6 Hidup Baru
Tiga tahun kemudian.
Wanita ini Adelia. Wanita yang kini tampak beda, dari saat ia kembali ke kabupaten ini. Tiga tahun lalu, wanita ini datang kembali ke rumah, demi sang ibunda tercinta. Wajahnya basah dengan air mata, juga hati yang tak lagi bisa terbentuk seperti sedia kala.
Adelia selalu teringat hari itu. Tanggal terakhir bulan itu, tiga tahun lalu. Pria itu tak mendatanginya, menemuinya, apalagi mengucap selamat tinggal. Tidak ada tanda jasa karya, juga tanda terima kasih atas apapun yang ia berikan kepada pria itu. Adelia seperti dibuang, dibenci, dan tak lagi dianggap berarti.
Ia pulang dengan tangis deras dan hati yang terkoyak tanpa sisa. Ia bahkan tak tahu lagi bagaimana bisa tetap bertahan dengan rasa hancur seperti saat itu. Yang ada dalam pikirannya hanya ibunda dan bagaimana ia harus menjaga beliau agar tak tahu apa yang terjadi padanya.
Waktu demi waktu Adelia lalui penuh luka. Hanya air mata dan sakit hati yang selalu menemani tahun pertamanya berada di desa ini. Ia hampir gila, saat itu. Namun Tuhan sekali lagi berbaik hati memberinya sedikit tambahan kekuatan, hingga mampu kembali berdiri tegak saat ini. Meski, hatinya tak lagi sama seperti dulu.
Saat ini, wanita yang tengah duduk di meja pembukuan slep beras milik mendiang ayahnya, bukanlah Adelia si polos berhati lugu dengan sifat yang mudah ditindas. Wanita ini berubah sejak mengalami hal menyakitkan selama kembali ke desanya. Ia sadar, bahwa apa yang dulu ia lakukan, semuanya sia-sia dan hanya meninggalkan petaka saja.
"Del." Suara itu membuyarkan konsentrasi Adelia pada pembukuan jasa slep padi yang ia kelola. Adelia mengangkat wajah, lantas tersenyum cerah menyambut seorang pria yang datang padanya. "Ayo pulang," ajak pria bercelana lusuh. Mayoritas penduduk sini memang bekerja di sawah. Jadi, bukan hal mengherankan jika saat menjelang senja, mereka pulang dengan kondisi pakaian yang kotor tanah.
Adelia mengangguk. Ia membereskan tumpukan buku-bukunya, lantas meletakkan ke dalam lemari meja dan menguncinya. Ia mengambil tas dan rantang kosong yang selalu ia bawa untuk bekal makan siang. Di desa jarang yang menjual makanan. Mereka lebih suka membuat bekal sederhana dan membawanya ke tengah sawah.
Selama perjalanan pulang, sepeda motor sederhana ini melintasi tengah sawah. Angin sore hari berembus menerbangkan rambut panjang Adelia dan membuat wanita ini merasa relaks. Hening desa memang semenyenangkan ini. Wajahnya yang dibelai angin, membuatnya merasa ikut menerbangkan segala lara yang kini hinggap di hidupnya.
"Del," panggil pria itu lagi dari depan.
"Ya, A?" jawab Adelia santai, karena motor tua ini tak pernah berjalan dengan kecepatan lebih dari sepuluh kilometer per jam.
"Tadi A'a ketemu Kang Ujang. Dia nawarin kijing bagus. Kamu mau? Kalau mau, A'apesenin untuk makam Ibu."
"Berapa harganya?"
"Belum tahu, tapi berarpun itu, biar A'a yang bayar. Makam Ibu biar enak rapihan kalau kita ziarah ke sana."
Adelia hanya mengangguk dari belakang punggung pria itu. "Terserah A'a. Adelia ikut aja."
Saat Adelia sampai kediamannya, ia turun dari motor, lalu tersenyum membalas sambutan Teh Nia. Saat ini, hanya Teh Nia dan Sunulah yang menjadi keluarganya. Mereka menjaga Adelia dan membantu wanita itu menjalani hidup setelah ibunda tercintanya pergi menyusul sang ayah.
"Masak apa, Teh?" tanya Adelia saat ia berjalan ke dalam menuju ruang makan.
"Bening bayem aja, sama goreng nugget. Agak repot tadi, jadi masak yang cepet mateng. Buat Adel, Teteh bikinin sambel kecombrang sama mujaer goreng. Lalapannya ada di dalam kulkas, gak Teteh keluarin, takut layu."
Sambel kecombrang. Adelia sangat suka itu. Dipasangkan dengan apapun, ia pasti menandaskan bumbu pedas di dalam piring makannya.
"Ah ... terima kasih banyak, Teh Nia." Adelia berbinar bahagia. Bayangan masa lalu yang selalu berhasil membuatnya sakit, akan ia hilangkan dengan menu pedas ini. "Oya, Teh, minggu depan kata A's Sunu, sawah akan panen. Nanti seperti biasa, kita sisihkan untuk panti asuhan."
"Adelia atur saja," jawab Teh Nia seraya bersiap pulang. "Oya, Del, Teteh mau ngomong sebentar boleh?"
Adelia mengangguk seraya tetap menggigit dan mengunyah nugget yang ia ambil dari atas meja makan. "Apa, Teh?"
