Bab 20: Perjalanan Malam dan Gejolak Baru

Setelah acara makan malam yang meriah dengan rekan kerja, Krisan memutuskan untuk mentraktir semua anggota tim ke The Vibe Lounge. Suasana kafe malam itu hangat dan nyaman, dengan cahaya lampu yang lembut dan musik lembut yang mengalun di latar belakang, bukan dari live music melainkan dari audio yang diputar oleh karyawannya. Mereka menikmati dessert dan segelas kopi dingin sambil berbicara ringan dan tertawa, menikmati akhir hari yang penuh warna.

Setelah memastikan semua orang merasa puas dan bahagia, hingga satu per satu dari mereka berpamitan pulang, Krisan memandang Radit dan berkata, "Radit, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Aku bisa antar kamu pulang setelah itu. Sepertinya malam ini sangat cocok untuk bersantai."

Radit tersenyum, menikmati tawaran Krisan. "Kedengarannya bagus. Aku suka ide itu. Ayo, kita pergi."

Krisan berpikir sejenak sebelum menambahkan, "Bagaimana kalau kita pergi ke Pacet? Suasananya tenang, dan kita bisa menikmati udara segar di sana. Aku tahu tempat yang bagus untuk sekadar duduk santai dan menikmati malam."

Radit terlihat antusias. "Pacet? Itu ide yang menarik. Aku belum pernah jalan-jalan malam di sana. Ayo, kita coba."

Mereka berdua meninggalkan kafe dan mulai menyusuri jalanan kota menuju Pacet. Sepanjang perjalanan, Krisan dan Radit berbincang santai tentang berbagai topik, dari pekerjaan hingga hobi mereka. Suasana malam yang sejuk dan nyaman membuat percakapan mereka terasa lebih akrab.

"Jadi, apa yang kamu pikirkan tentang hari ini?" tanya Radit sambil menatap ke arah lampu-lampu kota yang bersinar lembut.

Krisan tertawa ringan. "Jujur, aku merasa hari ini agak kacau. Tapi rasanya menyenangkan bisa berakhir dengan santai seperti ini. Mungkin kita bisa melupakan semua kekacauan pekerjaan tadi dan menikmati malam ini."

Radit mengangguk setuju. "Aku setuju. Kadang kita memang perlu waktu untuk melepas penat dan menikmati momen-momen kecil. Ini adalah salah satu malam yang bagus untuk itu."

Krisan memandang ke arah toko-toko dan kafe di sekitar mereka. "Ya, benar. Kadang-kadang hal-hal kecil seperti ini bisa membuat segalanya terasa lebih baik. Dan bicara tentang hal-hal kecil, aku baru ingat betapa enaknya dessert yang kita makan tadi. Aku hampir lupa betapa serunya makan-makan di kafe ini."

Radit tertawa. "Aku juga. Aku sebenarnya agak kekenyangan, tapi rasanya semua makanan itu terlalu enak untuk dilewatkan."

Sesaat sunyi di antara mereka. "Kamu sudah lama bekerja di sini, ya?" tanya Radit sambil melihat ke luar jendela mobil.

"Iya, hampir lima tahun," jawab Krisan sambil mengarahkan mobil ke jalan yang menuju Pacet. "Tapi rasanya waktu berlalu begitu cepat. Kadang-kadang aku merasa baru kemarin memulai pekerjaan ini."

Krisan menambahkan. "Memang ada banyak yang harus dipelajari di awal-awal aku kerja, tim yang berganti-ganti, tapi semenjak ada kamu, baguslah kamu bisa cepat beradaptasi dan membantu proses integrasi di tim."

Radit mengangguk setuju. "Senang mendengarmya dari atasanku sendiri."

Krisan tertawa. "Aku bahkan lupa kalau kepala devisi marketing dan content creator."

Saat mereka tiba di Pacet, Krisan memarkir mobil di dekat area yang tenang. Mereka turun dan mulai berjalan di sepanjang jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan dan lampu-lampu kecil yang menyala lembut. Udara segar dan suasana malam yang damai membuat mereka merasa rileks.

