Bab 16 : Embun di sore yang riuh

Ortiz dan Krisan akhirnya tiba di Sunrise Mall—pusat perbelanjaan terbesar di kota Mojokerto—sekitar pukul dua siang. Mall ini memiliki arsitektur modern dengan eksterior yang memadukan elemen kaca dan logam, menciptakan suasana yang cerah dan ramai. Di dalam, lantai yang mengkilap memantulkan cahaya dari lampu-lampu gantung, sementara orang-orang lalu-lalang, sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Krisan mengenakan blus putih sederhana dan celana panjang hitam, terlihat profesional namun tetap santai. Sementara itu, Ortiz memilih kaus hitam dan celana jeans biru, penampilannya yang biasa santai tapi rapi. Suasana di mall cukup ramai, tapi tidak terlalu padat, sehingga mereka bisa berjalan dengan nyaman.

Ortiz berjalan di sebelah Krisan di koridor mall yang penuh warna, dinding-dindingnya dipenuhi dengan etalase yang menggiurkan. Aroma kopi segar dan parfum mahal bercampur di udara, menciptakan suasana yang tenang namun bersemangat. Krisan, dengan blus putih yang elegan dan senyum lembut di wajahnya, menatap Ortiz dengan tatapan penuh perhatian.

"Jadi, bagaimana kalau kita mulai dari sini?" Krisan menunjuk sebuah toko pakaian yang menawarkan diskon besar-besaran.

Ortiz mengangguk sambil tersenyum, namun matanya terpaku pada gerai es krim gelato di sebelahnya. "Tapi Kak, sebelum itu... bagaimana kalau kita mampir ke sana dulu?" ujarnya dengan nada meminta.

Krisan mengikuti pandangan Ortiz dan tertawa kecil. "Ah, jadi ini alasan sebenarnya kamu mau menemani aku keliling mall, ya? Oke, kamu menang. Ayo kita ambil gelato dulu."

Setelah mendapatkan gelato mereka, keduanya duduk di salah satu bangku yang menghadap atrium mall. Krisan mulai bercerita tentang pengalamannya mengunjungi beberapa toko yang bermitra dengan produk baru yang sedang dia tangani di tempat kerjanya, sementara Ortiz mendengarkan dengan penuh minat, meski sesekali mencuri waktu untuk menikmati gelatonya.

"Ortiz, kamu tahu tidak? Semakin dekat pernikahan Papa dan Mama, semakin aku merasa kita perlu lebih sering bersama. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, dan aku butuh bantuanmu," kata Krisan sambil menggandeng lengan adiknya.

Ortiz mengangguk, meski hatinya masih dibayangi oleh rahasia yang selama ini ia simpan. Dia menatap lantai ubin di bawah kakinya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Mall yang seharusnya penuh dengan kehidupan kini terasa seperti panggung yang sunyi, hanya menyisakan dia dan Krisan.

"Kak, sebenarnya... aku ingin bicara soal sesuatu yang penting," suara Ortiz terdengar sedikit gemetar, namun ada keberanian yang mengalir di dalamnya. "Aku rasa Kakak perlu tahu sebelum orang tua kita menikah."

Alih-alih merespon Ortiz, Krisan justru mencoba mengabaikan. "Ayo, kita cek booth kosmetikku dulu, sebelum kita keliling," ajak Krisan sambil tersenyum hangat pada Ortiz.

Mereka berdua menuju booth kosmetik yang Krisan kelola sebagai bagian dari tugasnya di bidang marketing. Booth tersebut tampak menarik dengan pencahayaan lembut dan desain yang modern. Krisan dengan sigap mengecek stok produk, berbicara dengan staf yang bertugas, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Ortiz berdiri di samping, melihat kakaknya dengan penuh kebanggaan.

"Kamu benar-benar pro di sini, Kak," ujar Ortiz dengan nada kagum.

Krisan hanya tersenyum, lalu melihat Ortiz dengan tatapan lembut. "Ini bukan hanya pekerjaan, ini juga bagian dari diriku. Tapi sekarang, bagaimana kalau kita menikmati hari ini? Aku butuh belanja beberapa barang untuk persiapan pernikahan Papa dan Mama."