Gerak Teh Nia sedikit rikuh, tetapi wanita ini tetap duduk di depan Adelia dengan wajah serius. "Tadi sore Anindita minta main ke kebun Bu Yuyu. Lihat sepeda milik cucunya Bu Yuyu. Dia minta pinjam sebentar, tapi gak dikasih sama cucunya Bu Yuyu. Anaknya Bu Yuyu malah bilang, kalau barang-barang anaknya gak boleh dipinjam sama anak haram. Anindita nangis kencang. Dia sih gak ngerti sama omongan itu orang, tapi sedih gak bisa naik sepeda roda tiga."
Senyum Adelia terukir lembut. Sayangnya, senyum itu bukan senyum senang, melainkan kegetiran yang mendalam. "Besok saya minta A'a Sunu antar ke pasar besar beli sepeda. Lain kali, Teh Nia tolong kasih tahu ya, anak-anak lagi suka main apa, biar saya belikan juga untuk Anindita."
"Hapunten ya, Del. Kalau dikurung di rumah terus, Teteh gak tega sama Nindita. Dia juga butuh bergerak puas di alam bebas."
"Bukan salah Teteh. Ini salah saya, hukuman saya."
Teh Nia mengulum bibirnya dengan wajah bimbang antara maju mundur bertanya lagi. Adelia yang paham betul gestur asisten rumah tangganya, memancing Teh Nia untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikiran wanita itu.
"Uhm ... Adel gak mau cari ayahnya Anindia? Punten, Del, bukannya Teteh mau buka luka kelamnya Adel. Cuma, Teteh sayang sama Nindita. Gak tega lihat dia sendirian dengan ibunya saja."
Adelia tersenyum lagi. "Tidak apa. Saya bisa menjadi orangtua tunggal Anindita sendiri. Lagian, kan sudah ada Teteh dan A'a Sunu."
"Kamu dan A'a Sunu gimana?"
"Doanya saja, Teh."
Teh Nia tersenyum lembut kepada Adelia, lalu pamit untuk kembali ke rumahnya. Setelah semua pergi, Adelia terduduk sendiri seraya menikmati makan malamnya seorang diri. Ia sudah terbiasa begini. Menangis dalam sepi, merasakan hukumannya seorang diri, lalu tersenyum saat suara itu terdengar.
"Bunda."
"Di meja makan, Sayang," jawab Adelia seraya beranjak dari meja makannya dengan cepat, lalu cuci tangan. Ia melangkah ke dalam kamar dan tersenyum pada bocah yang baru bangun tidur. "Mau makan sekarang? Teh Nia bikin sayur bayam enak."
Anak itu mengangguk patuh, lantas mengangkat kedua tangannya untuk Adelia sambut dan gendong. Mereka kembali ke maja makan dan Adelia mulai menyuapi satu-satunya energi yang tersisa dari hidupnya yang hancur.
Bocah dua tahun ini bertubuh gemuk. Ia lucu dengan kulit putih yang menuruni miliknya. Wajahnya manis dan lucu. Bulu matanya persis seperti milik Adelia, pun bibirnya. Sayang, mata dan rahang anak ini mutlak meniru si pembeli DNA. Setiap bocah itu menatap ibunya, hati Adelia merasa rapuh dan kuat berbarengan. Ada dendam dan sakit hati tak terperi yang ia rasa, tetapi ada rasa bahagia memilikinya sebagai tanda bahwa rasa itu pernah nyata ada meski akhirnya hanya memberi petaka.
"Nindita mau sepeda?"
Bocah itu mengangguk antusias seraya mengunyah suapan yang Adelia berikan.
"Besok Bunda belikan, ya."
Bocah itu mengangguk lagi dengan binar mata antusias dan bahagia. Mengingatkan Adelia kepada pemilik mata yang sama, ketika pria itu antusias dan bahagia menikmati tubuhnya.
Genggaman tangan Adelia pada sendok menguat. Seakan ia ingin meremukkan benda baja itu saat ini juga. Ia memejamkan mata, seraya menghela napas panjang agar emosi yang menggelayutinya segera pergi. Semua sudah berubah dan saat ini ia sudah dituntut mandiri.
Tak peduli dengan apa kata orang tentang dirinya yang pulang dalam keadaan berbadan dua. Tak peduli dengan hinaan orang yang mengatakan ia ke Jakarta untuk melacur tanpa tahu siapa ayah janin yang dikandungnya. Tak peduli dengan rasa kasihan orang-orang yang prihatin mendapati ibundanya meninggal setelah tahu ia hamil tanpa pernikahan.
Hukuman ini terus berlanjut hingga saat ini, hingga anaknya pun harus mau merasakan tersisihkan yang sama. Orang-orang itu hanya mau mendekat pada Adelia jika memiliki urusan slep padi mereka saja, atau minta tolong dijualkan hasil panen serta kulit padinya. Selebihnya, yang mereka lakukan kepada Adelia hanya menghinanya siang dan malam.
Adelia tahu ia harus melewati ini semua. Ia akan bertahan dan tetap berdiri tegak dengan segala konsekuensi dari masa lalu kelamnya. Saat ini, ia memiliki Anindita. Cetak biru pria itu yang selalu berhasil membawanya kembali pada masa lalu hanya dengan binar mata marah juga bahagia yang Nindita berikan padanya. Bocah yang membuat Adelia terus menciumi pipinya, seakan hanya itu obat rindu Adelia pada pria jahat yang masih kuat menggenggam hatinya hingga remuk redam.
Begitu memuakkannya perasan cinta ini. Membuat Adelia tersiksa sendiri tanpa ada yang peduli dan ingin mengobati.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top