Bab 12 : Distorsi Rindu dalam Kabut
Ortiz duduk di kelas dengan penuh semangat, meskipun fokusnya sesekali terganggu oleh pikiran-pikiran ceria yang melayang di benaknya. Dia berusaha keras mengikuti pelajaran, tapi tak bisa menahan senyum saat memikirkan perubahan baru di rumahnya. Hubungan yang semakin dekat dengan Krisan membuatnya merasa seperti berada dalam petualangan seru, dan Ortiz merasa antusias menghadapi setiap hari dengan segala kemungkinan baru yang menanti.
Di luar jendela kelas, sinar matahari pagi masuk dengan lembut, menambah keceriaan hari itu. Ortiz merasakan energi positif yang mengalir dalam dirinya, memikirkan betapa menyenangkannya semua perubahan ini. Dengan perasaan yang ringan dan penuh harapan, dia menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya, bersemangat untuk melangkah maju dengan semua hal baru yang akan datang.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam saku celana. Dia melirik ke arah guru yang sedang menjelaskan di depan kelas, lalu diam-diam mengambil ponselnya dan membukanya di bawah meja. Pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dengan sedikit rasa ingin tahu, dia membuka pesan tersebut.
Isi pesan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat:
[Aku tahu siapa kamu sebenarnya, Ortiz. Jika kamu tidak ingin Krisan tahu dan pernikahan orang tua kalian gagal, lebih baik kamu berhati-hati. Jangan pikir kamu bisa menyembunyikan semuanya selamanya.]
Ortiz merasa darahnya mendidih. Tangannya bergetar saat membaca pesan itu. Siapa pengirimnya? Dan apa yang dia tahu? Kepalanya dipenuhi pertanyaan dan ketakutan. Dia merasakan kegelisahan merayap ke seluruh tubuhnya. Ancaman ini tidak hanya menargetkan dirinya, tetapi juga keluarganya.
Pikirannya mulai kalut, mencoba mencari cara untuk menghadapi situasi ini. Siapa pun yang mengirim pesan itu, jelas berniat membuat hidupnya semakin sulit. Ortiz harus memikirkan langkah selanjutnya, tetapi di tengah kebingungannya, yang bisa dia rasakan hanyalah ketakutan akan apa yang mungkin terjadi jika ancaman ini benar-benar terungkap.
Saat sore tiba, Ortiz dan Krisan pulang bersama dari sekolah. Krisan, seperti biasa, bersikap ramah dan penuh perhatian. Di sisi lain, Ortiz berusaha sebaik mungkin untuk bersikap biasa, meskipun di dalam dirinya ada badai kecemasan yang tak henti-hentinya berputar.
Mereka berjalan beriringan menuju mobil Krisan yang diparkir di tepi jalan. Namun, sebelum mereka sampai, ponsel Ortiz bergetar lagi. Dia mengeluarkannya dengan tangan gemetar, dan melihat ada pesan masuk dari nomor yang sama seperti sebelumnya.
Pesan kali ini lebih singkat, tapi ancamannya lebih jelas:
[Kamu pikir bisa lari dari ini? Aku akan pastikan Krisan tahu segalanya. Dan saat itu terjadi, semuanya akan berakhir. Bersiaplah, Ortiz.]
Ortiz merasa kepalanya berputar. Dia hampir tersandung saat berjalan, membuat Krisan melirik dengan khawatir.
"Kamu nggak apa-apa, Ortiz?" tanya Krisan sambil menatap adiknya dengan cermat.
Ortiz mencoba tersenyum, meskipun jelas senyum itu dipaksakan. "Iya, Kak. Aku nggak apa-apa, cuma agak pusing aja."
Mereka terus berjalan menuju mobil, tetapi pikiran Ortiz dipenuhi oleh pesan itu. Ancaman ini semakin nyata, dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Setiap kali dia mencoba fokus pada hal lain, kata-kata dalam pesan itu kembali menghantuinya.
Selama perjalanan pulang, Krisan mencoba mengajak Ortiz berbicara tentang hal-hal yang ringan, tapi Ortiz sulit untuk benar-benar fokus. Ancaman yang terus berdatangan, bahkan saat dia bersama Krisan, membuatnya semakin takut. Ortiz tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Dan bagaimana?
