Number One For Me by itsfiyawn

Number One For Me by Maher Zain

• • •

Tuk

Tuk

Tuk

Suara di dapur menuntunku untuk melihat ada apa disana. Ternyata ada seorang wanita yang sedang mengiris bawang untuk makan malam. Tangan ringkihnya tak membuatnya melambat dalam menyelesaikan pekerjaan. Kini dia menua, kulitnya mengeriput, tenaganya semakin menciut, beberapa ingatannya dicabut, dan ubannya mulai terlihat.

Aku jadi teringat, beberapa tahun yang lalu saat aku masih kecil. Dia yang dulu senantiasa mengurusku, memberiku pelajaran yang sekarang baru bisa aku mengerti. Mama, malaikat tanpa sayap yang begitu aku cinta.

Waktu itu, aku kelas 1 SD. Sepulang sekolah, aku berjalan sendirian. Mama tidak pernah mendidikku untuk bermanja, walau aku anak bungsu. Makanya, setiap berangkat dan pulang sekolah, aku selalu berjalan sendiri. Ketika sampai di jalan raya, aku melihat wanita yang tak asing berdiri di seberang sana. Dia melambaikan tangan ke arahku dengan senyuman yang hangat. Aku pun menengok ke kanan dan kiri, saat tidak ada kendaraan, kaki kecilku menyeberang jalan dan berlari kecil menghampirinya.

"Mama mau jemput Fia?" tanyaku polos. Lagi-lagi dia hanya mengangguk dan mengangkat bibirnya.

"Iya, mama kira kamu masih di sekolahan." Dia menggandeng tangan kecilku.

"Ada apa ,Ma? Tumben." Aku bingung, tak biasanya beliau mau repot-repot ke sekolahan hanya untuk menjemputku.

"Mama baru beli Magic Jar. Jadi nanti Fia makan nasinya dari situ, Mama gak perlu capek-capek masak pakai dandang." Katanya begitu bersemangat. Melihatnya senang, aku pun lompat-lompat kecil karena hatiku juga ikut senang. Aku yang kala itu tak tahu mengapa Mama begitu senang sampai harus menjemputku hanya untuk berkata bahwa kami punya Magic Jar baru. Padahal di kala itu, membeli Magic Jar sama susahnya dengan membeli cincin emas.

Jika diingat lagi, kenakalanku begitu banyak, sering membuat Mama naik darah walau dia tidak pernah marah-marah secara langsung.

Aku yang kala itu sangat menyukai ikan goreng, sampai Mama rela jauh-jauh membeli ikan ke pasar. Fia kecil tidak mengetahui kala itu harga bahan pangan sedang melonjak, termasuk harga ikan. Dan Mama masih mau membuatkanku ikan goreng agar aku makan.

"Nih Mama buatin ikan goreng, dimakan ya." Dia memberiku mangkuk kecil yang berisi nasi dan ikan goreng. Aku pun makan dengan enggan karena nafsu makanku sedang buruk. Akhirnya, nasi dan ikan itu hanya kujadikan mainan. Ku sebar nasi itu ke lantai, membuatnya kotor sekaligus bau amis. Karena ceroboh, mangkuknya pun ikut jatuh ke lantai dan berserakan. Aku panik dan langsung menangis. Takut Mama memarahiku karena ulahku sendiri.

"Kenapa nangis?" Mama mendekatiku sambil mengelus rambutku. Aku malah menangis semakin kencang.

"Kok ini berantakan?" tanya Mama sambil memunguti butir-butir nasi yang berserakan. Aku tetap menangis, dan dia degan sabarnya membersihkan lantai itu dari nasi.

"Udah, gak usah nangis. Udah mama beresin." Ujarnya ketika dia selesai mengepel lantai. Tiada kemarahan yang ia luapkan, aku justru digendong dan dimanja olehnya.

Di balik sabarnya Mama, dia juga pernah menangis. Saat itu, aku sering bermimpi ada orang yang menangis sambil menyebut-nyebut nama Tuhan. Dan apa yang ia katakan selalu sama. Kalau tidak melantunkan shalawat sambil menangis, ya berdo'a sambil menangis. Aku kira itu hanya suara di alam mimpi, tapi anehnya itu terjadi berulang-ulang. Sampai aku sadar, itu adalah suara Mama yang sedang berdo'a di tengah malam.

"Mama?" kataku kala itu, setengah sadar aku berusaha menghampirinya. Dia menengok ke arahku, dan mengusap air matanya.

"Kok bangun? Mama berisik ya?" ujarnya sambil menarikku ke dalam pangkuannya.

"Enggak, kok Mama nangis?" tanyaku polos. Yang aku tahu, mama habis sholat, dan aku bingung mengapa setiap kali sholat Mama selalu menangis.

"Gakpapa. Mama cuma minta ke Allah biar kita sekeluarga masuk surga. Terus, biar Fia nanti jadi anak yang sholehah. Biar Papa, Mas Umam, dan Mba Ulya juga selalu dirahmatin Allah." Dia memelukku, mengecup puncak kepalaku. Usiaku kala itu baru 4 tahun, masih ingusan dan tidak tahu apa-apa. Jadi, aku hanya bisa diam dipangkuan Mama, dan tertidur di dalam hangat peluknya.

"Loh? Ngapain bengong di situ? Mending bantuin Mama sinih." Suara merdu itu membuyarkan lamunanku. Memaksaku kembali ke masa yang sekarang di mana aku berdiri. Aku pun mengangguk, dan mulai membantunya memasak.

Mama, kini anakmu telah tumbuh besar. Tiada maaf yang cukup untuk menebus kesalahanku dulu, kenalakanku, kecerobohanku, dan semua luka yang ku berikan padamu. Tapi, tiada kata terlambat untuk selalu membuatmu tersenyum setiap harinya. Aku akan menggunakan setiap kesempatan untuk selalu di dekatmu. Aku belajar mencintaimu, sama seperti kau mencintaiku. Dari anakmu tersayang, Fiatuzzahro.

• END •

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top