Bab 7 : Ngobrol Asik Bikin Makin Klik
Setelah hari yang panjang di sekolah, Ortiz menunggu di gerbang sekolah seperti biasanya, berharap Krisan akan menjemputnya seperti biasa. Namun, hari ini terasa berbeda. Krisan belum menghubunginya sama sekali, dan Ortiz mulai merasa cemas. Dia memeriksa ponselnya beberapa kali, tetapi tidak ada pesan atau telepon dari Krisan.
Saat menunggu, Ortiz memperhatikan mobil-mobil yang lewat, berharap salah satunya adalah mobil Krisan. Namun, yang mengejutkan Ortiz adalah ketika sebuah mobil Pajero Sport berwarna hitam berhenti di depan gerbang. Mobil ini bukan mobil yang biasa digunakan Krisan, yang biasanya adalah HRV. Tapi mobil itu tampak familiar.
Belum sempat Ortiz beradaptasi dengan perubahan ini, pintu mobil Pajero Sport terbuka, dan di dalam mobil, Ortiz melihat sosok yang familiar—papa tirinya. Zaini tersenyum dan melambaikan tangan kepada Ortiz, mengundangnya untuk masuk ke mobil.
Ortiz merasa terkejut dan bingung. "Papa?" tanyanya, sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.
"Ya, aku di sini. Krisan ada keperluan mendadak dan tidak bisa menjemputmu. Jadi, Papa yang menggantikan," jawab Zaini dengan senyum ramah. "Bagaimana hari kamu di sekolah?"
Ortiz mengangguk, masih sedikit terkejut dengan kejadian ini. "Hari ini baik, tapi aku tidak tahu kalau papa yang akan menjemput."
Zaini menghidupkan mesin mobil dan memulai perjalanan pulang. Selama perjalanan, Zaini mencoba memecahkan kekakuan dengan berbicara tentang hari-harinya dan mendengarkan cerita Ortiz tentang sekolah. Meskipun Ortiz merasa sedikit canggung, dia perlahan mulai merasa nyaman dengan kehadiran papanya di sampingnya.
Suasana di dalam mobil Pajero Sport terasa canggung pada awalnya. Zaini berusaha mengisi kekosongan percakapan dengan ramah dan penuh perhatian. Dia ingin membuat Ortiz merasa nyaman dan terbuka, terutama mengingat ini adalah kesempatan langka untuk mereka berbicara lebih banyak. Setelah beberapa saat, Ortiz merasa lega karena papanya yang menjemput ternyata juga sangat peduli dan perhatian. Hal yang tidak pernah Ortiz rasakan.
"Jadi, Ortiz," kata Zaini sambil mengemudikan mobil, "bagaimana harimu di sekolah? Apa saja kegiatan yang kamu lakukan hari ini?"
Ortiz yang awalnya sedikit kaku. "Hari ini biasa saja, Papa. Kami ada beberapa pelajaran dan tugas kelompok. Tapi aku merasa hari ini sedikit lebih panjang daripada biasanya."
Zaini tersenyum dan mengangguk. "Itu pasti melelahkan. Apakah kamu ingin berhenti di suatu tempat untuk membeli makanan atau minuman sebelum pulang?"
Ortiz menggelengkan kepala. "Tidak usah, Papa. Aku tidak lapar. Terima kasih, tapi aku ingin langsung pulang saja."
Zaini mengerti dan terus mengemudikan mobil. Dia mencoba mengalihkan percakapan untuk lebih mengenal Ortiz. "Mama kamu sering cerita tentang kamu, tapi aku ingin mendengar langsung darimu. Bagaimana kamu biasanya menghabiskan waktu setelah pulang sekolah?"
Ortiz memikirkan sejenak sebelum menjawab, "Biasanya, aku jarang bertemu dengan Mama karena dia sering pulang kerja larut malam. Di rumah, aku biasanya menyiapkan makan malam untuk kami, terutama kalau Nenek Umira sedang istirahat. Aku suka memastikan semuanya siap sebelum mereka pulang."