"Tempat ini benar-benar menenangkan," kata Radit sambil menghirup udara malam. "Aku tidak pernah tahu Pacet bisa seindah ini di malam hari."

Krisan tersenyum, merasa puas dengan reaksi Radit. "Aku sering datang ke sini untuk melepas penat. Rasanya seperti dunia ini melambat sedikit, dan kamu bisa benar-benar menikmati momen-momen kecil."

Mereka melanjutkan berjalan dengan perlahan, menikmati suasana malam yang damai. Krisan merasa suasana malam ini adalah kesempatan yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

Ketika mereka tiba di sebuah bangku taman yang nyaman, Krisan dan Radit duduk sambil menikmati suasana malam. Krisan mengeluarkan termos berisi minuman hangat yang dia bawa dari kafe. "Aku bawa minuman hangat dari kafe tadi. Semoga ini menambah suasana."

Radit menerima minuman dengan senyuman. "Terima kasih. Ini benar-benar membuat malam ini lebih menyenangkan."

"Radit," Krisan mulai, "ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Aku tahu kita sudah pernah punya masa lalu, dan meskipun kita masih harus beradaptasi dengan banyak hal, aku merasa kita berdua bisa mencoba lagi."

Radit menatap Krisan dengan penuh perhatian. "Maksudmu, kita... kembali bersama?"

Krisan mengangguk, merasa campur aduk. "Ya. Aku tahu aku masih memikirkan banyak hal, tapi aku ingin melupakan semua perasaan yang rumit itu dan memulai sesuatu yang baru. Aku merasa tenang dan nyaman bekerja dan berbicara denganmu. Aku ingin memberi kita kesempatan lagi."

Radit tampak terharu dan sedikit tersenyum. "Aku juga merasa nyaman di sekitarmu, Krisan. Aku tidak pernah berhenti berharap kita bisa mencoba lagi. Aku senang kamu ingin melakukannya."

Krisan merasa lega mendengar respons Radit. "Aku juga senang mendengarnya. Mari kita ambil kesempatan ini dan lihat ke mana arah kita nanti. Aku yakin kita bisa melewati ini bersama."

Mereka melanjutkan percakapan dengan penuh harapan, dan Krisan merasa lebih ringan setelah membuat keputusan tersebut. Meskipun hatinya masih menyimpan perasaan tentang Ortiz, dia merasa bahwa memulai kembali dengan Radit adalah langkah yang tepat untuk masa depan mereka.

"Ah, liburan akhir pekan," kata Krisan sambil tertawa ringan. "Aku memang ingin merencanakan sesuatu. Mungkin kita bisa mencari tempat baru untuk dikunjungi bersama."

Radit terlihat antusias. "Itu ide yang bagus. Aku selalu suka eksplorasi tempat baru. Mungkin kita bisa merencanakannya bersama-sama."

Percakapan mereka mengalir dengan santai, dan Krisan merasa lebih dekat dengan Radit. Malam itu terasa seperti kesempatan untuk melepaskan ketegangan dan memulai kembali hubungan mereka dengan semangat baru.

Mereka melanjutkan berjalan dengan perlahan, menikmati suasana malam yang damai. Tiba-tiba, Radit menyinggung dengan nada sedikit iseng, "Jadi, ini alasan kamu mengajakku jalan-jalan malam? Untuk bicara tentang sesuatu yang penting?"

Krisan terkejut dan tertawa kecil. "Kamu menangkap sinyal itu, ya? Sebenarnya, iya. Aku ingin membicarakan ini denganmu. Dan aku butuh momen."

Radit memandang Krisan dengan terkesima. "Dan kamu berhasil."

Krisan mengangguk, merasa campur aduk.

"Jadi, bagaimana? Ada tempat yang harus kita coba kunjungi malam ini, atau cukup sampai di sini?" tanya Krisan.

