Pelangi - Hivi

Persembahan dari queen-nera

“Cinta yang hadir bagai mentari harus dipatahkan oleh cinta lain yang tak penting, datang bagai bulan yang hakikatnya tak punya cahayanya sendiri.”
__

Untuk : Saffana

Afwan, ana uhibbuki fillah.

Tunggu sampai saya datang ke rumah untuk melamar.

Pipi gadis dengan jilbab putih itu memerah. Siapa lelaki ini dan sejak kapan ia menyukai Saffana? Matanya meluru ke sekeliling, hanya ada dirinya dan Hana.

“Han, kamu lihat orang yang naruh kertas di kolong mejaku?”

Sahabat yang duduk di samping gadis itu bergedek. “Enggak. Emang itu kertas apaan?” Matanya melirik kertas yang segera dilipat oleh Saffana.

“Mm …, enggak kok.” Tangannya cekatan memasukkan kertas itu ke dalam saku kemeja.

Hana curiga menatap wajah temannya bersemu merah. “Hayo … elo ditembak lewat surat itu ya?!” Sedikit mengatur gerak, tangan gadis berambut kepang itu perlahan merogoh saku Saffana. “Kena!” Hana langsung lari menjauh begitu mendapatkan surat itu.

“Hana! Jangan dong, aku malu!” pekik Saffana kewalahan saat berusaha merebut kertas itu dari tangan Hana.

Dengan tubuh tinggi, Hana dapat dengan mudah menjauhkan kertas itu dari sang empunya surat. “Untuk Saffana. Afwan, ana uhibbuki fillah?” Gadis dengan seragam yang sudah berantakan itu berpikir sejenak, mengingat-ingat arti kalimat berbahasa arab itu.

“Artinya apaan sih, Saf? Aku kayak pernah denger kalimat ini.” Bukannya mengembalikan surat itu, Hana malah terdiam sembari mengingat-ingat.

“Siniin, Han!” Keringat semakin deras keluar dari pori-pori kulit Saffana. Ia harus meloncat-loncat untuk meraih surat itu. Namun nihil, ia tak berhasil. Hana juga sangat licik, bisa-bisanya ia naik kursi!

Saffana bisa saja mengikuti akal cerdik Hana, tapi tak mungkin ia melakukan hal serupa karena gadis berparas cantik itu sadar jika ia perempuan yang harus menjaga sikap, tidak seperti Hana yang gendernya diragukan.

Hana memeletkan lidah. Tak peduli dengan raut muka kesal milik Saffana, ia lanjut membaca. “Tunggu sampai saya datang ke rumah untuk melamar.” Mata gadis itu langsung terbelalak. “Gue baru inget! Artinya gue cinta elo karena Allah kan?”

Benar saja, pipi Saffana semakin memerah. Karena rasa penasarannya, Hana turun dari kursi lalu mendekatkan wajahnya. “Saf, elu mau dilamar? Ya ampun … nih cowok punya mental juga ya! Elu masih bocah tahu!”

Segera setelah merebut kembali surat itu, Saffana melipat lalu menyimpannya rapat-rapat dalam tas. “Kan aku enggak minta dilamar, Han. Udahlah aku mau pulang.”

“Bentar deh.” Hana menahan Saffana yang hendak melangkah. “Afwan artinya apaan? Sayang? Ciee …,” goda Hana sambil mencubit pipi Saffana, yang dicubit menautkan kedua alis.

Afwan itu maaf, Hana! Pikirannya kemana-mana deh, nakal!” Gadis lemah lembut itu pura-pura menjewer telinga Hana yang sedikit tertutup rambut berantakan. Ia menenteng tas dan mulai melangkah, meninggalkan Hana ber-oh-ria sendirian.

“Saf, tunggu dong!” teriak Hana yang buru-buru meraih tas dan menyejajarkan langkah. “Gue curiga deh. Jangan-jangan surat itu dari Kak Dillah.”

Tak disangka, perkataan Hana barusan membuat langkah Saffana terhenti. Tatapan matanya nyaris mematahkan senyum jail Hana.

Beberapa detik mata gadis berhijab itu hanya bertatapan dengan milik Hana, seperti ada sinyal tersendiri yang dikirimnya dan Hana mampu menangkap sinyal itu. “Maaf. Afwan, ukhty Saffana ….”

“Aku enggak mau kamu nyebut nama dia lagi.” Muka merah gadis itu sudah padam dan warna merah berganti mendominasi matanya. Ia ingat betul kejadian beberapa hari lalu, saat lelaki itu berhasil menanam benih cinta dalam hatinya lalu merenggut paksa begitu saja seolah cintanya berlabuh pada hati yang salah.

Sakit sekali saat Saffana mengingat cinta itu. Syukur bila lelaki itu merenggut cinta sampai ke akarnya karena tidak akan ada luka yang tersisa. Tapi, laki-laki itu terlalu egois, selain meninggalkan luka, ia juga menyisakan masa lalu yang tak sedap untuk diingat dan dirasakan.