Zaini mendengarkan dengan seksama, merasa terkesan dengan tanggung jawab Ortiz yang besar di rumah. Zaini mengemudi sambil terus mencoba mengajak Ortiz berbicara tentang hal-hal yang dia suka dan kegiatan sehari-harinya. Meskipun percakapan mereka kadang terasa sedikit canggung, Zaini merasa bahwa ini adalah langkah penting untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan Ortiz.
Sesampainya di rumah, suasana menjadi lebih hangat. Ortiz dan Zaini memasuki rumah dengan senyum di wajah mereka.
Ortiz memeriksa kamar Nenek Umira, yang sudah terlelap dalam tidurnya, sebelum dia berganti pakaian. Rumah terasa tenang. Setelah itu m Ortiz mengatur beberapa makanan ringan di meja makan, mempersiapkan makan malam agar mereka bisa makan bersama malam ini. Zaini memperhatikan betapa Ortiz bekerja keras dan merasa lebih menghargai tanggung jawab yang diemban Ortiz di rumah.
Setelah makan malam, Zaini dan Ortiz duduk di ruang tamu. Zaini memutuskan untuk memanfaatkan waktu ini untuk lebih mengenal Ortiz. "Boleh kota ngobrol santai, jujur Papa bingung saat ini harus bagaimana mengatasi anak laki-laki. Dengan Krisan biasanya terasa mudah. Maaf kalau Papa sedikit canggung."
Ortiz yang merasa semakin nyaman, mulai membuka diri. "Aku suka bermain skateboard dan drum. Aku sering latihan di waktu luangku. Kadang-kadang, aku juga memainkan drum di kafe-kafe kecil di kota."
Zaini terlihat terkesan. "Wah, itu luar biasa! Aku pernah mendengar tentang orang-orang yang memainkan musik di kafe. Mungkin suatu saat aku bisa datang dan melihat penampilanmu."
Ortiz tersenyum senang. "Tentu, Papa. Aku senang bisa menunjukkan apa yang aku suka."
Ketika waktu menunjukkan pukul 9 malam, Ortiz merasa kelelahan tetapi juga merasa lebih baik setelah berbicara dengan Zaini. Zaini, menyadari bahwa Ortiz sudah mulai merasa nyaman. "Ortiz, terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbicara dengan Papa. Papa tahu ini mungkin tidak mudah, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untuk mendukungmu."
Ortiz mengangguk, merasakan kehangatan dalam kata-kata Zaini. "Iya, Pa.... eh, Papa mau nunggu mama pulang? Ortiz boleh izin ke kamar? Mau bersih-bersih."
Zaini mempersilahkan. Lalu dia membantu Ortiz membersihkan meja. Ini pertama kalinya Zaini bisa sedekat ini dengan calon anak tirinya. Dia merasa bisa mengatasi ini dengan baik hari ini.
***
Saat malam menjelang dan Ortiz bersiap untuk tidur, dia merasa lebih baik dibandingkan sebelumnya. Kehadiran Zaini di rumah dan usaha papanya untuk lebih dekat dengan dirinya memberikan rasa nyaman yang tidak terduga. Ortiz tahu bahwa meskipun perjalanannya untuk beradaptasi dengan keluarga baru tidak mudah, Zaini menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli dan ingin membangun hubungan yang lebih baik.
Dengan Zaini yang mendukung dan memahami, Ortiz merasa lebih siap menghadapi hari-hari berikutnya. Hubungan mereka mulai menunjukkan tanda-tanda positif, dan Ortiz mulai merasakan bahwa kehadiran papanya bisa menjadi bagian penting dalam hidupnya yang penuh dengan perubahan. Sebelum tidur, Ortiz mengambil waktu sejenak untuk merenung di kamarnya, memikirkan hari itu.
