Bab 5 : Babak Baru Menuju Kehangatan dan Kebersamaan

Setelah berhari-hari berada di Semarang, Zaini akhirnya bisa meluangkan waktu untuk berbincang dengan Krisan di akhir pekan. Mereka duduk santai di ruang tamu, menikmati kopi yang baru diseduh, sambil berbicara tentang perkembangan terbaru dalam kehidupan Krisan, terutama setelah pertemuan keluarga di kafe.

Zaini memulai percakapan dengan bertanya, "Jadi, bagaimana kesanmu setelah bertemu dengan Belinda dan Ortiz di kafe waktu itu? Bagaimana hubunganmu dengan mereka selama seminggu ini?"

Krisan menghela napas sambil merenung sejenak. "Pertemuan di kafe itu memang canggung, tapi setelah itu, semuanya berjalan cukup baik. Mama sangat ramah dan cepat beradaptasi dengan aku. Kami banyak berbicara tentang rencana pernikahan dengan Papa dan rencana-rencana mama mengatur keluarga kita ke depan atau bagaimana nanti kalau kita semua sudah tinggal satu atap."

"Baguslah kalau begitu," sahut Zaini. "Lalu, bagaimana dengan Ortiz? Apa kalian sempat melakukan banyak hal bersama?"

Krisan tersenyum kecil, "Ortiz awalnya agak canggung, tapi seiring waktu, kami mulai nyaman satu sama lain. Kami menghabiskan waktu bersama melakukan hal-hal sederhana seperti jalan-jalan dan makan di luar. Ortiz juga sempat aku ajak ke tempat kerjaku. Dia sangat tertarik dengan pekerjaan yang aku lakukan, dan aku berusaha untuk membuatnya merasa nyaman dan diterima."

Zaini mengangguk memahami. "Jadi, hubungan kalian mulai membaik?"

"Ya, sepertinya begitu," kata Krisan. "Ortiz juga mulai lebih terbuka dan menunjukkan minatnya dalam hobi-hobi yang dia suka, seperti bermain skateboard dan musik. Aku mencoba untuk mendukungnya dan menjadi kakak tiri yang baik."

Zaini tersenyum puas. "Senang mendengar itu. Bagaimana kalau perencanaan ke depan? Ada rencana khusus atau sesuatu yang ingin kalian lakukan bersama?"

Krisan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Saat ini, aku ingin fokus untuk mempererat hubungan kami sebagai keluarga. Kami berencana untuk melakukan beberapa aktivitas bersama, seperti liburan singkat atau kegiatan yang bisa mempererat ikatan kami. Selain itu, aku juga berencana untuk lebih banyak melibatkan Ortiz dalam kegiatan di tempat kerjaku agar dia bisa melihat lebih banyak tentang dunia profesional yang aku geluti."

Percakapan mereka berlanjut dengan Zaini memberi masukan dan dukungan pada rencana Krisan. Zaini merasa lega melihat Krisan bisa beradaptasi dengan baik dan membangun hubungan positif dengan Belinda dan Ortiz.

Di tengah perbincangan santai di ruang tamu, Zaini tiba-tiba mengajukan ide yang tak terduga. "Bagaimana kalau kita berkunjung ke rumah Belinda, sekarang?" katanya dengan senyum. Krisan, yang awalnya sedang tenggelam dalam obrolan, langsung merasa antusias. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu untuk bisa lebih dekat dengan Belinda dan Ortiz.

Tanpa berpikir panjang, Krisan segera berdiri dan bergegas menuju kamar mandi. "Oke, aku akan mandi dan ganti pakaian dulu!" serunya sambil berlari kecil ke arah kamar. Antusiasmenya begitu jelas, bahkan Zaini bisa merasakan semangat yang terpancar dari putranya. Krisan cepat-cepat bersiap, membayangkan pertemuan yang bisa menjadi langkah awal untuk membangun hubungan yang lebih erat dengan keluarga barunya.

