chellemmanuella ~•~ Heartbeat

Heartbeat ~ HiVi
• • • • • • • • • • • • • •

Dia sungguh mempesona. Dari awal aku mengenalnya, dia selalu berhasil membuatku tercengang.

Parasnya memang cantik, tapi bukan hanya itu yang bisa kau nikmati darinya. Dia begitu piawai dalam bernyanyi, dan dia begitu pandai merangkai sebuah aksesoris atau mainan-mainan dari kertas. Ditengah kegiatan kerja, dia bisa saja memberiku sebuah burung bangau atau tiba-tiba saja memberi kodok origami yang kalau ekornya ditekan, kertasnya melompat.

Pernahkah kamu merasa sebahagia itu ketika bertemu seseorang? Saat pertama kali melihatnya, kau ingin selalu berada di dekatnya dan merasa begitu nyaman bersamanya? Pernahkah kamu merasa kalau jantungmu berdebar keras sekali sampai mungkin ia bisa mendengarnya?

“Mo!” Dia memanggilku Imo sejak pertama kali kenal. “Imo, bantuin gue angkat galon dong! Pantry udah abis nih airnya! Mas Eep ilang entah kemana! Gue haus!”

Segera, aku menghampiri arah suara itu dan menggulung lengan kemeja kerjaku. “Minta pisau sama tisu basah galonnya, dong.”

Dia dengan sigap memberiku kedua benda yang kuminta. Dengan cepat, aku menerimanya dan mengiris pelindung galon dengan pisau, tapi... SRET. Sial, jariku tergores cukup dalam.

“Aduuh, Imo! Ceroboh banget, deh!” Dia menaruh gelas kopi berisi bubuk kopi dan gula di tangannya dan menarik tanganku. “Dalem juga, Mo. Bentar yah, gue ambil plester!” Dia berlari kecil ke kotak P3K di belakangku dan mengambil plester.

Aku ini hanya seorang pegawai kebangaan bos yang punya segalanya. Hidupku nampak sangat sempurna dan lancar. Tapi sesungguhnya hidup ini hanya sebuah rutinitas bangun-kerja-pulang-tidur dan terus berputar secara dinamis.

Beda, sejak dia datang. Inilah kebahagiaan sesungguhnya saat menemukannya.

Yang kuinginkan hanya berada selalu di dekatnya. Wajahnya yang cantik dan wataknya yang ceria dan menenangkan selalu memikat hatiku. Berkali-kali aku berjumpa dengannya, aku mendapat kebahagiaan darinya yang kadang bertingkah seperti anak kecil. Seperti dia melelehkan semen dalam diriku.

“Imo, sini tangan lo!”

Saat kulitnya menyentuh kulitku, jantungku berdebar kencang tanpa ritme yang jelas. Dug, dag, dug, dag, dug, dag, dug, dag! Berlomba-lomba dan berderap-derap seperti kuda di medan perang. Pertanyaanya adalah, bisakah ia merasakan debaran jantungku saat ini?

Kedengarankah hingga keluar tubuhku?

“Imo, jangan gugup gitu. Ini cuma luka kecil.” Suara menenangkan itu menggelitikku hingga pipiku memerah. Aku umur 26 tahun dan pipiku memerah karena kalimat seperti itu.

Sungguh, dialah wujud kebahagiaan sesungguhnya. Sejak ia datang, aku seperti kembali ke masa SMA dimana aku selalu cabut pelajaran Kimia dan pulang main futsal hingga bajuku bau keringat dan rambutku bau matahari. Tak memikirkan kantor busuk ini, hanya memikirkan futsal, cewek, kantin, dan hari libur.

“Mo, udah nih!” Dia memperhatikan hasil karyanya dengan puas. “Lo masih bisa angkat galon gak? Atau perlu gue panggil Mas Eep?” tanyanya dengan raut wajah cemas yang menambah panas pipiku.

Dengan canggung, aku menggeleng. “Gue bisa, masih bisa angkatnya, kok! Makasih ya, udah obatin luka gue.” Aku pun melanjutkan kegiatan angkat galon itu. Kami berdua pun berakhir menikmati kopi latte instan yang nikmat di sore hari tanpa kerjaan ini.

Kami duduk di kubikel kami yang bersebelahan. Bedanya kini, kami menarik kursi kami keluar dari kubikel dan menghadapkannya ke luar kaca jendela, dimana mejanya menempel. Kubikel kami terletak di dekat kaca jendela.

“Imo, sunsetnya bagus, yah?” Dia menunjuk setitik mentari yang menghilang di balik gedung-gedung tinggi, berlatar jembatan layang dengan mobil lalu-lalang.

Aku terkekeh. “Gini doang lo bilang bagus,” celetukku. “Belum lihat di Sanur ya?” tanyaku.

Dengan polos ia menggeleng. “Belom, Mo. Lo udah liat yah?”

Aku tersenyum dan mengangguk. “A million times. Gue dulu tinggal di Bali waktu masih kecil. SMP kelas 3 gue pindah ke Jakarta. This shitty place is nothing like Bali.”

“Tapi kata orang, Bali udah kotor, Mo.”

“Ya, tapi keindahannya bakal mencuat lagi kalau kita sibak semua kebusukan yang kita ciptakan sendiri itu.”

Dia memandangku dengan mata berkilau. “Imooo, ih Imo kalau lagi filosofis keren juga ya!” pekiknya gemas.

Lagi-lagi, aku si pria berpengaruh di kantor ini mendapati pipiku memerah. Aku membuang mukaku dan memegang dadaku yang berdebar keras. Ini pasti karena kopi. Ah, siapa yang gue bohongin? Dia terlalu polos dan sempurna.

Aku menarik napas dan meniupkannya pelan. “Lo dari tadi denger gak sih?” tanyaku.

“Denger apa, Mo?”

“Gue seneng.”

“Hah?”

“Iya, gue seneng!”

Mata bulat seperti kelereng basah itu menatapku kebingungan. “Suara, dan seneng? Apa hubungannya? Emang seneng bisa berwujud suara?”

Aku mengangguk. “Iya. Jantung gue yang dari tadi gak berhenti berdetak itu, tanda gue bahagia... karena elo.”

Blush. Kini pipinya yang memerah.

Bisakah dia merasakannya? Atau bisakah ia mendengarkan debaran jantungku yang sejak tadi tidak teratur? Aku mencintainya dan aku ingin dia tahu.

Inilah kebahagiaanku. Kebahagiaanku karena bertemu dirinya.

“Jadi menurut lo, Mo? Gue bikin lo bahagia?”

Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya. Lo selalu bikin gue bahagia. Setiap jantung gue berdebar keras, tandanya gue bahagia.”

Pipi itu semakin merah dan kepala itu semakin tertunduk dalam-dalam. Sepertinya dia mati kutu karena aku yang tidak banyak bicara ini tiba-tiba menembaknya dengan perkataan seperti barusan. Tapi itulah kenyataanya. I want her to know that I love her.

Dia menatapku dan dengan patah-patah ia berkata, “Mo, denger gak?”

“Denger apa?”

Dia tersenyum dan mencium pipiku singkat. “Gue seneng.”

And all I heard is a heartbeat. But that’s not my heartbeat.
That’s hers.
~
• END •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top