12 Sakit
Bagi Anindita, hidupnya sangat indah dan menyenangkan bak di surga. Bagaimana tidak, ia bisa bebas bermain di sebelah rumah yang menyajikan banyak permainan menyenangkan. Asiknya lagi, penjaga rumah ini selalu tersenyum dan memanjakannya. Apapun yang Anindita inginkan, dalam sekejap akan tersedia.
Ia bisa bermain bersama hewan peliharaan seperti yang ia lihat di televisi. Yang sebelumnya ia hanya bisa melihat domba dari jauh dan tak berani mendekat, kemarin ia bisa bebas memeluk dan memberi makan satu domba yang tiba-tiba ada di halaman rumah sebelah.
Anindita juga dipersilakan memasuki kediaman sederhana namun mewah yang memiliki televisi sebesar karpet bermainnya di rumah. Ia bebas menonton apapun di sana dan menari di atas karpet empuk yang tak akan membuatnya benjol jika jatuh.
Hal ini membuat Adelia semakin hari semakin geram. Anaknya yang semula pendiam dan cenderung menuruti arahan Nia dan dirinya, kini menjadi keras dan semaunya sendiri. Sejak bertemu Bisma, Nia jadi berubah sikap pada Anindita. Ten Nia tak lagi berani tegas dan keras pada bocah dua tahun ini. Saat Adelia bertanya mengapa Nia tak lagi berani berlaku tegas pada anaknya, jawabannya, "Teteh takut dilaporin ke polisi sama ayahnya. Biar ganteng gitu, tampang ayah Nindita kayak mafia. Teteh gak berani ambil resiko, Del."
Hati Adelia semakin bimbang. Satu sisi ia ingin memarahi penjaga rumah sebelah yang selalu memanjakan Anindita, tetapi urung karena tak sudi memasuki hunian itu. Ia bahkan pernah menghubungi Hanata melalui nomor kantor Bisma dan meminta sekretaris Bisma untuk menyampaikan keberatannya terhadap apa yang terjadi pada putrinya, sejak rumah sebelah ada.
"Itu urusanmu, Adelia. Itu anakmu dan Bisma. Bicaralah padanya, jika memang keberatan. Urusanku hanya melakukan apa yang Bisma perintahkan dan menerima upah. Sudah. Soal apa yang kamu rasa terhadap dampak adanya rumah itu, bukan lagi hal yang harus kupikirkan."
Usaha Adelia mencoba menegur Bisma hanya sampai situ. Ia tak berani menghubungi Bisma dan mengutarakan keberatannya. Bukannya ia takut terhadap ancaman Bisma. Ia hanya ... takut jika hatinya melemah jika terus menerus berinteraksi dengan Bisma. Sudah bagus pria itu tak lagi ke sini sejak terakhir mereka bertemu. Adelia tak perlu bersusah payah menormalkan degup jantung dan debaran hatinya setiap tatapan mereka bertemu.
Sejak rumah sebelah ada, Anindita lebih banyak menghabiskan harinya di sana. Adelia tak bisa sepenuhnya mengontrol, karena ia harus berada di penggilingan padi untuk bekerja. Ia juga harus berkeliling sawah bersama Sunu untuk memantau perkembangan tumbuh padinya di sana. Ketika ia pulang di sore hari, bukan Anindita yang menyambut, melainkan sepi dan gelap. Nia dan Anindita baru keluar rumah sebelah saat hari sudah terlampau petang dan anak itu tertidur pulas di sana.
"Maaf ya, Del. Bukannya Teteh mau gimana ya, setiap hari ayah Nindita mukanya muncul di tivi yang gedenya selebar karpet itu. Mereka ngobrol dan Nindita seneng banget. Ayahnya Nindita juga bilang ke Teteh supaya bebasin Nindinta mau apa. Teteh takut sama ayahnya Nindita, Del, suer. Kalau lihat Teteh tuh, kaya mau libas Teteh pake traktor sawah. Teteh gemeter terus."
Adelia tak bisa juga menyalahkan Nia atas ketidaknyamanan wanita itu terhadap sikap Bisma. Aura Bisma memang dingin dan mengintimidasi. Ia selalu mampu membuat lawan bicaranya bertekuk lutut dan kehabisan kata. Kemampuan Bisma menyembunyikan emosi, membuat lawan bicara pria itu selalu sulit menebak apa yang Bisma pikirkan. Hanya Adelia yang tahu, bagaimana Bisma meluapkan semua rasa dalam hati pria itu dan bagaimana geriknya ketika mereka hanya berdua.
"Del, tadi ini ya, Teteh sama Nindi makan pizza. Ampun, Del, enak banget. Kejunya bisa panjang gitu pas ditarik. Nindita makan banyak, setelah itu joged-joged sambil nyanyi Baby Shark. Pas tivinya berubah jadi wajah ayahnya, Nindita ngobrol sama itu orang. Ayah Nindita senyumnya manis, sih, Del. Tapi senyumnya cuma ke Nindita, ke Teteh mah galak."