Ortiz tampak terkejut sejenak, belum sepenuhnya menyadari bahwa momen besar itu semakin dekat. "Pernikahan Papa dan Mama? Apa mereka sudah menetapkan tanggalnya?"

"Belum, tapi Papa mulai stres memikirkan persiapannya. Kita perlu membantu meringankan beban mereka," jawab Krisan sambil menggandeng lengan Ortiz dan menariknya ke arah toko perhiasan.

Ortiz dan Krisan mulai memilih-milih barang, dari cincin hingga aksesori lain yang mungkin digunakan untuk acara pernikahan. Mereka memutuskan untuk duduk sejenak di salah satu kafe yang terletak di sudut pusat perbelanjaan itu. Kafe tersebut nyaman dengan suasana yang hangat; aroma kopi dan roti panggang menguar di udara, sementara cahaya lembut dari lampu gantung menciptakan suasana santai. Mereka memilih meja yang berada di dekat jendela, memandang keluar ke arah taman kecil yang berada di luar mall.

Ortiz terlihat sedikit gelisah, menggoyangkan kaki di bawah meja tanpa sadar. Krisan, yang duduk di seberangnya, memperhatikan adiknya dengan tatapan penuh kasih sayang dan sedikit khawatir. Dia merasakan ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Ortiz, tetapi belum juga keluar.

"Kak... ada sesuatu yang ingin kuberitahukan," Ortiz memulai, nadanya penuh keraguan. Dia menggenggam cangkir kopi di depannya dengan kedua tangan, seolah-olah mencari kehangatan dan keberanian dari sana.

Krisan menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk teh, lalu menatap Ortiz dengan perhatian penuh. "Apa itu, Dek?" tanyanya lembut, mencoba memberikan ruang bagi Ortiz untuk membuka diri.

Ortiz menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Suasana kafe yang tenang dan nyaman sedikit membantu menenangkan hatinya yang bergejolak. Namun, tetap saja, ada rasa takut yang menyelimutinya. "Aku... aku gay, Kak," akhirnya Ortiz mengungkapkan, suaranya hampir berbisik.

Mata Krisan melebar sedikit karena terkejut, tetapi dengan cepat dia mengendalikan ekspresinya. Dia tahu ini adalah momen yang sangat penting bagi Ortiz. Dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Ortiz yang gemetar di atas meja. "Ortiz, terima kasih sudah berani jujur sama Kakak," Krisan berkata dengan penuh kelembutan. "Kamu tahu, apa pun yang terjadi, Kakak akan selalu ada untuk kamu."

Ortiz tersenyum kecil, merasa lega meskipun jantungnya masih berdetak cepat. Beban yang selama ini dia pikul akhirnya terasa lebih ringan. "Aku tahu, Kak. Aku selalu bisa mengandalkanmu."

Krisan tersenyum, kemudian menambahkan dengan nada bercanda, "Dan sekarang, bagaimana kalau kita cari sesuatu yang keren buat kamu pakai di penampilan berikutnya? Aku dengar ada diskon besar-besaran di toko pakaian di lantai bawah."

Ortiz mengusap pelipisnya, seolah mencoba menghapus sisa ketegangan yang tersisa setelah pengakuannya. Mereka berjalan perlahan di dalam mall, di antara hiruk-pikuk pengunjung yang berlalu lalang. Krisan tetap di sampingnya, matanya penuh kasih sayang dan dukungan.

"Kamu tahu, Kak, aku sebenarnya takut banget untuk ngomong ini," ujar Ortiz dengan nada yang lebih ringan, meskipun masih ada jejak ketegangan.

Krisan tersenyum, menepuk pundak Ortiz. "Aku ngerti, Ortiz. Aku bangga banget sama kamu. Itu nggak mudah, tapi kamu berhasil. Dan jangan khawatir, kamu nggak sendiri. Terima kasih sudah mengatakannya."

Ortiz merasa hatinya hangat mendengar kata-kata Krisan. "Makasih, Kak. Kadang aku mikir, apa orang-orang akan terima aku apa adanya. Tapi melihat kamu, rasanya jadi lebih mudah buat ngadepin dunia."

Mereka berhenti di depan sebuah toko pakaian, Krisan menatap pajangan di etalase sebelum melirik Ortiz. "Kalau ada orang yang nggak bisa terima kamu, berarti mereka yang rugi. Kamu berhak untuk bahagia dan jadi diri sendiri."

