7. Bertemu

"Cheers!"

Malam ini begitu meriah, dalam kemewahan pesta untuk kalangan tertentu saja. keberhasilan sebuah perusahaan, selayaknya dirayakan oleh para petinggi yang mengklaim memiliki porsi kerja paling tinggi. Belasan gelas wine putih saling beradu dari tiga meja bundar yang dipesan khusus untuk perayaan malam ini.

"Saya selalu yakin, perusahaan ini berada di tangan yang tepat. Bisma selalu tahu bagaimana membuat grafik pendapatan perusahaan berhasil naik tajam. Analisa bisnis dan resiko, selalu ia hitung dengan tepat. Sekali lagi, mari kita bersulang untuk seorang Bisma yang berhasil membawa kesejahteraan untuk kita semua."

Denting aduan gelas-gelas itu terdengar lagi. Tawa dan obrolan ringan terdengar saling bersahutan. Pesta kecil-kecilan seperti ini, sudah biasa dilakukan oleh para petinggi perusahaan juga investor setelah seharian penuh menghadiri RUPS perusahaan. Mereka akan tampak serius melihat data, tetapi tertawa lebar dalam hati mendapati rekeningnya menggendut dan siap dihamburkan untuk nafsu dunia.

"Bisma tidak minum?" sebuah suara terngar menyapa seraya menawarkan untuk bersulang lagi.

Di tempatnya, Bisma hanya tersenyum tenang dan sopan, tanda menghormati sapaan itu sekaligus menolak ajakannya.

"Bisma harus hidup sehat agar panjang umur. Ribuan orang menggantungkan hidup dan tarikan napasnya pada intuisi dan langkah bisnis dia. Jangankan minuman beralkohol, asupan gula saja, kalau bisa dibatasi agar tubuhnya tidak menggendut seperti kita."

Gelak tawa terdengar lagi. Apapun yang baik-baik di sini adalah tentang Bisma, Bisma, dan Bisma. Para petinggi itu terus menjilati Bisma dengan pujian dan pujian lagi pada sosok yang tiga tahun ini tak pernah berhenti bekerja keras. Mereka semua tak buta untuk tahu, bahwa sosok Bisma nyaris tak pernah memiliki hari libur untuknya sendiri. Sejak dua tahun terakhir, grafik pendapatan perusahaan meningkat tajam hingga perusahaan telekomunikasi ini berhasil menjadi yang nomor satu di dalam negeri.

"Sudah malam. Saya harus segera kembali pulang. Ada meeting yang harus saya datangi esok pagi, dan saya butuh membaca banyak data untuk mempelajari meteri meeting esok." Bisma beranjak dari kursinya, lalu menunduk sekilas sebagai tanda pamit undur diri.

Para petinggi paruh baya yang lebih suka menebar pujian dan jilatan daripada bekerja, mempersilakan Bisma untuk pergi lebih dulu. Sisa pesta ini, biarlah mereka yang menghabiskan karena semua tagihan malam ini, tentunya Hanata yang akan sibuk mengurus.

Lift yang Bisma naiki seorang diri berhenti di lantai dasar hotel bintang lima ini. Saat pintu besi itu terbuka, matanya langsung menangkap sosok wanita yang kini selalu ada di hari-harinya. Wanita itu tersenyum manis seraya berdiri anggun menyambut dirinya. Bisma berjalan santai namun tetap menguarkan wibawa. Ia berjalan tegap lurus menuju pintu utama, dan tangannya seketika dililit sebuah lengan halus yang menyapanya. "Sudah selesai? Langsung pulang?"

"Aku lelah. Aku ingin pulang dan istirahat." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir Bisma.

Selama perjalanan dengan wanita berambut panjang dan ikal ini, tak ada obrolan yang menarik perhatian Bisma. Wanita ini menceritakan bagaimana ia menghabiskan hari ini bersama ibu Bisma. Menyambangi satu per satu yayasan sosial dan menyumbangkan dana besar sebagai bentuk kepedulian. Bagaimana ia sibuk mencari perancang busana agar rencana mereka yang harus terealisasi tahun ini menjadi sempurna.

"Jadi, bagaimana menurutmu, Bisma?"

