Sahabat Kecil - Ipang

Dipersembahkan oleh queen rzkann

--

Baru saja berakhir, hujan di sore ini...

"Berteduh dulu," kataku sambil cemberut. Seragam pramuka yang sudah lecek nampak semakin mengenaskan ketika bercampur dengan rintik air hujan. Walaupun hujan sore ini tidak lebat, tetap saja sekujur tubuh akan basah bila rela menerobosnya. "Kata Ibu, kalau hujan disuruh berteduh dulu. Nanti sakit." Mudah saja bagi keempat temanku untuk menghentikan langkahnya.

Mereka ikut berteduh bersamaku di pos ronda, berdesak-desakan. Saling berbagi tempat agar satu sama lain terlindungi dari hujan. Pos ronda ini cukup sempit bila menampung enam orang sekaligus. Apalagi ditambah dengan ransel masing-masing yang besarnya seperti koper. Jelas saja makin sumpek.

Hujan sudah mereda hanya saja masih menyisakan rinai kecil-kecil. Kami bersepakat untuk meneruskan perjalanan pulang.

"Hey, daun jatinya jangan dihabiskan! Sisakan buatku!" teriakku nyaring. Aku segera ikut memetik daun jati di pinggir jalan bersama teman-teman untuk digunakan sebagai payung karena masih gerimis. Tidak peduli bahwa tanganku bisa menjadi merah karena daun jati yang masih muda.

"Hiii... tanganku berdarah," tutur salah satu temanku, Risa sambil bergidik. Kami semua langsung menyorakinya. Daun jati yang diambil Risa ternyata masih muda. Sangat wajar bila tangannya menjadi merah.

Menyisakan keajaiban, kilauan indahnya pelangi...

"Pelangi!"

Seruan itu membuat kami memandang ke awang-awang. Aku merungut, tidak ada pelangi seperti yang dikatakan Risang. Merasa tertipu aku langsung mencubit lengannya, kesal. Teman-temanku yang lain hanya mengoceh kesal karena berhasil ditipu Risang.

"Aduduh, sakit Qa." Risang mengelus-elus lengannya. "Beneran ada kok. Tuh, tuh kamu injak." Risang menunjuk-nunjuk ke arah kakiku berpijak.

Aku melangkah mundur, teman-teman ikut mengamati bekas pijakanku. Gelak tawa seakan memenuhi rongga hatiku. Pun dengan teman-temanku. Siapa yang mengira kalau pelangi yang dimaksud Risang adalah pelangi yang tercipta di aspal jalan?

Aku menyegir lebar, "Hehe, maaf ya, Sang. Kirain tadi pelangi yang ada di atas." Aku kembali tergelak.

"Makanya jangan sok tahu."  Risang meledek. Belum sempat menghindar, tangannya sudah memegang kepangan rambutku dan...

"Risang!"

Risang kabur melarikan diri dengan terbahak-bahak. Aku mengejar Risang. Enak saja dia memainkan rambutku!

"Cepet-cepetan!"

Teriakan Risang tersebut mengomando kami semua. Aku yang memang mengejarnya cukup beruntung karena dalam posisi yang sudah dekat dengan garis finis yang entah sejak kapan kami sepakati bersama. Yakni pohon jambu biji dan juga aspal yang tertutup semen karena untuk menutup lubang memanjang yang digunakan untuk tempat selang air.

Berbeda dengan Risa, Syifa dan Yogi yang masih dalam posisi di belakang. Mereka saling menarik tas satu sama lain agar tidak tertinggal.

"Lepas, Ris!" Yogi berteriak histeris karena tasnya ditarik Risa. Dengan kesal ia juga menarik tas Risa. Seperti biasa, keduanya perang adu mulut. Memanfaatkan keadaan, Syifa semakin mempercepat kecepatan berlarinya, meninggalkan dua sejoli yang masih memiliki hubungan darah itu.

Dengan terengah-engah, Syifa ikut duduk selonjoran bersama Risang. "Kesel, Cah!"

"Sama," balasku dengan napas yang masih memburu.

"Eh, sadar nggak sih kalian?" Risang bergantian menatapku dan Syifa.

"Apa?" tanyaku dan Syifa serempak.

"Liat deh. Percuma kita tadi berteduh. Di sini nggak hujan, cuy," jawab Risang sambil mengeluarkan mimik wajah melas.

Benar. Tanjakan ini bahkan tidak basah oleh tetesan air hujan. Gerimis pun tidak. Ya Tuhan!

