5. Perpisahan?

Bisma merobek penuh emosi, kertas yang baru saja Hanata antarkan padanya. Sekretaris itu hanya bergeming dengan wajah tak acuh pada respons atasannya, saat ia mengajukan persetujuan surat pengunduran diri Adelia.

"Dimana perempuan itu?" Mata Bisma memicing penuh emosi pada gadis berambut panjang di depannya.

"Sedang menerima tamu, Pak," jawab Hanata santai. Gadis ini sudah paham sekali dengan tabiat dan gelagat atasannya, jika sudah menyangkut Adelia. Hubungan mereka memang tampak tertutup dengan rapi di hadapan publik, tetapi tidak di depan matanya.

"Adelia tidak pernah memiliki tamu," sergah Bisma kalang kabut. "Atau ... jangan-jangan, tamu yang kamu maksud—"

Hanata mengedikkan bahu lagi. "Saya kurang tahu siapa. Dia tadi hanya meminta ijin untuk turun menemui seseorang di lobi. Mungkin benar dugaan Bapak, jika kemungkinan tamu itu—"

"Brengsek!" Bisma mulai tampak murka. Tubuhnya bergerak cemas dan panik dari tempatnya duduk di meja kerja ini. Hanata paham sekali, jika sebenarnya Bisma ingin menyusul Adelia dan menghajar siapapun yang sedang menemui kekasih gelap pria itu. Namun, atasannya yang memiliki citra sangat baik di depan publik, harus mau menahan hasrat binatangnya mati-matian.

Setelah beberapa menit terdiam, seraya memperhatikan Bisma yang susah payah mengontrol emosinya, Hanata pamit untuk kembali ke meja kerja. Bisma tak bicara satu patah kata pun, tetapi sekretaris ini tetap beranjak pergi. Biarkan saja Bisma sendiri. Toh, cepat atau lambat, Hanata tahu ini akan terjadi. Hanya saja, ia sedikit terkejut dengan skenario Adelialah yang mundur, bukan Bisma yang mendorong gadis itu menjauh. Adelia punya nyali juga.

Mata Hanata memicing penasaran dengan satu alis terangkat, saat pintu lift terbuka dan Adelia muncul dari kotak besi itu. Gadis yang sebentar lagi meninggalkan gedung ini, berjalan lunglai menuju mejanya.

"Apa ... dia baik-baik saja? Apa ... suratnya sudah ditandatangani?" Wajah Adelia tampak lesu, seperti tak lagi memiliki harapan. Hanata merasa miris. Harusnya, wanita memiliki kekuatan besar untuk tetap semangat dan optimis. Bukan mudah menyerah pada takdir, lalu cengeng sendiri.

Hanata mengedik tak acuh seraya berlaga mengurus berkas-berkas yang menjadi tugasnya. "Kurasa kamu tahu bagaimana resposnya. Bukankah kamu yang mengenal Bisma luar dalam?"

Adelia tak menjawab pertanyaan rekan kerjanya. Ia terdiam seraya menunduk dalam dan menghela napas panjang. "Setelah mengambil salinan surat pengunduran diri, aku ingin menemui manager personalia untuk bertanya, apakah masih bisa mendapat pesangon meski masa kerjaku lima tahun kurang satu bulan."

"Kalau memang mengejar tanda jasa karya, mengapa tidak bulan depan saja?" Kali ini, Hanata memusatkan atensinya penuh pada Adelia. "Bertahan satu bulan lagi, kurasa kamu mampu. Toh, kamu sudah bertahan dengan Bisma hampir tiga tahun 'kebersamaan' kalian."

Adelia meringis getir. "Ibuku lebih berharga. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi jika aku menunggu satu bulan lagi."

"Kalau begitu, terima konsekuensi tak mendapatkan apapun dari tempat ini. Kita semua tahu, bahwa pesangon hanya diberikan kepada karyawan yang mengabdikan minimal lima tahun kerja."

"Aku kurang satu bulan lagi, sudah lima tahun. Apa tidak ada dispensasi?"

"Bukan aku yang menentukan jawaban atas permohonanmu."

Hanata benar. Bagaimana pun Adelia mencurakan segala kerisauannya terkait finansial, Hanata bukanlah orang yang tepat menolongnya. Semua kembali pada Bisma, atau pejabat berwenang perusahaan ini. Para pejabat sini sudah memiliki undang-undang dan perjanjian kerja karyawan yang Adelia tanda tangani dengan sadar saat keterima menjadi karyawan tetap. Jadi, untuk mengajukan permohonan itu, tentu ia harus bertemu dengan Bisma atau pejabat personalia perusahaan ini.

"Uhm ... apa aku bisa mendapat salinan persetujuan pengunduran diriku sekarang? Setelah menjelaskan pada Bisma, aku ingin langsung ke personalia."