Setiap mendengar laporan Nia tentang apa yang Nindita lewati sehari-hari di rumah sebelah, jujur ada satu sisi hatinya yang menghangat. Meski tak punya teman, Nindita nyatanya bisa tersenyum dan tertawa lepas. Nia kerap mengambil gambar Nindita yang sedang beraktifitas di sana dan mengirimkan pada Adelia yang sibuk di penggilingan. Bisma sungguh tahu bagaimana menjerat Nindita dalam pesonanya hingga anak itu berubah sikap menjadi pembangkang pada ibunya.
Rencana Adelia setelah ini adalah, jika Bisma datang ke sini entah kapan, ia akan bicara langsung dan meminta Bisma menghancurkan rumah itu. Sadar atau tidak, sejak rumah itu ada dan Nindita nyaman di dalamnya, hidup Adelia merasa semakin hancur akibat rasa kehilangan Nindita yang lebih suka menghabiskan hari di sana. Persetan dengan puluhan boneka lucu yang Nia ceritakan, pun pada barbie cantik dengan rumah-rumahan yang membuat Nindita teriak histeris. Semua itu tak Adelia butuhkan, karena ia yakin pada akhirnya semua kemewahan itu akan menghancurkan hubungannya dengan Nindita.
Padahal, baru dua mingguan Nindita mulai akrab dengan rumah sebelah, tetapi anak itu sudah berubah total. Tak lagi takut pada Nia dan hormat padanya. Bagi Nindita, rumah sebelah adalah istana dan singgasananya. Dimana ia bisa bebas melakukan apapun sesukanya.
Seperti saat ini contohnya. Saat Adelia berlari kencang menerobos hujan dari sawah sampai di penggilingan, ia mendapat kabar dari Wawan jika ponselnya berdering dan Nia menghubungi. Adelia mengambil ponselnya dan menghubungi Nia untuk bertanya ada apa.
"Nindita minta mandi hujan sambil berendam bola. Sama penjaga rumah sini dipompain kolam plastik yang isinya bola warna-warni. Nindita minta berenang bola sambil hujan-hujanan, Del. Teteh bingung larangnya gimana."
Rahang Adelia menegang mendengar informasi dari Nia. "Paksa dia pulang ke rumah dan kunci. Biarkan dia menangis dan meraung, Teh. Jangan takut sama penjaga rumah sebelah. Nanti saya yang samperin dia sendiri."
"Masalahnya, Del, tadi Teteh sudah larang dan Nindita malah ngamuk guling-guling di karpet depan tivi. Pas dia nangis kejer, tiba-tiba tivinya ada muka ayah Nindita. Teteh diomelin sama dia dan disuruh ikutin apa mau Nindita."
Tenggorokan Adelia seketika terasa cekat dan tubuhnya lemas. "Terus sekarang?"
"Anaknya lagi mandi hujan," cicit Nia penuh rasa salah. "Maafin Teteh, Del."
Adelia hanya bisa pasrah, seperti ia saat tiga tahun lalu. Apapun yang Bisma lakukan pada hidupnya, nyatanya Adelia tak benar-benar mampu melawan. Adelia berpesan pada Nia agar membatasi waktu Nindita bermain hujan dan memastikan perut bocah itu kenyang agar tak masuk angin. Nia segera menutup sambungan mereka, karena harus ikut mandi hujan demi menjaga bocah yang wanita itu bingung siapa orang tua dan majikannya.
Malamnya, Anindita merengek dan membuat Adelia bergadang hingga pagi. Anak itu demam tinggi dan menggigil hingga Adelia panik sendiri. Hujan siang tadi memang deras dan lama. Harusnya ia pulang dan mengurung Anindita di rumahnya, daripada harus berakibat begini. Ia menghubungi Nia saat matahari sudah terbit dan mendapat kabar jika Nia juga mengalami demam yang sama. Tampaknya, mereka terlalu lama bermain hujan dan kelelahan hingga sakit.
Adelia semakin panik saat sudah tiga hari diberi paracetamol, tubuh Anindita tak juga membaik. Ia menghubungi Sunu untuk meminta tolong antar ke klinik, tetapi sayang Sunu sedang ke Jakarta mengirim sekam dan kulit padi. Adelia stress. Selama tiga hari ia hanya menggendong Nindita dan menimang agar anaknya berhenti rewel. Ia bahkan tak memikirkan makan dan mandi.
