● Alakazam! ●

.

"Jadi kenapa para penyihir membutuhkan tongkat untuk mengaktifkan mantranya?"
Pertanyaan pertama dan satu-satunya yang aku layangkan sejak dia memaksaku ikut ke Desa Alazne, sebuah desa tempat para penyihir putih tinggal secara tertutup.

"Tongkat sihir itu seperti ponsel. Semacam medium agar tidak salah sasaran. Banyak kok yang bisa tanpa tongkat, tapi aku belum mampu," jawabnya sambil memejamkan mata.

Aku hanya mengangguk. Tidak ingin mengganggu istirahatnya lagi.

Dia tampak kelelahan sejak aku setengah menyeretnya ke luar panggung pertunjukan sulap yang sedang dia lakukan di festival malam tadi. Dia tidak tidur hanya untuk menjelaskan kenapa dia mengambil ponsel dan menukarkannya dengan tongkat sihir yang ternyata juga adalah barang curian. Dia mencuri dari ibunya sendiri.

Sambil menangis dia memintaku untuk mengantarnya pulang ke Desa Alazne setelah aku menceritakan dari mana satu lagi tongkat sihir yang kupunya. Semua kesalahpahaman. Aku minta maaf dan menceritakannya pada Mireya.

Tongkat sihir yang semula kukira tongkat sulap itu kudapatkan dari seorang pria yang berprofesi sebagai pesulap keliling.

Ketika masih duduk di sekolah menengah di Palma, aku sering membolos untuk menonton pertunjukan sulap. Saat itu, ada satu pertunjukan yang selalu ramai dilihat banyak orang. Pesulap Itu tidak hanya menebak kartu dan menghilangkan koin. Lebih dari itu. Dia bisa membuat siang segelap malam dan membuat kembang api dengan tongkatnya.

Pada suatu hari, setelah pertunjukan sulap yang mengagumkan itu, aku mengikutinya dari belakang. Pria —yang akhirnya aku tahu bernama Demetrio yang adalah ayah Mireya itu berbaring di bangku taman kota. Aku sudah mencoba membangunkannya, tapi dia tidak bergerak. Seluruh tubuhnya lemas dan perlahan berubah menjadi bulu-bulu berwarna biru dan terbakar. Lalu berubah menjadi abu yang terbang dan menghilang begitu saja, meninggalkan semua barangnya termasuk tongkat sulap kayu yang mengeluarkan cahaya.

Meski aku tidak paham hal yang terjadi, aku mengambil tongkat itu. Lebih tepatnya mengamankan. Ah,oke. Kuakui aku memang menginginkan tongkat itu sejak pertama kali menonton pertunjukannya.

Mireya menyilangkan lengan dan merebahkan kepala di atasnya. "Sudah ya. Jangan banyak bertanya lagi." Mireya menurunkan topinya hingga menutupi mata sembapnya dari silau matahari.

Aku duduk di sebelahnya, menghalangi matahari mengganggu istirahat Mireya. Biar dia lebih lelap.

Sepertinya lebih dari tiga puluh menit telah berlalu. Aku tak sadar telah tertidur sambil duduk bersandar pada tas di belakangku.

Saat aku membuka mata, Mireya seperti sedang menatapku. Aku memberinya senyum, tapi dia malah berpaling dan berkata "Ayo! Sudah waktunya. Jangan terlalu banyak tidur. Wajahmu bengkak ketika tidur."

"Kamu memperhatikanku?" Godaku.

"Wajah jelek itu polusi mata buatku," ujarnya kesal.

"Aneh. Mulutmu sepedas cabai, tapi wajahmu semerah tomat," ucapku yang sontak membuat cara berjalannya semakin cepat.

Untuk menuju Desa Alazne, kami harus melewati Bukit Rayo dan Hutan Tanpa Nama. Tanpa kendaraan bagaimana Mireya bisa keluar dari Desa Alazne sebelumnya?

Mireya bilang tidak semua dapat memasuki Hutan Tanpa Nama dengan sembarangan. Ada waktu-waktu tertentu ketika penjaga hutan sedang gusar dan kelaparan. Salah waktu, aku bisa jadi bubur buat mereka.

Meski dua atau tiga kali melewati jalan ini, kupastikan aku tidak akan pernah hafal rutenya. Semua pohon tampak sama. Tidak ada jalan setapak yang menunjukkan bahwa ada tempat yang biasa dilalui manusia.

"Lima menit lagi kita sampai. Dibalik pohon besar itu, ada pintu gerbang menuju Desa Alazne," jelas Mireya.

