Bab 11 : Dialog Di Ambang Badai dan Relasi
Ortiz tiba di kafe dengan helm masih terpasang di kepalanya. Dia baru saja memarkir motornya di tempat yang biasa, merasakan angin sore yang sejuk menyambutnya begitu dia turun dari kendaraan. Mengenakan jaket hitam tipis yang melindunginya dari angin dingin, Ortiz berjalan masuk ke kafe dengan ransel di punggungnya, yang berisi drum listrik miliknya.
Sore itu, langit berubah warna menjadi oranye kemerahan, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan kesejukan udara. Jalanan yang tadi dilewatinya tampak ramai dengan aktivitas orang-orang yang pulang dari kerja, anak-anak yang baru saja selesai bermain, dan pengendara lain yang juga menikmati suasana sore hari.
Sesampainya di kafe, Ortiz bisa melihat dari kejauhan teman-temannya sudah berkumpul di dalam. Suara riuh rendah percakapan mereka bercampur dengan suara alat musik yang sedang disetel. Kafe itu terletak agak di pinggir kota, dikelilingi oleh kebun kecil dengan bunga-bunga yang bermekaran, menambah suasana sejuk yang menenangkan.
"Heh, Ortiz! Lama banget, bro," sapa Dika, gitaris band mereka, sambil mengangkat tangannya.
Ortiz tersenyum dan melambaikan tangan. "Macet tadi, sorry."
Ia meletakkan ranselnya di samping set drum yang sudah disediakan, lalu dengan cekatan mengeluarkan drum listriknya. Setelah memastikan semuanya terpasang dengan benar, ia duduk di bangku dan mulai menyetel suara drum sesuai dengan yang ia inginkan.
Sore itu, mereka akan berlatih membawakan "Kupu-Kupu" dari Tiara Andini. Sebuah lagu yang baru mereka pilih, penuh dengan melodi yang halus dan ritme yang menenangkan, tetapi tetap memiliki sentuhan emosi yang mendalam. Ortiz menyiapkan diri, menyesuaikan tempo dan volume, memastikan setiap dentuman drum terdengar sesuai dengan irama yang diinginkan.
Ketika mereka mulai bermain, Ortiz membiarkan jemarinya memukul drum dengan lembut, mengikuti alunan melodi yang dimainkan oleh teman-temannya. Suara drum listrik yang ia mainkan terdengar jernih, menyatu dengan instrumen lainnya. Lagu "Kupu-Kupu" mengalir lembut, membawa perasaan hangat dan nostalgia, seperti perjalanan kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompongnya, siap menjelajah dunia dengan sayapnya yang baru.
Ortiz menutup mata sejenak, membiarkan perasaannya tenggelam dalam irama. Setiap ketukan drum, setiap nada yang dihasilkan, membuatnya semakin larut dalam lagu itu. Lagu ini memang bukan sekadar melodi baginya; ini adalah cara untuk mengekspresikan perasaannya, perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Latihan berlanjut dengan intensitas yang makin meningkat, tetapi tetap terasa natural. Teman-temannya mengikuti dengan seksama, membangun harmoni yang sempurna. Ortiz merasakan koneksi yang kuat di antara mereka, seolah-olah mereka semua terhubung melalui musik yang mereka mainkan.
Menjelang akhir lagu, matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, menyisakan langit dengan warna ungu pekat yang indah. Mereka berhenti sejenak, memberi ruang untuk menarik napas dan merasakan kepuasan setelah memainkan lagu tersebut dengan baik.
"Bagus, bro! Kita udah siap buat perform besok," ujar Nara, bassist mereka, sambil tersenyum puas.
Ortiz mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya. "Ya, aku rasa kita sudah dapat feel-nya. Ini akan jadi perform yang keren."
Setelah latihan selesai, mereka duduk di teras kafe, menikmati angin malam yang semakin dingin. Cangkir-cangkir kopi yang mulai mendingin di tangan mereka tidak mengurangi hangatnya percakapan. Mereka bercanda tentang hal-hal sepele, tetapi setiap tawa yang keluar terasa akrab dan menguatkan ikatan mereka sebagai sebuah band.
Ketika malam mulai larut, Ortiz kembali memasukkan drum listriknya ke dalam ransel. Ia berdiri, menatap teman-temannya sejenak sebelum akhirnya berpamitan. Malam ini, meskipun sederhana, terasa begitu bermakna. Musik, teman-teman, dan sore yang berubah menjadi malam, semuanya bersatu dalam kenangan yang manis.
