Bab 18 : Antara Rahasia dan Rasa
Pagi itu, matahari baru saja menyembul di ufuk timur, memberikan sinar hangatnya yang menembus tirai jendela kamar Ortiz. Dia membuka matanya dengan enggan, masih dibalut rasa kantuk yang belum hilang sepenuhnya. Biasanya, suara alarm ponselnya atau kicauan burung di luar sana yang membangunkannya, namun kali ini ada aroma lezat yang menguar dari dapur, membuat perutnya langsung berbunyi.
Dengan rasa penasaran yang mengalahkan kantuknya, Ortiz bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang makan. Suara bising peralatan dapur terdengar semakin jelas saat dia mendekat. Ortiz mengernyitkan dahi, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di sana, di dapur yang biasanya sepi dan terabaikan, berdiri ibunya, Belinda, sibuk menyiapkan sarapan. Wajah Belinda tampak cerah, senyum terukir manis di bibirnya, sesuatu yang jarang Ortiz lihat di pagi hari.
"Mama? Apa yang Mama lakukan?" Ortiz berdiri di ambang pintu, matanya tak lepas dari pemandangan yang tak biasa itu.
Belinda menoleh dengan senyum hangat. "Selamat pagi, sayang. Mama menyiapkan sarapan dan bekal untukmu. Mulai hari ini, Mama sudah berhenti bekerja. Sekarang Mama bisa fokus mengurus rumah dan kalian."
Ortiz tercengang, sulit baginya untuk mencerna kata-kata ibunya. "Mama berhenti bekerja? Kenapa mendadak sekali? Mama kan suka dengan pekerjaan Mama."
Belinda meletakkan sendok yang sedang dipegangnya, mendekati Ortiz, dan mengusap lembut pipi putranya. "Iya, tapi Mama merasa sudah waktunya untuk lebih fokus pada keluarga. Kalian sudah besar, tapi tetap saja, Mama ingin lebih banyak waktu bersama kalian sebelum kalian benar-benar mandiri. Selama ini, Mama sering merasa terlalu sibuk dan mengabaikan momen-momen berharga dengan kalian."
Ortiz merasakan kehangatan meresap di dadanya. Perasaan bahagia itu sulit dijelaskan dengan kata-kata. "Aku senang, Ma. Senang sekali Mama ada di rumah sekarang."
Saat mereka sedang menikmati sarapan yang tak terduga ini, suara ceria Krisan terdengar dari ruang tamu. "Pagi semuanya!" Krisan masuk ke ruang makan dengan wajah sumringah, membawa secercah keceriaan ke dalam suasana yang sudah hangat itu. "Papa mengundang kita semua untuk makan malam besok lusa. Ini acara keluarga, tapi Papa bilang kita boleh mengajak teman atau kerabat kalau mau."
Belinda menghentikan gerakannya sejenak, terlihat sedikit terkejut. "Makan malam? Hari Sabtu? Tapi ini terlalu mendadak. Kenapa Papa tidak bilang dari kemarin-kemarin?"
Krisan tersenyum sambil mengambil sepotong roti dari meja. "Katanya ini semacam kejutan. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan Papa. Tapi tenang saja, Ma. Aku yakin kita bisa menyiapkan semuanya."
Ortiz hanya tersenyum kecil sambil melanjutkan sarapannya. Namun di balik senyumnya, ada rasa penasaran yang mulai mengusik. Acara makan malam mendadak ini terasa agak aneh baginya. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu dalam nada bicara Krisan yang membuat Ortiz merasa ada hal lain yang lebih penting. Krisan memang tampak ceria, tapi Ortiz bisa menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik keceriaan itu.
"Dan, ada satu lagi," lanjut Krisan sambil memandangi Ortiz dengan tatapan serius. "Aku juga punya sesuatu yang ingin aku umumkan."
Ortiz merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa? Apa yang ingin Kak Kris umumkan?"
Krisan hanya tersenyum penuh rahasia, menghindari pertanyaan itu dengan anggun. "Tunggu saja. Akan lebih seru kalau disampaikan di depan semua orang."
Pikiran Ortiz berputar cepat. Apa yang akan Krisan umumkan? Apakah Krisan akan mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya, sama seperti yang sudah Ortiz lakukan kemarin? Rasa cemas mulai menjalari hati Ortiz. Dia tahu betapa sulitnya membuat pengakuan itu, dan dia juga tahu Krisan bukanlah orang yang mudah terbuka tentang hal-hal pribadi. Tapi jika memang itu yang akan diumumkan, apakah Ortiz siap mendengarnya? Dia sendiri baru saja memiliki keberanian untuk mengakui siapa dirinya, dan sekarang harus berhadapan dengan kemungkinan bahwa kakaknya mungkin berada dalam situasi yang sama.
