..: Bab 2 :..

Dia berbohong ketika mengatakan bahwa tamparan dari ibunya tidak menyakitinya. Tetapi dia juga jujur bahwa sikap ibunya yang membuatnya menjauhi mereka yang disayanginya, menyakitinya begitu buruk. Seharusnya dia tidak perlu memiliki rasa sayang kepada siapa pun jika pada akhirnya, hanya kepedihan yang akan dia dapatkan.

Tubuh Ainsley meluruh begitu dia berada di kamarnya yang nyaman. Pintu gandanya telah tertutup sempurna. Dinding kamar dengan ornamen bunga buttercup menyebar di sana. Ainsley membenci karangan bunga yang ia beli setiap tiga hari sekali untuk sang ibu. Tetapi dia menyukai bunga buttercup. Teramat menyukainya karena diingatannya, dia memiliki padang tersembunyi di belakang red hill yang hanya dirinya dan adiknya yang tahu.

Dia menyukai ketika Catriona merengek memintanya membawanya ke sana. Sembunyi dan mengendap melalui rimbun pohon yang mengelilingi kastil Thompson. Dan setelahnya, mereka akan berbaring di antara hamparan bunga berwarna kenari itu sembari tertawa senang.

Ainsley memejamkan matanya. Berusaha mengingat bagaimana udara sejuk yang berbau buttercup terhampar di sekelilingnya. Dia juga membayangkan gemerisik angin yang membelai helaian dedaunan sehingga sering kali, dia seolah mendengar suara lonceng. Masa kecil Ainsley sempurna. Dia merasa hidup sebagai seorang putri dengan berbagai keajaiban yang selalu membuatnya tersenyum sangat lebar. Setidaknya dia pernah merasakannya sebelum kedua orang tuanya bersikap egois dan memutuskan menjauhkan diri satu sama lain.

Ainsley berusaha untuk tidak seegois mereka. Tetapi, ketika ibunya mendorongnya hingga sejauh ini, mungkin tibalah saatnya ia harus menjadi egois. Ia akan pergi. Ia akan menemukan kebahagiaannya sendiri.

Ainsley lalu bangun dengan sedikit terhuyung. Sedikit pening selalu muncul ketika dia menangis. Tetapi keputusannya sudah bulat. Ia akan pergi ke tempat tidak ada seorang pun mengenalinya. Dia tidak perlu menyayangi orang lain karena dia telah belajar bahwa dirinya akan selalu menderita pada akhirnya.

Tangan lembutnya mengusap wajahnya dengan kasar. Ainsley lalu meraih teko di sudut kamarnya. Menuangkan air ke dalam gelas dan menghabiskannya hingga tandas. Genggamannya mengerat. Tekadnya sudah bulat.

Dia lalu bergegas membuka lemarinya. Memilah gaun yang sekiranya bisa dia bawa untuk memulai kembali hidupnya. Sepuluh gaun sepertinya cukup, pikirnya. Ia juga akan membawa beberapa bonet. Sedikit sepatu. Dan, jangan lupakan buku-bukunya! Mereka pasti akan berguna, bukan?

Ainsley menumpuknya di atas ranjang. Membuat gunungan barang demi misi kaburnya yang sangat-sangat merepotkan.

"Tidak ada orang yang kabur dengan membawa sebuah peti," gumamnya frustrasi ketika ia memasukan barang-barang itu dan tetap tidak cukup untuk menampungnya. "Itu tindakan bodoh, Ally..."

Dia terduduk di atas karpet kamarnya dengan lemas. Ini salah ibunya karena membesarkannya menjadi seorang gadis layaknya bangsawan Inggris. Dia selalu ingin tampil sempurna sebagai seorang wanita.

Seorang wanita....

Kepala Ainsley tersentak ketika sebuah ide mendatanginya.

"Aku akan memulai hidupku sebagai Young Lee!" putusnya cepat.