Saat Ortiz menyalakan motor dan mulai meninggalkan kafe, ia menatap langit yang kini sudah gelap, dengan bulan yang mulai naik di atas cakrawala. Perasaan tenang menyelimuti dirinya saat ia melaju di jalanan yang sepi, membiarkan kenangan sore itu menghangatkan hati sepanjang perjalanan pulang.
Ketika Ortiz hampir sampai di rumah, ponselnya bergetar di saku. Dia menepi dan mengeluarkan ponselnya. Nama Krisan muncul di layar. Dengan sedikit ragu, Ortiz menjawab panggilan itu.
"Halo, Kak?"
"Ortiz, kamu di mana sekarang?" Suara Krisan terdengar ceria di ujung telepon, tapi ada nada penasaran yang tersirat.
"Aku baru saja selesai latihan band. Kenapa, Kak?"
"Oh, baguslah! Aku lagi di dekat tempatmu latihan. Lagi di Café Haven. Mau ke sini?" Krisan menawarkan dengan nada ringan, seolah-olah ini ide yang baru muncul di benaknya.
Ortiz berpikir sejenak. Café Haven memang tidak jauh dari tempatnya berada sekarang. "Oke, aku ke sana sekarang," jawabnya sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian, Ortiz sampai di depan Café Haven. Dia bisa melihat Krisan duduk di teras kafe, melambai ke arahnya. Krisan mengenakan jaket bomber biru tua yang terlihat hangat dan nyaman. Di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepul, menandakan kehangatan malam yang baru saja dimulai.
Ortiz berjalan mendekat dan duduk di sebelah Krisan. "Jadi, ada apa, Kak? Tumben malam-malam ke sini."
Krisan tersenyum, menatap Ortiz dengan mata yang menyiratkan keakraban. "Aku lagi pengen santai aja. Tadi habis urusan kerjaan, terus kepikiran buat ngajak kamu ngobrol di sini."
Ortiz mengangguk. "Lagi pengen ngobrolin apa nih?"
"Kamu latihan band, ya? Seru nggak?" Krisan memulai dengan topik ringan.
"Seru sih, Kak. Tadi kita bawain lagu 'Kupu-Kupu'. Awalnya agak susah nyatuin feel-nya, tapi akhirnya kita berhasil juga," jawab Ortiz dengan antusias.
"Bagus itu. Nanti ajak aku nonton, ya, kalau kalian perform," kata Krisan sambil tersenyum lebar.
"Ortiz, aku mau bilang sesuatu," kata Krisan, membuka percakapan sambil tersenyum. "Kue kering yang kamu buat itu luar biasa."
Ortiz mengangkat alis, tampak penasaran. "Oh ya? Bagaimana reaksinya di kantor?"
Krisan tertawa kecil. "Teman-temanku di kantor pada suka banget. Mereka bilang kue kamu enak banget, dan ada yang sampai nambah beberapa kali. Katanya rasanya pas banget, manisnya pas, dan teksturnya juga enak."
Ortiz merasa lega dan senang mendengar pujian itu. "Wah, senangnya kalau mereka suka. Aku sempat khawatir kalau rasanya tidak sesuai ekspektasi."
Krisan melanjutkan dengan antusias, "Oh, nggak sama sekali. Bahkan ada yang bilang, kalau buat kue lagi, mereka mau beli dalam jumlah banyak. Jadi, kamu bisa jualan deh, hehehe."
Ortiz tersenyum lebar. "Serius? Itu ide yang bagus juga."
Krisan mengangguk. "Ya, serius. Tapi, aku pikir, mungkin ada baiknya kalau kamu tetap fokus pada sekolah nanti kalau waktu luang baru deh kembangkan resep-resep kue yang kamu suka. Jadi nanti kalau lulus bisa jualan juga."
Krisan mengangguk. "Ya, serius. Tapi, aku pikir, mungkin ada baiknya kalau kamu tetap fokus pada sekolah. Nanti kalau ada waktu luang, baru deh kembangkan resep-resep kue yang kamu suka. Jadi nanti kalau lulus bisa jualan juga."
Ortiz tersenyum kecil, merasa didukung oleh Krisan. Mereka berdua diam sejenak, menikmati suasana kafe yang tenang.
Namun, senyum Ortiz mulai memudar ketika ia mengingat sesuatu yang telah mengganggunya belakangan ini. Dia menggigit bibirnya, terlihat ragu untuk berbicara, tapi akhirnya mengumpulkan keberanian. "Kak," Ortiz memulai dengan nada yang lebih rendah, "sebenarnya ada apa sih dengan Mama dan Papa? Aku lihat mereka kayak... ada yang aneh akhir-akhir ini."
