Cukup Tahu - Rizky Febian

Dipersembahkan oleh Queen onlyelaine

Kamu terburu-buru. Kedua kakimu berayun terlampau cepat seolah berkejaran satu sama lain menyusuri koridor kampus pada hari yang lagi-lagi diselimuti mendung tanpa hujan. Beberapa hari terakhir, lembap cenderung dingin mendominasi cuaca padahal saat ini pertengahan tahun. Menyebabkan sang fajar lebih banyak bersembunyi di balik awan ketimbang berpongah diri di pelataran langit. Hal tersebut berujung pada nasib bunga mawar yang kamu tanam di halaman kos. Dia terlambat mekar dari waktu yang seharusnya. Namun tidak mengurangi kecantikannya sama sekali.

Sembari tetap berjalan, kamu mengawasi sebatang mawar di tangan. Kamu memilihnya untuk dicabut lantaran menurutmu dia paling cantik di antara yang berhasil mekar pagi ini. Mahkotanya yang semerah darah mampu menutupi duri-duri bengis pada batangnya. Kamu tersenyum sangat lebar. Hari ini, kamu akan mengantarkan si mawar cantik kepada gadis yang kamu anggap paling cantik seminggu belakangan.

Sebelum tiba di mulut koridor, langkahmu berhenti karena telah berhasil menemukan yang kamu cari. Bibirmu kembali melengkungkan sebuah senyum mabuk kepayang. Kamu benar-benar menyukai gadis itu, sampai membuatmu hilang akal dan tersenyum-senyum sendiri persis orang gila hanya karena melihat sosoknya. Kamu tidak menyerukan namanya, akan tetapi dia berpaling ke arahmu. Mengibaskan rambut hitam lurusnya yang tidak diikat hingga bertengger di bahu. Spontan kamu menelan ludah.

"Hai." Dia berjalan ke arahmu dengan langkah yang sedikit gontai akibat tumpukan buku yang sedang dia peluk di kedua tangan, setinggi dada. Kamu melihat ada satu, dua, dan tiga diktat yang bisa jadi sebuahnya berukuran satu kilogram.

Dengan penuh inisiatif, kamu meletakkan mawar di tumpukan buku teratas. Dan dengan cepat kamu mengambil alih pekerjaan dia, serupa pemuda gagah perkasa dalam film romansa.

"Bisa tolong bawakan itu semua ke kosmu? Aku harus pergi. Nanti kujemput ke kosmu." Dia memijat-mijat telapak tangan yang terasa kram.

Kamu membaca sekilas sampul buku teratas yang bernada mirip dengan judul skripsi dia. Lantas kamu mengangguk mantap sebagai jawaban. "Memang kau mau ke mana?" Kamu berinisiatif bertanya.

Tanpa disangka, pertanyaanmu justru memunculkan semburat merah di permukaan pipi gadis berlesung pipi itu. Dia mengawasi lantai lebih dulu selama beberapa detik seraya dua telunjuknya saling terkait. Kemudian dia menatapmu lagi untuk menjawab, "Irfan mengajakku makan siang. Dia bilang ada yang mau dibicarakan denganku." Senyum malu-malu kesukaanmu kini terarah kepadamu, sepenuhnya. Namun senyuman itu muncul dikarenakan orang lain. Dan karena satu alasan tersebut, senyum itu tersulap menjadi amat sangat jelek.

Di antara amarah yang meletup-letup serupa berondong jagung dalam panci bertutup, kamu berhasil mengingat sosok bernama Irfan. Lelaki kaum borjuis yang kerap mengandalkan kedigdayaan jabatan orang tua.

"Tapi kau kan harus mengerjakan data skripsimu yang masih bersalahan." Kamu berubah menjadi egois dalam hitungan detik. Kamu berusaha mencegahnya pergi agar kesempatanmu mendapatkannya tetap terbuka lebar.

"Ah, soal itu." Dia melebarkan mulut hingga dua baris giginya kelihatan. Lalu dia mengangkat sebelah tangan hingga ke balik punggung, "Kalau bisa tolong sekalian kerjakan dataku. Buku-buku itu bisa membantumu." Dia meringis. Seharusnya terlihat imut dan lucu, akan tetapi suasananya sama sekali tidak mendukung bagimu untuk menikmati ekspresi itu.

"Iya, tentu saja, tapi … " Lidahmu kelu, tak mampu melanjutkan ucapan kala suara klakson mendengung nyaring di udara.

Kamu dan dia menoleh ke arah yang sama dengan serentak. Irfan terlihat menurunkan kacamata hitamnya dari batang hidung di balik kemudi sedan tanpa atap itu. Kamu melirik tajam pada senyum menjijikkan yang ditampilkan anak manja sombong tersebut kemudian berganti menatap gadis di hadapanmu. Dia pun membelokkan leher kembali menatapmu.

"Tolong kerjakan ya." Lalu dia mendekati wajahmu dan berhenti tepat di samping telingamu. "Doakan agar cintaku pada Irfan terbalas." Bisikannya menggelitiki liang-liang telingamu. Kemudian langkah kakinya yang menghentak-hentak menjauhi ujung koridor menyadarkanmu dari angan-angan semu.

Dalam hening yang dibungkus keramaian lalu lalang para mahasiswa, kamu memandangi mawar yang masih bergolek di atas buku di depan dada. Pelan-pelan jemari tanganmu mulai terasa kram dan mati rasa. Tak lama peganganmu terlepas selaras dengan hati yang diajak menyapa realita. Buku-buku itu jatuh tepat di atas ujung kakimu yang berbalut sepatu olahraga. Ngilu. Jempol kakimu terasa basah. Mungkin darah. Tetapi kamu abaikan. Saat ini bagian yang terasa paling sakit hanya hatimu.

Di balik matamu yang mulai berkaca-kaca, kamu temukan mawar ikut tergeletak di lantai. Lantas kamu berlutut dengan sebelah kaki dan mengutipnya. Lalu tanpa sengaja kamu melukai jarimu juga dengan menyentuh durinya. Perih, akan tetapi tak sebanding dengan luka di hatimu. Halus namun tertancap dalam sekali.

Kamu berdiri tegak kembali, seolah menolak larut dalam kenyataan pahit terlalu lama. Kamu menyentakkan napas pendek satu kali lalu membuang mawar hasil piaraanmu ke tong sampah dengan sekali lempar. Kemudian kamu tendang buku-buku pemberian Bianna dengan sepenuh hati. Dengan begitu, hatimu menjadi lapang. Lalu kamu menyeringai puas.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top