11. Kejutan
Adelia melirik jengah pada pegawai kontraktor yang tiga hari lalu datang dan membangun entah apa di kebun luas milik Bu Yuyu. Info yang ia dengar, tanah Bu Yuyu terjual dengan harga tinggi oleh seorang pengusaha dari kota. Masalahnya, kebun Bu Yuyu berada tepat di sebelah rumahnya dan ia tak tahu akan dibangun menjadi apa. Ia hanya takut, tetangga barunya bukan orang yang menyenangkan untuk hidup bersanding dalam bermasyarakat.
Teh Nia sempat bertanya pada salah seorang buruh bangunan yang mengerjakan pembangunan itu. Ia hanya mendapat jawaban jika tanah Bu Yuyu akan dibangun rumah sederhana dengan taman yang luas. Hanya itu penjelasannya. Adelia dan Teh Nia jadi berspekulasi sendiri sesederhana apa rumah yang akan dibangun di atas tanah yang luasnya lebih dari lima ratus meter itu? Bu Yuyu adalah janda kaya yang mewarisi banyak tanah dari mendiang suaminya. Bukan hanya di sebelah rumah Adelia, Bu Yuyu masih punya beberapa titik tanah lagi yang luasnya tak bisa diremehkan.
"Orang kota mana yang mau bangun hunian di sini ya, Del?" Teh Nia ikut menerawang pada truk molen yang berputar mengaduk semen dan pasir. "Pensiunan tua, kali, ya?"
"Gak tahu, Teh," sahut Adelia seadanya. "Kita lihat saja saat yang punya datang. Semoga ramah dan baik."
Hingga satu bulan berlalu, hidup Adelia mulai tenang lagi. Bisma tak pernah datang menemuinya, meski dalam hati wanita itu sebenarnya ia rindu. Hanya saja, ia harus kuat menerima kenyataan bahwa tak ada kisah yang berakhir indah jika dimulai dari sebuah kesalahan. Bisma tak menampakkan keinginannya untuk memperjuangkan Adelia. Pria itu benar-benar pergi setelah diusir dan tak pernah menampakkan diri lagi.
Ya, hidup memang harus berjalan dan kita wajib kuat melewati segala skenario yang hadir di dalamnya. Adelia melanjutkan hidupnya meski malam-malam wanita itu makin sering terusik dengan ingatan tatapan Bisma saat terakhir mereka bertemu. Ketika Bisma hendak mendekat, dan ia mundur ketakutan.
Rumah sebelah sudah rapi. Benar apa yang Teh Nia dengar dari pekerja bangunan itu, bahwa rumah yang dibangun sangat sederhana dan tak luas. Pantas pembangunan selesai sebelum dua bulan dan Adelia bisa melihat taman indah di pekarangan sebelahnya. Kebun yang semula hanya berisi pohon pisang dan kelengkeng, kini berubah menjadi taman indah dengan aneka tanaman hias.
Siang ini ia terkejut saat Teh Nia memberitahunya jika ada tamu yang datang. Wanita, berwajah ketus dan judes, memaksa ingin bertemu Adelia. Sesaat lalu terdengar suara truk yang Adelia yakin milik rumah sebelah. Namun, mengapa justru ia yang kedatangan tamu? Oh, mungkin yang dimaksud Teh Nia itu penghuni baru rumah itu.
Saat Adelia keluar dari dapur, matanya membelalak terkejut melihat siapa yang berdiri angkuh dengan gestur risih di teras rumahnya. "Hanata?" Sungguh, Adelia tak percaya bertemu wanita ini di sini.
Hanata berbalik dan tersenyum segaris pada Adelia. "Bisakah aku masuk ke dalam rumahmu? Apa ada pria di dalam sini? Maaf, Del, tapi aku tak nyaman dengan mereka yang memandangku dengan tatapan norak dan wajah kampungan itu."
Adelia meliarkan pandangan pada "mereka" yang Hanata maksud. Sekali lagi, para tetangga yang kali ini didominasi pria, mengerumuni rumahnya dengan mata yang menatap kagum pada sosok Hanata. Wanita berbusana sepan dan hem ketat, berambut panjang lurus berkilau, jam tangan mewah, tas mahal, juga kosmetik yang membuatnya tampak seperti selebritas tivi kegemaran mereka.
"Masuklah." Adelia mengangguk, lantas membukakan pintu rumahnya. "Ngomong-ngomong, ada apa kemari?"
Hanata memutar bola matanya sebelum menatap Adelia jengah. "Kamu pikir? Apa tugasku setelah Bisma tak lagi memiliki asisten pribadi? Bobot kerjaku semakin tinggi tapi pendapatanku tidak," keluhnya seraya menumpu kaki kanan di atas kaki kirinya. "Parahnya lagi, aku harus jauh-jauh ke tempat ini untuk mengurusi urusan pribadinya."