Radit tersenyum sambil memandang Krisan. "Aku rasa cukup untuk malam ini. Aku sangat senang malam ini. Mungkin kita bisa pulang. Besok masih ada kerjaan menunggu kita. Lebih baik kita istirahat."

Krisan merasa senang dengan respon Radit. "Aku juga merasa sama. Senang bisa berbicara lebih santai seperti ini. Semoga kita bisa sering melakukannya."

Radit menatap Krisan dengan penuh kelembutan. "Aku tidak pernah berhenti merindukan momen seperti ini. Malam ini rasanya seperti awal yang baru, dan aku senang kita bisa memulai perjalanan ini bersama."

Krisan tersenyum, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang mendalam. "Aku juga merasa begitu. Terima kasih sudah bersabar dan memberi kita kesempatan kedua."

Mereka berdua menaiki mobil dengan suasana hati yang ringan dan penuh harapan. Selama perjalanan pulang, mereka duduk berdekatan, tangan mereka saling menggenggam, menikmati momen romantis yang menyegarkan jiwa mereka setelah hari yang panjang.

Saat mereka kembali ke mobil, Radit meraih tangan Krisan dengan lembut, menggenggamnya erat. Krisan merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat merasakan kehangatan dari genggaman Radit. Mereka duduk berdekatan di kursi mobil, suasana malam yang sejuk dan tenang semakin menambah kenyamanan mereka.

Mobil meluncur perlahan melewati jalanan yang tenang, dan Radit memecah keheningan dengan suara lembutnya. "Aku senang malam ini kita bisa berbicara dengan jujur. Rasanya seperti semua beban yang kita rasakan selama ini mulai menghilang."

Krisan tersenyum, mengangguk setuju. "Aku juga merasa begitu. Sepertinya, berbicara tentang perasaan kita malam ini membuatku lebih ringan. Kadang-kadang, berbagi perasaan bisa sangat menenangkan."

Radit menatap Krisan dengan penuh kelembutan. "Kamu tahu, rasanya sangat spesial bisa duduk di sini bersamamu, setelah semua yang telah kita lewati. Aku merasa malam ini adalah awal yang baru, kesempatan untuk memperbaiki segala sesuatu yang sempat rusak."

Krisan memandang Radit dengan rasa syukur. "Aku juga merasa begitu. Terima kasih sudah bersabar dan memberi kesempatan kedua. Aku yakin kita bisa memulai babak baru yang lebih baik."

Selama perjalanan, mereka saling menggenggam tangan, merasakan kehangatan dan dukungan dari satu sama lain. Krisan merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang mendalam, sesuatu yang telah lama dia cari setelah hari-hari penuh stres dan keraguan. Tangan Radit di tangannya terasa seperti jaminan bahwa mereka bisa mengatasi segala hal bersama.

Mobil melaju perlahan di bawah sinar lampu jalan yang lembut, dan Krisan merasa bahwa setiap detik momen ini adalah anugerah. Suara lembut radio yang mengalun di latar belakang menambah suasana romantis malam itu. Mereka berbicara tentang masa depan dengan harapan, merencanakan hal-hal kecil yang ingin mereka lakukan bersama. Radit terkadang memandang Krisan dengan penuh kekaguman, membuat Krisan merasa dihargai dan dicintai.

Krisan merasa dirinya semakin dekat dengan Radit, merasakan hubungan mereka tumbuh lebih dalam seiring dengan setiap percakapan yang mereka lakukan. Dia menikmati setiap momen kecil yang mereka bagikan, dari tawa ringan hingga keheningan nyaman yang membuat mereka merasa benar-benar terhubung.

Saat mobil mendekati rumah Radit, Krisan memperlambat laju mobilnya dan menatap Radit dengan penuh rasa sayang. "Aku senang bisa menghabiskan malam ini bersamamu. Rasanya seperti kita benar-benar memulai sesuatu yang baru dan indah."