Krisan mendengarkan dengan seksama, matanya melembut ketika melihat adiknya yang jelas-jelas kebingungan. Ia menghela napas dan menatap Ortiz dengan penuh perhatian. "Sebenarnya, aku juga baru tahu setelah ngobrol sama Papa beberapa hari lalu. Mama dan Papa sedang nggak akur soal sesuatu yang cukup serius."
Ortiz mengerutkan dahi. "Serius gimana? Aku nggak dengar apa-apa, sih."
Krisan meletakkan cangkir kopinya di atas meja, tatapannya berubah sedikit lebih lembut. "Papa cerita, mereka berdua sedang ada perbedaan pendapat yang cukup besar tentang... masa depan. Tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan ke depan, apalagi setelah kita semua dewasa."
Ortiz terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan Krisan. "Masa depan? Maksudnya gimana?"
"Lebih ke arah prioritas hidup. Papa bilang, Mama pengen lebih fokus ke kariernya sekarang, apalagi setelah semua yang terjadi selama ini. Tapi Papa berharap mereka bisa lebih banyak waktu bersama, mungkin lebih fokus ke rumah dan keluarga," Krisan menjelaskan, suaranya tetap tenang.
Ortiz mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan. "Aku kira mereka sudah menemukan keseimbangan selama ini."
Krisan mengangguk pelan. "Iya, tapi ternyata di balik semua itu, masih ada gesekan. Mereka berdua pengen yang terbaik buat kita, tapi kadang, cara pandang mereka yang berbeda bikin semuanya jadi lebih rumit."
Ortiz menatap Krisan dengan sorot mata yang bingung dan khawatir. "Apa kita bisa bantu mereka buat cari solusi, Kak?"
Krisan tersenyum tipis, menyadari betapa polosnya adiknya dalam menghadapi situasi yang rumit ini. "Mungkin kita nggak bisa secara langsung, tapi kita bisa dukung mereka dengan cara kita sendiri. Biar mereka tahu kalau kita ada buat mereka, apapun yang terjadi."
Ortiz mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku sih nggak pengen mereka terus kayak gini. Kalau mereka bahagia, aku juga ikut senang."
Krisan menepuk bahu Ortiz, memberi dukungan melalui kontak sederhana itu. "Aku juga. Aku juga."
Krisan menepuk bahu Ortiz, memberi dukungan melalui kontak sederhana itu. "Aku juga. Aku juga."
Ortiz mengerutkan dahi, matanya penuh rasa ingin tahu. "Sebenarnya, kak, selama ini aku juga sering mikirin tentang Mama dan Papa. Tapi mereka jarang banget ngomong tentang masalah mereka. Aku cuma khawatir aja."
Krisan tersenyum lembut. "Ya, aku ngerti. Kadang-kadang, orang dewasa suka sembunyiin masalah mereka dari anak-anak. Tapi, kamu gak perlu terlalu khawatir. Kadang, orang tua juga butuh waktu untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri."
Ortiz mengangguk pelan, tampak merenung. "Itu benar juga sih. Tapi rasanya kayak ada sesuatu yang mengganjal. Kalau Mama dan Papa terus begini, kayaknya susah ya?"
Krisan merespons dengan nada ringan, mencoba meredakan ketegangan. "Jangan terlalu dipikirin dulu. Kita juga harus terus dukung mereka. Aku yakin, mereka sedang berusaha sebaik mungkin."
Ortiz tersenyum, merasa sedikit lebih lega. "Iya, Kakak benar. Lagipula, kita juga bisa bantu dengan cara kita sendiri, kan?"
Krisan mengangguk sambil mengaduk kopi di cangkirnya. "Tepat. Dan yang paling penting, kita tetap ada untuk mereka. Kamu, dengan gantian mengantar jemput kamu, makan bersama di rumah ataupun di luar, dan cara lain. Kita semua bisa saling mendukung."
Ortiz mengangguk setuju.
Krisan tersenyum dan mengangkat cangkir kopinya, seolah-olah bersulang. "Untuk itu semua. Dukungan kita, usaha kita, dan semoga bisa jadi solusi buat semua masalah ini."
Ortiz duduk dengan tenang di hadapan Krisan, tetapi dalam hatinya, berbagai pertanyaan berkecamuk. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, memandang ke arah Krisan yang tampak serius namun penuh perhatian.
Krisan membuka pembicaraan dengan nada tenang, "Aku tahu ini bukan hal yang mudah, Ortiz. Papa memang sempat cerita soal keinginannya agar Mama bisa lebih banyak di rumah."