Sementara itu, di ruang tamu, Zaini duduk dengan segelas air putih di tangannya, merenung tentang peran barunya sebagai ayah tiri. Belinda sering bercerita tentang Ortiz—bagaimana dia adalah anak yang mandiri, bertanggung jawab, dan berusaha keras untuk menjaga keluarganya. Kini, setelah berbicara langsung dengan Ortiz, Zaini merasa semakin dekat dan yakin bahwa dirinya bisa memberikan dukungan yang dibutuhkan Ortiz.
Tak lama kemudian, Belinda pulang dari kerja lembur. Dia melihat Zaini duduk di ruang tamu dengan ekspresi yang damai namun penuh pemikiran. Belinda duduk di sampingnya dan bertanya, "Bagaimana perjalanan pulang dengan Ortiz? Apakah semuanya berjalan lancar?"
Zaini tersenyum, meletakkan gelas tehnya di meja. "Iya, lancar. Kami sempat berbicara tentang beberapa hal, dan aku rasa kami mulai lebih mengenal satu sama lain. Ortiz adalah anak yang luar biasa. Dia sangat bertanggung jawab, dan aku bisa merasakan betapa dia sangat peduli dengan keluarga ini."
Belinda mengangguk, merasa lega mendengar hal itu. "Aku senang mendengarnya. Ortiz memang anak yang kuat, tapi aku tahu dia butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan semua perubahan ini."
Zaini meraih tangan Belinda, memberinya dukungan. "Aku akan berada di sini untuknya, untuk kalian berdua. Aku ingin menjadi bagian dari keluarga ini dan memastikan bahwa semua orang merasa aman."
Belinda tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Zaini. Mereka berdua merasa bahwa meskipun tantangan ada di depan, mereka bisa melewati semuanya bersama. Keberadaan Zaini di sisi Belinda dan dukungan yang ia tawarkan kepada Ortiz memberikan harapan bahwa keluarga mereka akan tumbuh lebih kuat.
Sementara itu, di kamarnya, Ortiz mulai merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa masa depan tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Dengan Zaini yang semakin menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya, serta dukungan dari Krisan dan Belinda, Ortiz merasa lebih siap menghadapi hari-hari mendatang.
Malam itu, setelah percakapan mendalam dan refleksi yang terjadi di dalam rumah, seluruh keluarga perlahan mulai merasakan perubahan positif. Hubungan yang tadinya terasa canggung mulai mencair, dan mereka semua merasakan bahwa mereka sedang menuju ke arah yang lebih baik.
Ortiz tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dia bisa melangkah ke depan dengan keyakinan. Dengan dukungan dari sosok ayah baru dan keluarganya, Ortiz perlahan-lahan mulai menerima perubahan dalam hidupnya dan merangkul masa depan yang menantinya. Pergi dari masa lalu kelamnya yang pernah dia alami.
***
Ketika malam semakin larut, Krisan akhirnya memutuskan untuk menelepon Ortiz. Setelah ragu-ragu sebentar, dia mengangkat teleponnya dan menekan tombol panggil. Di seberang sana, Ortiz sedang berbaring di tempat tidurnya, memikirkan berbagai hal yang terjadi hari itu, terutama interaksinya dengan Zaini. Tiba-tiba, teleponnya berdering.
Ortiz meraih ponselnya dan melihat nama Krisan muncul di layar. Dengan sedikit penasaran, dia menjawab, "Halo, Kak?"
"Ortiz, kamu masih bangun?" Suara Krisan terdengar agak ragu, seperti sedang mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Iya, masih. Ada apa, Kak?" Ortiz merasa sedikit kikuk, terutama karena biasanya Krisan tidak meneleponnya pada jam seperti ini.
Krisan terdiam sejenak, mencoba untuk terdengar serius, tapi gagal total. "Hmm, sebenarnya aku mau tanya... kamu pakai sabun apa tadi pas mandi?"
Ortiz langsung tertawa. "Hah? Sabun? Kok, aneh banget sih pertanyaannya, Kak? Jangan-jangan aku bakal jadi target marketing perusahaan kakak kerja yah? Hayo."
Krisan tertawa. "Soalnya aku masuk mobilnya Papa ada aroma kamu tertinggal. aromanya tuh kayak... hmm, apa ya? Kayak bunga-bunga di taman surga! Aku sampai mikir, ini adik tiriku atau bintang iklan sabun?"
