● Hocus Pocus! ●

.

Lucio dengan telaten mengelap etalase kaca dan menata puluhan kardus ponsel kosong untuk dipasang di display. Kardus kosong itu berfungsi untuk menarik para pelanggan. Membuat mereka berpikiran bahwa ponsel di sini lengkap dan selalu ready stock. Padahal untuk beberapa merek dan jenis harus pesan terlebih dahulu ke pabriknya, kecuali ponsel merek Onno.

Ponsel Onno adalah produksi dari pabrik papaku sendiri, Ferdinan Blanco. Bahkan merek ponsel ini saja diambil dari nama panggilanku. Jenis apapun selalu tersedia jika aku yang meminta.

Raonno Ramos Blanco. Menyandang nama ini rasanya terlalu berat. Bukan hanya tentang nama keluarga, tapi juga tentang merek dagang yang menanggung hidup ribuan pegawai yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan merek ponsel Onno ini. Maka aku tidak boleh berbuat salah. Atau lebih tepatnya tidak boleh terlihat berbuat salah.

Mengingat ponsel adalah kebutuhan setiap orang, maka papa memerintahkan untuk membuka gerai baru di banyak kota dan negara, hingga ke pelosok. Termasuk di desa Altea ini. Hal itu dilakukan bukan hanya untuk memperluas jaringan usaha miliknya, tapi juga untuk 'membuangku'.

Pikiran 'dibuang' sering melintasi kepalaku. Papa membuka gerai baru di desa yang jauh dari kota kelahiranku dan mengirimku juga hanya agar namanya tidak tercoreng. Sementara aku bersembunyi di sini, papa sibuk membungkam beberapa media yang siap mengeluarkan berita tentang aku yang tepergok mengutil di sebuah toko pernak-pernik beberapa bulan lalu.

"Raonno, Tio! Pelanggan pertama," Lucio berteriak dari sudut gerai.

Lucio adalah teman pertamaku di sini. Selain bertugas membersihkan dan menjaga gerai, dia juga bertugas sebagai niñera untukku. Menyiapkan makanan sehari-hari, mengantar baju kotor ke penatu, juga membereskan kekacauan yang tak sengaja kubuat, mengambil barang milik orang tak dikenal. Kadang aku kasihan dengan anak itu. Apa dia akan kuat? Papaku saja tidak.

Aku baru selesai mewawancarai beberapa remaja yang ingin bekerja paruh waktu di gerai ponsel ini ketika Lucio memberi kode kedatangan konsumen. Seorang bapak tua dengan anak perempuan yang merengek menunjuk ponsel Onno seri O 23.

Setelah percakapan panjang dengan bapak itu, aku meletakkan telapak tangan di dada dan memasang wajah sedih, "Maaf, pak. Uang bapak belum mencukupi untuk jenis ponsel yang adik ini mau." Aku memandang iba anak kecil di samping bapak tua itu.

"Bagaimana dengan sistem cicilan?"

"Maaf, pak toko kami tidak menerima kredit." Kata maaf adalah kunci agar terlihat ramah dan manusiawi.

"Nah, anak manis, pulanglah dulu. Nanti kalau tabungan ayahmu sudah cukup, kembali lagi ke sini. Aku akan menyimpankannya untukmu," ucapku sambil mengusap rambutnya yang dihiasi dua jepit kupu-kupu perak berkilauan.

Ketika jariku bersentuhan dengan jepit rambut itu, ada perasaan yang meluap-luap. Seperti perasaan saat pertama kali menaiki roller coaster. Rasa takut dan senang yang tumpang tindih di dalam dada.

Aku tidak melihat Lucio dimanapun. Mungkin dia sedang di pantri. Kupikir ini akan aman.

Gadis kecil itu memeluk ayahnya. Aku kembali mengusap kepalanya dan menggunakan kesempatan itu untuk mengambil jepit rambut kupu-kupu yang sedari tadi mengganggu perasaanku.

Ketika mereka keluar dari gerai, aku merasa sedikit berdosa karena mereka pulang dengan tangan hampa dan kehilangan sesuatu. Sesuatu yang kini ada dalam genggamanku. Jepit ranbut kupu-kupu perak.

Ketika aku berbalik, seorang perempuan berseragam sekolah sedang memandangiku. Terlalu dekat dan tajam.

Aku gelagapan seperti seorang yang tertangkap basah sedang melakukan kejahatan besar. Padahal aku hanya mengambil sebuah jepit rambut. Ya, aku-hanya-mengambil-barang-kecil-yang-tidak-akan-menyusahkan-siapapun. Menurutku.