"Tidak bisa." Hanata menggeleng dengan wajah menyesal. "Bisma merobeknya saat aku meminta persetujuan pria itu."

"Apa?"

"Mintalah penjelasannya dan selesaikan semua jika kamu benar melakukan semua ini demi ibumu." Hanata melirik pintu ruang kerja Bisma. Gadis itu menatap Adelia penuh arti, sebelum bergerak mengangkat telepon yang berdering di meja kerjanya.

Sedang Adelia, mati-matian menormalkan perasaan campur aduk yang kini menggelayuti hati gadis itu. Ia meremas benda yang ia terima dari tamu yang ia temui tadi. Ia harus maju dan menyelesaikan ini. Demi ibu, demi dirinya.

Dengan tangan yang gemetar, Adelia membuka pintu ruang kerja dan mendapati pria itu tengah fokus menatap layar komputer jinjingnya. Hati Adelia teremas perih. Sesungguhnya, ia tak sanggup meninggalkan pria yang menguasai telak seluruh hatinya. Ia mencintai Bisma, dengan tulus, dengan kebodohannya yang sampai rela diperlakukan seperti ini.

Hati Adelia semakin terasa nyeri bahkan rasanya seperti mati, saat wajah Bisma terangkat dan mata pria itu menatapnya dengan binar emosi yang penuh arti. Adelia bisa membaca semua isi mata itu. Ia paham apa yang Bisma rasakan saat ini. Marah, terhianati, juga ... rapuh. Adelia tahu bagaimana tatapan Bisma jika pria itu tengah rapuh dan bersedih. Namun, mereka sebenarnya tahu jika ini memang harus terjadi cepat atau lambat.

"Aku ... ingin menjelaskan mengapa harus segera pulang dan menemani ibuku di rumah." Adelia memulai interaksi mereka. Bibirnya gemetar saat bicara, dan tangannya mulai berkeringat. Semoga benda yang ia genggam sedari tadi, tak rusak karena telapak tangannya basah dan jemarinya mencengkram erat.

Bisma tak menjawab. Pria itu tetap terdiam dengan wajah yang tampak keras penuh amarah. Matanya nyalang penuh dendam dan rasa terhianati yang dalam.

"Ibuku hidup sendiri di kampung halaman kami. Sejak kuliah, aku meninggalkannya seorang diri dan ia bekerja keras mengelola sawah kami. Beliau memiliki lemah jantung dan aku harus merawatnya, sebelum ...," adelia menelan ludahnya yang terasa cekat. Bayangan ancaman ibu Bisma menari dalam pikirannya, dan terngiang keras di telinganya, "... terjadi sesuatu yang kusesali nanti."

"Apa ... kamu tak akan menyesali keputusanmu pergi dariku, Adel? Karena sejak Hanata keluar ruangan ini, hanya satu yang kupikirkan. Membuatmu membayar tunai atas keputusan sapihak yang kamu ajukan padaku." Tatapan Bisma membuat Adelia gentar. Bagiamana tidak? Matanya menatap penuh dendam dan perhitungan. Adelia paham sangat, jika Bisma adalah sosok yang antigagal dan selalu memperhitungkan segala hal yang menurutnya, membuat kerugian.

"Aku ... tidak harus membayar apapun kepadamu, Bisma."

"Yakin?" Seringai di bibir Bisma tampak seperti iblis. Pria itu beranjak dari duduknya, lalu berjalan pelan penuh intimidasi menuju Adelia.

Sedang gadis yang kini harus berurusan dengan gejolak amarah Bisma, hanya bisa terdiam dengan ketakutan tentang apa yang akan pria itu lakukan padanya. Adelia berjalan mundur perlahan, hingga punggungnya menabrak lemari data yang ada di ruangan itu. "Kamu ... mau apa?"

"Kamu tahu yang kumau, Adelia."

"Tidak bisa lagi, Bisma. Semua akan semakin kacau jika kita tidak menyudahi ini semua."

"Siapa yang berani membuatnya jadi kacau?"

"Se ... seseorang, yang tak bisa kulawan perintah dan permintaanya," cicit Adelia takut dan gemetar. Tangannya sudah tremor sejak tadi, pun badannya.

"Siapa brengsek itu, Adelia?" Bisma berteriak panuh amarah. Nyalang di matanya jelas terlihat dan membuat Adelia semakin terjepit dan terpaksa melakukan ini semua.

Tangan gemetar Adelia menyerahkan benda yang sedari tadi ia genggam. Semoga, cengkaraman dan keringan tak membuat benda ini rusak. Bisma harus melihatnya, karena hanya ini alasan paling kuat yang tak bisa pria itu bantah.