Ortiz mengangguk pelan, mencoba menyerap semua dukungan dari Krisan.

.Kalau kamu dekat sama cowok, kenalin sama aku, ya," kata Krisan dengan nada ceria, mencoba meringankan suasana.

Tapi di balik senyuman itu, hati Ortiz sedikit terasa berat. Dia tahu bahwa saran Krisan adalah bentuk dukungan, namun fakta bahwa Krisan tidak gay—sesuatu yang Ortiz yakini—membuatnya merasa sedih. Ada jarak tak kasat mata yang muncul di antara mereka, meski Krisan tak pernah bermaksud menciptakan jarak itu.

Ortiz menundukkan kepalanya sedikit, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan, "Iya, Kak. Nanti kalau ada, pasti aku kenalin."

Krisan, yang tidak menyadari perasaan di balik kata-kata Ortiz, mengangguk dan tersenyum hangat. "Baiklah, aku pegang janji itu."

Meskipun Ortiz merasa lega telah jujur, perasaan sedih itu tetap ada, menyelinap di antara rasa syukurnya atas dukungan Krisan. Namun, dia memilih untuk tidak memperpanjangnya, tidak ingin merusak momen yang telah memberinya keberanian untuk melangkah maju.

Krisan tersenyum lebih lebar. "Dan sekarang, bagaimana kalau kita cari sesuatu yang keren buat kamu pakai di penampilan berikutnya? Aku dengar ada diskon besar-besaran di salah satu toko fashion di sini."

Ortiz tertawa kecil, mencoba mengalihkan pikirannya dari perasaan yang baru saja melintas. "Boleh juga tuh, Kak. Siapa tahu aku bisa tampil lebih kece dari biasanya."

Mereka berdua kemudian berjalan beriringan, menyusuri koridor mall yang dipenuhi pengunjung. Suasana ramai namun nyaman, dengan suara obrolan dan musik latar yang lembut. Krisan terus berbicara, bercerita tentang pekerjaannya di bidang marketing yang semakin menantang, sementara Ortiz mendengarkan dengan penuh perhatian, menikmati momen santai ini bersama kakaknya.

Saat mereka tiba di toko yang dimaksud, Krisan langsung mengarahkan Ortiz ke rak-rak pakaian yang dipenuhi berbagai pilihan busana. "Nah, coba lihat ini," kata Krisan sambil mengangkat sebuah jaket kulit hitam yang terlihat keren. "Ini bisa bikin kamu tampil lebih garang di atas panggung."

Ortiz tersenyum, mengambil jaket itu dari tangan Krisan. "Keren sih, tapi apa nggak terlalu panas kalau dipakai pas main drum?"

Krisan mengangguk setuju. "Benar juga. Oke, kita cari yang lain."

Mereka terus mencari, mencoba berbagai pakaian dan bercanda satu sama lain. Ortiz merasakan kebahagiaan sederhana dari momen ini, meskipun perasaan sedih tadi masih sedikit membayang di benaknya. Namun, dia tetap berusaha menikmati setiap detiknya, bersyukur atas dukungan Krisan yang begitu tulus.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya menemukan pakaian yang pas—sebuah kaos grafis dengan desain yang edgy dan celana jeans hitam yang simpel tapi stylish. Ortiz merasa puas dengan pilihannya, sementara Krisan merasa senang bisa membantu adiknya tampil lebih percaya diri.

"Sempurna," kata Krisan sambil tersenyum puas. "Aku yakin kamu bakal kelihatan keren banget di panggung nanti."

Ortiz mengangguk, "Makasih, Kak. Kamu selalu tahu apa yang terbaik buat aku."

Krisan menepuk bahu Ortiz dengan lembut. "Selalu, Ortiz. Selalu."

Mereka melanjutkan belanja sambil terus berbicara dengan lebih santai. Krisan mengalihkan topik kembali ke persiapan pernikahan, berbicara tentang bagaimana mereka bisa membantu agar acara tersebut berjalan lancar. Namun, di balik setiap percakapan ringan, ada perasaan hangat dan ikatan yang semakin kuat antara mereka berdua, menunjukkan bahwa apa pun yang terjadi, mereka selalu saling mendukung.

