izaddina ~•~ Sesungguhnya Aku Bahagia
Happy ~ Pharrell William
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Untuk membuat hari-harimu lebih berwarna, kau hanya butuh secangkir kebahagiaan dan benda untuk menyumpal pendengaranmu dari omongan orang.
*
"Mae!" Afri berseru dengan suara kerasnya, memecah keheningan pagi di koridor kelas. Perempuan itu sepertinya tak pernah peduli akan volume suaranya yang berpotensi membuat gendang telinga pecah.
"Kenapa, Af?" tanyaku malas. Semalam hujan deras dan pagi ini pun masih ada sisa rintik yang turun. Untungnya itu bisa sedikit meredam suara toa milik Afri.
Afri menarik kedua pipiku ke samping, mencubit dengan keras sekali hingga pipiku merah. Aku ingin protes, tapi bibirku ikut tertarik dan aku tak bisa bicara dengan jelas karenanya. Tanganku refleks menjitak kepalanya.
"Sakit, woi!" Afri menjerit kesal. Perempuan itu mengusap kepalanya dengan gaya dramatis.
"Lagian, main cubit aja," balasku sebal. Semalam hujan deras dan aku galau sampai sekarang tanpa alasan jelas. Ada yang bilang hujan bikin galau? Aku termasuk orang yang percaya dengan hal itu.
Afri menatapku dengan cengiran inosen. "Kamu sih, pagi-pagi udah suram."
"Hujan."
"Paling juga habis ini hujannya habis," Afri menjawab sambil lalu. Beberapa detik setelah Afri berkata begitu, hujannya betul-betul berhenti. Cahaya matahari menyelinap masuk dari celah kelabu pagi. Tetes-tetes terakhir hujan jatuh ke tanah, sekilas membiaskan pelangi.
Aku menatap langit, sangsi. "Af, kamu pawang hujan?"
Wajah Afri berubah cemberut. Mungkin gambaran pawang hujan yang terlintas dalam benaknya adalah bapak-bapak berkumis dengan keris dan blangkon yang menengadah pada langit untuk meminta hujan. "Enak aja!"
Sembari menunggu Afri meletakkan tasnya di kelas, aku kembali mengamati lapangan yang penuh dengan bekas pola. Beberapa hari lagi adalah hari-hari terakhirku menyandang predikat anak putih-biru, dan sekolahku yang suka membuat acara yang heboh-heboh sudah menyiapkan sesuatu untuk itu.
Tak terasa, hari inilah acara itu diadakan. Hari ini pula nilau ujianku dibagikan. Cepat sekali. Padahal rasanya baru saja mulai latihan, dimarahi pembimbing gara-gara jarang ada yang patuh. Ah...
"Jangan poker face lah, Mae." Afri berdiri di sebelahku, menopang dagu. Dia ikut mengamati pola-pola yang sudah lepas dari tempatnya, mungkin membayangkan bagaimana bentuk anak-anak yang akan mengisi pola itu saat dilihat dari atas. "Kamu udah hafal lagu dan gerakannya, kan?"
"Tenang aja, Af." Aku mengangguk. "Muka Mae mah emang kayak gini. Mau diapain lagi?"
Afri hanya mengangkat bahu, mungkin tak habis pikir karena dari sekian banyak manusia-manusia cerah, malah manusia muka datar macam aku yang ditakdirkan dekat dengannya. Ia menarik kedua sudut bibirku ke atas. "Napa gak senyum sih? Nelangsa banget jadi orang."
Dengan sebal aku melepaskan tangan Afri. "Kalau senyum-senyum sendiri kayak orang gila, Af."
Tangan Afri refleks menyentuh bibirnya yang nyaris selalu menyunggingkan senyum. "Tapi aku selalu tersenyum."
Aku tersenyum tipis. "Berarti kamu gila."
Sebuah papan triplek yang entah didapat Afri dari mana langsung menimpuk kepalaku. Aku meringis, pergerakanku sedetik terlalu lambat untuk menghindar. Sial memang.
"YO AF, YO MAE!"
Aku dan Afri menoleh. Mas Alif di ujung koridor berseru, melambai-lambaikan tangan. Suara cowok itu tak kalah keras dengan si Afri, mengalahkan ingar bingar obrolan di kelas.
Hah, hidupku dikelilingi orang-orang bersuara toa. Sial memang.