Radit membalas tatapan Krisan dengan senyum hangat. "Aku juga merasa begitu. Terima kasih sudah membuat malam ini menjadi sangat istimewa. Aku tidak sabar untuk melihat ke mana arah hubungan kita nanti."

Mereka tiba di depan rumah Radit, dan Krisan berhenti di tepi jalan. Radit mencium lembut tangan Krisan sebelum membuka pintu mobil. "Sampai jumpa besok, Krisan. Terima kasih untuk malam ini."

Krisan tersenyum penuh arti, merasa bahagia dan puas. "Sampai jumpa besok, Radit. Semoga malam ini menjadi awal yang baik untuk kita."

Dengan itu, mereka berpisah dengan rasa penuh harapan dan kehangatan, meninggalkan malam yang penuh makna dan membuka lembaran baru dalam hubungan mereka.

***

Pagi itu masih gelap saat Krisan tiba di rumah Belinda dengan membawa dua kantong besar belanjaan. Udara pagi terasa dingin, namun Krisan tetap semangat. Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul lima pagi, waktu yang cukup dini untuk kunjungannya, tapi Belinda sudah memintanya datang lebih awal semalam. Ada sesuatu yang spesial dengan suasana pagi ini, dan Krisan merasa sedikit bersemangat—mungkin karena kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan Belinda dan Ortiz.

Krisan mengetuk pintu perlahan, dan beberapa detik kemudian, Belinda membuka pintu dengan senyuman lebar di wajahnya. "Wah, kamu benar-benar tepat waktu, Krisan!" katanya, mengangguk puas. "Masuk, masuk! Tante sudah mulai menyiapkan beberapa bahan untuk sarapan."

Krisan masuk ke dalam rumah dengan membawa belanjaan, langsung menuju dapur. "Aku sudah membawa semuanya. Semalam Tante bilang ingin bikin sarapan spesial, ya?" katanya sambil membuka kantong belanjaan dan mengeluarkan bahan-bahan seperti roti, telur, sosis, dan berbagai sayuran segar.

Belinda tertawa kecil. "Iya, sudah lama kita nggak sarapan bersama seperti ini. Lagipula, aku ingin memberikan sesuatu yang istimewa untuk kalian sebelum hari dimulai."

Dapur mulai terasa hidup dengan aroma bahan makanan yang mulai diolah. Belinda sibuk mengatur peralatan masak sambil sesekali memberi instruksi kepada Krisan yang membantu memotong sayuran. Suasana pagi itu terasa begitu hangat dan akrab, sesuatu yang tidak sering terjadi di rumah ini. Sejak Belinda berhenti bekerja, suasana rumah jadi lebih tenang, dan ada ruang untuk kebersamaan seperti ini.

"Bagaimana kerjaan kemarin?" tanya Belinda sambil memasukkan sosis ke penggorengan.

Krisan tersenyum tipis, mengingat semua kejadian di kantor kemarin—produk gagal, diskusi panjang dengan Radit, makan malam bersama tim, dan momen-momen pribadi yang ia bagikan dengan Radit. "Sedikit kacau, tapi semuanya sudah beres. Kami berhasil menyelesaikan masalah besar yang datang tiba-tiba. Setelah itu, aku sempat traktir tim untuk makan malam."

Belinda menoleh dengan penuh minat. "Oh? Kalian pasti bekerja sangat keras, ya? Aku bangga denganmu, Krisan. Kamu selalu bisa menghadapi tantangan."

Krisan hanya tersenyum, namun di dalam hatinya ada perasaan campur aduk. Dia senang bisa membicarakan pekerjaannya dengan Belinda, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya lepas dari perasaan-perasaan yang lebih dalam—terutama tentang Radit dan juga Ortiz.

Ketika sarapan hampir siap, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Ortiz muncul, rambutnya masih sedikit acak-acakan namun wajahnya tampak ceria. "Wah, pagi-pagi sudah ramai di dapur, ya?" katanya sambil menguap, berjalan mendekati meja makan.