Bisma menoleh pada wanita itu dengan wajah datar. Sungguh, sedikit pun ia tak tertarik dengan apapun yang ada pada wanita itu. "Lakukan saja apa yang kamu dan ibuku suka." Lalu, wajahnya kembali menghadap jalanan di depan atau fokus pada ponsel yang sedang terhubung dengan Hanata.

Wanita itu tetap tersenyum manis meski selalu mendapat respon pahit dari tunangannya. Bisma memang terkenal dingin. Bukan hanya tangannya, tapi juga hati dan pembawaannya. Wanita ini yakin, rumah tangganya akan baik-baik saja jika menikah dengan Bisma nanti. Pria ini tak pernah terendus memiliki hubungan dengan wanita manapun. Digoda pun, tak pernah ampuh. Inilah daya tarik Bisma yang membuatnya tetap bertahan dalam hubungan hambar yang berjalan nyaris dua tahun lamanya.

Mobil Bisma sampai di depan kediaman wanita itu. Beberapa saat, wanita itu tak juga turun hingga Bisma yang sejak tadi sibuk membahas jadwal bersama Hanata melalui ponsel, menoleh dengan wajah penuh tanya. "Kenapa tidak turun?"

Wanita itu bergerak rikuh dan salah tingkah. Tanpa malu, ia memajukan wajah dan melumat singkat bibir Bisma, yang sayangnya tak pernah mendapat balasan. "Good night," ucapnya dengan hati yang lagi-lagi terasa terinjak dan sakit. "Sampai bertemu besok," lanjutnya sebelum benar-benar turun dari kendaraan tunangan yang tak pernah ia tahu bagaimana perasaan cintanya pada wanita itu.

Bisma hanya mengerjap lambat dengan ekspresi datar hingga pintu mobil tertutup. Setelah itu, ia menghela napas panjang sekali dan kembali melanjutkan obrolannya dengan Hanata, meski kali ini dengan topik yang berbeda.

Belum tiga menit mobilnya melaju meninggalkan kediaman tunangan manisnya, ponsel Bisma berdering.

"Ya?" sapa Bisma dengan nada malas.

"Uhm ... aku lupa memberitahumu tadi. Minggu depan, salah satu karwayanku menikah dan dia mengundangku. Sebagai atasan yang baik, tentu aku harus datang dan mengucapkan selamat. Aku tahu jadwalmu sangat padat. Hanya saja, bisakah kamu meminta Hanata untuk memasukkan jadwal acara penikahan ini ke dalam jadwalmu? Aku akan mengirimkan gambar undangannya padamu sekarang."

"Aku tidak bi—"

"Ibu bilang kamu butuh waktu untuk bersosial, Bisma. Aku hanya—"

"Baiklah. Atur saja," jawab Bisma pada akhirnya.

Wanita dan segala jadwal tidak pentingnya. Merepotkan dan hanya membuatnya membuang-buang waktu untuk urusan yang tidak perlu.

Sesampainya di apartemen mewah miliknya, Bisma berjalan sendiri dengan pikiran yang melayang entah kemana. Ia teringat pernah mencium seseorang di dalam lift gedung ini, saat menuju unitnya. Ia membuka pintu dan merasakan aroma gadis itu masih saja ada. Padahal, perpisahan mereka sudah tiga tahun lamanya dan sialnya bayang gadis itu masih kokoh menghantui malam-malamnya.

Bisma sudah mengganti sofa yang pernah ia pakai bercumbu bersama gadis itu. Juga membeli ranjang baru, demi menghilangkan aroma tubuh yang selalu berhasil membuatnya candu. Enam bulan lalu, ia bahkan merenovasi habis-habisan kamar mandinya, hanya untuk menghilangkan kenangan percintaan terakhirnya yang penuh peluh dan air mata gadis itu sebelum sosoknya benar-benar hilang dari hidup Bisma.

Adelia sialan! Jalang setan yang berhasil memenjarakan hatinya hingga ia tak sanggup lagi merasakan gairah dan cinta. Semua ia lakukan hanya untuk melanjutkan hidup saja, meski nyatanya tak ada gairah yang menyala. Pelarian terbaik hanyalah kerja, kerja, dan kerja untuk mengalihkan rindu dan pikiran yang mengenang kebersamaan mereka.