"APA LIP?" Afri berseru tepat di kupingku.
"WOLES WOY!" aku balas berteriak di kuping Afri. Tak masalah, suaraku tak akan begitu mengganggu orang lain. Sekeras apapun suaraku, masih tetap kalah dengan Mas Alif dan Afri.
"KUMPUL DI LAPANGAN SEKARANG JUGA!" Mas Alif berseru, lebih keras dari yang tadi. Samar-samar aku mendengar gerutuan semacam "ah, mager!" dan sebagainya dari sekitar koridor. Afri juga mengumpat pelan sebelum mengambil tasnya kembali di kelas.
Di lapangan, para petinggi sekolah sudah menunggu kami dengan tatapan membunuh. Aku dan Afri cepat-cepat meletakkan tas, lalu duduk di tengah lapangan. Jejak-jejak hujan tadi pagi tak terasa sama sekali; matahari bersinar terlalu cerah dan panas.
"Berasa MOS, ya," Afri berbisik saat salah seorang guru meneriaki anak laki-laki. Aku mengangguk. Aku meringis saat dahiku menyentuh panasnya lapangan. Kenapa acara sujud syukur ini di lapangan, sih?
Untungnya sekolah kami lulus seratus persen. Saat kami mulai berlari ke pinggir lapangan untuk menyiapkan atraksi, Yana berbisik, "Jangan lupa gerakannya, Mae. Ini sudah acaranya."
Aku mengangguk pelan, mengambil properti yang akan digunakan. Mataku mengawasi teman-temanku saat musik mulai dinyalakan. Mereka bercanda tanpa mengajak aku. Afri hilang entah kemana, mungkin dia mengurusi hal lain untuk acara ini.
Atraksi kami bagus kalau dilihat dari atas. Kau akan melihat dua orang yang menari-nari tidak jelas dan sok genit mengawali acara, kemudian para lelaki masuk menjadi batang. Mereka akan bergoyang mengikuti irama, dan gerakan mereka lucu sekali dilihat dari sini.
Seseorang menepuk bahuku ketika aku masih terfokus pada battle dance mereka. "Mae?"
Aku menoleh. Dia Fiza, kamu jangan percaya sama tampang inosennya. Semakin ramah raut mukanya, bisa jadi semakin besar peluang kamu dijelek-jelekkan olehnya.
Dan dia memandangku dengan sangat ramah.
"Mae," Fiza tersenyum miring, "si suram. Cewek paling bodoh di kelas. Dan kamu lulus UN?"
Kenapa tiba-tiba Fiza berkata seperti itu? Aku tak pernah cari gara-gara dengannya. Aku melihat anak kelasku yang lain berbisik-bisik sambil melihatku. Ah, sudah biasa, mereka pasti membicarakan sifat pendiamku dan/atau nilaiku. Aku tahu mereka iri.
"Bercanda!" Gadis itu tertawa, tapi nadanya menyiratkan arti sebaliknya. Seharusnya aku tersinggung, seperti biasanya. Seharusnya aku jadi semakin menarik diri, semakin jatuh dalam lamunan seperti biasanya.
Namun kali ini tidak. Ada hal yang membuatku bahagia, dan aku harus fokus dengan musik atraksi. Aku harus menyukseskan pertunjukan ini. Ketika lagu Viva La Vida berakhir dan semua anak tersenyum, aku mencoba ikut tersenyum meski sulit.
Aku Mae, kata orang aku suram dan bodoh.
Aku Mae, mereka bilang namaku dan kata "senang" adalah dua hal yang takkan mungkin disatukan.
Tapi, saat ini, saat semua orang menari dengan semangat, aku juga ikut mencoba menumpahkan seluruh rasa senangku dalam gerakan. Ketika mereka menyanyi dengan keras, bertepuk, berjoget, aku berusaha keras untuk merasa senang.
Because I'm happy, clap along if you feel like a room without a roof
Because I'm happy, clap along if you feel like happiness is the truth
Ya, aku ikut bertepuk tangan, sebab aku tahu, Mae si suram itu pernah memiliki satu hari bahagia dalam hidupnya, dan harusnya itu hari ini.
Hari dimana pengumuman UN berlangsung,
dan hari dimana aku, si idiot Mae, mendapat predikat nilai tertinggi se-Kota Malang.
(*)
• THE END •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top