Belinda menyapa Ortiz dengan senyum hangat. "Iya, Krisan datang lebih awal. Kita akan sarapan besar pagi ini. Kamu siap makan?"

Ortiz mengangguk sambil duduk di meja makan. "Siap banget. Udah lama nggak sarapan bareng seperti ini."

Krisan menaruh piring terakhir di meja, kemudian duduk di sebelah Ortiz. Ada momen kecil keheningan saat mereka semua menikmati aroma makanan yang mengisi ruangan. Namun di balik kehangatan itu, Krisan merasa ada sesuatu yang sedikit mengganjal antara dirinya dan Ortiz. Mungkin karena malam-malam sebelumnya, atau mungkin karena pikiran-pikirannya yang masih bercabang tentang hubungan mereka. Tapi pagi ini, Krisan ingin melupakan semua itu, setidaknya untuk beberapa saat.

Mereka mulai makan dalam suasana santai. Percakapan mengalir dengan ringan, penuh tawa kecil dan cerita-cerita ringan tentang hari-hari sebelumnya. Ortiz bercerita tentang band-nya, Electric Pulse, yang sedang sibuk menyiapkan lagu baru, sementara Belinda sesekali menyela dengan pertanyaan tentang pekerjaan dan rencana mereka ke depan.

"Bagaimana kabar Azmi dan Bella?" tanya Krisan tiba-tiba, menatap Ortiz dengan penasaran.

Ortiz menelan makanannya sebelum menjawab. "Mereka baik-baik saja. Kita lagi sibuk lomba-lomba karya ilmiah beberapa event mendatang. Aku juga ingin ajak mereka ke makan malam di rumah Papa nanti malam, jadi kita bisa ngumpul bareng."

Krisan mengangguk pelan, berpikir tentang bagaimana makan malam keluarga itu akan berjalan. Ada sesuatu yang membuatnya merasa cemas, tapi dia tidak ingin memikirkan itu sekarang.

Ketika sarapan hampir selesai, Belinda menatap Krisan dengan senyum puas. "Aku harap kalian merasa puas. Sudah lama sekali aku nggak masak sebesar ini."

Krisan mengangguk. "Masakan Tante dan Nenek selalu enak, Tante. Terima kasih sudah membuatkan sarapan pagi ini."

Ortiz menambahkan, "Iya, Ma. Ini benar-benar enak."

Setelah sarapan selesai dan piring-piring kotor selesai dibereskan, mereka berpindah ke ruang tamu. Belinda tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya, menatap ke arah jam dinding, dan berkata, "Kalian lanjut ngobrol dulu, ya. Aku harus lihat Nenek Umira sebentar. Sudah waktunya dia bangun, sarapan, dan minum obat." Dia tersenyum sekilas sebelum berjalan keluar dari ruang tamu, meninggalkan Krisan dan Ortiz berdua di sana.

Keheningan seketika terasa canggung begitu Belinda pergi. Krisan tetap duduk di sofa, sementara Ortiz menyenderkan tubuhnya ke kursi yang dia duduki, menatap lurus ke depan tanpa berbicara. Ruangan yang sebelumnya ramai dengan percakapan tiba-tiba terasa lebih sunyi, dan hanya suara detak jam yang samar terdengar di latar belakang

Krisan merasakan kegelisahan yang mulai muncul di dalam dirinya. Meskipun mereka sudah berbagi momen-momen akrab, terutama setelah Krisan mencium pipi Ortiz beberapa malam lalu, ada sesuatu yang belum mereka bicarakan secara langsung. Rasanya seolah ada jarak yang tak kasatmata di antara mereka, jarak yang membuat Krisan semakin sulit memahami perasaannya sendiri.

Ortiz, di sisi lain, tampak gelisah. Tangan-tangannya sibuk memainkan ujung kausnya, dan sesekali dia melirik ke arah Krisan, tapi dengan cepat mengalihkan pandangannya lagi. Ada ketegangan dalam diri Ortiz yang ia coba sembunyikan, tapi jelas terasa.