Malam ini, emosi Bisma mencuat lagi. Ia menggeram seorang diri di bawah guyuran shower dan berteriak sekeras mungkin demi mengeluarkan rasa sakit yang ia pendam seorang diri.

*******

Pesta pernikahan ini diselenggarakan di sebuah hotel bintang tiga. Sederhana dan tampak tak mengundang banyak tamu. Bisma yang hanya menggunakan batik dan celana kain hitam, berjalan tak acuh di samping tunangannya. Ia tak memedulikan tatapan kagum dan takjub dari orang yang berpapasan dengannya. Ia tetap berjalan dengan wajah datar, dingin, tak acuh, juga tak peduli dengan apapun yang terjadi di sini.

"Ah, Bu Vivian, selamat datang." Penerima tamu pernikahan ini menyambut tunangan dan dirinya dengan baik. Mereka mengarahkan Bisma dan wanita pilihan ibunya, untuk duduk di kawasan tamu VIP.

"Aku tak bisa lama-lama. Lekaslah naik ke pelaminan, mengucap selamat, lalu pulang." Bisma melirik pada pelaminan dengan kening yang mengernyit samar. Apa mungkin ... dia kenal wanita yang memakai gaun pengantin di sana?

"Kamu tidak ingin menikmati sajiannya?" tanya Vivian dengan hati yang berharap, Bisma mau memberikan waktunya lebih banyak lagi untuk kebersamaan mereka.

"Aku tidak berselera," jawab Bisma malas seraya membuang pandangannya pada ponsel yang sejak tadi bergetar. Bicara pada Hanata terlihat jauh lebih menarik dan menyenangkan daripada berbaur bersama mereka-mereka yang tak Bisma peduli.

Wanita bersanggul sederhana ini hanya menarik napas panjang dan lirih. Seperti kata calon mertuanya, ia harus sabar demi mengambil hati pria yang ia cintai. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Ya, dan pengorbanan terbaik dari sebuah cinta adalah dengan memberikan selurh hatimu padanya.

"Kalau begitu ... maukah kamu menemaniku ke pelaminan?" Sebenarnya, hati Vivian mulai nelangsa. Di mana pun, Bisma selalu tak tertarik dengan apapun kehidupannya. Selalu ia yang meminta, memohon, hingga berharap pada sesuatu yang lebih banyak mendapat penolakan.

Bisma mengangkat wajah dari fokus pria itu pada ponsel. Ia menatap tunangannya, lalu pelaminan, lalu kembali ke wajah wanita yang berdiri dengan binar penuh harap dan permohonan. Bisma menghela napas, lalu mengangguk malas. "Tapi setelah itu pulang. Aku tidak suka berada di sini dan kamu tahu kalau aku memiliki banyak hal untuk diurus."

Wanita itu tersenyum tipis seraya mengangguk. Tak apa, hatinya kuat, hatinya besar dengan banyak cinta untuk Bisma. Mereka beranjak dari kawasan meja VIP dan berjalan bersama menuju pelaminan. Antrian tamu yang ingin mengucapkan salam cukup panjang, tetapi Bisma tak perlu ikut mengantri, karena wedding organizer memberika akses kepada mereka untuk langsung menuju mempelai.

"Anindita!" Bisma mendengar suara teriakan si mempelai perempuan. Keningnya kini berkerut samar berusaha mengingat suara yang sepertinya pernah ia kenal, tetapi kapan dan dimana?

"Tante Milly! Selamat!" Dan gerak Bisma yang berjalan malas seketika berhenti dnegan jantung yang berdegup kencang. Tubuhnya menegang dengan pikiran yang waspada mencari seseorang.

Tiga langkah di depannya. Tiga langkah tepat di depan mata kepalanya, wanita itu ada. Wanita itu tampak sederhana namun memikat hati dan pikirannya yang selalu haus akan kehangatan seorang Adelia.

Mata Bisma membeliak tak salah lihat. Itu Adelianya. Adelia yang meninggalkannya tanpa perasaan, hanya demi egonya yang tak pernah mau memahami isi hatinya. Ya, Bisma tahu dan ingat semua. Ia mendatangi pernikahan sahabat Adelia, teman kuliah wanita itu yang juga adik angkatannya.