Perjalanan yang seharusnya terasa nyaman bersama kakaknya kini berubah menjadi perjalanan yang penuh dengan tekanan dan kecemasan. Ortiz merasa semakin terpojok, dan dia sadar bahwa waktunya untuk menghadapi ancaman ini mungkin semakin dekat.
Malam itu, setelah seharian didera oleh ancaman dan kegelisahan, Ortiz sulit untuk tidur. Dia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara, namun bayangan ancaman dan kekacauan emosional membuatnya semakin terjaga.
Akhirnya, kelelahan membuatnya tertidur, namun tidur Ortiz dipenuhi mimpi buruk yang sangat mengganggu. Dalam tidurnya, dia kembali ke masa lalu yang penuh dengan trauma dan kepedihan.
Ortiz terlelap dalam kelelahan emosional, namun tidurnya tak memberikan ketenangan. Dalam gelapnya malam, mimpi buruk yang menakutkan membawanya kembali ke masa lalu, ke lorong-lorong gelap di mana kenangan pahit bersembunyi.
Di tengah gelapnya ruang, Ortiz merasa terjaga, namun tubuhnya terjebak dalam kegelapan dan kekacauan. Sosok ayahnya, Sabra, muncul dengan bayangan yang distorsi, wajahnya samar dan penuh amarah. Ortiz merasa seperti terjebak dalam lorong yang panjang dan gelap, seolah setiap langkah yang diambilnya hanya membawa dia lebih jauh ke dalam ketidakpastian.
Di dalam mimpi, Ortiz merasa tubuhnya kaku, tak mampu bergerak. Di satu sisi, dia melihat bayangan Sabra mendekat, sosok yang dikenal, namun kini berubah menjadi sesuatu yang menakutkan dan asing. Suara-suara di sekelilingnya menjadi gemuruh yang membuat telinga berdenyut, dan setiap kali dia berusaha berteriak, tidak ada suara yang keluar.
Dia kembali ke masa kecilnya, ketika rumah yang seharusnya menjadi tempat aman berubah menjadi tempat yang penuh dengan ketidaknyamanan. Momen-momen gelap itu datang seperti gelombang besar yang menghantam pantai, setiap gelombang membawa kepedihan dan rasa sakit yang mendalam.
Dengan sangat jelas, Ortiz merasakan kembali perasaan tertekan, dikhianati, dan hancur yang dia alami saat itu. Perasaan itu bukan hanya rasa sakit fisik tetapi juga luka emosional yang mendalam. Keputusasaan dan ketidakberdayaan menenggelamkannya, dan saat bayangan Sabra semakin dekat, Ortiz merasa seolah dirinya tidak pernah bisa melarikan diri dari kegelapan yang mengikutinya.
Mimpi buruk itu berlangsung dengan sangat lama, setiap detik terasa seperti jam, dengan setiap detail dari masa lalu yang ditarik ke permukaan dengan rasa sakit yang tajam. Di tengah malam yang sunyi, ketika kegelapan menyelimuti kamar, rasa ketegangan itu semakin intensif. Hanya ketika fajar mulai mengintip dari balik tirai, dan cahaya lembut mulai menyebar di kamar, Ortiz terbangun dengan keringat dingin dan napas yang tersengal-sengal.
Dia duduk di tempat tidur, tubuhnya bergetar dan jantungnya berdetak kencang. Kegelapan yang baru saja dialaminya seakan membayangi seluruh ruang di sekelilingnya, dan sejenak, Ortiz merasa terjebak di antara dunia nyata dan mimpi buruk yang baru saja dia alami.
Kehilangan tenaganya, Ortiz merangkak kembali ke bawah selimut, mencoba menghibur dirinya sendiri dengan harapan bahwa mimpi buruk itu hanyalah sebuah ilusi dan dia akan menemukan ketenangan dalam kenyataan. Namun, jejak trauma masa lalu masih membekas, mengingatkannya akan masa-masa yang sulit dan keputusasaan yang masih harus dia hadapi.
Dengan hati yang masih berdegup kencang, Ortiz mencoba meresapi kenyataan dan menenangkan diri. Dia tahu dia harus menghadapi ancaman itu dengan berani, tetapi trauma masa lalunya membuatnya semakin sulit untuk melangkah maju. Malam itu, Ortiz merasa seolah-olah dia terjebak dalam kegelapan masa lalu dan masa depan yang penuh ancaman, dengan sedikit harapan untuk menemukan jalan keluar.