"Kamu tidur cukup tadi malam?" Krisan akhirnya membuka percakapan, suaranya terdengar sedikit kaku.

Ortiz tersenyum kecil, sedikit gugup. "Iya, cukup kok. Kamu?"

Krisan mengangguk pelan, tapi tatapannya masih berusaha mencari sesuatu di wajah Ortiz. "Aku tidur lumayan juga, meskipun semalam aku sempat nggak bisa berhenti mikirin banyak hal," jawabnya dengan nada yang sedikit lebih santai, mencoba mencairkan suasana.

Ortiz hanya mengangguk, tanpa bertanya lebih jauh. Keheningan kembali meliputi mereka.

"Ortiz," Krisan memulai, dengan nada yang lebih santai. "Gimana rasanya sekarang mama ada di rumah setiap hari?"

Ortiz terdiam sejenak, menatap tangannya yang masih sibuk dengan ujung kausnya. Pertanyaan itu cukup mengagetkannya, tapi juga memberinya ruang untuk merenung. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Ortiz akhirnya menjawab pelan.

"Rasanya... aneh," katanya jujur, dengan sedikit senyum di bibirnya. "Maksudku, aku belum terbiasa melihat mama di rumah sepanjang waktu. Biasanya dia sibuk kerja, terus aku lebih sering sendiri. Bersih-bersih rumah, masak, benerapa hari sekali memcuci pakaian, juga merawat Nenek."

Krisan mengangguk, memahami perasaan Ortiz. "Tapi, kayaknya seru juga, ya? Bisa lebih banyak waktu bareng Mama."

Ortiz mengangkat bahunya, masih memproses perubahan yang baru ini. "Ya, mungkin. Tapi di sisi lain, aku juga merasa sedikit... canggung. Aku kan nggak terbiasa punya mama yang selalu ada di rumah. Sekarang semuanya terasa beda."

Krisan tersenyum kecil. "Aku ngerti. Mungkin butuh waktu aja buat adaptasi. Tapi setidaknya sekarang kalian bisa lebih deket, kan?"

Ortiz tersenyum tipis. "Ya, mungkin. Aku cuma butuh waktu buat ngerasain kalau semuanya baik-baik aja."

Krisan menatap Ortiz sejenak, mencoba membaca lebih dalam perasaan adik tirinya itu. "Kalau kamu butuh waktu, nggak apa-apa kok. Semua orang butuh waktu buat adaptasi sama hal baru."

Krisan merasakan dorongan kuat untuk mengatakan hal lain, apa saja, untuk memecah kebisuan yang canggung ini. Dia tahu, hubungan mereka tak bisa selamanya menggantung seperti ini. Ada sesuatu yang lebih dalam yang menghubungkan mereka, tapi juga ada batas yang membuatnya tak yakin apakah harus melangkah lebih jauh atau tetap menjaga jarak. Pikiran tentang Radit sejenak melintas di benaknya—bagaimana hubungan mereka mulai terasa lebih stabil, dan Krisan merasa Radit adalah pilihan yang lebih aman. Namun, perasaannya terhadap Ortiz tak bisa sepenuhnya diabaikan.

"Ortiz..." Krisan memulai dengan suara pelan, lalu berhenti sejenak, berpikir apakah ini waktu yang tepat. "Aku tahu, kita nggak banyak ngobrol tentang... apa yang terjadi beberapa malam lalu."

Ortiz, yang tadinya tampak berusaha tenang, tiba-tiba merapatkan bibirnya. Dia tak berani menatap Krisan secara langsung, tapi dari gerak tubuhnya, Krisan bisa merasakan bahwa dia juga memikirkan hal yang sama.

"Maaf kalau aku membuatmu merasa aneh atau tidak nyaman," Krisan melanjutkan, nadanya penuh kehati-hatian. "Aku nggak tahu pasti apa yang terjadi di antara kita, tapi aku nggak mau hubungan kita jadi... rumit. Kita ini saudara sekarang."