Jika dilihat dari ujung matanya yang seruncing pensil yang baru saja di raut, aku yakin perempuan itu tidak murni berasal dari sini. Wajahnya khas mongoloid dibungkus kulit putih porselen dengan hidung yang mungil.

Kutarik napas dalam-dalam untuk menyembunyikan gugup karena takut gadis itu melihat yang baru saja kulakukan.

"Aku mau yang itu." Perempuan itu menunjuk etalase dengan yakin, tapi aku tidak yakin dia memiliki kemampuan untuk membeli ponsel seri terbaru itu.

"Berapa harganya?"

Aku mengembuskan napas pelan. Syukurlah. Dia tidak membahas aksiku tadi. Sepertinya dia tidak melihatnya. Dia hanya konsumen biasa.

"8.64 €," jawabku ramah.

Mata kucing gadis itu membelalak.

"Bagaimana kalau 5.15 €?" tawarnya.

"Uangmu tidak cukup?"

Dia mengangguk lalu menggeleng sedetik kemudian.

"4.25 € kuambil sekarang."

"Tidak bisa, Nona." Jika orang lain menawar biasanya akan sedikit menaikkan jumlah tawarannya dibanding sebelumnya, tapi gadis ini berbeda. Harga tawarannya malah terjun ke nominal yang lebih kecil.

"Sebentar." Gadis itu mengangkat ransel hitam yang tadi diletakkannya di lantai. Mengeluarkan dua tabung bekas keripik kentang berisi koin.

"Itu saja?" Aku melipat tangan di dada. Gadis ini benar-benar menguji kesabaran.

"Ditambah dengan ini." Dia mengeluarkan sebuah kotak dengan kain beludru berwarna emerald berkilauan membungkusnya. "Ini lebih mahal dari seisi ponsel Onno dikali seratus."

Gadis ini mulai mengada-ada. Aku tetap menggeleng.

"Ini hanya kurang 60% dari harga aslinya. Sisanya kubayar besok lagi. Ayolah!" Rengeknya.

Aku meregangkan badan. Melemaskan otot-otot leherku yang tegang. Berdiri lebih tegap dengan tujuan mengintimidasi gadis yang tingginya bahkan tidak melebihi bahuku itu.

"Hey, kau mau memukul perempuan?" Gadis itu mundur beberapa langkah.

Aku mengangkat bahu. "Kalau perlu."

Awalnya aku hanya ingin menggertaknya, tapi gadis itu menyerangku lebih dulu. Kuku jarinya yang dicat hitam mengincar wajahku untuk dicakar.

Aku tidak ingin terjadi keributan, tapi gadis ini benar-benar perlu dijinakkan. Menghindari serangannya hanya akan membuat dia terus memburu ke arahku. Aku harus melakukan perlawanan.

Ketika dia sedikit berlari, aku berhasil membalikkan lengannya ke belakang dan memiting lehernya. Tidak terlalu erat. Kupastikan dia masih bisa bernapas.

Aku merelakan lenganku dalam cengkramannya yang ternyata cukup kuat untuk seukuran anak sekolah.

"Kau mencuri jepit rambut anak kecil tadi?" Gumam gadis itu diantara gemeletuk giginya.

Mendengar apa yang dikatakannya membuatku terkejut dan sedikit lengah. Dia berhasil meloloskan diri dari kungkunganku.

Entah dia mendapatkan kekuatan dari mana untuk bisa mendorong tubuhku yang hampir dua kali lipat lebih besar dari tubuhnya hingga punggungku menabrak etalase kaca yang disahuti jeritan soprano Lucio. Aku yakin dia bukan mengkhawatirkanku, tapi lemari kaca dan isinya.

Gadis itu mengambil ransel juga kardus ponsel baru dan mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang diucapkannya. Bibirku berdarah, telingaku berdenging dan sebelah mataku sulit terbuka setelah tersungkur ke lantai karena gadis itu mendorongku untuk kedua kali hingga mengenai meja kaca dan memecahkannya.

Tanpa penjagaan di depan pintu, gadis itu dengan mudah keluar dari gerai tanpa mengeluarkan suara apapun.

Bagaimana bisa alarm tidak berbunyi ketika dia lewat? Apa dia menembus pintu kaca?

Perkenalkan, Raonno Ramos Blanco.


Nos Vemos, amigos 👋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top