9. Terkuak
"Itu bagus, Vi." Suara ibu Bisma terdengar antusias. "Menurut kamu, gimana Bisma?"
Bisma melirik tanpa minat pada pilihan gaun yang ibunya pegang. Jujur, ia merasa bosan berada di pusat perbelanjaan ini bersama ibu dan tunangannya. Jika hanya sekadar memilih perhiasan dan baju, mengapa tidak jalan sendiri saja? Bisma tak menyukai berada di keramaian dan memilih berada sendiri di apartemennya memikirkan wajah bocah yang kini berhasil mengusik pikirannya.
"Bisma, gimana?" Kini, Vivian yang bertanya penuh harap.
Bisma mengedikkan bahu tak acuh. "Terserah," jawabnya sebelum kembali fokus pada ponsel yang memuat berita.
Ibu Bisma terdiam dengan tatapan yang konstan menuju putranya. Bismanya berubah. Tak lagi tampak bergairah dan memiliki obsesi entah apa. Putra tunggalnya seperti tak lagi memiliki pandangan kedepan ingin hidup seperti apa. Ia hanya menjalankan rutinitas tanpa peduli pada kehidupan pribadinya. Jujur, hatinya merasa miris, tetapi ia harus melakukan banyak hal demi kebahagiaan dan masa depan cerah anak satu-satunya.
Vivian terpilih setelah lima kali Bisma gagal melakukan perjodohan darinya. Entah apa yang Vivian miliki hingga gadis itu sanggup bertahan dengan sikap Bisma yang dingin dan kejam begini.
"Bu, sudah? Saya kurang suka buang-buang waktu seperti ini."
Ibu Bisma tersenyum samar dan sedikit kecut. Buang-buang waktu, katanya. Apa bersama dirinya dan calon istri adalah hal yang membuang waktu? Sepenting apa dirinya dan Vivian di mata Bisma hingga anak itu menganggap dirinya hanyalah pembuang waktu Bisma yang terlampau sibuk. Ibu Bisma sakit hati mendengar ucapan putranya.
"Kalau Bisma bosan, tunggu kami di coffee shop saja, gimana? Kebetulan saya masih harus fitting dua sampai tiga gaun lagi." Vivian bicara pelan dengan wajah yang tak kalah kecewa mendengar ucapan calon suaminya. Hatinya sedikit perih mengetahui jika bagi Bisma, mempersiapkan pernikahan mereka adalah buang-buang waktu.
"Oke." Seperti yang Vivian duga, pria ini mengangguk santai lantas beranjak meninggalkan mereka tanpa beban.
Rasa lega melingkupi hati Bisma saat langkahnya meninggalkan gerai perancang busana pilihan Vivian dan ibunya. Bagi Bisma, ia lebih baik mencari tahu tentang anak Adelia dan kapan bocah itu terlahir. Namun, bukankah pernikahan Adelia terlaksana beberapa hari setelah ia pergi tiga tahun lalu? Lalu masalahnya, mengapa Bisma merasa wajah bocah itu sedikit banyak mirip dengannya? Adelia sialan! Hingga mereka sudah berada di jalan yang berbeda, wanita itu tetap meninggalkan hal janggal yang selalu berhasil mengganggu hidupnya.
Bisma memasuki salah satu kedai kopi dan memesan minuman. Ia ingin diskusi dengan Hanata dan meminta tolong untuk menyuruh orang mencari tahu tentang Adelia. Andai benar bocah itu adalah darah dagingnya ..., Bisma harus melakukan sesuatu untuk mengambil apapun yang seharusnya menjadi milik pria itu.
Seraya menikmati kopi yang tersaji, ingatan pria itu terlempar lagi pada minggu lalu saat ia diusir dari kediaman sederhana Adelia. Ketika itu, ia baru masuk mobilnya, dan menunggu kerumunan terurai saat seorang pria lari memasuki kediaman Adelia. Bisma ingat betul wajah pria itu dan tangannya seketika mencengram roda kemudi dengan kencang, sekencang amarahnya mendapati ia dikalahkan pria kampungan. Pria itu masuk dengan bebas ke dalam kediaman Adelia, sedang ia tak sedikitpun diberi sambutan.
Jika ia benar suami Adelia, ada yang salah dengan bocah itu. Hidung, rahang, alis, dan matanya beda. Hanya bibir dan bulu mata yang menuruni milik Adelia. Bisma tahu itu. Ia harus bergerak dan mencari tahu semua, secepatnya.
"Maaf, terlambat. Saya baru datang bersama seseorang. Jadi, gimana?"