Teringat malam itu. Ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Saffana dengan rambut basah yang digulung menggunakan handuk segera berlari mendekati nakas tempat ponselnya bergetar. Senyum di bibir sudah merekah begitu indah. Membayangkan setiap kata yang akan ia baca sudah bisa membuat hatinya berbunga-bunga.

Namun, seketika bayang-bayang itu diruntuhkan oleh foto lelaki yang ia cintai sedang bersanding dengan gadis lain. Senyum itu terukir begitu lebar, menghias dua wajah yang terpampang di layar. Bahkan, memori saat Abdillah menuturkan petuah tentang cinta dan perasaan masih terngiang di kepalanya.

“Saling mencintai karena Allah tak akan menumbuhkan luka dan tangisan. Jika patah hati adalah risiko terbesar jatuh cinta, maka kebahagiaan adalah risiko terindah saling mencintai karena Allah. Kamu, jangan jatuh cinta pada lelaki lain, sebab kamu tahu sendiri aku mencintaimu karena Allah dan pasti akan memberimu kebahagiaan, insya Allah sampai di surga-Nya.”

Saffana mengusap air mata yang sudah beranak pinak. Hatinya masih tak mempercayai kenyataan ini. Mengapa laki-laki itu melanggar sendiri aturan yang jelas-jelas ia berikan kepada Saffana?

Gadis yang masih termangu itu memang sudah memutuskan hubungan tak halal mereka beberapa hari sebelum kejadian menyakitkan itu. Tapi Abdillah sudah berjanji akan menjaga hati sampai nanti mereka bersanding di pelaminan dan diikat dengan akad.

Kenapa ucapan cinta itu hanya sampai di mulutnya saja? Bahkan untuk menjaga hati ia tak sanggup, apalagi untuk mencintai dan menyayangi Saffana sampai ke surga? Hati gadis itu hanya dijadikan tempat persinggahan. Saffana merasa ini tak adil.
Apa terlalu egois jika Saffana meminta Abdillah untuk terus mencintainya? Apakah salah jika Saffana berharap Abdillah akan menjadi miliknya selamanya? Apa salah jika Saffana ingin menjadi pelabuhan pertama dan terakhir untuk hati lelaki yang ia cintai?

Ini adalah kali pertama ia jatuh cinta, tapi pada saat yang bersamaan, hatinya berhasil dipatahkan. Saffana hampir saja tak percaya akan cinta, tapi hubungan Abi dan Uminya membuat ia yakin bahwa suatu hari nanti Tuhan akan mengirimkan pangeran yang akan menggenggam erat jemarinya dan tak akan pernah melepas genggaman itu. Pangeran yang dikirimkan khusus untuk dirinya, bukan untuk dipinjamkan ke gadis lain.

“Awas, Saf!” Hana terperanjat ketika mendapati Saffana yang hampir terjatuh akibat melamun saat menuruni tangga. Tangannya erat mencengkeram lengan atas milik sahabatnya. “Elu gila ya?! Bisa enggak sih jalan yang bener?! Pake mata dong, ah!” bentak Hana dengan matanya yang sudah memerah, yang ia teriaki hanya bisa mengerjap beberapa kali.

“Eh, makasih, Han.” Seraya menegakkan badan, Saffana meraih pagar pembatas tangga. Ia kembali melanjutkan langkah gontainya. Hana bersungut di belakang. Ia setengah menyesal karena telah menyebut nama laki-laki itu. Lelaki yang sudah memporak-porandakan hati Saffana. Sebenarnya ia ingin membalas perbuatan Abdillah, tapi sayang, kakak kelasnya itu sudah naik jenjang pendidikan.

Untuk kedua kalinya, Saffana menghentikan langkah tiba-tiba. Jika Hana tak was-was, pasti tubuhnya sudah berhantaman dengan milik Saffana. “Kenapa, Saf?”

Gadis yang ditanya itu langsung berbalik arah.

“Saf?” Hana kembali membuntuti.

“Aku mau ambil botol minumku, ketinggalan di kelas.”

Hana membuang napas sambil membuka langkah berat. Matanya tak berpaling dari wajah gelisah Saffana. Ia menyesal bukan main. Selama perjalanan, ia tak berucap sedikit pun. Jika sudah merasa bersalah, Hana memilih untuk diam.

Ada pemandangan yang mencengangkan begitu mereka sampai di kelas. Di dalam ruangan tak sempit itu, ada seorang lelaki berkacamata yang tengah merogoh-rogoh kolong meja Saffana. Gadis itu langsung mematung di tempat, sedangkan lelaki yang tidak ia kenal itu segera menyadari kedatangannya dan Hana.

“Diza?” Mata Hana menyipit. Kakinya melangkah mendekat. “Ngapain lo?”