Ortiz merasa kebingungan bercampur dengan rasa takut. Dia ingin Krisan jujur, ingin Krisan menemukan kebebasan yang sama seperti yang ia rasakan setelah pengakuannya. Namun, di sisi lain, dia juga tidak siap jika kenyataan itu berarti Krisan bukanlah orang yang ia harapkan. Bagaimana jika Krisan sebenarnya tidak benar-benar sama sepertinya? Bagaimana jika perasaan yang selama ini ia pendam untuk kakaknya bertepuk sebelah tangan? Bagaimana jika ada orang lain yang diam-diam Krisan sembunyikan dari Ortiz?
Sambil menatap Krisan yang masih tersenyum penuh rahasia, Ortiz mencoba menenangkan diri. Apa pun yang terjadi malam itu, dia tahu bahwa hubungan mereka sebagai saudara akan selalu kuat. Tapi kenyataan bahwa Krisan dan dia adalah saudara tiri tidak bisa begitu saja mengubah perasaan yang selama ini ia pendam. Ortiz berharap bahwa apa pun yang diumumkan Krisan, mereka berdua akan tetap bisa saling mendukung, seperti yang selalu mereka lakukan.
"Ya sudah, kalau itu menurut Kakak, sekoga kabar baik," kata Ortiz akhirnya, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya di balik senyuman. "Tapi, kalau aku boleh tahu, Kak Kris mau pakai baju apa? Aku harus siap-siap nih, jangan sampai kalah keren."
Krisan tertawa kecil, mengerti bahwa adiknya mencoba mencairkan suasana. "Jangan khawatir, adikku yang ganteng. Aku yakin kamu selalu tampil keren. Lagipula, kita kan mau makan malam bersama, bukan fashion show."
Mereka berdua tertawa, tapi di dalam hati masing-masing, baik Krisan maupun Ortiz, ada kegelisahan yang mereka simpan rapat-rapat. Hari ini dimulai dengan suasana bahagia dan penuh kehangatan, tapi malam nanti, mereka tahu, ada hal-hal besar yang akan terungkap. Sesuatu yang bisa mengubah arah hidup mereka selamanya.
Saat mobil meluncur tenang di sepanjang jalan yang teduh, Ortiz duduk dengan gelisah di sebelah Krisan. Pikiran tentang pengumuman yang akan disampaikan Krisan nanti malam terus berputar di kepalanya. Dua malam yang lalu, Krisan mencium pipinya dengan lembut—momen yang sederhana, namun membuat perasaan Ortiz menggelora. Sejak itu, ada perasaan hangat yang terus menyelimuti dirinya, membuatnya tidak bisa berhenti bertanya-tanya apa yang sebenarnya dirasakan Krisan.
"Kak, serius deh, pengumuman apa sih yang mau kamu sampaikan nanti malam?" Ortiz akhirnya membuka suara, tidak bisa menahan rasa penasaran yang membara di hatinya.
Krisan meliriknya sekilas, lalu mengembalikan pandangannya ke jalan di depan. Senyum kecil tersungging di wajahnya, namun dia tetap bermain rahasia. "Nanti kamu juga akan tahu. Sabar dulu, ya."
Ortiz mendesah, frustrasi karena tak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan. Dia tahu, jika Krisan sudah memutuskan untuk merahasiakan sesuatu, dia tidak akan mudah mengubah pikirannya.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengajak Azmi dan Bella. Mereka pasti senang bisa datang ke rumah Papa Zaini," kata Ortiz sambil mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa penasaran yang semakin mengganggu.
Krisan mengangguk setuju, sambil sesekali melirik ke kaca spion. "Bagus itu. Aku juga sudah mengundang Jaka dan Dimas," katanya, lalu menambahkan dengan nada antusias, "Kenapa tidak sekalian ajak Electric Pulse? Biar lebih seru, siapa tahu kalian bisa tampil."
Ortiz terdiam, membayangkan bagaimana suasana acara jika band-nya ikut meramaikan malam itu. Membawa band-nya ke acara makan malam keluarga memang terdengar menyenangkan, terutama jika suasana sedikit lebih santai dan tidak formal. "Itu ide bagus, Kak. Aku akan ajak mereka."
Krisan tersenyum puas. "Malam itu akan jadi malam yang tidak terlupakan."
Ortiz menatap keluar jendela mobil, menyaksikan deretan pohon yang mulai berubah warna seiring dengan musim yang berganti. Meski Krisan terlihat begitu tenang dan percaya diri, Ortiz merasa hatinya masih dipenuhi oleh kebingungan dan kekhawatiran. Ada banyak hal yang belum ia pahami, banyak perasaan yang masih tertahan di dalam dirinya. Walaupun dua hari lalu Krisan telah mengakui hal besar, tapi satu hal yang ia yakini adalah bahwa ia akan menghadapi malam ini bersama orang-orang yang ia sayangi, dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa sedikit lebih kuat. Mengesampingkan hal besar apa lagi selanjutnya yang akan di terima Ortiz.