Bisma melirik tak minat pada sepasang tamu di meja sebelah. Matanya yang semula tak acuh, seketika terbelalak mendapati siapa yang ada di samping mejanya. Pria itu, suami Adelia. Bisma menunduk dan bersikap seakan fokus pada ponsel, padahal rungu pria itu mencoba menangkap apapun yang dikatakan suami Adelia. Barangkali, ia bisa mengambil beberapa informasi.
Sepuluh, dua puluh menit, hingga ia mematikan ponsel demi tak menjawab panggilan ibu dan calon istrinya, emosi Bisma perlahan naik. Dada pria itu naik turun dengan debar yang kencang. Tangan Bisma terkepal di atas meja dan satu ... dua ... tiga .... Untuk pertama kalinya, ia meluapkan apa yang ia rasa di tempat umum.
Bisma berdiri penuh emosi, lalu menghampiri pria itu dan menghajarnya tanpa ampun. Keributan seketika terjadi dan seluruh pengunjung kedai kopi terkejut dan lari menyelamatkan diri. Entah berapa banyak meja, kursi, dan serta peralatan makan yang terjatuh ke lantai. Pun cairan aneka warna dan kudapan yang terbuang sia-sia. Bisma seperti kesetanan. Ia berteriak dan menghajar pria itu terus menerus seperti tak puas jika lawannya tak mati.
"Bajingan!" Teriak Bisma sebelum tiga petugas keamanan melerai perkelahiannya dan membawanya pada pos keamanan pusat perbelanjaan itu.
Di ruang yang berisi para pria dempal berseragam gelap, Bisma dan pria itu duduk dengan pengawalan ketat. Vivian menangis melihat Bismanya tak seperti yang ia kenal. Pun sang ibu yang hanya duduk dengan wajah pucat penuh rasa kecewa. Tak lama, sosok yang si korban hubungi tadi datang. Adelia masuk dengan napas memburu bersama bocah cantik dalam gendongannya. Di belakang wanita itu, Milly datang menyusul.
"A'a Sunu kenapa?" Adelia Histeris melihat kondisi Sunu yang babak belur. Setelah itu, mata wanita ini terbelalak dengan wajah terkejut yang amat sangat, melihat siapa yang ada di ruangan ini.
"A'a diserang orang tak dikenal saat sedang ngopi, Del," adu Sunu seraya melirik Bisma penuh benci. "A'a gak tau ada salah apa."
"Bajingan!" Bisma beranjak dari kursinya penuh emosi, hendak menghajar Sunu lagi, tetapi dtahan oleh tiga sekuriti yang berjaga di sekitarnya sejak tadi. "Suamimu bertemu gadis lain dan mereka berkencan, Adelia! Pria ini penghianat!"
Adelia mematung melihat Bisma marah di depan umum untuk yang pertama kali sejak mereka bersama. Bismanya tak seperti ini. Ia akan menahan amarah sekuat tenaga, lalu melampiaskan saat mereka bersama. Adelia bahkan masih tahu betul apa yang harus ia lakukan jika emosi Bisma sedang tidak baik-baik saja. Lalu, apa tadi katanya? Sunu penghianat, berselingkuh, maksudnya?
"Maaf, Pak Bisma," ucap Adelia yang masih berdiri kaku seraya menggendong Anindita. "Sunu bukan suami saya."
"Tapi dia masuk ke rumah kamu dan kamu bilang sudah berkeluarga, sialan!"
"Ya, saya sudah berkeluarga tetapi tidak menikah!" Adelia kini berteriak, menyamakan nada suara emosi Bisma. "Saya mengatakan kepada Anda, jika saya sudah berkeluarga dan hidup bahagia di rumah saya. Saya tidak mengatakan saya menikah, karena saya memang belum pernah menikah satu kali pun dalam hidup saya! Saya berkeluarga, karena saya memiliki anak yang harus saya besarkan seorang diri." Mata Adelia berkabut dan air mata turun membasahi wajahnya. "Tolong. Tolong jangan ganggu hidup saya lagi, karena saya tak mungkin kuat menghadapi petaka demi petaka yang Bapak bawa jika hadir di hidup saya lagi."
Wajah Bisma seketika pucat pasi. Tubuhnya terasa dingin seakan tak lagi dialiri darah dan oksigen. Sedang wanita tua yang sejak tadi diam, ikut pucat mendengar informasi yang baru saja Adelia ucapkan.
Milly mengambil Anindita dari gendongan Adelia, saat anak itu mulai rewel. Sahabat Adelia yang seharusnya sedang ayik mentraktir Adelia, keluar kantorkeamanan demi menenangkan Anindita.