Setelah mereka memilih pakaian yang cocok, Krisan memandangi Ortiz dari ujung kepala sampai kaki dengan tatapan kritis. "Hmm, oke. Kamu udah hampir sempurna," katanya sambil menyipitkan mata seolah sedang memikirkan sesuatu yang serius.

Ortiz mengangkat alis, setengah waspada. "Hampir? Apa lagi yang kurang?"

Krisan berpura-pura berpikir keras, kemudian tersenyum jahil. "Satu hal penting yang belum kamu punya..."

Ortiz menunggu dengan penasaran, bahkan sedikit cemas. "Apa tuh?"

Krisan mendekat, menepuk kepala Ortiz dengan ringan. "Keberanian buat potong poni!"

Ortiz mendengus sambil tertawa, "Ya ampun, Kak! Enggak, makasih! Poniku udah cukup keren tanpa bantuanmu."

Krisan tertawa puas, "Oke deh, tapi jangan salahin aku kalau nanti kamu diminta foto bareng fans yang salah sangka kamu jadi bintang K-Pop."

Ortiz menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar, "Mungkin aku malah bisa debut jadi idol baru, siapa tahu?"

Krisan mengangkat bahu seolah-olah itu ide yang masuk akal. "Kenapa nggak? Asal ingat, jangan lupa ajak aku jadi manajer. Aku bisa bikin kamu terkenal dalam semalam."

Ortiz tertawa terbahak-bahak, membayangkan Krisan yang serius mengatur segala hal untuknya. "Baik, Kak! Asal kamu janji nggak bakal bikin aku pakai kostum aneh-aneh."

Krisan menyeringai, "Nggak janji!"

Keduanya terus tertawa, menikmati momen ringan ini yang terasa begitu menyenangkan. Di tengah-tengah candaan mereka, Ortiz merasa lebih tenang, seolah kebersamaan dengan Krisan bisa menghapus semua kecemasannya untuk sementara waktu.

***

Setelah berkeliling di mall dan menemukan pakaian yang cocok, mereka berdua memutuskan untuk beristirahat sejenak di kedai mie ramen favorit mereka. Suasana di dalam kedai hangat dan nyaman, dengan aroma kuah ramen yang menggugah selera.

Sambil menyeruput kuah panas, Krisan menatap Ortiz dengan penuh rasa ingin tahu. "Jadi, sejak kapan kamu tahu kalau kamu... ya, kamu tahu."

Ortiz mengangkat bahu sambil memutar-mutar sumpit di mangkuk ramennya. "Aku tidak tahu pasti, Kak. Mungkin sudah lama, tapi aku tidak pernah benar-benar memikirkannya. Yang aku tahu, aku selalu berharap bisa mendapatkan kasih sayang dari seorang pria."

Krisan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata adiknya. "Maksudmu, kasih sayang seperti apa?"

Ortiz tersenyum tipis. "Yang aku harapkan itu... ya, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tapi sejauh ini, pria yang memberikanku kasih sayang yang aku harapkan ya hanya Kakak dan Papa."

Krisan merasakan perasaan campur aduk mendengar jawaban Ortiz. Di satu sisi, ia merasa tersentuh bahwa Ortiz menghargai kasih sayang yang ia berikan. Di sisi lain, ia juga merasa sedih melihat betapa besar kebutuhan adiknya akan cinta dan penerimaan.

"Tapi, kamu tahu kan kalau kamu tidak sendirian?" Krisan mencoba untuk menjaga nada bicaranya tetap ringan. "Aku yakin, suatu hari nanti, kamu akan menemukan seseorang yang benar-benar spesial untukmu."

Ortiz tersenyum, meskipun ada sedikit rasa pedih yang menyelip di matanya. "Iya, aku tahu. Tapi tetap saja, rasanya seperti ada yang hilang."

Krisan tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. "Hei, siapa tahu orang spesial itu sedang menunggu kamu di luar sana, mungkin dia juga sedang makan ramen sekarang."

Ortiz tertawa mendengar candaan Kakaknya. "Kamu benar, Kak. Mungkin aku harus sering-sering makan ramen, ya, siapa tahu ketemu."