"Bu Vivian!" Kini, bukan hanya Bisma yang membeliak terkejut. Pun wanita bergaun indah yang menjadi ratu sehari, menganga mendapati siapa tamu yang datang di pesta pernikahannya. Suasana pelaminan seketika terasa dingin dan beku. Milly mengukir senyum kaku melihat kehadiran orang yang behasil menghancurkan hidup salah satu sahabat terbaiknya. "Teri—ma—ka—sih sudah datang," ucap Milly dengan wajah seperti kedatangan malaikat maut.

Bisma tersenyum kaku sesaat saat tatapan mereka bertemu, lalu mata pria itu tajam mengawasi pergerakan Adelia yang turun dari pelaminan bersama seorang bocah. Bisma ingin mengejarnya, tetapi ...

"Bu, foto bersama dengan tim kita dulu, Bu!" pinta Milly yang disambut beberapa orang yang mengantri di samping pelaminan.

Vivian tersenyum dan mengangguk setuju. MC pernikahan memanggil beberapa orang yang turut diundang berfoto dan mereka satu per satu datang.

"Aku harus turun," ucap Bisma sedikit panik.

"Kita foto dulu, Bisma." Tangan Vivian mencekal pegelangan tunangannya yang tampak tak baik-baik saja setelah berada di pelaminan ini.

Bisma menggeleng tegas. "Ini acaramu, aku punya urusan lain." Tanpa menunggu jawaban tunangannya, Bisma mengentak cekalan tangan itu dan melangkah cepat juga lebar mengejar entah siapa.

Dari tempatnya, Milly tersenyum getir, samar, tetapi penuh arti. Ia menatap atasannya yang selalu anggun dan tampil berkelas, dengan hati yang diam-diam prihatin.

Di luar ruangan pesta, Bisma berjalan panik mencari keberadaan wanita yang tampak berbeda sejak tahun perpisahan mereka. Tepat saat pintu lift menuju lobi terbuka, ia mendapatkan sosoknya. Bisma berlari kencang, sekuat keinginannya menangkap sosok itu dan memberikannya hukuman satu kali lagi.

Ketika Adelia masuk ke dalam lift, lalu hendak menekan tombol, matanya terbelalak seakan melihat iblis atau malaikat maut yang akan menghancurkan hidupnya satu kali lagi.

Bisma berhasil masuk ke dalam lift. Pria itu berhasil satu ruang kecil bersama Adelia lagi. Mereka tak saling sapa, tetapi Bisma bisa menatap pantulan wajah Adelia yang menunduk dalam dengan puas. Mereka hanya bertiga, bersama bocah yang sejak tadi bersenandung sendiri.

"Bunda ..., nanti es krim lagi," ucap bocah itu dengan riang.

"Iya," jawab Adelia yang tetap menunduk seraya mencengkram kuat tangan bocah itu.

Mata Bisma kini fokus pada sosok bocah yang memanggilAdelia dengan sebutan bunda. Wajahnya kini bersitatap saat tak sengata bocah itu menatapnya lalu tersenyum malu-malu. Hati Bisma seakan beku, lalu hancur berkeping. Pikirannya entah mengapa teringat pada keintiman mereka tiga hari berturut-turut, sebelum Adelia benar-benar pergi dari hidupnya.

Apalagi, mata dan hidung bocah itu ....

Denting lift terdengar dan pintu besi terbuka. Adelia menggendong bayi gembul itu lalu berjalan cepat meninggalkannya yang terpaku dengan jantung membeku. Sadar, Bisma kembali mengejar dan mencari kemana Adelia melangkah, tetapi langkah itu terhenti saat Adelia menggandeng seorang pria yang menyambut wanita itu dengan senyuman hangat.

Adelia sialan! Dia sudah bahagia dengan keluarga barunya, sedang Bisma sendiri menderita dengan rasa terpendam yang bertepuk sebelah tangan.

******

Hyuuhhh ... panjang beud rasanya!

Kasih vote dan komen yang rame, ya! Biar semangat selesaikan ini dengan cepat. Muaacch


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top