Ortiz menghela napas panjang, tapi tetap tersenyum. "Aduh, Kak. Kalau gitu besok-besok aku bawa sabunnya buat Kakak coba."
"Tolong, ya. Biar kalau kita ngumpul bareng, aroma kita cocok. Siapa tahu bisa bikin orang-orang sekitar cemburu," canda Krisan.
Percakapan mereka berlanjut dengan canda tawa, dan Krisan merasa suasana semakin cair. "Oh, ngomong-ngomong, gimana perjalanan tadi sama Papa? Dia ngasih tips-tips konyol buat jadi anak gaul, nggak?"
Ortiz tertawa kecil, ingat betapa gugupnya Zaini saat mencoba membuka obrolan. "Enggak, Kak. Cuma nanya-nanya biasa. Terus, dia malah tawarin beli makanan, kayak dia takut aku kelaparan. Aku sampai bilang, 'Santai, Pa, aku nggak mau saingan sama kulkas.'"
Krisan terkekeh, merasa senang melihat Ortiz mulai nyaman berbicara tentang Zaini. "Wah, Papa kita ini memang super ya. Besok-besok kita harus ajak dia nongkrong, biar dia tahu dunia kita kayak apa."
Mereka tertawa bersama, dan Krisan merasa percakapan ini telah membawa mereka lebih dekat. Di akhir telepon, Krisan mencoba untuk lebih serius, tapi tetap tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bercanda lagi. "Ortiz, aku cuma mau bilang... eh, kamu jangan terlalu cepat tidur, ya."
Ortiz mengernyitkan dahi. "Kenapa emangnya?"
"Soalnya... siapa tahu besok pagi aku kangen aroma sabunmu lagi, dan aku bakal nelepon jam tiga pagi cuma buat bilang, 'Ortiz, kamu benar-benar wangi!'"
Ortiz tertawa keras mendengar itu, sampai-sampai hampir jatuh dari tempat tidur. "Aduh, Kak, bener-bener deh. Jangan-jangan besok aku harus siapin cadangan sabun buat Kakak!"
Akhirnya, mereka menutup telepon dengan senyuman di wajah masing-masing. Malam itu, Ortiz tidur dengan perasaan lebih ringan, masih tersenyum memikirkan betapa lucunya Krisan. Sementara itu, Krisan merasa berhasil membuat Ortiz lebih nyaman, dan dia senang bisa membuat adiknya tertawa. Bagaimanapun, hubungan mereka terus berkembang, dengan canda tawa sebagai salah satu pengikat utamanya.
Keesokan paginya, Ortiz bangun dengan perasaan lebih segar meski sedikit mengantuk. Malam tadi, dia tertidur dengan senyuman di wajahnya setelah percakapan konyol dengan Krisan. Namun, begitu membuka mata, dia merasa ada yang berbeda.
Ortiz memeriksa ponselnya dan melihat ada pesan dari Krisan.
[Hey, ini jam 3 Pagi. Semoga hari ini kamu wangi lagi, ya! Aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu]
Ortiz tertawa kecil membaca pesan itu. Ia teringat bagaimana Krisan membuatnya tertawa terbahak-bahak semalam, dan hal itu membuat paginya terasa lebih cerah. Ia segera membalas pesan itu.
[Thanks, Kak! Semoga hari ini juga kamu nggak kalah wangi. Jangan sampai bikin karyawan di kantor pingsan karena aroma bunga surgamu, ya! 😆]
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar lagi. Krisan membalas dengan cepat, [Awas, nanti kalau aku pingsan, kamu yang tanggung jawab! 😂]
Ortiz menahan tawa, membayangkan Krisan benar-benar pingsan di kantor gara-gara bercandaan mereka semalam. Dia lalu bersiap untuk berangkat sekolah dengan perasaan yang lebih ringan dan bahagia.
Saat sedang bersiap-siap untuk sekolah, ponselnya bergetar. Ternyata pesan dari Krisan lagi.