Lelaki itu hanya terdiam lalu membenarkan kacamatanya.
Setelah beredar ke seluruh tubuh Diza, mata Hana terpaku pada kemara yang terkalung di leher lelaki berperawakan tinggi itu. “Oh, lagi kerjain tugas ekskul? Duh, gesit banget sih. Gue aja belum ambil satu gambar pun.”

“Eh, iya iya bener,” jawab Diza terbata-bata.

“Coba lihat hasilnya!” Hana mendekati Diza lalu mencoba meraih kameranya. Tangan panjang gadis itu tak sengaja menyenggol lengan Diza. Spontan lelaki itu langsung menjauh.

“Maaf, Han, bukan mahram.” Diza membenarkan letak kacamata lalu melanjutkan, “Aku belum sempet ambil tadi. Baru mau nyari spot yang bagus,” dalih Diza, ia berusaha memasang ekspresi meyakinkan. Lelaki itu memang tak pandai berbohong.

Tak disangka, Hana mempercayai ucapannya. Gadis itu manggut-manggut lalu mendekati meja Saffana. “Ah, ini botolmu ya, Saf?”

Saffana mengangguk ragu. Entah, tatapannya tak bisa diartikan.

Setelah mengambil botol itu, Hana berjalan mendekati Saffana. “Yodah yuk pulang. Jangan ngelamun lagi ntar beneran jatoh di tangga loh!” omelnya seraya merangkul tangan Saffana.

“Diz, gue balik dulu ya! Kalo mau kerjain tugas gue sekalian juga boleh,” canda Hana dengan senyum nakal. Sedangkan Saffana masih mematung. Tatapannya terfokus pada lelaki berkacamata yang baru pertama kali ia temui. Laki-laki itu jelas sedang salah tingkah. Sayangnya, Saffana bisa membaca gerak tubuhnya.

Jika memang lelaki yang saat ini berdiri di hadapanya adalah jodoh yang dikirim oleh Allah, Saffana akan menerimanya dengan ikhlas. Tidak dengan hubungan yang sok-sokan melibatkan Allah tapi tetap berujung dengan rasa sakit. Sangat jelas jika itu bukan cinta, apalagi cinta karena Allah. Seperti cinta Abdillah yang dituturkan begitu indah dan ditangkap dengan senang hati oleh telinga Saffana. Pada akhirnya, semua terasa menyakitkan, bukan? Dan Saffana tak akan jatuh di lubang yang sama.

“Udah enggak usah mikirin surat itu. Ayok!” ajak Hana sambil menarik lengan Saffana.

Di selasar, tiba-tiba Hana menghentikan langkah. “Eh bentar deh.” Untung Saffana dalam keadaan sadar seratus persen sehingga tubuh mereka tak bertubrukan. “Kenapa, Han?”

“Kok dia enggak ambil foto di kelasnya aja?” Pertanyaan Hana berhasil membuat Saffana tersipu malu. “Elu senyum?” Hana jadi heran sendiri melihat perubahan sikap temannya.

“Itu enggak penting.” Dengan ringan, Saffana mengucap tiga kata itu. Giliran Hana yang menautkan kedua alis. “Udah yok pulang.” Tangan kurus milik gadis itu segera meraih lengan Hana.

“Hayo kenapa?” Melihat Saffana yang sudah bisa tersenyum menjadikan Hana merasa leluasa untuk menjailinya.

Tak ingin membuang waktu, Saffana langsung melangkah seraya menarik lengan sahabatnya. Toh mobil hitam sudah menunggunya di depan gerbang. Ia tak mau ditinggal kakaknya lagi.

“Cerita dong, Saf.” Hana masih merengek minta diceritakan. Penyakit kepo tingkat akutnya belum juga sembuh. Terpaksa, Saffana harus membuat kecewa teman karibnya itu karena baru bisa bercerita nanti malam, tentu lewat chat. Atau tidak menceritakannya sama sekali. Hanya Saffana dan Diza yang berhak tahu. Dan tentunya, Allah.

Setelah berpamitan dengan Hana-yang masih menekuk wajah, Saffana masuk mobil. Ia tak menggubris omelan Kak Farhan yang tidak ada habisnya.

Dari pada pusing-pusing menanggapi kakaknya, Saffana lebih memilih melempar pandangan ke luar jendela kaca. Senyum tipis menghias cantik wajah manisnya. Aku akan menunggumu, Diza.

Tidak butuh mutiara terindah di dunia untuk membuat orang jatuh cinta. Hanya dengan sepucuk surat dengan tinta ketulusan sudah cukup membuat orang yang kau cintai luluh seketika. Apalagi dengan janji dan akad. Namun, jangan pernah lupa untuk tetap datang saat orang yang kau cintai duduk di samping walinya, menunggumu hadir menepati janji yang sudah dinanti.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top