1. Pulang Kerja
Langkah kaki bersepatu hak tinggi itu bergerak lunglai. Jelas sekali jika si pemakai marie jane shoes warna hitam itu sedang di puncak lelah. Untunglah apartemen mewah ini, koridornya dilapisi karpet bak hotel megah bintang lima. Jadi, andai ia terjatuh akibat mengantuk atau terlalu lelah, kepalanya tak harus langsung bertemu dengan lantai.
Suara tombol kombinasi angka kunci pintu salah satu unit itu terdengar. Bunyi "bib" yang menandakan bahwa sandi kunci benar, membuat pria yang berjalan menduluinya membuka pintu mewah itu dan meliriknya malas untuk masuk ke dalam.
Sampai di meja kamar pria itu, Adel membereskan perlengkapan kerja atasannya. Matanya melirik sekali pada Bisma yang tanpa malu-malu membuka kemeja dan celana kerja di depan dirinya, hingga pria itu hanya tinggal mengenakan celana dalam.
"Aku mandi dulu," pamit Bisma tak acuh seraya melenggang santai menuju kamar mandi kamar itu.
Adelia menghela napas lirih dan terdengar lelah. Ia harus membuka ulang agenda dan memastikan kembali apa saja jadwal yang Bisma miliki untuk esok hari. Menyiapkan dan mengatur kebutuhan pria itu, serta berkordinasi dengan sekretarisnya. Usai merangkum cepat agenda yang ia dapat dari Hanata sore tadi, Adelia beranjak menuju lemari pakaian Bisma dan menyiapkan piyama tidur majikannya.
Anak sultan mah beda. Dari orok sampe bisa bikin orok, sah-sah saja dilayani begini. Usai menyiapkan pakaian Bisma, Adel merapikan serakan pakaian kerja yang pria itu campakkan begitu saja. Esok hari, sebelum mereka berangkat kerja, Adel harus memastikan jika binatu sudah mengambil semua baju kotor pria itu.
Aroma sabun entah sampo menguar ke seisi ruang tidur Bisma. Adelia yang berusaha tak acuh, tetap fokus pada isi lemari pria itu. Minggu ini Bisma ada acara keluarga. Ulang tahun pernikahan orang tuanya. Kabar yang ia terima langsung dari ibu pria itu, si nyonya besar ingin pesta kali ini dresscodenya biru tua. Dari pada harus repot membeli baju baru, Adel memilih melihat isi lemari Bisma dan menyiapkan busana pria itu dari sekarang.
Yakin Bisma sudah memakai piyamanya, Adelia berbalik. "Bis, aku pulang dulu, ya."
Pria yang baru saja menaiki ranjang dan bersandar pada papan kepala ranjang, mengerutkan kening dengan pandangan tak setuju. "Besok ada rapat jam tujuh pagi, Del." Pria itu kini fokus pada ponsel sesaat, lalu menatap Adelia lagi. "Conference call sama Australia. Aku gak bisa terlambat."
"Aku pastikan sebelum jam enam pagi sudah di sini lagi."
Bisma menggeleng tegas. "Kamu mandi sekarang, lalu kita tidur bersama." Mata pria itu menatap asisten pribadinya konstan dengan binar yang dalam dan sarat banyak emosi di sana. "Aku lagi bad mood gara-gara meeting terakhir kita."
Bad mood. Adelia menghela napas panjang. Ia mengerjap seraya menatap Bisma yang kembali menekuri ponselnya, lalu beranjak mengikuti perintah pria itu tanpa berminat membantah lagi. Tubuhnya sudah lelah, ditambah hati dan pikirannya juga kini berkecamuk dengan satu nama pria yang ia cintai.
Meeting petang tadi memang menyebalkan. Setidaknya, begitulah bagi mereka. Negosiasi yang Bisma lakukan tidak berjalan lancar. Sebenarnya, hal seperti ini di dunia bisnis sudah biasa. Namun, tekanan yang Bisma miliki membuat pria itu merasa harus berhasil disetiap langkah yang diambil.
Setiap manusia juga tahu, bahwa tak mungkin dalam hidup ini, semua keinginan bisa tercapai dengan mulus tanpa hambatan atau satu dua kali kegagalan. Namun, tak salah bukan, jika kita ingin berusaha dan berharap setiap harapan dan keinginan yang kita perjuangkan berakhir sesuai harapan? Setidaknya, kita berusaha dulu hingga tetes peluh terakhir.
Adelia menatap pantulan dirinya di cermin. Ia baru selesai mandi dan tubuhnya tampak sedikit lebih segar, meski gurat lelah tak juga hilang dari wajah gadis itu. ia mencoba menarik kedua sudut bibirnya membuat lengkungan ke atas. Tak apa, Adelia. Cinta dan loyalitas memang sering bergandengan bersama. Bahkan, kedua hal itu seperti sepaket. Tak ada cinta tanpa loyalitas, begitupun sebaliknya. Menghadapi setiap emosi Bisma sudah menjadi pekerjaanmu. Jangan lupa, kamu juga melakukan pekerjaanmu dengan cinta.
Kamu tahu, Bisma memiliki kondisi peliknya sendiri. Sebagai asisten peribadi, merangkap wanita yang mencintai tanpa pamrih, harusnya kamu bisa memahami setiap hal yang Bisma pikirkan dan butuhkan. Jadi, alih-alih merasa sakit hati, lebih baik istirahat saja dan nikmati satu lagi malam bersama pria itu.