"Jangan terlalu sering, nanti kamu bisa bosan," jawab Krisan sambil tersenyum lebar.

Mereka tertawa bersama, menikmati momen kebersamaan ini tanpa ada tekanan atau ketegangan. Tapi di dalam hati Ortiz, ia tahu bahwa perasaan campur aduk ini tidak akan hilang begitu saja. Meski begitu, ia merasa sedikit lebih ringan karena tahu Krisan ada di sisinya.

Setelah mereka kembali tertawa, Ortiz menatap Krisan dengan senyum jahil. Dia menyandarkan diri di kursi, memandang Kakaknya dengan tatapan penuh teka-teki.

"Kak," kata Ortiz sambil mengangkat satu alis, "ada yang mengganjal di pikiranku. Kak Krisan kan sebentar lagi umurnya 26 tahun, iya kan?"

Krisan yang sedang asyik menyeruput sisa kuah ramennya, mengangkat kepalanya. "Iya, memangnya kenapa?"

Ortiz mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Krisan, seolah-olah hendak membisikkan sesuatu yang penting. "Kenapa belum menikah juga? Aku yakin, teman-teman seangkatan Kakak banyak yang sudah punya anak, deh. Setidaknya sudah menikah. Masa Kakak enggak tertarik?"

Krisan tersedak sedikit mendengar pertanyaan itu, kemudian menatap Ortiz dengan tatapan seolah berkata, 'Apa kamu serius?'

Ortiz hanya menahan tawanya, menikmati reaksi Kakaknya yang terkejut. "Aku serius, lho. Masa dari dulu enggak ada yang naksir? Atau Kakak memang terlalu sibuk mengurus aku sampai lupa mengurus diri sendiri?"

Krisan akhirnya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu benar-benar suka cari gara-gara, ya. Aku punya banyak alasan, kok, kenapa belum menikah. Salah satunya ya karena punya adik yang perlu lebih banyak perhatian."

"Ah, jangan gitu dong, Kak," Ortiz terus menggoda. "Aku yakin ada sesuatu di balik semua itu. Jangan-jangan, Kakak yang pilih-pilih, nih. Atau jangan-jangan Kakak takut komitmen? Kita baru satu bulan jadi adik-kakak, loh terus sebelum-sebelumnya gimana? Pasti Kakak playboy, bilang kalau jomblo tapi diam-diam jalan sama cewek tapi nggak dinikahin!"

Krisan tertawa lebih keras sekarang, berusaha menangkis serangan verbal dari adiknya. "Percayalah, bukan karena itu. Lagipula, hidup itu bukan perlombaan. Setiap orang punya jalannya sendiri-sendiri, termasuk soal menikah atau punya anak."

Ortiz pura-pura menatap Kakaknya dengan curiga, sebelum akhirnya tersenyum. "Baiklah, Kak. Aku terima alasan itu... untuk sekarang. Tapi aku tetap yakin, pasti ada alasan lain yang kamu sembunyikan."

Krisan tertawa sambil menggelengkan kepala lagi. "Kamu ini memang susah diajak serius, ya. Sudahlah, daripada kita bahas yang aneh-aneh, bagaimana kalau kita fokus ke rencana besok? Aku butuh kamu untuk ikut ke kantor, kita harus melaporkan progres hari ini. Setelah itu, kita bisa jalan-jalan ke beberapa toko yang bermitra dengan produk baru yang sedang aku pegang. Biar kamu lihat langsung, seperti apa tantangannya di lapangan."

Ortiz mengangguk setuju, senyuman masih menghiasi wajahnya. "Boleh juga, Kak. Siapa tahu aku bisa kasih masukan juga nanti. Lagipula, siapa yang mau nolak kesempatan buat keliling-keliling gratis, kan?"

Krisan tertawa sambil menggelengkan kepala. "Oke, oke, aku akan belikan kamu gelato sebagai upah. Tapi besok, ya, setelah kita selesai keliling. Minggu kan waktunya santai, jadi kita bisa lebih menikmati jalan-jalan."

Ortiz mengangguk puas. "Deal! Aku mau yang rasa coklat dan pistachio."