Ortiz terbangun dengan tubuh basah oleh keringat, napasnya terengah-engah. Mimpi buruk itu masih terasa seperti bayangan hitam yang menyelubungi pikirannya. Dia mengusap wajahnya dengan tangan gemetar dan memandang ke sekeliling kamarnya yang gelap. Dalam keadaan panik, dia memutuskan untuk menghubungi Krisan.
Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur dan mengetik nomor Krisan dengan tangan yang bergetar. Beberapa detik kemudian, suara Krisan terdengar di ujung telepon.
"Halo?" suara Krisan terdengar penuh rasa ingin tahu dan kekhawatiran.
Ortiz mencoba untuk menenangkan napasnya sebelum menjawab, "Kak, ini aku. Maaf kalau ganggu, tapi... aku baru saja... mimpi buruk."
Krisan segera mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut dan penuh empati, "Tenanglah, Ortiz. Kamu baik-baik saja. Ceritakan padaku apa yang terjadi."
Ortiz memejamkan matanya, berusaha menahan tangisnya. "Aku... aku tidak bisa berhenti memikirkan mimpi itu. Aku merasa seperti aku kembali ke masa lalu... waktu itu... aku..."
Krisan, yang mendengar kesedihan dan ketakutan dalam suara Ortiz, mencoba memberikan kata-kata yang menenangkan. "Aku di sini, Ortiz. Kamu tidak sendirian. Ceritakan saja apa yang kamu rasakan, dan kita akan menghadapi ini bersama."
Ortiz merasa sangat tertekan dan tidak sanggup menghadapi perasaan itu sendirian. "Kak, aku... aku butuh kamu di sini. Aku tidak bisa tidur, dan rasanya aku butuh seseorang di sampingku."
Krisan merasakan kekhawatiran yang mendalam dalam suara Ortiz. "Baiklah, aku akan datang ke rumahmu sekarang. Tunggu sebentar, ya? Aku akan segera menuju ke sana."
Ortiz mengangguk meskipun Krisan tidak bisa melihatnya. "Terima kasih, Kak. Aku tunggu di depan rumah."
Setelah menutup telepon, Ortiz keluar dari kamarnya dan duduk di teras depan rumahnya. Udara malam yang dingin terasa menyegarkan, tetapi tidak cukup untuk mengusir rasa takut yang masih membekas di hatinya. Dia memandang ke jalan, berharap melihat sosok Krisan segera muncul.
***
Krisan berada di taman kota, bermain basket bersama teman-temannya. Suara bola yang memantul, teriakan gembira, dan udara sore yang sejuk menciptakan suasana yang ceria. Radit duduk di pinggir lapangan dengan beberapa teman, matanya mengikuti gerakan Krisan dengan minat.
Saat Krisan memimpin permainan, ponselnya bergetar di saku. Ia berhenti sejenak, mengeluarkan ponselnya, dan melihat nama Ortiz muncul di layar. Krisan menepuk bahu Radit sebelum melangkah ke pinggir lapangan untuk menjawab telepon.
"Maaf sebentar," kata Krisan, sambil mengambil ponsel dari telinganya.
Radit memperhatikan Krisan dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Ada apa, Krisan?"
Krisan menempelkan ponsel ke telinga, "Halo, Ortiz. Ada apa?"
Suara Ortiz terdengar cemas dan bergetar di ujung telepon. Krisan sampai mengerutkan dahi.
"Aku akan segera datang ke rumahmu. Tunggu sebentar, ya?"
Ketika Krisan menutup telepon dan menoleh kembali ke arah lapangan, Radit sudah berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang menunjukkan rasa cemburu dan ketidakpuasan.
"Kenapa harus pergi sekarang? Kita sedang asik bermain." tanya Radit dengan nada yang penuh pertanyaan dan kesal. "Apa yang terjadi? Dan siapa sih adikmu ini?"
Krisan merasa sedikit terkejut dan bingung dengan reaksi Radit. "Ortiz butuh aku sekarang. Dia mimpi buruk dan butuh dukungan."
Radit mendengus, tampak meremehkan. "Mimpi buruk? Bukannya itu cuma mimpi? Kamu harusnya tidak membuang-buang waktu hanya untuk hal seperti itu. Kan cuma mimpi, Krisan?"
Krisan merasa marah dan frustasi. "Radit, ini bukan hanya tentang mimpi. Ortiz sedang mengalami hal yang sulit. Dia adikku dan aku harus memastikan dia baik-baik saja."