"Yey, aku menang!" Risa datang dengan sorakan cemprengnya. Tak lupa menjulurkan lidahnya meledek Yogi yang pastinya kalah dalam perlombaan lari kali ini.

"Risa curang," adu Yogi dengan wajahnya yang sudah memerah. Tanda bahwa ia kesal.

"Sudah, sudah." Risang menengahi. "Udah sore nih. Lagian di sini nggak hujan ternyata," ujar Risang membeberkan fakta kepada Risa dan Yogi yang sepertinya belum menyadari bahwa di sini tidak hujan.

"Pelangi," tuturku tanpa sadar. Teman-temanku ikut memandang ke arah mataku yang menatap pelangi dengan takzim. Entah kenapa pelangi sore ini seperti punya sihir tersendiri bagi kami semua.

Kesempatan seperti ini, tak akan bisa dibeli...

"Hei! Maaf ya telat. Kalian apa kabar?" tanyaku sambil memeluk Risang dari belakang. Membuatnya sedikit terkejut.

"Baik dong," suara Risa menyahut renyah. Tangannya ia rentangkan lebar, segera saja aku memeluknya. Diikuti dengan Syifa yang masih mengunyah makanan.

"Yogi nggak mau meluk Tiqa?" Syifa melempar gumpalan tisu bekas yang baru saja ia gunakan untuk menimpuk Yogi yang terus fokus menatap gawai miliknya. Tidak sadar bahwa aku datang.

Yogi mendongak. "Enggak. Lagian nanggung nih, tinggal dikit lagi, " tuturnya menunjukkan layar gawai yang menampilkan game yang ia mainkan.

"Main game teruuus," cibirku.

"Tau deh. Nggak seru banget." Risang ikut menyahut. Tangan jailnya merebut paksa gawai milik Yogi.

"Ya udah iya, minta maaf." Yogi berkata dengan pasrah. Kami semua tertawa.

Rasanya momen seperti ini sudah jarang terjadi di antara kami. Perbedaan sekolah membuat intensitas bertemu menjadi sangat berkurang. Aku sangat bersyukur, kami semua masih dapat menyempatkan waktu luang untuk kebersamaan semacam ini.

"Kalian belum pesan makanan, ya?" tanyaku sambil mencomot keripik singkong milik Syifa.

"Bosnya aja baru datang, gimana mau pesan makanan?" Risang menyeletuk, meluncurkan aksi menyampaikan pesan tersembunyi.

"Uangku tadi habis buat beli keripik,  ya?" Syifa melemparkan sebuah pertanyaan kepada Risa.

Risa mengangguk, mengiyakan. "Keripiknya mahal. Uangku juga ketinggalan."

Aku meringis, "Yogi nggak mau nambahin kode-kodean mereka?" tanyaku sangsi.

"Nggak perlulah. Cukup kita ditraktir makan sepuasnya aja." Yogi berkata sambil cekikikan.

"Ya ya ya, kalian menang."

Mereka semua tertawa. Aku hanya bisa tertawa hambar, menertawakan diriku sendiri yang jadi korban keisengan sahabat-sahabat kecilku.

Sahabat kecil yang selalu bisa memelukku dengan rona kebahagiaan. Menggenggam tanganku dikala kedinginan. Dan mengingatkanku saat langkah kaki ini di jalan kekeliruan.

"Kira-kira kesempatan kayak gini bisa dibeli nggak, sih?" celetukku disela tawa kebahagiaan (di atas penderitaan orang lain) mereka.

Risang menghentikan tawanya, diikuti yang lainnya. Dahinya mengernyit heran. "Maksudnya?"

Aku menghela napas panjang. "Kita kan udah bukan anak kecil lagi. Kalian tahu kan? Masing-masing dari kita punya cita-cita sendiri, aku ingin jadi dokter, Risang ingin jadi tukang bongkar-bongkar," tawa kecilku menyeruak.

"Apaan tukang bongkar-bongkar!?" ujar Risang tak terima.

Aku mengabaikan Risang dan kembali melanjutkan orasiku, "Yogi ingin jadi gamers hebat, Risa dan Syifa kepingin punya salon merangkap rumah makan. Iya, kan?"

Mereka semua mengangguk, minus Risang yang masih merajuk.

"Kita nanti kan udah jarang ketemu. Yah, aku kepingin aja sih bisa beli momen-momen kayak gini. Walaupun kenyataannya nggak bisa, sih."

"Biar aku inget sama kalian terus," lanjutku.

Risang menggebrak meja, membuat kami semua melotot ke arahnya. "Nikmati, simpan dalam hati, dan kita akan terus bersama. Simpel."

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top