"Coklat dan pistachio? Tumben, biasanya kamu pilih yang lebih sederhana," kata Krisan sambil menyimpan dalam hati betapa Ortiz selalu memilih rasa yang berlawanan, seolah mencerminkan betapa kompleksnya perasaannya saat ini.

Ortiz hanya menyeringai, "Kadang kita perlu mencoba hal baru, kan?"

Krisan menghela napas dan tersenyum. "Baiklah, kita coba hal baru besok. Sekarang, pulang dulu. Siapkan energimu untuk besok."

Setelah percakapan itu, mereka pun keluar dari kedai ramen, siap untuk menghadapi hari Minggu yang penuh dengan gelato dan petualangan kecil mereka.

Ortiz masih tersenyum jahil. "Kak, aku masih menunggu jawaban jujur soal pertanyaan tadi!"

Krisan hanya menanggapi dengan senyuman penuh misteri, membiarkan Ortiz terjebak dalam rasa penasaran. Mereka kembali ke percakapan ringan dan menyenangkan, melupakan sejenak segala permasalahan, menikmati momen yang langka ini.

***

Setelah aktivitas seharian yang melelahkan, Ortiz merasa perlu menyendiri sejenak. Saat mereka berdua berjalan keluar dari mall, malam sudah tiba.

Ortiz berkata dengan lembut, "Kak, bisa antar aku ke Taman Sekumpul Mojo?"

Krisan memandang adiknya dengan penuh perhatian, merasakan ada sesuatu yang penting di balik permintaan itu. Dia mengangguk pelan, "Boleh," jawabnya dengan nada peduli. Keduanya kemudian berjalan menuju mobil dengan langkah tenang, namun diam-diam masing-masing memikirkan hal yang tak terucapkan.

Krisan memandang adiknya dengan penuh perhatian. "Untuk apa? Kalau mau, aku bisa ikut menemanimu," tawarnya dengan nada peduli.

Namun, Ortiz menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Nggak usah, Kak. Aku cuma mau ketemu Azmi dan Bella sebentar. Lagipula, nggak enak kalau kamu harus ikut. Kamu pulang aja."

Di dalam mobil, suasana terasa sedikit tegang, namun tak ada yang berbicara. Krisan menyalakan musik, mencoba mengisi keheningan, tapi pikirannya tetap terpaku pada Ortiz. Saat mobil Krisan perlahan mendekati taman Sekumpul Mojo, Ortiz merasakan dadanya semakin berdebar. Ada perasaan cemas yang tak bisa ia abaikan, seolah apa yang akan terjadi di taman itu bisa mengubah segalanya.

Meski tempat ini ramai oleh suara canda tawa orang-orang, ada perasaan was-was yang sulit diabaikan oleh Krisan. Dia menatap adiknya dengan pandangan yang sarat kekhawatiran.

"Ortiz, yakin kamu nggak mau aku temani? Aku bisa tunggu di sini sampai kamu selesai," Krisan menawarkan lagi, suaranya lembut tapi penuh perhatian.

Ortiz menoleh dan tersenyum kecil, mencoba menenangkan hati kakaknya. "Nggak perlu, Kak. Aku cuma mau ngobrol sebentar sama Azmi dan Bella. Lagi pula, nanti aku bakal pulang bareng yang Azmi, rumah kita se arah. Kamu pulang aja, istirahat. Hari ini pasti lumayan capek buat kamu juga."

Krisan tampak ragu, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir tanpa sadar. "Ortiz, aku tahu kamu udah dewasa, tapi kalau ada apa-apa... aku masih bisa tunggu, atau ikut ke dalam."

Ortiz tertawa pelan, mencoba menghapus ketegangan yang ada. "Kak, aku akan baik-baik aja. Kalau kamu masih khawatir, kita bisa pakai AirPods seperti biasa. Kita tetap terhubung, kan?"

Krisan menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Oke, tapi hati-hati. Jangan lupa kabari aku kalau udah selesai, ya."

Ortiz memeluk Krisan sebentar sebelum membuka pintu mobil. "Pasti, Kak. Kamu juga hati-hati di jalan, ya. Sampai jumpa besok."