"Bisma tidak punya urusan di sini," elak Adelia dengan wajah tegang.
"Ada, banyak," jawab Hanata singkat dan santai. "Ia membangun rumah istirahat dan aku harus mengurus perabotnya." Wajah Hanata tiba-tiba terkejut melihat Teh Nia yang datang menyuguhkan teh. "Ya Tuhan, Adelia! Kamu benar-benar membawa 'tanda jasa karya'. Aku sunggu tak menyangka jika wajahnya benar serupa Bisma waktu kecil." Hanata lantas berjongkok untuk melihat lebih jelas bocah yang sejak tadi mengekori Teh Nia. "Kalian benar-benar ... ah, sepupuku yang malang. Untuk bertemu anaknya saja, harus begini," ucapnya lirih seraya mengulurkan tangan pada Anindita. "Hai. Aku Hanata, sepupu ayah kandungmu. Tante membawa banyak mainan untukmu. Apa kamu mau lihat?"
"Aku tidak akan menerima apapun dari Bisma, Hanata," tolak Adelia sebelum Hanata berhasil menggendong Anindita. "Katakan padanya aku tak bisa dan tak ingin menerima apapun darinya."
Hanata mengedikkan bahu tak acuh, sebelum menggandeng Anindita. "Kamu mungkin tak bisa dan tau mau, tapi anak itu akan mendapatkan banyak hal dari Bisma. Kamu tahu bagaimana sepupuku dan langkahnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Tanpa perlu kujelaskan panjang lebar, aku tahu kamu paham apa yang kumaksud, Adel." Hanata menarik lembut Anindita keluar rumah, dan memasuki pekarangan rumah sebelah yang sedang membongkar aneka permainan dari dalam truk toko perabot ternama.
Anindita berteriak girang saat seorang petugas sudah selesai merakit perosotan dan ayunan yang terbuat dari plastik. Hanata membawa anak itu dengan kawalan Teh Nia yang tak putus mengawasi Nindita. Diam-diam, Teh Nia bergidik ngeri dengan segala hal yang kini mendatangi hidup Adelia.
Sedang di dalam rumah, Adelia seketika lemas seperti kehabisan darah. Bisma tak datang, tapi pria itu ternyata sudah memiliki rencana matang untuk membuktikan apa yang pria itu ucapkan. Mengambil dan menguasai apa yang seharusnya jadi milik pria itu. Namun, Anindita bukan anak Bisma. Anindita anaknya dan Bisma tidak menikahinya.
Masalahnya, tanpa ia tahu, Bisma ternyata memiliki rumah dan tanah yang terletak persis di sebelah rumahnya. Jika ia ingin kabur, ia tak mungkin meninggalkan hunian masa kecil peninggalan mendiang orangtuanya. Jika bertahan, bagaimana ia bernapas dengan kondisi keberadaan Bisma yang kini semakin dekat dengannya?
Adelia berjalan ke dalam kamar dan membuka tirai jendela demi melihat kondisi rumah sebelah. Wajahnya seketika sendu dengan hati yang dirundung pilu melihat Anindita tertawa lepas dan bebas bermain di sana. Hanata tampak sibuk mengatur belasan orang yang memasang dan meletakkan perabotan untuk rumah itu. Mata Adelia bahkan menangkap kelinci, kucing, burung, serta kandangnya yang disambut antusias oleh bocah dua tahun itu.
Hingga sore menjelang, Anindita tak juga pulang. Adelia berkali-kali mengintip melalui jendela dan tetap saja anak itu tak beranjak dari sana. Di sekitar mereka, banyak anak dan ibu yang memandang kagum rumah baru tersebut, tetapi takut bergabung dengan Anindita yang berlarian riang.
Ini tidak bisa dibiarkan. Anindita harus pulang dan tahu mana rumahnya. Ia keluar rumah dan menghampiri Anindita untuk meminta anak itu kembali pulang. Namun, dua meter sebelum ia sampai pada anaknya, rungunya mendengar Teh Nia yang memohon pada Nindita untuk pulang, tetapi terus ditolak oleh bocah itu.
"Gak mau pulang, Del," keluh Teh Nia yang wajahnya sudah terlihat lelah. "Udah Teteh suruh dari dua jam lalu."
Adelia mengembuskan napas dan memasang wajah galak. "Anindita, pulang. Bunda tidak mau kamu bermain si rumah orang. Pulang sekarang." Tangan Adelia terulur mengambil tangan anaknya, tetapi ditepis dengan kasar dan kuat. Wajah Adelia mulai murka dan ia siap marah ketika sebuah suara terdengar menegurnya.
"Tidak boleh ada yang berbuat kasar pada anakku." Suara tegas itu terdengar lantang dari depan pagar hunian ini. Para tetangga yang sejak tadi sibuk berbisik, seketika serempak mengunci mulut mereka. Suasana menjadi tegang dan menyeramkan. Kehadiran pria yang dipastikan pemilik rumah baru ini, membuat warga sekitar gentar sendiri.
