cukup terang untuk menyinari seantero tata surya. Angin juga bertiup cukup kuat pagi ini.
Sepi, GOR pagi ini begitu sepi. Hanya beberapa pasang manusia saja yang jogging di GOR ini, termasuk diriku ini. Ah apakah mereka tahu kalau hari ini akan turun hujan ? hebat sekali meraka. Dugaan meraka tepat sekali. Gerimis sedikit demi sedikit semakin kerap dengan intensitas yang semakin banyak, membuat aku harus segera mencari sebuah tempat yang kiranya bisa melindungi tubuh berpeluhku dari derasnya hujan.
Aku berlari ke sebuah halte dipojokan GOR ini. Berlari menembus derasnya hujan, hujan yang semakin deras.
Dingin, tentu saja dingin secara aku hanya memakai kaus dengan lengan terbuka—bahasa kasarnya kaus kutang.
Sepi, tentu saja... ah sepertinya hanya aku saja yang merasa kesepian disini. Ada beberapa atau bahkan banyak berpasang manusia yang rela berlarian ditengah hujan bersama pacar maupun temannya. Ada juga yang meneduh sembari ketawa-ketiwi gaje bersama lawan bicaranya. Aku ? Longak-longok kek orang gila, sendirian. Oh ayolah Zi, bukankah kamu memang selalu kesepian sejak SD dulu hah ?
Sejak SD ya ? ya benar sekali. Tapi hal itu berubah ketika nega... maksudku mereka datang. Dua orang anak congak yang aku anggap sebagai sahabat kecilku. Sandi dan Aan.
Sejak SD aku memang selalu sendiri. Makan sendiri, minum send... Ah maksudku aku selalu menyendiri di rumah. Main di rumah, sendirian. Terkadang aku juga ngomong sendiri ke robot-robotan pemberian ayah. Gila ? tidak, hanya terisolasi. Terisolasi, kecuali saat sekolah. Sepulang sekolah, aku langsung pulang.
Terlebih lagi saat hujan seperti ini, aku hanya bisa duduk termenung di pelataran rumah sambil menghitung rintik hujan yang turun ke peraduan. Tapi, hujan inilah yang mempertemukan ku dengan dua orang congak itu.
--flashback—
“Fauzi... jangan main air” teriak mama dari dalam rumah.
“Iya m... Aduh” aku mencoba meng-iya-kan perintah tapi seketika kepalaku terhantam sebuah benda yang berbentuk bundar. Apa namanya ? B-bola kah ? ah sepertinya iya, entahlah.
Aku mencoba meredam sakit di kepalaku dengan menggosok-gosoknya pelan. Lumayan juga, rasa sakit agak hilang sekarang.
“Cepetan ambil”
“Ih gak mau ah”
“kan kamu yang nendang tadi, ayo cepetan”
Terdengar sayup-sayup dua orang kecil sedang berdebat di balik pagar rumah ini.
“Permisi” tiba-tiba nongol anak dengan perawakan kecil, badan gempal, dan muka absurd ditambah giginya yang nongos. “Maaf itu bolaku”
“O-oh” jawabku melongo, masih berpikir kata apa yang harus terucap dari mulutku.
“Oi kok melongo sih ? sini bolanya “ teriak satu anak lagi. Dia lebih tinggi dari anak pertama, lebih kurus, dan mukanya tidak lebih absurd dari yang pertama.
“Eh mending kamu ikutan aja ya sama kita”
“A-aku ? kayaknya... a-aku---“
.
.
“Zi, kamu beneran mau ikut ?” ucap Aan, si muka absurd itu.
“Iya, aku ikut, boleh kan ?”
“Boleh sih... tapi... emang harus ya pake payung ?”
“Mama suruh aku pake p-payung” jawab aku sambil memegang payung.
“Baru tahu ada orang mau main bola tapi pake payung”
“Mama bilang gak boleh hujan-hujanan, nanti sak... ahh PAYUNG KU!!”
Aku berlari mencoba meraih payungku yang digondol si sandi. Aan juga membantu dirinya.
“Sini Payungku !!!”
