Terserah ~ Glenn Fredly
• • • • • • • • • • • •
Jangan kau ganggu hidupku lagi
Sudah jelas kini yang kau mau
Kau sakiti hati ini tuk ke sekian kali
Memang ku cinta, namun tak begini
Perempuan itu terus mengetuk-ngetuk di depan pintu rumahku. Siang dan malam, bisa 4 jam dalam sehari ia bercokol di depan pintuku.
Aku ini bukan lelaki tanpa hati yang membiarkan seorang perempuan berdiam hujan dan terik di luar rumahku. Tapi inilah aku. Aku tidak ingin lagi hidupku diganggu olehnya. Aku tak ingin lagi bertemu dengannya.
Kami sudah dewasa. Umur kami sudah 26 tahun. Sangat cukup untuk berkata 'ya, aku bersedia'. Aku ingin menjalani hubungan serius dengan dirinya. Tapi ternyata hanya akulah yang dewasa dalam hubungan ini.
Dia menyakitiku berkali-kali. Bila ditanya, jawabannya adalah... ya, aku mencintainya. Tapi jujur, tanpa perubahan, aku tidak bisa melanjutkan hidupku dengan seorang perempuan yang membuatku gerah dengan api-api kecil maupun besar yang selalu ia sulutkan pada kulitku.
Yang dia lakukan adalah bermain dengan banyak laki-laki selain aku. Tidak sampai 'bermain' seperti 'itu', tapi dia selalu bermain api dengan mereka. Macam-macam jenisnya: flirting, minta antar-jemput dengan alasan bahwa diriku sedang sibuk, minta dibelikan barang, dan minta diajari. Tapi dia selalu mengakhiri dan mengawali semua dengan gerakan-gerakan menggoda dan pembicaraan atau nada intim yang tidak perlu.
Aku kenal dia sejak SMP. Dia cinta petualangan, dan aku yang pecinta damai ini mungkin kurang membara baginya. Kurang banyak tamparan dan jeritan di depan umum dalam hubungan kami. Bahkan saat kupergoki hampir berciuman dengan teman main futsalku pun, hanya kujelaskan bahwa ciuman dengan sembarang orang itu buruk dan aku tak suka. Sebatas itu, dan aku mengampuninya.
Tapi tidak untuk yang terakhir kali, 1 bulan yang lalu itu.
Di mana arti sebuah kesetiaan
Bila hanya dalam kata-kata?
Ku coba untuk bertahan
Namun aku tak sanggup
Sungguh tak mampu, sayangku
"Reno! Gue tau lo ada di dalem, Ren! Gue mohon, gue cinta dan sayang sama lo. Cuma... cuma lo yang paling ngerti gue, cuma lo yang cinta gue dengan tulus. Cuma lo yang sayang sama gue. Tolong... hiks... tolong buka pintunya." Suara isakan dan napas yang patah-patah mulai terdengar dari balik pintu.
Bila kalian bertanya... ya, hati ini tersayat mendengar tangisan itu. Hati ini teriris mendengar suaranya di balik pintu, pilu, penuh sesal, penuh duka dan perih. Pernah ku bersumpah menghajar siapapun yang menyakitinya... tapi kali ini akulah alasannya menangis malam ini.
Ya, kawan-kawan. Hari sudah malam. Dan dia masih di depan pintu itu, terus mengetuk dalam kepedihan.
Pernahkah aku mencoba bertahan? Setiap hari. Kami beda kampus, dan aku selalu dapat kabar bahwa dirinya pulang bersama lelaki lain, bahkan pacar temannya sendiri. Dia selalu menolak dijemput terlalu sering olehku, dan sering tak bisa dihubungi.
Aku mencoba. Aku mencoba bertahan dengan semua selfie-selfie beda pria di Instagram-nya, bertahan dengan location Path-nya yang berada di mana saja, bersama pria mana saja... aku mencoba bertahan. Aku mencoba menanamkan dalam hati kalau mungkin dia lebih nyaman berteman dengan laki-laki.
My bad. Nyatanya dia hanya ingin ada tantangan dalam hubungan ini. Sebuah pemacu adrenalin dimana suatu hari kami akan bertemu di kafe, aku akan meninju lelaki itu dengan raut posesif, masuk berita lokal dan dia mendapatkan kehidupan ala drama siang yang sering ditonton pembantuku itu.