"Siap-siap ya, aku jemput 10 menit lagi. Jangan lupa pakai sepatu kembar kita, biar makin kompak. 😂"
Ortiz tersenyum membaca pesan itu. Sepatu kembar yang dimaksud adalah sepasang sepatu sneakers hitam yang mereka beli bersama saat Krisan mengajaknya jalan-jalan beberapa minggu lalu. Krisan sangat antusias ketika itu, mengatakan bahwa sepatu kembar adalah tanda persaudaraan yang kuat, meski Ortiz sempat menganggap ide itu agak konyol.
Tidak lama kemudian, mobil HR-V milik Krisan sudah terparkir di depan rumah. Ortiz segera keluar, mengenakan sepatu hitamnya dengan rapi. Krisan melambaikan tangan dari balik kemudi, senyumnya lebar seperti biasa.
"Hai, sepatu kembar!" sapa Krisan sambil menatap kaki Ortiz. "Kamu kelihatan keren banget pagi ini."
Ortiz terkekeh dan masuk ke dalam mobil. "Makasih, Kak. Kamu juga nggak kalah keren kok, dengan setelan kerja yang rapi gitu," jawab Ortiz, masih dengan senyum di wajahnya.
Krisan mulai mengemudikan mobil, membawa Ortiz menuju sekolah. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa santai. Krisan memulai obrolan dengan topik-topik ringan, seperti rencana hari ini di sekolah dan di kantor. Tapi tentu saja, mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak bercanda.
"Jadi, kemarin Papa bilang kamu jago masak ya?" Krisan menggoda. "Aku jadi nggak sabar nunggu kamu masakin sesuatu yang lebih spesial dari sekadar mie instan."
Ortiz tertawa. "Ya ampun, Kak. Aku nggak sehebat itu juga. Tapi kalau kamu mau, kapan-kapan kita bisa masak bareng di rumah. Tapi, yang pasti bukan cuma mie instan, deh."
Krisan tertawa, senang melihat Ortiz lebih terbuka. "Deal! Aku bakal bikin hidangan penutup. Semoga nggak berakhir jadi eksperimen gagal."
Ortiz tersenyum lebar, merasa suasana di antara mereka semakin hangat. Meski perjalanan ke sekolah biasanya hanya 15 menit, kali ini terasa lebih cepat karena percakapan mereka yang terus mengalir.
Saat mereka hampir sampai di sekolah, Krisan memperlambat mobilnya dan menatap Ortiz sebentar. "Serius, aku senang banget bisa jemput kamu kayak gini. Rasanya kayak kita makin dekat setiap harinya. Kamu tahu, kan?"
Ortiz mengangguk pelan. "Aku juga ngerasa gitu, Kak. Terima kasih karena selalu ada buat aku."
Krisan tersenyum, bangga dengan kedekatan mereka yang terus berkembang. "Sama-sama, Ortiz. Kamu juga jangan segan kalau butuh apa-apa. Aku selalu di sini buat kamu."
Mereka tiba di gerbang sekolah, dan Ortiz pun bersiap-siap turun dari mobil. Sebelum keluar, Ortiz menoleh ke arah Krisan. "Sampai nanti, Kak. Jangan lupa kerja yang rajin ya."
Krisan mengangguk sambil tertawa. "Kamu juga, belajar yang baik. Sampai jumpa nanti sore!"
"Oh iya kak? Bagaimana kalau aku buatkan kue untuk kakak dan teman-teman kakak di kantor?" kata Ortis sebelum benar-benar membua pintu.
Krisa mengangguk. "Ide bagus!"
Ortiz keluar dari mobil dengan senyum di wajahnya, merasa hari ini akan berjalan lebih baik dari sebelumnya. Krisan memandang adik tirinya dari dalam mobil, merasa puas dengan cara hubungan mereka berkembang. Setelah Ortiz masuk ke sekolah, Krisan kembali melanjutkan perjalanan ke kantor, dengan perasaan bahagia yang tak terbendung.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top