***

Ortiz tinggal di rumah yang sederhana bersama Belinda dan neneknya, Umira. Rumah mereka memang tidak besar, tetapi penuh dengan kehangatan dan kenangan. Setiap sudut rumah mencerminkan kehidupan yang sederhana namun penuh kasih sayang. Dindingnya dihiasi dengan foto-foto keluarga dan beberapa hasil rajutan yang dibuat oleh nenek Umira.

Pada akhir pekan, suasana di rumah Ortiz selalu penuh dengan kegiatan. Sabtu pagi biasanya dimulai dengan membersihkan rumah. Ortiz, Belinda, dan nenek Umira bekerja sama; Ortiz menyapu lantai dan membersihkan perabot, sementara Belinda dan nenek Umira mengurus dapur, memasak hidangan sederhana namun lezat yang akan dinikmati bersama.

Setelah beres-beres, mereka sering kali duduk di ruang tamu untuk melakukan aktivitas lain, seperti membuat rajutan. Nenek Umira, yang sangat ahli dalam merajut, dengan sabar mengajarkan Ortiz dan Belinda berbagai pola baru. Mereka bertiga sering berbicara tentang hal-hal kecil, dari kenangan masa lalu hingga rencana masa depan.

Pada suatu siang di akhir pekan, suasana rumah menjadi lebih ramai dengan kedatangan Zaini dan Krisan. Meski rumah Ortiz sederhana, kedatangan tamu selalu disambut dengan hangat. Belinda dan nenek Umira menyiapkan makan siang, dan mereka semua berkumpul di ruang makan untuk menikmati hidangan bersama. Obrolan ringan mengalir, dari percakapan tentang pekerjaan hingga rencana pernikahan Zaini dan Belinda.

Rumah yang sederhana itu hari itu dipenuhi dengan tawa, obrolan hangat, dan ikatan keluarga yang semakin erat. Meskipun banyak perubahan yang akan datang, mereka semua tahu bahwa keluarga ini akan tetap bersama, saling mendukung apa pun yang terjadi.

Setelah makan siang bersama, Setelah makan siang selesai, Ortiz merasa perlu sedikit waktu sendirian dan masuk ke kamarnya. Namun, tak lama kemudian, Krisan menyusulnya. Krisan mengetuk pintu dengan lembut sebelum masuk.

"Hei, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Krisan, melihat Ortiz duduk di tepi tempat tidur.

Ortiz tersenyum tipis. "Iya, aku cuma butuh istirahat sebentar. Banyak hal yang aku pikirin belakangan ini."

Sementara itu, di ruang tamu, Zaini, Belinda, dan nenek Umira terlibat dalam pembicaraan serius tentang pernikahan yang akan segera dilangsungkan. Mereka membahas persiapan, undangan, dan berbagai hal penting lainnya, semuanya sambil ditemani teh hangat.

Kamar Ortiz rapi, dengan rak buku kecil di sudut dan poster-poster sederhana di dinding. Cahaya matahari sore yang lembut masuk melalui jendela, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Krisan memilih duduk di kursi dekat jendela.

Krisan membuka percakapan dengan senyuman. "Ortiz, kamu udah mikir-mikir mau ngapain setelah lulus SMA?"

Ortiz terdiam sejenak, merenung. "Aku masih belum pasti, Kak. Aku pernah cerita kalau suka banget main drum, dan kadang dapat job main musik di kafe-kafe. Tapi, aku juga mikir untuk coba sesuatu yang lebih stabil, mungkin desain grafis. Tapi ya, aku masih bingung."

Krisan mengangguk dengan pemahaman. "Aku paham, Ortiz. Dulu waktu aku di SMA, aku juga ngalamin yang sama. Banyak yang bilang harus cepat ambil keputusan, tapi sebenarnya nggak ada salahnya buat eksplorasi dulu. Aku dulu malah sempat bingung mau ambil jurusan apa."

Ortiz penasaran. "Terus akhirnya gimana, Kak? Kenapa akhirnya milih kerja marketing dan content creator?"