Aku tidak sanggup. Jujur aku tidak sanggup membendung semua emosi karena harus melihatnya menggamit lelaki lain, cekikikan manja di bahu mereka dan berlaku seolah-olah aku lelaki tanpa bahu. Hei, aku disini! Aku pacarmu! Kadang ingin aku berteriak seperti itu. Tapi inilah aku, inilah diriku yang terlalu cinta damai dan selalu diam dan menerima dengan sabar. Putuspun terjadi begitu tenang pada pihakku. Dia? Berteriak dan memohon histeris di depan banyak orang.
Aku tidak mampu lagi mendengar suara ketukan itu; awalnya mengeras penuh tekad, berubah jadi ketukan halus disertai air mata. Rasanya ingin kubuka pintu itu dan kuampuni dia. Kupeluk dia dan kukatakan "aku cinta kamu, jangan nangis lagi, jangan selingkuh lagi". Ingin. Sangat, sangat ingin.
"Ren, Reno... tolong. Ren, cuma lo yang bisa... jadi orang... yang mencintai gue." Suara itu terputus karena air mata dan sesengukan yang terus susul-menyusul.
Memang, aku tak sanggup mendengarnya menangis. Tapi kejadian kemarin masih sangat membekas di kepalaku. Bukannya aku mendendam dalam benci. Ini mungkin pilihan hidupnya. Tapi kalian tak bisa berharap banyak padaku, karena aku tetap manusia yang bisa sakit hati.
Beginilah kejadiannya:
Sabtu pagi, aku pergi ke kampusnya. Dia ada di sana, saling suap batagor sambil tertawa, selfie dan saling merangkul... dengan sahabatku.
Aku menghampiri mereka berdua, dengan wajah datar seperti biasanya. Dia menatapku agak linglung, sama halnya dengan sahabatku. Tapi aku memasang wajah datar, yang membuatnya merasa bisa memulainya.
"Hai, Ren!" sapanya. "Sini, duduk sama kita!" Dia menarik sebuah kursi di sebelahnya dan menyuruhku duduk. Setelah aku duduk, dia kembali sibuk dengan sahabatku, seolah aku tak ada.
"Kamu tahu gak sih, Ren? Kamu beruntung punya sahabat kayak Fio. Dia tuh keren, jago basket, jago IT, suaranya sama gitarnya juga bagus," dia mengelus-elus lengan Fio dengan bangga. "Fio juga dikit lagi udah mau ke Australia, dapet beasiswa. Kalau bisa dituker, aku pengen kali, kamu dituker sama Fio."
Aku tersenyum pahit kala itu. Fio juga hanya menatapku dengan muka bersalah. Ah, gak apa-apa, Fio. Gue tahu lo udah terjerat pesonanya seperti cowok-cowok lain.
Terdengar childish, mungkin, bila aku memutuskannya hanya karena dia membangga-banggakan Fio di depanku. Tapi mengingat kebiasaannya yang terdahulu, mungkin inilah puncak dari amarahku: ketika dia mengkhianati hatiku dengan sahabatku sendiri. Inilah klimaksnya setelah selama ini ia memasukkan orang-orang asing dan teman-teman yang tak akrab denganku dalam hubungan kami.
Terserah kali ini
Sungguh aku takkan peduli
Ku tak sanggup lagi jalani cinta denganmu
Biarkan ku sendiri
Tanpa bayang-bayangmu lagi
Ku tak sanggup lagi
Mulai kini semua terserah.
"Reno, tolong kasih gue satu kesempatan lagi. Gue janji... janji gak akan nyakitin lo lagi. Gue cinta sama lo, dan maafin gue. Gue cuma mau... lo bisa kayak mereka. T-tapi itu... cuma keinginan doang. Cu-cuma lo yang gue sayang, beneran!"
Aku mendengus keras. Lelah dengan semua ini.
Tidak bisa kupercaya kata-katanya semudah itu. Tak bisa kupegang lagi kalimat itu untuk ke sekian kalinya. Aku sudah lelah dengan permainannya yang hanya ingin aku bisa melihat sisi positif dari para lelaki itu. Aku lelah merasakan sakit karena merasa tak dianggap, merasa kurang dan merasa tersaingi.
Kini aku ingin hidup sendiri, tanpa bayang-bayang pengkhianatannya lagi. Aku sudah tidak sanggup melanjutkan hubungan yang hanya bisa menyayat hatiku ini.
"Reina...," jawabku di balik pintu. Bisa kudengar tangisannya berhenti, bahkan napasnya pun tertahan. Dengan satu tarikan napas, kuyakinkan diriku dan aku berkata...
"Gue udah gak sanggup jalanin semua sama lo. Mulai sekarang, semuanya... terserah."
Kumatikan lampu depan rumahku dan aku pergi tidur.
• END •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top