Dia lalu mengambil peti kecil di bawah tempat tidurnya. Menemukan kostum Young Lee yang Zachy berikan untuknya enam bulan yang lalu. Dia juga menemukan kantong uang berisi dua ribu poundsterling di sana. Uang yang awalnya akan dirinya gunakan untuk bermain judi malam ini.

Uh oh!

Ainsley dengan cepat berganti pakaian. Membebat dadanya dengan kain sehingga tidak akan ada yang melihat bukti feminim dalam dirinya. Kemeja cokelat dan rompi kebanggaannya akan membuat lekuk tubuhnya tertutupi. Celana selututnya memeluk kaki jenjangnya dengan sempurna. Aisnley lalu memakai sepatu boots berwarna hitam setinggi lutut. Dan terakhir... dia mengikat rambut cokelat kemerahannya. Memasukan helaian panjangnya ke dalam topi sehingga orang-orang tidak akan menyangka dirinya memiliki surai indah yang sangat terawat.

Dengan penampilan seorang pria, Aisnley hanya akan membutuhkan sebuah tas serut untuk dia bawa. Dia akan membawa uangnya dan sedikit makanan yang entah bagaiman, selalu berhasil Leslie susupkan ke dalam kamarnya. Sebuah buku yang mungkin akan menemani kebosanan dalam perjalanannya. Dia akan melakukan perjalanan panjang dan tempat yang akan dia tuju adalah daratan Amerika.

Dia ingin pergi ke sana. Jauh dari Inggris dan Skotlandia. Jauh dari orang-orang yang mengenalnya.

Sudut-sudut bibirnya lalu tertarik ke bawah. Dia mengamati lagi kamarnya yang kini terlihat berantakan dengan gunungan pakaian di atas tempat tidurnya. Ini kali terakhir dirinya akan melihatnya, namun dirinya tidak yakin bahwa ia akan merindukan tempat ini.

Ainsley lalu meraih mantel panjang milik Zachy. Dia akan menemuinya malam ini di dermaga. Zachy pasti memiliki kenalan nakhoda yang bisa membawanya ke Amerika dan dengan sedikit bujukan, Ainsley yakin Zachy akan membantunya untuk pergi.

Ainsley berniat melompat dari jendela kamarnya. Menemukan sebuah surat di atas meja samping tempat tidurnya. Ia mengambilnya cepat, tidak memiliki waktu untuk membacanya dan membuatnya terlalu lama.

Sebentar lagi waktu makan malam. Leslie pasti akan memanggilnya meski dirinya yakin Leslie cukup tahu bagaimana dampak pertengkarannya dengan sang ibu. Leslie cukup bijaksana untuk membiarkannya sendirian dan baru akan mengganggunya besok. Ketika itu terjadi, Ainsley akan memastikan dirinya sudah berada di atas perairan yang membawanya pergi.

***

"Segelas bir, Pelaut!" Suara berat terdengar di samping Ainsley. Pria itu besar dan tinggi. Berbaju mahal dan tidak pantas berada di bar kumuh di sekitar dermaga. Hanya para nelayan dan pelaut yang sering singgah. Beberapa penjudi berada di sisi lain. Memainkan permainan yang belum pernah Young Lee menangkan sekali pun. Tetapi tidak. Dia tidak akan berjudi malam ini. Dirinya hanya memiliki dua ribu poundsterling yang harus mengantarkannya sampai ke Amerika.

"Kau terlalu muda berada di sini," desis suara berat di samping Young Lee. Pria itu meliriknya dari samping. Memberikan tatapan tidak suka yang terasa tajam. Siapa dia? Ainsley tidak mengenalnya.

"Itu bukan urusanmu," desis Ainsley dengan suara seraknya. Ainsley melatih cara bicaranya dengan Zachy. Membuat orang-orang yakin bahwa dia layaknya pria muda yang memiliki suara serak yang aneh.

"Di sini bukan tempatmu! Kau terlalu memaksakan diri menjejalkan diri di antara sampah-sampah ini," komentarnya yang membuat dengusan kesal dari Helix, sang bartender sekaligus pemilik bar kumuh ini.