Adelia menatap Bisma dengan binar mata penuh emosi. Dadanya bergemuruh dengan amarah dan hinaan serta rasa terhianati karena Bisma diam-diam memiliki cara licik mengambil hati Anindita. Ia menatap Hanata yang kini berdiri si sampingnya, seraya mengusap peluh yang membasahi wajah lelah wanita itu.
"Bukan salahku jika anakmu suka berada di sini," ucap Hanata ringan. "Aku hanya menjalankan tugas dari atasanku, dan selebihnya itu urusanmu sendiri." Lalu Hanata melangkah pergi memasuki mobil yang sejak siang tadi terparkir.
Mata Adelia kini menatap Bisma yang berjalan tenang menghampiri Anindita. Anak itu tampak menahan tangis akibat melihat wajah bundanya yang murka. Bisma berjongkok di depan anak itu dan menatap wajahnya dengan lamat dan tatapan dalam. Mereka saling menatap dan Anindita tampak tak takut dengan orang asing yang mendekatinya kini. Berbeda dengan Teh Nia yang berdiri gemetar di belakang Anindita.
"Suka dengan mainannya?" tanya Bisma lembut, tetapi tak mengurangi aura intimidasi pria itu.
Anindita mengangguk semangat. "Mau main sepeda sama kelinci," jawabnya seraya mengerjap penuh semangat dan senyum bahagia.
"Boleh, tapi makan dulu." Bisma mengangsurkan beberapa kantung plastik berisi banyak makanan enak. Senyum pria itu terukir samar melihat respons bocah yang berbinar melihat pemberiannya. Ia kembali berdiri dan meminta Teh Nia menerima bawaannya. "Pastikan anak saya makan dengan baik dan layak di sini," perintahnya yang langsung diangguki Nia.
Tangan gemetar Nia menerima bungkusan-bungkusan itu dan mengajak Anindita pulang yang sekali lagi, ditolak bocah itu. Nia bingung antara memaksa Nindita pulang atau membiarkan tetap di sini sesuai perintah ayahnya. Ia menatap wajah Adelia yang pasi dengan gestur kecewa, lantas kembali menatap pria dingin yang masih wangi saja meski sesore ini. "Hapunten, Pak, tapi saya harus membawa Nindita pulang karena ia harus makan di rumah."
"Saya punya rumah," jawab Bisma dingin penuh penekanan. "Biarkan dia memilih ingin tinggal dimana."
Nia mengulum bibir ketakutan. Otaknya yang pas-pas bekerja keras membuat alasan agar apa yang Adelia harap bisa terlaksana. "Uhm ... masalahnya, rumah Bapak masih kotor. Saya takut Nindita kena debu dan sakit. Mungkin besok-besok saja makan di sininya."
Bisma tampak berpikir sejenak seraya memindai rumah yang ia bangun. Pria itu kini menatap Anindita yang sibuk bermain kuda poni dari kayu, lalu berjongkok lagi. "Mau A.. Pa.. saya gendong?" tawar Bisma lembut. Ia ingin memperkanalkan dirinya dengan ayah atau papa, tetapi lidahnya kaku untuk mengucapkan itu semua.
"Main! Main!" Anindita menjawab dengan antusias.
Bisma memanggil beberapa petugas yang sedang bersiap pulang dan meminta mereka memindah beberapa mainan ke rumah Adelia. "Main sepeda dan kelinci di rumah," ucap Bisma seraya mengangkat anak itu dan membawanya ke rumah Adelia.
Dari tempatnya berdiri, Adelia hanya bisa menatap interaksi pertama Bisma dan anaknya, dengan hati yang tak bisa ia gambarkan bagaimana rasanya. Mata wanita ini terasa memanas dengan dada yang sesak. Ada sakit hati yang bercampur haru, tetapi ia tak menampik bahagia melihat anaknya ceria dan tertawa lepas.
Bisma menurunkan Anindita setelah petugas meletakkan sepeda, kuda kayu, dan kandang kelinci, lalu kembali menatap bocah itu dengan tatapan yang sulit Adelia pahami.
Yang jelas, ketika mata Adelia menangkap Bisma mengusap lembut rambut ikal Anindita dan mencium kening putrinya untuk pertama kali, saat itu juga seluruh tulang dan persendiannya terasa ngilu dan perih. Ia tak tahu perasaan apa ini? Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, selain tetap pada pendiriannya untuk menolak keberadaan Bisma dihidupnya yang sudah tenang ini.
*****
Mon maap, postingnya bar-bar wkwkwkwk. Aku mau kebut akhir bulan ebook ini sudah harus selesai. Ini akan lebih dari 15 part, tapi entah apa sampai 20 part. Yang jelas, tidak lebih dari 20.
Ramein lagi, yes!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top