Dan saat kesabaran Adelia tak lagi ada, ia nekat menerobos malam dan menggendong Anindita sambil membawa sepeda motor ke klinik terdekat. Dokter jaga merujuk Adelia ke rumah sakit karena Nindita mengalami gejala tipus. Wajah Adelia pucat dan tubuhnya gemetar mendapati kemungkinan Nindita harus dirawat intensif. Ia segera meminta tolong siapapun untuk mengantarkan ke rumah sakit umum daerah agar anaknya segera mendapat penanganan.
Seorang tetangga yang kebetulan bertemu dengannya, menolong Adelia kembali pulang untuk bersiap membawa baju ganti, jika Nindita benar harus rawat inap. Saat mereka hendak berangkat ke rumah sakit, Bisma datang dan menyeret Adelia yang tubuhnya sudah lemah ke dalam jeep wrangler milik pria itu. Sebelum menaiki mobil Bisma, Adelia sempat memberontak dan berteriak. Tak peduli jika saat ini sudah masuk dini hari.
"Aku tak butuh bantuanmu, Bisma. Jangan ganggu aku!"
"Anindita sakit tiga hari dan kamu tak sekalipun mengabariku, Adelia!" Suara Bisma rendah dan menekan. "Jika anak buahku tidak mengejar Nia dan mendapat informasi jika ia sakit, aku tak mungkin tahu jika kamu lalai pada anakku." Tanpa menunggu lagi, Bisma mengangkat tubuh Adelia yang menggendong Nindita, masuk ke dalam Jeep itu dan menutup pintu penumpang. Ia menghubungi seseorang, sebelum menyusul masuk ke kursi kemudi dan melajukan kendaraannya pergi.
Bisma membawa mobilnya menuju satu perumahan mewah di Karawang yang memiliki landasan helikopter. Sampai sana, Adelia tercengang mendapati ada helikopter yang sudah menunggu mereka.
"Kita mau kemana? Aku hanya ingin mengantar anakku ke rumah sakit, Bisma."
"Kita akan ke rumah sakit, di Jakarta." Dan Bisma merengkuh tubuh Adelia untuk masuk ke dalam kendaraan itu.
Adelia tak tahu lagi beban apa yang terasa menimpanya. Ia hanya bisa diam dan menerima segala perlakukan yang Bisma beri pada Nindita dan dirinya. Tubuhnya hanya bergerak mengikuti arus, saat kendaraan ini mendarat di atas sebuah gedung rumah sakit dan paramedis menyambut Nindita dengan sigap. Adelia bahkan tak peduli dengan penampilan dan perutnya yang entah berapa lama tak diiisi.
Saat dokter mengatakan jika Nindita terkena DBD dan tipus, Bisma meminta perawatan maksimal di kamar terbaik rumah sakit ini. Ia dengan sigap mengurus segala administrasi dan keperluan medis Nindita. Adelia yang sudah lelah tak terkira hanya bisa menangis melihat putrinya menangis ditusuk jarum infus. Ia tak terima dengan kondisi ini. ia tak terima diperlakukan begini.
Ia tak terima dengan Bisma yang seenaknya merusak hidup tenangnya dan menggangu putrinya hingga sakit begini. Ia tak terima pada sikap Bisma yang—
"Pergi," usir Adelia saat ia menatap Bisma memasuki ruang rawat Nindita. "Pergi kamu, Bisma." Air mata Adelia menurun deras dengan isak yang serak. Demi Tuhan, Adelia juga merasa tubuhnya lelah dan meriang. "Kamu menghadirkan satu lagi petaka dalam hidupku." Tangan gemetar Adelia menunjuk ke arah pintu dengan wajah yang menyiratkan banyak kecewa dan kesedihan. "Pergi sekarang, atau aku yang pergi dari hidupmu dan membawa Nindita."
Bisma tertegun di ambang pintu ruang rawat ini. Tubuhnya lelah setelah perjalan tiga hari ke Papua. Sesampainya di Jakarta, ia mendapat kabar dari penjaga rumah yang ia tugaskan memantau hidup Adelia dan Nindita, jika anaknya mengalami demam sejak tiga hari lalu. Ia yang baru saja sampai apartemen petang tadi, langsung melajukan mobilnya menembus kemacetan ibu kota hingga sampai di Karawang pada dini hari. Beruntung, ia masih bisa bertemu Adelia dan membawa anaknya ke rumah sakit.
Saat ini, saat ia ingin dekat dan menjaga putrinya, ia justru mendapat penolakan lagi. Wajah Adelia tampak kacau dan mengenaskan. Hati Bisma terasa remuk, tetapi tak tahu harus berbuat apa. Enggan membuat Adelia membuktikan ancamannya, ia berbalik dan keluar kamar rawat Anindita. Bisma duduk di kursi panjang koridor rumah sakit, dengan tubuh lelah, pikiran kacau dan hati yang terluka. Ia memejamkan mata tetapi pikiran dan tubuhnya terus terjaga.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top