Radit semakin menunjukkan rasa cemburunya. "Jadi, kamu lebih memilih untuk pergi dari sini daripada melanjutkan waktu bersama aku dan teman-teman? Ini seperti kamu hanya peduli pada adikmu dan tidak memperhatikan orang lain."
Krisan menatap Radit dengan tajam, merasa kesal dengan sikapnya. "Ini bukan tentang memilih. Ini tentang keluarga. Kadang-kadang kita harus melakukan hal-hal yang tidak nyaman demi orang yang kita sayangi. Aku akan segera kembali setelah memastikan Ortiz baik-baik saja."
Radit tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Kalau memang begitu, aku rasa kita tidak bisa mengandalkan kamu untuk ada di sini. Aku sudah cukup sabar dengan semua ini."
Krisan merasa hatinya berdebar, merasa tertekan oleh situasi ini. "Radit, aku paham kalau kamu merasa kecewa. Tapi, aku harus pergi. Nanti kita bisa bicara lebih lanjut tentang ini."
Krisan bergegas menuju mobilnya dengan cepat, meninggalkan Radit dan teman-temannya yang terdiam di pinggir lapangan. Radit memandang Krisan pergi dengan tatapan penuh rasa sakit hati dan kecurigaan.
Krisan meluncur menuju rumah Ortiz dengan kecepatan tinggi, pikirannya kacau. Sesampainya di rumah, dia segera memasuki pintu depan yang sedikit terbuka. Ortiz terlihat menunggu di teras dengan ekspresi cemas. Krisan mendekatinya, memberikan pelukan lembut untuk menenangkan adiknya.
"Aku di sini, Ortiz," kata Krisan lembut. Sambil mengusap punggung Ortiz. "Mari kita masuk dan bicarakan semuanya."
Krisan melangkah mendekati Ortiz yang duduk di depan rumah dengan wajah penuh kesedihan. "Aku di sini, Ortiz," kata Krisan lembut, sambil mengusap punggung Ortiz. "Mari kita masuk dan bicarakan semuanya."
Ortiz menoleh dengan mata yang masih berkaca-kaca. "Kak, dari mana saja kamu? Aku sempat berpikir kamu tidak akan datang."
Krisan menunduk, merasakan kepedihan di hati adiknya. "Aku sedang bermain basket di taman kota. Tapi begitu aku menerima panggilanmu, aku langsung merasa harus datang. Apa yang terjadi, Ortiz?"
Ortiz menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan isak tangisnya. "Aku... aku minta maaf, Kak. Aku tahu aku merepotkanmu dengan semua ini. Aku cuma merasa sangat tertekan dan... dan butuh kamu."
Krisan memeluk Ortiz erat, mengusap rambutnya dengan lembut. "Jangan minta maaf, Ortiz. Kamu tidak merepotkan sama sekali. Aku di sini untuk kamu. Kita akan melewati ini bersama. Kamu tidak sendirian."
Ortiz mengangguk, merasa sedikit lebih tenang di dalam pelukan kakaknya. "Terima kasih, Kak. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu."
Krisan tersenyum lembut, "Kita akan menghadapi ini bersama, dan apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu."
Ortiz merasa lebih baik karena kehadiran Krisan, meskipun ketakutan dan kesedihannya masih ada. Krisan memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan adiknya, berusaha memberikan dukungan yang penuh kasih di tengah situasi yang menegangkan ini.
Setelah membawa Ortiz masuk ke dalam rumah, Krisan membantu adiknya menuju kamar. Suasana di dalam rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka yang pelan menyusuri lorong. Ortiz masih tampak lelah, tapi senyum kecil mulai terlihat di wajahnya, menandakan kehadiran Krisan berhasil menenangkannya.
Mereka tiba di kamar Ortiz, yang sederhana tapi nyaman. Krisan menyalakan lampu meja, cahayanya hangat dan lembut, mengusir sisa-sisa kegelapan yang masih menyelimuti hati Ortiz. Dia kemudian membantu Ortiz duduk di tepi ranjang, lalu duduk di sebelahnya. Kamar itu dipenuhi keheningan yang aneh—hening tapi penuh dengan emosi yang belum diungkapkan.
Ortiz bersandar di bahu Krisan, memejamkan mata. "Terima kasih sudah datang, Kak... Aku merasa lebih baik sekarang," bisiknya, dengan suara yang hampir tenggelam dalam keheningan kamar.