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, Krisan pun membiarkan Ortiz turun dari mobil. Ortiz melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk ke taman, menyusuri jalan setapak yang sudah dikenalinya dengan baik. Krisan pun akhirnya memutuskan untuk pulang, meski tetap terhubung dengan Ortiz lewat AirPods seperti yang sudah mereka sepakati. Dia akhirnya mengemudikan mobilnya pergi, meski tatapan khawatirnya masih tertinggal di kaca spion.

Ortiz mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum bertemu dengan Azmi dan Bella. Dia tahu Krisan akan terus memantaunya, tetapi dia juga tahu bahwa dia perlu menceritakan semi yang terjadi hari ini.

Ortiz masuk ke area Taman Sekumpul Mojo, masih terasa ada kegelisahan yang membelit hatinya, meskipun malam itu langit Mojokerto begitu tenang. Azmi dan Bella sudah menunggunya di salah satu bangku taman yang menghadap langsung ke danau kecil di tengah taman. Daun-daun yang berguguran di sekitar mereka menciptakan suasana yang damai, namun hati Ortiz masih bergejolak.

"Kamu lama banget, Tiz," goda Bella sambil mengangkat alis. "Udah hampir setengah jam kita nungguin di sini."

Ortiz tersenyum kecil, duduk di antara mereka berdua. "Maaf, tadi sempat muter-muter di mall dulu sama Kak Krisan."

Azmi menatap Ortiz, melihat ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. "Kamu baik-baik aja, kan?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Ortiz menunduk sejenak, merasakan dukungan dari kedua sahabatnya. "Aku baik, cuma... akhir-akhir ini banyak yang terjadi. Banyak yang ada di pikiranku."

Azmi dan Bella saling bertukar pandang, lalu Bella menepuk bahu Ortiz. "Kita di sini buat kamu. Ceritain aja, apa yang bikin kamu terganggu."

Ortiz duduk di antara Azmi dan Bella, diterangi oleh lampu-lampu taman yang remang. Malam itu udara terasa sejuk, dan angin malam mengibaskan kausnya. Azmi dan Bella masing-masing dengan ekspresi penasaran, menunggu Ortiz untuk memulai pembicaraan.

"Aku... tadi siang akhirnya ngomong ke Krisan," Ortiz memulai dengan suara pelan, tapi jelas di tengah keheningan malam. "Aku coming out ke Kak Krisan."

Azmi menatap Ortiz dengan penuh perhatian, sementara Bella tampak ragu-ragu, menunggu kelanjutan ceritanya.

"Aku merasa lega... tapi juga ada yang bikin kecewa," lanjut Ortiz, pandangannya menerawang ke arah lampu-lampu yang berkedip di kejauhan. "Respon Krisan—dia menerima, dia dukung aku. Tapi, caranya merespons, entah kenapa, bikin aku merasa kalau dia mungkin nggak sama kayak aku. Rasanya seperti ada jarak yang nggak bisa ditembus di antara kami."

Ortiz menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum melanjutkan. "Kalian tahu, aku sayang banget sama Kak Krisan. Dia udah kayak segalanya buatku, setelah apa yang terjadi di masa lalu sama Ayah kandungku. Aku selalu ngelihat Krisan sebagai seseorang yang ngertiin aku, yang selalu ada buat aku. Tapi..."

Azmi mengerutkan kening. "Tapi apa, Tiz?"

Ortiz menghela napas panjang. "Aku gak tahu gimana ngomongnya. Perasaan ini aneh, aku sayang dia lebih dari sekadar kakak. Tapi aku tahu, aku gak boleh ngerasa kayak gini. Dia... dia bukan orang yang bisa ngebales perasaan kayak gitu, dan aku tahu itu."

Bella terdiam sejenak, kemudian memeluk Ortiz dari samping. "Ortiz, kadang kita gak bisa milih siapa yang kita sayang. Tapi kita juga harus tahu batasnya, terutama kalau itu bisa bikin kita terluka. Krisan, dia kakak kamu, dan mungkin perasaan itu muncul karena kedekatan kalian. Tapi kamu harus ingat, dia tetap keluarga kamu, seseorang yang selalu ada buat kamu."

Azmi mengangguk, setuju dengan Bella. "Iya, Tiz. Mungkin ini cuma fase. Yang penting kamu tetap ingat, hubungan kalian sebagai keluarga gak akan berubah, apa pun yang kamu rasain."

