10. Langkah Pertama

Warga sekitar rumah tinggal Adelia ramai dengan isu dan spekulasi mereka tentang Sunu yang pulang dalam keadaan babak belur, juga Adelia yang menangis meraung semalaman di kediamannya. Teh Nia yang mendadak jadi sasaran tanya para tetangga, hanya bisa menggeleng seraya bersumpah bahwa ia tak tahu apa-apa.

"Adel pulang diantar temannya yang orang Jakarta. Mobil A' Sunu dibawa suami temen Adel, sedang Adelnya naik mobil teteh-teteh temen Adel itu." Begitu penjelasan Teh Nia yang terucap berulang-ulang kali, tiap wajah baru menanyakan isu terbaru tentang wanita beranak satu tanpa suami itu. "Saya tidak tahu apa yang terjadi sama A'Sunu dan Adel. Mereka bungkam semua. Gak ada yang cerita acan sama saya. Ulah tanya-tanyalah! Saya pusing."

Teh Nia terpaksa membawa Anindita pulang ke rumahnya, karena khawatir dengan kondisi Adelia yang tampak terguncang entah karena apa. Ia mempersilakan Milly dan suaminya tinggal semalam di rumah Adelia dan menenangkan wanita itu entah dengan cara apa.

Pagi ini, usai memandikan dan menyuapi Anindita, Teh nia kembali ke rumah Adelia untuk bekerja seperti biasa. Saat wanita itu sudah memasuki rumah, ia bertemu Milly yang bersiap pulang. Mereka berbincang sesaat karena Milly harus pamit, sekaligus berpesan agar tak terlalu banyak bicara pada Adelia. Ibu Anindita ini sedang butuh banyak istirahat, setelah hal besar yang terjadi di pusat perbelanjaan kemarin.

Teh Nia menurut dan mematuhi setiap pesan Milly. Ia tak mengganggu Adelia barang sesaat pun. Fokusnya mengurus Anindita seorang diri, sambil membereskan beberapa hal di rumah ini. sesekali, Teh Nia melirik ke dalam kamar Adelia dan menemukan wanita itu meringkuk seorang diri dengan isak lirih yang terdengar menyayat hati. Ia ingin menghibur atau sekadar menjadi tempat Adelia mencurahkan rasa. Hanya saja, ia tak berani menganggu waktu Adel menenangkan diri. Jadi, yang ia lakukan hanya menyiapkan teh hangat dan setangkup roti untuk Adelia.

"Sarapan, Del," tawar Teh Nia hati-hati saat mengantar baki kecil berisi sarapan yang ia siapkan. Hati wanita ini mencelus melihat bagaimana wajah Adelia yang bengkak dan bengap air mata. Tampak jelas kehancuran hati wanita itu dan kepiluan yang mendalam. Tak tahan dan takut terbawa suasana, Teh Nia memilih pamit dan kembali menjalankan rutinitasnya.

Siang hari saat ia tengah menyuapi Anindita di halaman depan rumah, pergerakan Teh Nia terhenti saat mobil jeep yang tempo lalu datang ke sini, kembali lagi. Ia seketika bingung harus bagaimana. Kedatangan pria tampan khas kota itu selalu membawa bencana bagi Adelia. Ia harus mengusir pria itu jika tak ingin Adelia menangis lagi dan rumah ini ramai tetangga lagi.

Benar saja. Pria itu turun dari jeep dan berjalan penuh wibawa menuju rumah Adelia. Teh Nia gugup dan bingung. Ia tak pernah menyambut pria tampan berkemeja rapi seperti ini. Ah, mau seperti apa bentuknya, yang jelas ia harus—


"Saya harus bertemu Adelia." Pria itu bicara padanya dengan wajah dingin dan aura yang mengintimidasi. Rencana Teh Nia yang ingin mengusir jadi gagal karena sudah takut sendiri. Ia hanya mematung dengan tatapan ke arah pria yang berdiri tepat di depannya. "Sekarang," lanjutnya dengan nada menekan yang berhasil membuat jantuh Teh nia loncat entah kemana.