"Adelia—kamu meninggalkan saya karena—"
"Karena seseorang memaksa saya melakukan itu dan mengancam akan merusak hidup saya jika tak menuruti keingianannya." Kini, dengan berani Adelia menatap wanita paruh baya yang duduk dengan wajah pucat dan tubuh tegang. "Ia meminta saya meninggalkan pekerjaan dan menganggap saya perempuan hina. Ia memberikan saya undangan pernikahan palsu untuk membuat Anda percaya bahwa saya harus meninggalkan Anda. Saya pergi, dengan rasa sakit hati yang teramat dalam. Saya pergi tanpa membawa apapun dari Anda, kecuali—" ucapan Adelia terhenti. Matanya masih konstan menatap wanita yang terduduk dengan tatapan yang terkejut mendengar semua pengakuan Adelia. "Saya memang sehina itu, karena dua minggu setelah meninggalkan Jakarta, saya hamil."
Bagi Bisma, rasanya dunia seperti runtuh dan menghancurkan tubuhnya dalam sekejap. Dengan emosi yang masih mendera dan pikiran yang kacau, ia mencoba menelaah setiap kata demi kata yang terlontar dari mulut Adelia.
"A' Sunu ngapain di kedai kopi tadi?" tanya Adelia lembut pada korban kekerasan Bisma. Perlakukan Adelia sungguh beda pada pria itu.
"A'a ketemu Elis. Ibu A'a minta A'a menemui Elis karena kami sedang coba dijodohkan." Penjelasan Sunu membuat senyum Adelia terukir getir. Benar kata beberapa tetangga yang menggunjng dirinya. Mana ada ibu yang rela perjakanya menikahi wanita tanpa status gadis atau janda. "Adel minta maaf, kalau gitu. Elisnya mana sekarang?"
"Pulang, Del. Dia ketakutan. A's suruh dia pulang."
"Kita harus menikah, Adelia." Suara Bisma tiba-tiba terdengar tegas, lugas, dan dingin.
"Bisma!" Vivian menyela dengan isakan yang tak bisa lagi ditahan.
Mata Bisma menatap Adelia konstan dengan binar mata penuh permohonan. "Kita harus menikah dan akan menikah secepatnya. Dengan atau tanpa restu ibu."
"Bisma!" Kini, suara ibu Bisma yang terdengar.
Adelia membalas tatapan Bisma yang konstan dan penuh keseriusan. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas, jika tangan Bisma yang berada di atas pangkuan pria itu gemetar halus. Adelia paham apa yang ada di pikiran Bisma, serta perasaan pria itu. Hanya saja ... luka tak semudah itu diobati dengan tanggung jawab impulsif.
"Maaf. Saya tidak tertarik menjalin hubungan apapun dengan Anda. Terima kasih atas masukan dan ajakannya, tetapi saya lebih memilih seperti ini." Adelia menatap Sunu dengan sangat lembut dan tersenyum kepada pria itu. "Ayo pulang, A'. Biar Milly yang antar kita." Adelia bahkan mengulurkan tangan untuk membantu Sunu berdiri dari duduknya. "Kita ke klinik dulu, ya."
Dan ketika tangan Sunu menerima uluran tangan Adelia, napas Bisma terpacu lagi. "Jangan sentuh Adelia, brengsek!"
"Bisma!" Vivian dan ibu Bisma yang sejak tadi tak memiliki kata untuk berucap, hanya mampu menyebut nama Bisma. Hati mereka terlampau terkejut dengan fakta menyakitkan ini.
Sunu berdecih dengan wajah menghina Bisma. Ia tak mengindahkan pinta pria brutal yang merusak kencan butanya. Sunu menerima uluran tangan Adelia yang memapah pria itu keluar kantor ini.
Ketika sosok Adelia sudah pergi, Bisma menatap wajah ibunya yang tampak cemas dan bergerak salah tingkah. Mereka saling beradu pandang tanpa kalimat untuk bicara. Bisma bisa menangkap jelas apa yang terjadi tiga tahun lalu, hanya dari gestur ibunya yang terlihat tak nyaman.
Setelah itu, Bisma menatap Vivian yang berdiri dengan wajah entah seperti apa. "Vivian," panggil Bisma dingin. Gadis itu menatap Bisma dengan binar mata bimbang dan kaget yang tak terkira. "Kita tidak akan menikah. Pergi dan carilah pria lain."
Bisma beranjak dari duduknya dengan lunglai dan melangkah pelan meninggalkan ruangan ini. Tangis Vivian pecah bersamaan dengan teriakan ibu Bisma yang memanggil-manggil namanya. Rungu Bisma seperti berdengung nyeri dengan pandangan yang kabur. Ia tak tahu harus apa, karena yang bisa dan ingin ia lakukan adalah lekas pergi dan menyendiri.
*****
Aaakkkhhhh!!! Aku suka votes dan komen kaliaaann!!!! Terima kasih banyaaakk!!
ramein lagi, ya ... ya ... ya ... wkwkwkwkwk
lopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top