“Coba aja kalo bisa haha”
“Nanti aku sakit... gegara kehujanan. Aku alergi hujan kata mama”
“Oi bukannya kamu sekarang udah kehujanan ?” pekik Aan. Membuat aku terdiam sejenak. Aku... basah... ah jadi ini sensasi kehujanan ? nikmat sekali. Aku mencoba mendongak dan melihat satu demi satu hujan yang turun.
‘Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi’
JEGGERR
“Siapa yang main petasan hujan-hujan gini An ?” tanyaku.
“Itu Petir bego”
“Aku tanya sama Aan kok kamu yang jawab sih San ?”
“Hahaha culunmu keterlaluan Zi”
Sandi menjitak kepalaku lalu mendorong ku hingga ku terjatuh ke rumput yang mulai banjir. Sandi ikut terjatuh lalu diikuti Aan. Kami ketawa terbahak-bahak menertawai ke-bego-anku tentang ‘petasan’ itu.
‘Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa dibeli’
semenjak itu aku tak merasa kesepian lagi. Robot yang biasa ku tanyai sepulang sekolah aku campakkan begitu saja. Aku bahkan terkadang lupa untuk makan siang atau bisa dibilang sengaja tak makan siang di rumah hanya untuk mencari ikan di sawah atau sungai bersama dengan Sandi dan Aan, lalu kami membakarnya di saung pinggiran sawah. Enak, sangat enak dengan rasa pahit-pahit arang, lidahku buktinya, item. Tapi itu terlupakan dengan keceriaan kami yang lagi-lagi menertawai ke-bego-anku untuk menyembelih ikan itu terlebih dahulu.
‘Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya’
Suatu ketika juga aku dan Aan diajari berenang oleh Sandi. Aan dengan hebatnya langsung bisa mengikuti gerakan Sandi. Aku ? sudah pasti meraka menertawai ke-bego-anku yang percaya ‘sambil menyelam minum air’ dan itu aku praktekan.
‘Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan’
Semua momen banyak kami lalui, baik yang menyenangkan, maupun menyedihkan. Aku pernah disuruh mengepel seisi rumah gegara kami bertiga habis main becek-becekan, kami langsung masuk ke rumah. Untung saja mereka juga mau bertanggung jawab.
‘Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi’
Semua itu kami lalui, kami bertiga, dengan ke-bego-an kami bertiga juga. Ke-bego-an yang membuat hariku semakin cerah, cerah dari sebelumnya. Membuat hariku senang, senang dan bisa melupakan segalanya. Aku sangat... sangat... sangat menikmati saat-saat kami bertiga. Saat-saat ketika mengetawai kebodohanku, saat-saat ketika kami dimarahi gegara nyolong singkong milik tetangga—tentu saja itu ide si sandy somplak, sampai saat-saat yang tidak bisa disebut tapi bisa diingat sampi sedetail mungkin. Seakan dunia dan waktu milik kami bertiga. Kami tak ingin melepas waktu ini begitu saja. Meski secuil tak akan kami lepaskan. Karena kami tak ingin berakhir, benar-benar tak ingin berakhir.
‘Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
Janganlah berganti
Janganlah berganti
Tetaplah seperti ini’
Apalah daya, semua pertemuan pasti ada perpisahan. Kita kini sudah remaja dengan kehidupan remaja masing-masing. Aan dengan kehidupan pondok pesantrennya, Sandi dengan kerjaan dia untuk membantu ayahnya menghidupi keluarganya, sedangkan aku dengan kehidupanku sebagai mahasiswa. Sesekali kami berhubungan di sosmed, sesekali. Tak apa, yang penting masih ada ikatan di antara kita.
--flashback end—
Lamunanku buyar saat sebuah tangan menepuk pundakku. Aku kaget, mataku membulat.
“Ngapain lo disini sendirian Zi ?” ucap orang yang menepuk pundakku.
Aku mendongak dan ternyata dia teman kuliahku, Dika.
Ya, aku baru ingat sekarang. Dunia ini seperti rotasi. Bumi saja berotasi. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi ingat, ROTASI, setelah ada perpisahan pasti nantinya ada pertemuan lagii. Walau bukan dengan orang yang sama, tapi setidaknya bisa mengulang hal yang sama.
~
• END •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top