"Aku ... aku harus menikah secepatnya. Calon suamiku tak bisa menungguku lebih lama lagi," dusta Adelia seraya menyerahkan selembar undangan pernikahan palsu yang tertulis tanggal pesta minggu depan. "Aku ... akan menikah minggu depan," lanjutnya dengan air mata yang menetes dan hati yang terkoyak melihat bagaimana respons Bisma mendapati undangan itu.

"Sialan kamu, Adelia." Suara Bisma parau dan lirih. Meski wajahnya masih menyiratnya emosi yang dalam, tetapi Adelia mampu menangkap getir dan kehancuran dalam suara pria itu. "Kamu ... menipuku."

"Aku tak pernah melakukan apapun padamu. Kita bukan kekasih dan aku tak pernah selingkuh." Tangis Adelia semakin kencang. Tanpa isak, tetapi cukup deras dan membuat wajahnya basah.

Tangan kekar Bisma menangkup kedua pipi Adelia dan ibu jari yang gemetar itu, mengusap air mata Adelia pelan. "Kamu milikku. Harusnya kamu tahu itu." Ada kepasrahan dan kekalahan dalam nada yang terucap. Adelia tahu jika Bisma mungkin saja patah hati, karena pelampiasan seksnya akan pergi. Sayang, pria itu tak memiliki cukup energi untuk membuatkan banyak bukti cinta kepada Adelia.

"Aku bukan milikmu, dan kita—" Ucapan Adelia terpotong. Bibirnya tertutup bungkaman bibir Bisma yang menguasainya tanpa ampun. Hati gadis ini seperti pecah tak bersisa saat menyadari bahwa ia pun memiliki ketidakrelaan yang sama dengan Bisma. Tak ingin berpisah, meski tahu tak mungkin bersama.

"Kamu milikku, Adelia," bisik bisma disela ciuman mereka yang dalam dan panas. "Katakan pada lelaki itu, jika hanya aku yang bisa dan boleh menyentuhmu." Lalu tanpa bisa dicegah, tangan Bisma merayapi paha Adelia hingga rok sepan gadis itu tersingkap lebar.

Adelia terperanjat dan refleks melingkarkan tangannya ke pundak Bisma, saat pria itu mengangkat tubuhnya dan membawa mereka ke atas sofa. "Bisma, tolong jangan—"

"Tidak ada yang boleh melarangku memilikimu, kecuali diriku sendiri." Ucapan Bisma membuat ketakutan Adelia mencuat, berbarengan dengan sensasi menggoda yang ia rasakan menyelinap di inti tubuhnya. Jemari Bisma di sana. Membelai dan membuatnya melayang dengan rasa sesal dan sakit yang tak lagi bisa ia katakan lagi.

Seperti kemarin, Adelia pasrah atas apapun yang Bisma lakukan kepadanya. Atas jajahan dan kuasa yang Bisma beri padanya. Adelia tunduk, dan suka rela mengikuti segala keinginan Bisma, meski harus memberikan hal yang seharusnya tak mereka lakukan.

Rasanya mendebarkan. Meski tak seperti yang mereka bayangkan dan inginkan, tetapi semua ini memberikannya pengalaman baru. Adelia merasakan bagaimana tubuh Bisma bersatu dengannya. Menghujam dengan ritme yang awalnya penuh amarah, lalu berubah seakan mereka dilingkupi banyak cinta.

Adelia mendesah nikmat, mengerang pasrah, membiarkan Bisma melakukan hal tak bermoral ini padanya. Entah karena apa, dan entah demi apa mereka begini.

"Aku harus pergi setelah ini," pinta Adelia penuh permohona pada Bisma yang baru saja melepaskan sesuatu dalam tubuhnya. "Aku mohon ... jangan tahan aku, jangan buat aku mendapatkan hal buruk pada Ibu."

Bisma bungkam. Alih-alih menjawab keinginan wanita yang selalu setia menjadi pelampiasan nafsu binatangnya, ia justru mencium Adelia dalam dan terasa penuh cinta.

"Katakan pada pria itu, bahwa kamu tak memiliki rasa padanya. Bahwa kamu hanya milikku dan dia boleh meninggalkanmu secepatnya."

Adelia tak menjawab. Ia tak tahu harus menjawab apa, karena memang tak ada pria yang akan menggantikan Bisma dan hati dan hidupnya. Ia hanya menangis dan menangis dalam diam dan dibawah kuasa Bisma yang tak tahu kapan akan menghakhiri penyatuan ini. Hatinya sakit, batinnya terasa perih. Mata Bisma sayu dan tampak rapuh menatapnya. Seakan pria itu harus menerima kekalahan dan rela melepas sesuatu yang berarti di antara mereka.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top