Krisan merasakan beratnya keadaan malam ini, memikirkan betapa sepinya rumah tanpa suara apapun kecuali napas mereka berdua. Nenek Umira sudah lama terlelap, dan Belinda, yang bekerja lembur, baru akan pulang menjelang pagi. Krisan menatap ke dalam ruangan yang redup, seolah mencari jawaban di dalam bayang-bayang.
"Ortiz," Krisan memulai, dengan nada lembut namun penuh kepedulian, "kamu tahu, aku berpikir... dengan kondisi kamu seperti ini, apakah sebaiknya Mama tetap bekerja malam? Mungkin dia perlu tahu tentang semuanya agar bisa ada dukungan dari dia juga."
Ortiz menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Sebenarnya, Kak... Mama tidak tahu tentang ini. Aku merahasiakannya darinya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atau menambah beban pikirannya."
Krisan menggenggam tangan Ortiz dengan lembut, hatinya penuh keprihatinan. "Kamu tidak sendirian, Ortiz. Kita akan cari jalan terbaik bersama. Kita harus jaga diri kita dan pastikan Mama juga tahu kalau ada yang perlu diperbaiki."
Ortiz hanya mengangguk, merasa sedikit lega dengan dukungan Krisan di tengah malam yang mencekam ini.
Krisan menatap adiknya, perasaan campur aduk dalam dadanya. Tangannya bergerak untuk mengusap rambut Ortiz, sebuah gerakan yang seharusnya sederhana, tapi kali ini terasa begitu intim. Krisan menahan napas, mencoba menahan perasaan yang semakin mendalam di dalam hatinya. Dia tahu ini salah, tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk merasakan apa yang dia rasakan.
Ortiz tetap diam, menikmati kehadiran Krisan yang menenangkan. "Kak, kamu kenapa?" tanyanya pelan, membuka mata dan menatap Krisan dengan tatapan yang polos tapi penuh keingintahuan. "Kelihatannya kamu juga lagi banyak pikiran?"
Krisan tersentak, seolah pertanyaan itu mengagetkannya. "Ah, nggak, nggak apa-apa," jawabnya, berusaha menutupi gejolak yang berkecamuk di dalam dirinya. "Aku cuma... Aku senang bisa ada di sini buat kamu."
Ortiz tersenyum kecil, lalu bergerak sedikit mendekat. "Kamu tahu, Kak... Aku selalu merasa aman kalau kamu ada di dekatku," ucapnya dengan kejujuran yang polos, tanpa menyadari bagaimana kata-katanya membuat hati Krisan semakin bergejolak.
Krisan merasakan jantungnya berdetak semakin kencang. Dia menelan ludah, mencoba meredam perasaan yang mulai tak terkendali. Dia harus mengendalikan diri—Ortiz adalah adiknya, dan dia tidak bisa membiarkan perasaan ini menghancurkan hubungan mereka. Tapi di saat yang sama, dia juga sadar bahwa perasaannya terhadap Ortiz telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kasih sayang kakak kepada adiknya.
Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. "Ortiz... kamu tahu aku sayang sama kamu, kan?" Krisan akhirnya berkata, suaranya terdengar serak karena emosi yang dia tahan. "Aku akan selalu ada buat kamu, apapun yang terjadi."
Ortiz mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya kembali di bahu Krisan. "Aku tahu, Kak. Dan aku juga sayang sama Kakak. Kamu satu-satunya orang yang selalu ada buat aku."
Krisan menahan air matanya yang hampir jatuh. Perasaan cinta yang seharusnya sederhana menjadi rumit, dan dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Di satu sisi, dia ingin melindungi Ortiz dari segala hal yang buruk, tapi di sisi lain, dia merasa semakin sulit untuk menahan perasaannya sendiri.
Malam itu, di kamar yang sunyi, Krisan bergulat dengan perasaannya. Dia tahu bahwa dia harus membuat keputusan, tapi dia belum siap untuk mengambil langkah yang mungkin akan mengubah hidup mereka berdua selamanya. Untuk saat ini, dia hanya bisa duduk di sana, memeluk Ortiz erat, sambil berharap perasaan itu akan mereda dengan sendirinya.
Namun, jauh di dalam hatinya, Krisan tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak bisa dia abaikan lagi. Dan dalam keheningan malam, dia berdoa agar dia cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top