Ketika mereka hampir sampai di sekolah, Krisan melirik jam di dashboard mobil. "Nanti sepulang sekolah, kita harus mampir ke beberapa toko buat beli keperluan acara. Papa bilang kita perlu beberapa dekorasi tambahan dan mungkin beberapa bahan makanan."
Ortiz mengangguk. "Oke, apa saja yang perlu kita beli?"
"Kita bisa cari beberapa lilin, lampu hias, dan bahan makanan tambahan. Mungkin juga kita bisa lihat kalau ada sesuatu yang menarik buat dijadikan hadiah kecil untuk Papa dan Mama." Krisan menjawab sambil memarkir mobilnya di depan gerbang sekolah.
"Sounds good," balas Ortiz, meskipun pikirannya masih sedikit terganggu. Krisan tampaknya begitu siap dan percaya diri, sementara dirinya masih berusaha merangkai apa yang dia rasakan dan apa yang dia harapkan.
Ortiz turun dari mobil, berjalan menuju pintu gerbang sekolah dengan langkah yang sudah biasa, tapi suasana hatinya jauh dari biasa. Ortiz merasa ini adalah hari yang penuh dengan persiapan, baik untuk acara makan malam keluarga maupun untuk mempersiapkan diri secara mental menghadapi apa yang mungkin terjadi.
Setelah masuk ke sekolah, Ortiz berjalan ke arah taman tempat ia biasa bertemu dengan Azmi dan Bella. Hari itu matahari bersinar cerah, dan meskipun ada sedikit rasa was-was tentang acara malam nanti, Ortiz mencoba fokus pada saat ini.
Ketika ia sampai di taman, Azmi sudah duduk di bangku, sibuk dengan ponselnya sambil memangku sarapan sandwich, sementara Bella asyik mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda. Ortiz bergabung dengan mereka dan duduk di antara keduanya.
"Eh, kok wajahmu cerah banget hari ini, Ortiz? Ada kabar baik?" tanya Azmi sambil melirik Ortiz dengan penuh rasa ingin tahu.
Ortiz tersenyum, meski sedikit canggung. "Hmm, ada sih... tapi masih belum tahu harus gimana. Papa barusan ngajak makan malam di rumahnya. Semua keluarga bakal kumpul, dan aku juga boleh ajak kalian. Acaranya masih lusa."
Bella tampak senang. "Wah, sounds fun! Tapi tunggu, kenapa kamu kelihatan mikir banget?"
Ortiz menghela napas pelan, lalu menunduk sedikit sebelum berbicara. "Krisan bilang dia mau kasih pengumuman penting juga. Aku agak takut, siapa tahu dia bakal ngungkapin sesuatu yang aku belum siap dengar."
Azmi, yang biasanya suka bercanda, kali ini menatap Ortiz dengan serius. "Ngungkapin apa, Ortiz? Emangnya ada apa?"
Ortiz merasakan jantungnya berdegup kencang. "Kalian tahu, dua hari yang lalu... Krisan mencium pipiku. Terus Kak Krisan juga bilang waktu itu kalau Kak Krisan dan Radit, dulu pernah pacaran."
Azmi langsung tersedak sandwich-nya, nyaris membuatnya batuk keras. "Apa? Krisan?! Serius, Tiz?!" Dia menghapus remah-remah dari bibirnya, matanya membelalak tak percaya. "Ini serius? Jadi, dulu Kak Krisan pacaran sama Radit? Kak Krisan, yang kita kira straight, pernah pacaran sama cowok?"
Bella, yang duduk di sebelah Azmi, tampak lebih tenang. Meski begitu, matanya pun melebar karena terkejut. "Tunggu, ini agak banyak buat diproses, ya. Jadi, Radit, cowok yang kita kenal, pernah pacaran sama Kak Krisan?"
Ortiz mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega karena sudah mengatakannya, tapi kebingungan masih memenuhi pikirannya. "Iya, serius. Kak Krisan sendiri yang bilang. Aku... aku nggak tahu harus merasa bagaimana. Tapi saat itu, pas dia cium pipi aku, aku merasa... senang."
Azmi menatap Ortiz dengan wajah yang sulit diartikan. "Tiz, ini berat banget, sih. Maksud aku, kalau Kak Krisan dan Radit pernah pacaran, itu berarti... kamu tahu kan, itu berarti Kak Krisan mungkin juga punya perasaan yang sama kayak kamu. Tapi kamu harus hati-hati, bro. Nggak mungkin kamu sama Kak Krisan, kan?"