Ainsley mengeratkan pegangannya di gelas birnya. Menyadari kebenaran ucapan pria di sampingnya.

"Minumanmu, Milord!" Sentak Helix dengan menyodorkan dengan kasar gelas birnya yang berbuih seperti ombak di lautan. Menjijikan untuk sekadar mampir di lidah pria yang jelas terlihat terhormat.

Beberapa orang yang mendengar komentar pria itu terkekeh geli. Membuat lelucon tentang lord yang meminum bir serupa air seni kuda di bar murahan berbau ikan. Luar biasa.

"Mereka sangat kasar," desis pria itu kesal.

Ainsley meringis. Kasar bahkan terlalu halus untuk menyebut mereka. Tetapi bukan berarti mereka adalah orang-orang yang jahat. Sebagian pengunjung malam ini adalah orang-orang yang pernah Ainsley lihat sebelumnya. Para nelayan yang mengusir penat sembari bercengkrama bersama rekan senasibnya. Beberapa adalah orang baik yang telah banyak kehilangan. Bersenang-senang dan mabuk untuk mengharapkan sedikit rasa senang di dalam hidupnya akan merana.

Zachy yang membawanya kemari. Memperlihatkan kepada Ainsley bahwa kehidupan bisa terlalu kejam untuk orang lain. Memaksa Ainsley untuk sedikit bersyukur bahwa setidaknya mereka yang dia sayangi masih hidup. Meski kemudian, Ainsley merasa berada di bagian yang sama. Berjudi dan kalah. Berharap uangnya berguna untuk beberapa orang baik di bar kumuh ini. Dan berharap bahwa tingkah lakunya, membuat seseorang sadar bahwa dirinya ada dan masih hidup.

Seharusnya Ainsley segera mencari Zachy. Tetapi dia tidak memperhitungkan bahwa pria itu bisa berada di mana saja, di dermaga ini. Kakinya yang membawanya ke bar ini. Sekali lagi berharap bisa bertemu dengannya atau menemukan orang yang akan membawanya.

"Benar. Bernard akan berlayar dini hari ini. Ke Amerika dia akan pergi," pembicaraan pria tua di belakangnya menyadarkannya dari lamunannya.

"Kurasa dia tidak akan kembali lagi ke sini?" ujar pria lainnya yang berada di depan pria tua itu.

"Bernard tidak menemukan apapun di sini. Dia pasti sudah menyerah dan akan kembali ke asalnya." Pria tua itu lalu tertawa. "Kita harus menemuinya di galangan nomor tiga. Dia pantas mendapatkan salam perpisahan yang layak!"

Mata Ainsley bersinar. Instingnya benar bahwa dia berada di tempat yang tepat. Dia akan ke galangan nomor tiga. Menemukan seseorang bernama Bernard yang akan membawanya pergi dari sini.

Pegangam tangan Ainsley di gelasnya mengendur. Dia lalu menjentikkan uang logam kepada Helix dan mengusap topinya.

"Kau akan pergi? Bahkan kau belum bermain!" Kerutan muncul di antara mata Helix. Pria itu peduli kepada Young Lee dan sedikit khawatir karena tidak ada pria dengan julukan Captain bersamanya. Itu tidak pernah terjadi. Mereka selalu berdua ketika berada di sini.

"Tidak kali ini, Bung!" Young Lee lalu menepuk pundak Helix. Menyeringai kepadanya sebelum dia berbisik dengan sangat lirih, "Selamat tinggal."

Ainsley berputar untuk keluar. Menemukan tembok besar yang menghalanginya dengan bau apak yang berpendar di sekelilingnya. Tubuhnya membeku ketika dia menemukan boots berwarna merah darah yang usam. Semakin membeku lagi ketika suara berat yang keji menyapanya, "Apa kabar, Young Lee?"