"Lama banget mandinya." Gerutuan itu menyambut Adelia yang baru keluar dari kamar mandi. Bisma menatap asistennya sesaat, lalu menutup game yang sejak tadi pria itu mainkan.
"Aku pikir, kita bisa minta negosiasi ulang. Maksudku, kamu bisa stur strategi baru, agar bagaimana caranya, kamu bisa memenangkan negosiasi itu."
Bisma menggeleng dengan wajah masam. "Aku lagi gak mau bahas itu. Sekarang aku mau rileks dan istirahat."
Adelia mengangguk patuh. Ia paham jika Bisma bukan robot canggih atau manusia setengah dewa. Ia butuh melampiaskan emosi, penat, dan lelahnya. Besok pagi mereka sudha harus berada di kantor dan melakukan conference call dengan beberapa cabang perusahaan. Harus pagi sekali, sebelum jam kantor mulai. Itu permintaan Bisma agar ia lebih mudah memikirkan hal-hal penting dan krusial tanpa perlu dikejar waktu.
"Come." Perintah itu membuat Adelia menaiki ranjang dan mendekat pada Bisma.
Tangan pria itu membuka simpul sederhana ikat jubah handuk yang Adelia pakai. Sedang si asisten, hanya pasrah saat kain itu sudah lolos dari tubuhnya dan terlempar entah kemana. Adelia hanya mengenakan pakaian dalam dan ia sudah pasrah dengan segala hal yang akan Bisma pinta sesaat lagi.
"I need you. Now." Bisma berbisik dengan suara serak. "Those fucking meetings make me nuts!" Tangan Bisma menarik tubuh Adelia mendekat padanya, mendorong hingga Adelia terlentang di bawah kungkungan pria itu.
"Kita baru mandi, Bis. Bagaimana jika aku memijatmu hingga tidur. Kamu butuh istirahat," sela Adelia mencoba merubah pikiran Bisma. Barangkali, masukannya diterima dan ia bisa tidur lebih cepat.
Bisma menggeleng. "No," tolaknya seraya mulai menikmati cuping telinga Adelia yang menguarkan baru wangi. "Aku lebih butuh ini daripada pijat," lanjutnya sebelum mulai menikmati setiap inchi kulit leher, rahang, hingga dada Adelia.
Setiap sentuhan bibir Bisma selalu mampu menggoyahkan apapun yang Adelia miliki. Jika pria itu sudah beraksi, ia hanya bisa mengigit bibirnya demi meredam desah dan lenguh serta memejamkan mata menikmati setiap keindahan yang Bisma berikan padanya.
Adelia tak bisa lama-lama menggigit bibirnya. Sekarang, pria itu mulai menginvasi bibir Adelia dengan lidah dan kecupan-kecupan ringan yang cepat berubah menjadi lumatan. Yang bisa Adelia lakukan hanyalah membalas dan menikmati setiap sentuhan yang Bisma beri, hingga mereka merasa cukup sebelum penyesalan lebih dalam merongrong hatinya.
"I need your lips," pinta Bisma ditengah permainan pria itu pada dada dan kulit perut asistennya. Adelia bahkan sudah tak peduli di mana pakaian dalamnya saat ini. Ia juga tak tahu, kapan Bisma melepas pelindung dadanya.
"No," tolak Adelia ditengah usahanya menahan desah. "Aku udah sikat gigi."
"Fingers," perintah Bisma dengan nada tak bisa dibantah.
"After your fingers," balas Adelia tanpa sadar.
Bisma menyeringai penuh arti, sebelum membuka piyamanya dan kembali memuja asisten yang selalu berhasil membuatnya senang dan tenang.
"Let's do it fast," ucap Bisma saat mulai beraksi dan membuat Adelia merasa terbang melayang. Bisma selalu suka menikmati wajah Adelia yang polos, pasrah, dan menyerah atas apapun yang ia lakukan pada tubuh gadis itu. "Kita harus lekas tidur dan bangun pagi esok hari."
Adelia tak peduli lagi dengan apa yang Bisma ucapkan sebelum pria itu membelai miliknya. Ia hanya fokus menikmati dan membalas setiap hal yang Bisma lakukan hingga mereka mendapatkan pelepasan mereka masing-masing.
"Thankyou, Del." Suara Bisma sudah serak dan sarat dengan lelah juga kantuk. Ia melumat singkat bibir asistennya sebelum terpejam dan tenang setelah senang.
Di dalam pelukan Bisma, Adelia hanya bisa tersenyum samar dan miris. Hanya terima kasih. Setiap mereka menyentuh, hanya ucapan terima kasih yang Bisma beri.
Tak ada I love you, karena mereka memang bukan sepasang kekasih. Hati Adelia harus kuat dan sadar dengan kenyataan itu.
*******
Hai, semuanyaaa. Lama tak jumpaaa!
Aku ini nulis apa sih? Kok kaya gak jelas gini!
Lanjut apa enggak, nih?
Kalaupun lanjut, paling hanya 8-10 bab, lalu lanjut jadi ebook aja. Gak usah cetak wkwkwk
Jadi, gimana menurut kalian?
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top