"Se—sebentar." Teh Nia hanya mampu mencicit lirih, lantas mengambil Anindita yang duduk di tangga teras, lalu masuk ke dalam rumah.

Adelia yang tahu bahwa pria itu pasti datang menghampirinya, mengerjap pasrah seraya menguatkan hati untuk konfrontasi lagi. Semua ini tak mudah ia jalani dan Bisma tak boleh lagi seenaknya sendiri. Saat Teh Nia yang tampak gugup mengatakan pria pemilik mobil mewah itu datang, Adelia turun dari ranjangnya dan bergerak pelan keluar rumah.

"Sudah kubilang bukan, jika aku sudah berkeluarga dan hidup tenang di sini?" Wajah Adelia tampak lelah dan tak bertenaga. Suaranya datar dan dingin. Kentara sekali ia tak lagi memiliki emosi untuk ditampakkan pada Bisma.

Hati Bisma seperti diterjang badai entah apa. Rasanya mencekam, sakit, terombang ambing, tetapi ada satu rasa bahagia yang terselip. Ia tak suka melihat Adelia yang didepannya, berdiri bagai raga tak bernyawa. "Dan yang kamu maksud keluarga itu adalah milikku."

"Dia bukan milikmu, Bisma. Dia anakku. Jadi, tolong tinggalkan kami dan jangan pernah lagi temui kami." Adelia menatap wajah Bisma yang menegang dengan hati yang terasa lelah dan hampa. "Tolong. Tolong aku, Bisma. Tolong tinggalkan aku dan jangan usik lagi milikku yang berharga."

Bisma terdiam, terpaku, tak bersuara. Ia hanya menatap Adelia konstan tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya pada objek lain.

"Kamu menyiksaku tiga hari berturut-turut. Mengunciku dalam genggamanmu, menguasaiku, memilikiku, dan aku harus mau berada dibawah kuasamu demi tanda tangan pengunduran diriku. Aku bodoh, saat itu. Ancaman membuatku kalut dan tak tahu harus bagaimana selain mengikuti apa yang kalian pinta hingga menghancurkan hidupku sendiri." Tangis Adelia meluncur lagi. Matanya sudah bengkak dan wajahnya memerah menahan tekanan. "Tiga tahun aku menjalani banyak petaka sendiri. Tuhan menghukumku dan membuatku terus menangis dibawah penyesalan dan rasa bersalah pada ibuku. Hanya Anindita yang membuatku kuat setelah banyak hal buruk yang kuterima darimu dan ... ibumu. Jadi tolong, jangan ambil anakku atau lebih baik aku mati saja."

"Adelia—" Bisma tak sanggup bicara. Rasa aneh dalam hatinya seketika menguasai pikiran pria itu hingga membuatnya tak memiliki apapun untuk membela atau menjelaskan.

"Kuminta padamu dengan sangat. Tolong jangan lagi ada di hidupku. Di mata ibumu aku hina, Bisma. Aku jalang yang menggoda anaknya dan kini ... hamil tanpa pernikahan. Tolong pergi dan jangan kembali pada diriku yang hina ini. Biarkan aku tenang dan menerima dengan lapang segala kesakitan yang kubawa dari hubungan kita dulu. Pergilah. Jangan buang waktu dan tenagamu, karena aku tak akan mungkin mendekat kepadamu."

Adelia berharap, apa yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran yang ia rasa dan pikirkan. Bukan dusta yang ia putar dan ucapkan demi mengusir pria yang masih selalu ada di hatinya. Adelia mencintai Bisma. Sejak dulu, hingga sekarang, meski petaka dan kepahitan harus ia terima. Adelia mensugesti dirinya, bahwa ia pasti bisa melalui ini sendiri dan menyampingkan keinginannya yang tersimpan jauh di dalam hati, bahwa sebenarnya ia ingin menangis di pelukan Bisma dan menumpahkan segala hal pedih yang ia tanggung sendiri. Namun, ia harus sadar jika Bisma bukanlah pria yang akan mempedulikan perasaannya. Pria itu hanya membutuhkannya untuk memuaskan hasrat liar pria itu.