Bibir Ainsley menipis. Dia mendongak dan bersitatap dengan netra abu-abu keji milik pria itu. Benyamin. Pria yang memiliki sejarah tidak menyenangkan dengannya. Orang kasar pemarah yang hampir membunuh kawannya karena kalah di meja judi. Pria licik yang menggunakan trik kotor untuk menang. Dia adalah pria terburuk di dunia yang pernah Ainsley temui. Dan saat ini, Ainsley yakin bahwa Benyamin tidak akan melepaskannya.

"Masih suka bermain-main di sarang serigala, huh?" Ejek Benyamin yang mengundang tawa dua pria besar di belakangnya. Ainsley belum pernah melihat mereka. Tetapi sikap dan mata mereka telah menunjukkan bahwa mereka sama buruknya dengan Benyamin. Pria yang menjijikan.

"Aku tidak memiliki waktu untukmu," desis Ainsley tajam. Tubuh kurusnya berusaha menyelinap. Tidak berhasil karena Benyamin mencekal lengannya dengan keras.

"Hei!" Raung Ainsley.

"Atau apa, Manis?" Memuakkan. Semua hal tentang pria tua jahat itu selalu memuakkan. Namun panggilannya kali ini terasa begitu janggal. Tidak ada pria normal yang memanggilnya manis ketika Ainsley menjadi Young Lee. Kecuali...

Ainsley menatap tajam Benyamin. Menemukan seringai bejat dan mata yang berkobar dengan licik. Ainsley tercekat. Dia tahu. Benyamin tahu identitas Young Lee.

"Lepaskan dia!" Suara berat pria besar yang terhormat itu terdengar. Pria yang terlihat tidak pantas berada di tempat ini. "Lepaskan dia!" perintah pria itu lagi sembari merangsek maju. Dia mendorong tubuh Benyamin. Membuat Ainsley ikut terdorong maju.

"Aku tidak memiliki urusan denganmu," balas Benyamin kejam. "Bukankah kau memiliki hutang kepadaku yang harus kau bayar, Manis?" Ujarnya tidak mengacuhkan pria yang menolongnya. Tatapan Benyamin menggelap oleh dendam. Ainsley tahu itu.

"Aku tidak berhutang apapun kepada-" Ainsley tersentak. Tamparan keras bersarang di wajahnya.

"Bajingan!" Teriak pria terhormat itu yang kembali merangsek maju. Tetapi rekan Benyamin lebih tanggap. Melemparkan dirinya ke depan dan meninju pria asing itu hingga menabrak meja bar.

"Berhenti mengacau di tempatku!" Peringat Helix sang pemilik bar melihat gelagat Benyamin. Kenyataannya, dia membenci berandal itu meski Helix lebih lama mengenal Benyamin daripada Helix mengenal Young Lee.

"Diamlah Helix!"

"Tidak sebelum kau melepaskan Young Lee!"

Ainsley merasa posisinya terjepit. Dua orang yang Benyamin bawa terlihat seperti seorang petarung dengan tubuh besar yang sama seperti milik Benyamin. Sementara Helix sang pemilik bar terlihat sebaliknya. Dan pria terhormat itu, Ainsley tidak yakin dia mau bertarung untuknya setelah pukulan tadi.

Ainsley menggerakkan rahangnya. Merasakan asin di sudut bibirnya. Dia seharusnya khawatir mengenai kondisi wajahnya saat ini, tetapi hal lain yang harus ia khawatirkan saat ini adalah, mengenai dirinya yang akan tetap hidup ataukah tidak ketika fajar menyingsing. Ia sudah merasa bahwa tindakannya saat ini amatlah bodoh. Ainsley mulai menyesal meskipun tahu penyesalannya akan sia-sia. Namun setidaknya, dia harus sedikit berjuang untuk hidup, bukan?

Ainsley lalu menginjak kaki Benyamin. Menggigit lengannya dan membuat pria itu lengah untuk sesaat. Gerakannya kurang gesit sehingga tubuh besar Benyamin kembali menariknya. Dan kali ini, Benyamin memukul belakang kepalanya. Membuat kesadaran Ainsley menghilang dengan penglihatan terakhirnya yang melihat kemarahan dari orang-orang di sekitarnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top