Ortiz terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menghela napas pelan. "Aku juga nggak tahu harus gimana, Kak. Sejak saat itu, aku merasa kamu mulai menjaga jarak. Dan aku... nggak tahu apa yang harus kupikirkan."

Krisan menunduk, merasa bersalah. "Aku nggak bermaksud membuatmu merasa begitu. Hanya saja... banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, dan aku juga bingung dengan perasaanku sendiri."

Ortiz akhirnya memberanikan diri untuk menatap Krisan, ada kebingungan dan kerentanan di wajahnya. "Jadi... perasaanmu sekarang bagaimana?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.

Krisan menghela napas panjang, merasa kesulitan untuk menjawab dengan jujur. "Aku... Aku sedang mencoba mengalihkan pikiranku. Aku nggak ingin kita berakhir dengan perasaan yang membuat kita jadi nggak nyaman sebagai saudara. Apalagi, nanti kita harus hidup bareng. Mungkin aku perlu fokus pada hal-hal lain—sekolah kamu, dan juga karierku."

Ortiz menelan ludah, mencoba menutupi kekecewaannya. "Aku mengerti. Mungkin itu keputusan yang terbaik."

Mereka terdiam lagi, namun kali ini keheningannya terasa lebih berat. Meski Krisan berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini adalah pilihan yang tepat, hatinya masih berdebar tak menentu saat melihat Ortiz di hadapannya.

"Jadi, mulai sekarang, kita kembali seperti biasa?" tanya Ortiz, suaranya terdengar lebih tenang, meski Krisan bisa merasakan bahwa di balik ketenangan itu, Ortiz masih bergulat dengan perasaannya.

Krisan mengangguk pelan. "Iya. Kita adik-kakak sekarang. Mungkin itu yang paling baik."

Sesaat kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah kamar Nenek Umira. Belinda muncul dengan senyum yang menghangatkan suasana. "Maaf ya, Nenek Umira agak rewel pagi ini," katanya sambil berjalan kembali ke ruang tamu.

Ortiz dan Krisan langsung mencoba tersenyum, menyambut kedatangan Belinda. Meskipun percakapan mereka tak sepenuhnya menyelesaikan semua perasaan yang ada di antara mereka, mereka tahu bahwa waktu dan keadaan akan membawa mereka menuju kejelasan yang lebih baik—meski, mungkin, itu bukan hal yang mereka harapkan.

Ortiz menghela napas pelan setelah percakapan singkatnya dengan Krisan. Meskipun suasana hati terasa sedikit lebih ringan, ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya. Dia tahu, adaptasi ini akan memakan waktu.

"Aku... mau ke kamar dulu, siap-siap buat sekolah," kata Ortiz tiba-tiba, sembari bangkit dari sofa.

Krisan mengangguk sambil tersenyum kecil. "Oke, aku tunggu di sini."

Ortiz tersenyum tipis, meskipun senyum itu tak sepenuhnya bisa menutupi gejolak yang masih ada di dalam dirinya. "Iya," jawabnya sebelum berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Saat Ortiz masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan lembut, dia merasa perlu meluangkan waktu untuk merenung sebelum memulai harinya. Di depan cermin, dia mencoba menenangkan pikirannya, berusaha mengalihkan perhatian dari perasaan-perasaan yang selama ini menghantuinya. Krisan, hubungannya dengan sang mama, dan semua hal baru yang terjadi dalam hidupnya seolah-olah berlomba untuk mendapatkan tempat di pikirannya.

Dia melihat seragam sekolah yang sudah tergantung rapi di pintu lemarinya, dan itu membuatnya sadar bahwa rutinitas harus terus berjalan, bahkan ketika hati dan pikiran belum sepenuhnya siap untuk menerima semua perubahan ini.

Dengan tarikan napas panjang, Ortiz mulai bersiap-siap untuk hari yang baru.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top