Bisma tak menjawab permintaan Adelia. Ia justru menoleh pada asal suara teriakan yang memanggil tetua di kawasan ini.

"Usir dia, Pak RT! Dia mengganggu salah satu warga kita!" Sunu berjalan tergopoh dengan wajah yang masih berbalut perban di beberapa titik. "Pria itu mengganggu Adelia dan membuat Nia ketakutan hingga menghubungi saya dan bicara panik. Usir dia, Pak RT!"

Bisma tak gentar. Ia hanya menatap tak minat pada dua orang yang berjalan tergopoh mendekatinya. Saat sunu dan pria paru baya itu sampai di hadapannya, Bisma hanya menatap mereka malas. "Saya tidak ada urusan dengan kamu," ucap Bisma pada Sunu. Lalu, pria itu menatap pria yang dipanggil Pak RT dan memasang wajah serius. "Saya ayah anak yang dikandung Adelia. Saya tidak akan mengganggu kalian. Saya hanya memastikan bahwa anak saya hidup dengan baik di sini."

"Iblis jahanam, kamu!" Sunu hendak menyerang Bisma, tetapi urung melihat bagaimana Bisma menatapnya dengan sorot mata mengerikan.

"Kamu diam, atau aku bisa membuat hidupmu lebih hancur dari wajahmu," ancam Bisma dengan nada dingin dan wajah mengintimidasi. Ia kini kembali menatap wajah Pak RT yang mulai tampak gugup melihat ekspresi Bisma yang seakan memiliki kekuatan besar untuk menghancurkan desa ini beserta penghuninya. "Saya ingin meminta tolong pada Anda." Bisma menatap Pak RT yang beruban itu tanpa takut dan sungkan. "Pastikan Adelia dan anaknya mendapat perlakukan yang layak dan baik di sini. Sekali saya mendengar ada yang mengganggunya, saya pastikan kalian semua terusir dari sini."

"Baik, baik." Pak RT yang tampak pucat, mengangguk gugup dan menjawab gagap.

Bisma kembali menatap Adelia dan merekam wajah wanita tercintanya yang berdiri lemah dengan isak yang masih menguasai wanita itu. Ia maju satu langkah, ingin mengecup singkat Adelia, tetapi urung saat wanita itu justru mundur dengan gestur ketakutan. Ia mendengkus cepat da berkata, "Istirahatlah. Aku akan kembali secepatnya."

Sebenarnya, ia masih ingin berada di sini beberapa saat lagi dan mencoba berinteraksi dengan bocah yang membuatnya tak bisa tidur sejak kemarin. Hanya saja, wajah Adelia, sambutan Sunu dan warga yang entah sejak kapan berkerumun, membuat Bisma harus lebih banyak sabar lagi. Ia hanya menatap Teh Nia yang menggendong Anindita dari kejauhan. Ia ingin memanggil bocah itu, tetapi takut Adelia marah dan menganca mengakhiri hidupnya.

Ia berbalik, melangkah menuju mobilnya, menaiki benda yang beberapa kali menjadi tempatnya bercumbu bersama Adelia dan menatap Anindita yang dipeluk Adelia di teras rumahnya. Ia tak segera pergi, meski kerumunan warga sudah terurai dan sepi. Ia masih duduk sendiri di atas kursi kemudi, memindai Adelia dan putri mereka, hingga pintu rumah itu tertutup seakan tak akan pernah memberinya kesempatan untuk masuk dan bahagia di dalamnya.

******

Double updatekah hari ini?


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top