Krisan tertawa kecil, mengingat masa-masa itu. "Jujur, itu juga nggak langsung aku tahu. Awalnya aku suka banget sama seni, tapi juga tertarik dengan bisnis. Jadi aku cari jalan tengahnya, makanya aku ambil marketing yang masih bisa kreatif tapi juga realistis untuk masa depan. Ternyata cocok banget, dan aku bisa gabungin semua yang aku suka."

Ortiz terlihat sedikit lega mendengar cerita Krisan. "Berarti aku nggak perlu buru-buru ya, Kak? Bisa ambil waktu buat cari tahu yang aku suka."

Krisan mengangguk. "Iya, Ortiz. Yang penting, kamu jangan takut buat coba hal baru. Kadang dari situ, kamu bisa nemuin sesuatu yang benar-benar kamu suka. Dan kalau soal musik, terusin aja. Nggak ada salahnya punya passion di situ, apalagi kamu udah punya pengalaman main drum elektrik di kafe-kafe."

Ortiz tersenyum. "Makasih, Kak. Aku jadi lebih tenang sekarang. Mungkin aku bakal terusin main drum sambil coba-coba desain grafis juga."

Krisan tersenyum bangga. "Kedengarannya bagus. Aku yakin kamu bisa sukses di mana pun kamu pilih. Dan jangan lupa, kalau kamu butuh saran atau cuma pengen cerita, aku ada di sini."

Ortiz merasa lebih ringan setelah berbincang dengan Krisan. Ia menyadari bahwa kakak tirinya ini bukan hanya seseorang yang harus dia terima karena pernikahan orang tua mereka, tetapi juga teman yang bisa dia percaya.

Percakapan berlanjut dengan cerita-cerita ringan, seperti kenangan masa SMA Krisan dan hobi-hobi lain yang mereka miliki. Krisan berbagi tentang masa-masa dia dulu suka nongkrong dengan teman-temannya, mencoba berbagai hal baru, dan bagaimana dia dulu sempat bermain di band sekolah.

Obrolan itu semakin mengeratkan hubungan mereka, menciptakan ikatan yang hangat sebagai kakak-adik. Mereka berdua merasakan kenyamanan dan kebahagiaan yang tulus, menyadari bahwa mereka kini memiliki seseorang yang bisa diandalkan dalam perjalanan hidup masing-masing.

Setelah berbincang mengenai hobi dan rencana masa depan, Krisan, yang ingin mengenal Ortiz lebih jauh, dengan hati-hati bertanya, "Ortiz, kamu udah punya pacar belum? Biasanya anak SMA kan suka pacaran."

Ortiz terdiam sejenak, raut wajahnya berubah, seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya. "Belum, Kak. Aku... nggak tahu, rasanya belum siap aja," jawabnya pelan.

Melihat ekspresi Ortiz yang mendadak murung, Krisan menyadari bahwa pertanyaannya mungkin menyentuh sesuatu yang sensitif. Dia tidak ingin memaksakan Ortiz untuk bercerita jika memang belum siap.

Ortiz menunduk, matanya terlihat berat menahan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Di dalam hatinya, teringat masa lalu kelam ketika ia masih tinggal di Sumatra bersama ayah kandungnya. Pengalaman pahit yang tidak ingin ia bagi dengan siapa pun, terutama dengan Krisan, membuatnya merasa terperangkap dalam rasa takut dan trauma.

Melihat Ortiz tampak tersiksa dengan pertanyaannya, Krisan dengan cepat mengalihkan topik pembicaraan. "Aku ngerti, Ortiz. Kadang, nggak semua orang langsung siap untuk pacaran. Aku juga dulu begitu. Btw, dulu aku tinggal di Jakarta sebelum pindah ke Mojokerto," katanya dengan nada yang lebih ceria, mencoba meringankan suasana.

