Bunda Piara by Chaphine
Bunda Piara by pak Dal
• • •
Bila ku ingat lelah ayah bunda
Bunda piara piara akan daku
Sehingga aku besarlah
Mataku menatap bintang dan bulan yang bersinar indah. Angin seolah menyapaku di malam sunyi.
Waktu ku kecil hidupku
Amatlah senang
Senang dipangku-dipangku di peluknya
Aku menghela napas. Lagu ini ... ah, apa pendapat kalian tentang lagu ini? Iya lagu ini. Lagu Bunda Piara.
Serta dicium-dicium di manjakan
Lagu sedih atau lagu bahagia?
Namanya kesayangan
Menurutku, ini lagu galau atau sedih. Kenapa lagu kesedihan?
Karena--
"B*ngsat! Kemana tuh anak! Bukannya nyiapin makanan!"
--karena itu.
"Uang kita 'kan sudah habis, Ayah, bagaimana aku bisa memasak?" tanyaku sambil menunduk. Iya menunduk. Aku tidak berani menatap matanya yang seolah ingin membunuhku.
Plak!
Dia menamparku. Cih! Ahahaha aku gila. Sudah gila. "Maaf."
"Aku lapar! Pergi sana! Ngemis sama kucing!" ucapnya. Ia mendorongku dan membanting pintu.
"Ayah! Aku mau masuk! Di sini dingin!" Aku mengetuk pintu dengan keras. "Ayah, tolong!"
Hening. Tidak ada jawaban. Aku segera berjalan sambil menatap langit. Berharap sesuatu akan terjadi. Berharap aku akan terlahir di kelarga yang lebih baik.
Waktuku kecil hidup amatlah senang
Senang dipangku-dipangku dipeluknya
Sehingga aku besarlah
Langkahku berhenti. Aku memutar kepalaku. Mencari sumber suara. Seorang anak perempuan sedang bermain sambil bersenandung.
kakiku melangkah ke sana. Menatap kosong anak yang sedang bermain itu. Anak itu menatapku takut.
"Kakak siapa?" tanyanya. Ia memeluk boneka teddy bear pinknya.
Aku tidak menjawab. Aku duduk di sampingnya dan menunduk. "Bolehkah kau bernyanyi itu untukku?" tanyaku.
Anak kecil itu terdiam menatapku. Beberapa detik kemudian dia mengangguk.
Bilaku ingat lelah ayah bunda
Bunda piara piara akan daku
Sehingga aku besarlah
Anak kecil itu berhenti. Dia menatapku. "Lanjutkan, ku mohon ...," ucapku.
Waktu ku kecil hidupku amatlah senang
Air mataku jatuh perlahan. Mulutku terbuka ingin ikut bernyanyi. Namun, suaraku seolah menghilang.
Senang dipangku-dipangku di peluknya
Serta dicium-dicium dimanjakan
Anak kecil itu berhenti lagi. Ia menatapku. Aku mulai terisak. Aku mendengar anak itu menghela napas berat.
Namanya kesayangan
Aku menangis sekeras-kerasnya. Bodoh. Iya aku bodoh, menangis di depan anak kecil yang polos. Tangan mungilnya mengusap kepalaku perlahan. Aku mengangkat wajahku.
Bingung juga kenapa dia bisa mengusap kepalaku seperti itu. Aku mendapati ia sedang berdiri di depanku dengan senyuman manis.
"Kakak jangan nangis," ucapnya lembut.
Aku tersenyum miris. "Kau masih kecil, tidak akan mengerti rasanya."
Memoriku terlempar kemasa-masa aku merasa hidup.
"Ayah belenti! Tia atut inggi!" ucapku dengan cadel.
"Lho, ini seru lho sayang ...," ucapnya lembut. Ia mengecup keningku dan membiarkan kakiku menyentuh tanah. Aku segera berlari menuju ibu.
"Bu!!!" teriaku. Aku berlari dengan cepat.
"Tia! Awas nak!" teriak Ibuku. Aku malah berhenti tepat di tengah jalan. Memandang kosong mobil yang kian mendekat.
Yang terakhir aku lihat adalah sebuah tangan. Tangan yang lembut yang sering membelaiku.
***
"Ayah! Ibu ana! Kok endak bangun-bangun cih ...."
"Napa Ibu tidul di dalem tanah?"
"Kenapa ayah diem aja?"
"DIAM!" Teriaknya. Untuk pertama kalinya ia membentakku. "Tidak akan ada lagi Ayah yang baik hati!"
"Kakak! Bangun! Kakak kenapa! Huaaaa!"
Aku mengerjapkan mataku. Apa yang aku lakukan di sini? Aku menatap anak tadi yang mulai menangis. Bahkan sekarang ada kedua orang tuanya di sisinya.
Jadi malu.
"Ah, maaf saya tadi hanya--"
"Saya mengerti perasaanmu," potongnya. Ibu itu tersenyum manis menatapku. "Tapi kamu harus tau ...."
"Tau apa?"
"Tuhan mengasihimu," ucapnya lagi. Kali ini dengan senyuman yang jauh lebih manis dari tadi. Senyuman yang seolah mendamaikan hatiku yang kacau.
Senyuman seorang Ibu. Senyuman seorang ibu yang sangat aku rindukan.
Namun ...
Dia tetap bukan Ibuku. Dan hidupku memabg tidak akan mudah. Namun, dia memberi tahuku bahwa ada Tuhan yang mengasihiku.
Ada Tuhan yang tahu semua yang tetbaik untukku. Semuanya adalah misteri. Namun, aku harus tetap percaya. Percaya dan setia.
"Terima kasih, Bu."
"Kamu boleh main ke sini setiap waktu," ucap pria yang ada di sebelah Ibu itu.
"Kami punya teman baru!! Yey!! Kakak!!" ucap banyak suara dari belakangku. Aku menoleh. Terkejut bukan main.
Pria itu menepuk bahuku. "Ini adalah panti asuhan, nak. Dan mereka terlihat bahagia bukan?"
Aku menelan ludah. Jadi anak ini ... dia malah tersenyum dan tertawa sementara dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua?
Aku menatap anak itu. Ia sudah berlari menuju teman-temannya.
"Semua akan dapat yang terbaik, sekarang bersyukurlah."
--THE END--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top