Tiba-tiba sesuatu seperti menarik tubuhku dari belakang. Aku terpental menabrak pohon mahoni besar yang tadi kami lewati.

"Lepaskan itu!" Mireya menunjuk tasku. Benar saja, tas itu melayang dan kemudian hancur beberapa saat setelah aku melepaskannya dan berlari menjauh.

Sementara itu dua tongkat sihir dalam kotak yang sudah aku bebat dengan lakban serapat mungkin itu akhirnya keluar menjadi cahaya. Kembali berlarian, berputar putar di udara bebas. Mengitari pepohonan, menembus lebatnya dedaunan dan tak lama setelahnya kedua tongkat itu mendekat pada seseorang dengan tudung hijau menutupi kepalanya yang entah muncul dari mana.

Mireya berlari kearahnya seolah tidak takut dua tongkat itu melukainya. "Mama!!" serunya.

"Mireya!"

Mireya dan perempuan bertudung hijau itu saling berpelukan.

Dia mengenalkan aku pada orang yang dipanggilnya Mama Milla itu. Mireya kemudian menceritakan kembali semua yang kukatakan tentang tongkat itu kepada Mama Milla. Kecuali bagian aku memang mengincar tongkat sulap Demetrio sebelumnya.

Mama Milla terlihat begitu terpukul. Sorot matanya kehilangan cahaya. Tapi tak ada air mata yang turun dari matanya. Dia justru tersenyum getir.

"Saya mohon maaf untuk tidak segera mencari tahu tentang Tuan Demetrio sebelumnya," sesalku.

"Bagaimanapun terimakasih sudah memberi kepastian kabar suamiku dan membawa kembali ini. Setidaknya, kami tidak perlu menunggunya lagi," jawabnya bijak.

Memasuki Desa Alazne, Mireya disambut tangis bahagia juga kelegaan. Tapi tidak sedikit juga yang mengomelinya karena telah berbuat gegabah. Bagaimana bisa seorang gadis di bawah umur dengan kemampuan sihir yang masih di bawah rata-rata pergi sendiri mencari Papanya dengan membawa tongkat sihir Mamanya yang berkekuatan terlalu besar untuk anak seusia Mireya. Kekuatan itu bisa membantu, tapi tidak jarang yang membuat rusuh.

Di desa penyihir Alazne, tidak semua dilakukan menggunakan sihir. Perkara membuat minuman, ternyata Mama Milla memilih membuatnya dengan tangan sendiri untukku.

Sementara Mama Milla membuatkan minuman, aku berkeliling bersama Mireya. Rumah keluarga Demetrio itu didominasi warna putih selain coklat dari kayu-kayu asli. Di ruang tamu, lampu-lampu kristal bergelantungan indah. Pigura kaca bening dengan lukisan keluarga Demetrio di dalamnya menghiasi beberapa sudut ruangan. Aku tersenyum ketika melihat pajangan kaca berbentuk vegasus mungil di bawah lukisannya.

Mama Milla datang membawa gelas-gelas pendek dengan cairan putih yang menguarkan wangi kayu manis yang menyegarkan.

Sekali lagi dia mengucapkan terimakasih padaku untuk membawa Mireya pulang beserta tongkatnya dan Demitrio.

Mama Milla mengatakan bahwa Mireya akan melakukan sidang dengan keluarga besar atas pelanggaran aturan yang dilakukannya. Keluar desa tanpa izin dan pendampingan. Juga tentang mencuri tongkat sihir milik Mama Milla.

Di sebelahku, Mireya menunduk.

"Itu semua sudah konsekuensi." ucapnya lembut. "Tapi ingat Nak semua yang ditakdirkan untukmu akan menemukan jalan pulangnya sendiri, begitu juga sebaliknya—"

Mama Milla berdiri mengangkat nampan menuju dapur, tapi sebelum berlalu dia berkata "Ini bukan hanya tentang tongkat sihir itu," ucapnya sambil memegang pundakku lembut.

Aku terkesiap. Merogoh saku jaketku untuk mengembalikan pajangan kaca vegasus dari dalam saku.

Mireya menusukku dengan tatapannya. Aku nyengir menahan malu.

Hingga hari berakhir, Mireya memegangi tanganku. Dia bilang jaga-jaga dari rasa kesal karena perlakuan impulsifku yang tak tertahankan.


——————

Perkenalkan Mama Milla

Gegayaan cerita dikit pake banyak cast 😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top