Ortiz mengangkat kepalanya, sedikit lega dengan perubahan topik. "Kamu dulu di Jakarta? Pindah ke Mojokerto sejak kapan, Kak?"

Krisan tersenyum mengenang masa lalunya. "Iya, setelah ibu meninggal saat melahirkan aku, papa memutuskan untuk pulang kampung ke Mojokerto. Aku waktu itu masih kecil banget, jadi nggak terlalu ingat banyak tentang Jakarta, tapi aku ingat kalau hidup kami mulai dari nol di sini."

Ortiz mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa sedikit terhibur oleh cerita Krisan. "Wah, pasti berat ya, Kak, tinggal di tempat baru tanpa ibu."

Krisan mengangguk, namun tetap tersenyum. "Iya, berat sih, tapi Papa selalu ada buat aku. Kami berdua saling menguatkan. Makanya, aku selalu berusaha jadi orang yang kuat, buat diriku sendiri dan orang lain."

Obrolan mereka terus berlanjut, membahas hal-hal lain yang lebih ringan. Krisan tetap berusaha menjaga suasana agar Ortiz merasa nyaman, tanpa membahas lebih jauh tentang hal-hal yang mungkin terlalu pribadi untuk dibicarakan saat itu. Meski tidak tahu pasti apa yang terjadi di masa lalu Ortiz, Krisan merasa perlu untuk terus ada di sampingnya, memberikan dukungan kapan pun Ortiz membutuhkannya.

Sore itu, di dalam kamar yang tenang, Krisan dan Ortiz saling memahami bahwa meski belum resmi menjadi saudara hingga hari pernikahan berlangsung, mereka sudah mulai menemukan cara untuk saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.

Setelah Krisan menceritakan sedikit tentang masa kecilnya, Ortiz, yang merasa terhibur dengan cerita Krisan, menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Kak, gimana sih Papa Zaini dulu bisa ngerawat kamu sendirian setelah ibu meninggal? Kayaknya berat banget buat seorang ayah."

Krisan tersenyum, melihat ketulusan di mata Ortiz yang jarang terlihat penasaran seperti ini. "Iya, berat memang, Ortiz. Tapi Papa Zaini itu orang yang sangat kuat dan sayang sama aku. Dia selalu bilang kalau aku adalah alasan dia untuk terus maju, meskipun kehilangan ibu adalah hal terberat yang pernah dia alami."

Krisan kemudian mulai bercerita lebih detail, "Waktu itu, aku masih bayi, jadi aku nggak ingat apa-apa. Tapi dari cerita Papa, aku tahu bahwa setelah ibu meninggal, dia langsung pindah ke Mojokerto. Papa bilang, di kota besar seperti Jakarta, dia merasa terlalu kesepian dan terus-menerus teringat ibu. Jadi, dia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, dekat dengan keluarga besar yang bisa bantu dia merawat aku."

Ortiz mendengarkan dengan seksama, membayangkan bagaimana seorang pria harus merawat bayi sendirian. "Papa kerja apa waktu itu, Kak?"

"Papa bekerja sebagai kontraktor kecil-kecilan di Mojokerto," jawab Krisan. "Waktu itu, dia harus mengurus banyak hal sendiri, dari mencari nafkah sampai mengurus aku. Awalnya dia mengandalkan nenek untuk menjaga aku waktu dia kerja, tapi lama-lama dia juga belajar banyak hal tentang mengurus bayi. Dia belajar masak bubur, ganti popok, bahkan begadang kalau aku sakit."

Ortiz mengangguk pelan, terkesan dengan dedikasi Pak Zaini. "Pasti susah ya, Kak. Tapi kayaknya Papa Zaini orang yang sangat sayang sama kamu."

Krisan tersenyum, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca mengenang masa itu. "Iya, sangat sayang ternasuk ke kamu pastinya. Aku nggak pernah kekurangan kasih sayang meskipun tanpa ibu. Papa selalu ada buat aku, baik waktu aku jatuh sakit atau waktu aku cuma butuh teman buat ngobrol. Dia nggak pernah biarin aku ngerasa sendirian. Dia juga ajarin aku banyak hal, dari hal kecil kayak cara nyikat gigi yang bener sampai hal besar kayak bagaimana jadi orang yang bertanggung jawab."