Bella menghela napas, lalu berbicara dengan lembut, mencoba meredakan ketegangan. "Ortiz, aku tahu kamu suka sama Krisan, dan mungkin sekarang kamu punya harapan lebih karena tahu dia juga punya masa lalu yang... nggak biasa. Tapi, kamu juga harus ingat, hubungan kamu sama Krisan itu rumit. Kalian bakal jadi saudara tiri. Dan yang lebih penting, Radit... Radit nggak pernah cerita kalau dia dan Krisan pernah pacaran, kan? Ada kemungkinan kalau itu punya konsekuensi lebih jauh yang nggak bisa kita bayangin sekarang."
Ortiz terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan oleh sahabat-sahabatnya. "Iya, aku tahu. Tapi entah kenapa, saat dia cium pipiku, rasanya beda. Aku nggak pernah ngerasain hal kayak gitu sebelumnya. Seperti, untuk pertama kalinya, aku nggak sendirian dalam merasakan ini."
Azmi menepuk bahu Ortiz, memberikan dukungan dengan cara yang sederhana namun berarti. "Kamu pasti lagi galau berat, Tiz. Aku bisa ngerti kenapa. Tapi inget, ini bukan hal yang bisa kamu tentuin dalam sehari atau semalam. Kamu butuh waktu buat ngejelasin ke diri kamu sendiri dulu, sebelum kamu ngejelasin ke orang lain."
Bella menambahkan, "Dan ingat, Radit ada di antara kalian. Kamu nggak tahu seberapa besar dampaknya, tapi Radit bisa jadi faktor besar dalam apa pun yang kamu dan Krisan rasain. Apalagi kalau Radit masih punya perasaan sama Krisan."
Ortiz tersenyum kecil, merasa lega sudah menceritakan hal ini pada mereka. "Terima kasih, kalian berdua. Gue cuma... gue cuma butuh teman buat cerita. Kadang gue ngerasa, gue terlalu banyak mikir, tapi aku juga takut nggak cukup mikir."
Azmi tersenyum lebar, "Santai aja, bro. Kita di sini buat kamu, kok. Apa pun yang terjadi, kamu nggak sendirian."
Bella tersenyum simpul. "Tapi... Krisan memang baik, tapi kamu yakin itu lebih dari sekadar sayang sebagai kakak?"
Ortiz menunduk. "Aku nggak tahu... Tapi aku pikir, Krisan nggak bakal melakukan itu kalau dia nggak merasakan sesuatu juga, kan?"
Azmi menepuk bahu Ortiz, "Well, siapa tahu? Tapi yang jelas, kamu harus hati-hati, bro. Krisan mungkin aja bingung dengan perasaannya sendiri."
Bella mengangguk setuju. "Dan inget, Krisan itu udah kayak kakak sendiri. Kamu nggak mau hubungan kamu jadi rumit, kan?"
Ortiz tersenyum kecil, merasa lega sudah menceritakan hal ini pada mereka. Meski masih ada kebingungan, setidaknya dia tahu ada orang yang mendukungnya, apa pun yang terjadi.
Ortiz ragu sejenak, merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan semuanya. "Aku cuma... aku nggak tahu apakah aku siap kalau Krisan bilang sesuatu tentang... yah, tentang orientasi seksualnya. Karena... aku juga masih ragu dengan apa yang terjadi antara kami."
Bella menatap Ortiz dengan penuh perhatian. "Kamu nggak harus paksain diri, Ortiz. Tapi kalau kamu merasa Krisan mungkin bakal ngungkapin sesuatu yang berhubungan sama kamu, kamu juga harus siap, kan? Kalau nggak, mungkin kamu bisa ngobrol dulu sama dia."
Ortiz mengangguk pelan. "Iya, aku tahu. Tapi aku juga takut. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau kenyataannya kayak gitu."
Azmi mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, "Eh, siapa tahu dia cuma bilang kalau dia gay di depan orang tua kalian tanpa dia harus menyinggung kamu? Nggak ada yang nggak mungkin, kan?"
Ortiz tersenyum kecut, setengah setuju dengan Azmi, tapi juga merasa sedikit terganggu. "Aku tahu. Tapi kadang-kadang perasaan itu susah dikontrol. Aku sendiri juga masih bingung harus ngapain kalau kak Krisan benar-benar melakukan itu."
Azmi tersadar kalau candaan tadi nggak tepat dan cepat-cepat mengubah topik. "Oke, oke, gini aja. Nanti setelah sekolah, kita shopping. Gimana kalau kita fokus dulu ke sana? Siapa tahu sambil jalan-jalan kita bisa mikirin hal lain yang lebih seru."
Ortiz mengangguk setuju, merasa lebih tenang setelah berbicara dengan teman-temannya. "Oke, sounds good. Nanti kita bareng-bareng aja ke mall."
Percakapan mereka pun berlanjut dengan lebih santai, dan meskipun ada bayang-bayang kekhawatiran di hati Ortiz, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top