Ortiz mengangguk, merasa lega sudah membagi perasaannya. "Mungkin kalian benar. Tapi gimana pun juga, aku akan terus coba untuk ngendalikan perasaan ini. Lagipula, aku masih punya kalian, kan? Kita masih punya banyak hal yang bisa diraih."

Bella tersenyum lebar. "Betul banget! Kita masih punya mimpi-mimpi besar. Aku sendiri pengen banget kita suatu hari nanti bisa punya album, keliling Indonesia, mungkin bahkan sampai ke luar negeri. Kita punya potensi, dan aku yakin kamu juga tahu itu, Tiz."

Azmi menambahkan, "Aku setuju. Dan jangan lupa, kita punya dukungan dari banyak orang. Kamu punya Kak Krisan, aku punya keluargaku, dan kita punya satu sama lain. Jadi, apapun yang terjadi, kita akan terus maju."

Ortiz tersenyum, kali ini lebih tulus. "Kalian bener. Kita masih punya banyak mimpi yang belum tercapai. Aku bakal coba fokus ke situ aja, dan siapa tahu, suatu hari nanti semua ini akan jadi lebih mudah dihadapi."

Mereka bertiga kemudian tertawa, saling menggoda, dan menghabiskan waktu bersama, seakan tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Namun, jauh di lubuk hatinya, Ortiz tahu bahwa perjalanan emosionalnya masih panjang. Tapi setidaknya, untuk saat ini, dia tidak sendirian.

Setelah mendengar penjelasan Ortiz, suasana di antara mereka sedikit tenang. Namun, Azmi, yang biasanya punya gaya bicara ceplas-ceplos, tak bisa menahan diri untuk melontarkan candaan.

"Eh, Tiz, emang kamu yakin Kak Krisan nggak gay? Siapa tahu dia bisa dibelokin dikit," kata Azmi dengan nada menggoda, sambil mengedipkan matanya.

Ortiz tertawa kecil, meski ada sedikit keraguan di hatinya. "Haha, bisa jadi ya. Tapi..."

Sebelum Ortiz bisa melanjutkan, Bella langsung menyela, dengan nada yang lebih serius. "Azmi, jangan gitu, dong. Bagaimanapun juga, Krisan dan Ortiz sekarang itu saudara. Nggak peduli mereka awalnya orang asing, tapi setelah orang tua mereka menikah, mereka jadi keluarga. Pacaran antara saudara? Nggak mungkin, kan?"

Azmi tertawa, tapi kali ini lebih menahan diri. "Iya, iya, cuma bercanda, kok."

Bella menatap Ortiz dengan penuh perhatian. "Dan lagi, Ortiz, bukan bermaksud buat nyakitin perasaan kamu, ya. Tapi kenyataannya, hubungan sesama jenis itu punya banyak tantangan. Aku ngerti kamu sedang dalam masa pencarian, tapi hubungan sama Kak Krisan, atau sama pria lain pun, harus realistis. Kamu kan tahu, dunia ini nggak selalu ramah sama kita."

Ortiz mengangguk, memahami maksud Bella. "Aku setengah setuju sama Azmi, sih, soal kemungkinan itu. Tapi, apa yang kamu bilang juga benar, Bella. Kak Krisan sekarang keluargaku, dan aku nggak mungkin berharap lebih dari sekadar hubungan saudara."

Azmi mencoba mencairkan suasana lagi. "Yah, yang penting kita tetap solid. Apapun yang terjadi, kita tetap satu tim, kan?"

Ortiz tersenyum, merasa sedikit lebih ringan. "Iya, kita tetap satu tim. Apapun yang terjadi, kalian berdua tetap jadi sahabat terbaikku."

Percakapan mereka berlanjut dengan lebih ringan, dan suasana menjadi lebih santai. Mereka memutuskan untuk mencari cemilan di stand makanan yang ada di sekitar taman. Ortiz dengan senang hati mentraktir sahabat-sahabatnya sebagai ungkapan terima kasih atas dukungan mereka.

Meskipun ada sedikit tawa di antara mereka, Ortiz masih memikirkan kata-kata Bella. Meskipun perjalanan memahami perasaannya sendiri terasa panjang, dukungan dari sahabat-sahabatnya membuatnya merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang.

BERSAMBUNG

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top