Ortiz terdiam sejenak, merasa terharu dengan cerita Krisan. "Papa Zaini hebat ya, Kak. Kayaknya dia udah berhasil ngebesarin kamu jadi orang yang kuat dan mandiri."

Krisan mengangguk, senyum bangga terpancar di wajahnya. "Iya, dia memang hebat. Aku selalu bersyukur punya Papa yang begitu peduli. Dan sekarang, aku juga pengen jadi orang yang bisa diandalkan, bukan cuma buat Papa, tapi juga buat keluarga baru kita nantinya, termasuk kamu, Ortiz."

Ortiz tersenyum tipis, merasakan kehangatan yang mengalir dari setiap kata Krisan. Meski belum lama mereka kenal, Ortiz bisa merasakan bahwa Krisan adalah kakak yang penuh perhatian dan siap untuk mendukungnya kapan saja.

Suasana di kamar itu terasa lebih hangat, seperti ada ikatan yang semakin kuat antara mereka berdua. Ortiz mulai merasa bahwa meskipun perjalanan hidupnya penuh dengan luka, dia sekarang punya seseorang yang bisa dia andalkan, seorang kakak yang bisa memahami dan mendukungnya tanpa harus banyak bicara.

Melihat suasana di antara mereka semakin hangat dan nyaman, Krisan merasa ini saat yang tepat untuk kembali bergabung dengan yang lain di ruang tengah. Dia bangkit dari kursinya dan mengulurkan tangan ke Ortiz dengan senyum hangat.

"Ayo, kita balik ke ruang tengah. Nenek, Papa, dan Ibu Belinda pasti lagi ngobrol seru. Jangan sampai kita ketinggalan," ajak Krisan.

Ortiz memandang tangan Krisan yang terulur dan merasa bahwa ajakan itu bukan hanya sekedar ajakan fisik, tetapi juga ajakan emosional untuk lebih terbuka dan terlibat dengan keluarga barunya. Dengan sedikit ragu, Ortiz akhirnya tersenyum dan menyambut tangan Krisan.

"Iya, Kak. Ayo kita ke sana," jawab Ortiz dengan suara lembut.

Mereka berdua berjalan bersama menuju ruang tengah. Saat mereka tiba, mereka melihat Nenek Umira, Pak Zaini, dan Ibu Belinda sedang berbincang-bincang santai. Melihat Krisan dan Ortiz kembali, Pak Zaini tersenyum lebar.

"Ah, kalian sudah selesai ngobrol? Ayo duduk sini, kita lanjut ngobrol bareng-bareng," ujar Pak Zaini sambil menepuk sofa di sebelahnya.

Krisan dan Ortiz duduk bersama mereka, dan segera suasana menjadi lebih hangat. Mereka berbincang-bincang tentang berbagai hal, mulai dari memperjelas rencana pernikahan Zaini dan Belinda hingga kehidupan sehari-hari mereka. Krisan terus memperhatikan Ortiz, memastikan adik tirinya itu merasa nyaman dalam percakapan.

Ortiz yang awalnya canggung, perlahan mulai merasa lebih rileks bahkan sangat berbeda jika dibandingkan dengan pertemuan pertama di kafe waktu itu. Dukungan dari Krisan yang tulus dan kehangatan keluarga baru ini membuatnya merasa bahwa mungkin, untuk pertama kalinya, dia bisa memiliki keluarga yang benar-benar peduli dan mendukungnya.

Hari itu, di rumah yang sederhana namun penuh dengan kehangatan, hubungan mereka sebagai keluarga baru mulai terjalin lebih erat. Meski banyak hal yang belum terungkap, mereka semua tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan mereka siap untuk menjalaninya bersama-sama.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top