Ortiz mengangguk, wajahnya memancarkan kebingungan dan sedikit kekhawatiran. "Tapi, Kak, aku nggak ngerti kenapa harus sampai seperti itu. Mama suka banget dengan pekerjaannya. Dia seorang akuntan, dan sepertinya pekerjaannya nggak pernah selesai. Kalau disuruh berhenti, apa dia bakal bahagia?"
Krisan menghela napas panjang sebelum menjawab, "Itu yang Papa khawatirkan juga, sebenarnya. Dia tahu Mama suka kerjaannya. Tapi, di sisi lain, Papa merasa keluarga kita butuh lebih banyak kebersamaan, terutama kalau nantinya kita semua akan tinggal bersama."
Ortiz terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja dikatakan oleh Krisan. Ia kemudian berkata dengan suara yang sedikit ragu, "Kalau Mama tetap kerja, apa itu berarti kita nggak bisa jadi keluarga yang harmonis?"
Krisan menggeleng pelan, "Bukan begitu, Ortiz. Tapi Papa mungkin ingin memastikan bahwa ada keseimbangan. Dia ingin Mama tetap punya waktu untuk keluarga, tanpa harus merasa terbebani oleh pekerjaan yang nggak ada habisnya."
Ortiz berpikir sejenak, kemudian berbicara lagi, "Aku nggak mau melihat Mama jadi tertekan kalau harus memilih antara pekerjaan atau keluarga. Ada nggak cara supaya Mama bisa tetap kerja, tapi juga punya waktu buat kita?"
Krisan tersenyum, "Itulah yang harus kita cari tahu bersama. Mungkin ada cara di mana Mama bisa mengurangi sedikit jam kerjanya atau kita bisa lebih mendukungnya di rumah. Aku yakin, dengan komunikasi yang baik, kita bisa menemukan jalan tengah."
Ortiz mengangguk lagi, kali ini dengan lebih yakin. "Aku pengen ada solusi yang bisa bikin semua orang bahagia. Aku bakal coba ngomong sama Mama dan Papa, mungkin aku bisa bantu nyari jalan keluarnya."
Krisan mengulurkan tangan dan menepuk bahu Ortiz dengan lembut. "Itu niat yang baik, Ortiz. Dan aku ada di sini buat bantu juga. Kita akan menemukan solusinya bersama."
Ortiz tersenyum kecil, merasa lega karena ada seseorang yang bisa dia andalkan dalam situasi yang rumit ini. "Makasih, Krisan. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku nggak mau menyerah begitu aja."
Krisan membalas senyumannya, "Kita semua nggak akan menyerah, Ortiz. Ini tentang keluarga kita, dan kita akan melakukan apa yang terbaik untuk semuanya."
Berikut adalah kelanjutan cerita berdasarkan elemen yang Anda berikan:
Krisan membalas senyumannya, "Kita semua nggak akan menyerah, Ortiz. Ini tentang keluarga kita, dan kita akan melakukan apa yang terbaik untuk semuanya."
Setelah mereka menghabiskan waktu bersama di kafe, Krisan dan Ortiz beranjak dari meja mereka. Krisan menawarkan untuk mengantar Ortiz pulang, dan mereka melangkah keluar dengan langkah ringan, diiringi oleh aroma sore yang segar. Suasana di luar kafe mulai gelap, dan lampu-lampu jalanan menyala satu per satu, menciptakan suasana yang tenang dan damai.
Sesampainya di rumah Ortiz, Krisan memastikan adiknya telah memasuki rumah dengan aman. Ia berdiri di depan pintu rumah, melihat Ortiz membuka kunci dan masuk dengan hati-hati. Krisan mengangguk puas saat pintu tertutup dengan lembut di belakang Ortiz, lalu ia berbalik untuk pulang.
Di dalam rumah, Ortiz meletakkan tas sekolahnya dan duduk di ruang tamu. Dia merasa lega setelah percakapan dengan Krisan dan merasa ada sedikit kejelasan tentang situasi keluarganya. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Saat Ortiz memeriksa ponselnya, dia menemukan sebuah pesan dari nomor tanpa nama. Awalnya, dia mengira pesan itu dari Krisan atau teman sekolahnya. Namun, saat membaca isinya, hatinya bergetar. Pesan itu berisi ancaman yang langsung membuatnya terkejut:
"Jangan berpikir kamu bisa terus bermain-main dengan hati Krisan. Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi. Jika kamu terus mendekatinya, akan ada konsekuensi."
Ortiz membaca pesan itu beberapa kali, mencoba mencerna maknanya. Rasa takut dan bingung menyelimuti dirinya. Dia tidak mengerti mengapa seseorang merasa perlu mengirim ancaman seperti itu, dan mengapa orang tersebut tampaknya menuduhnya memiliki perasaan terhadap Krisan.
Dia segera mencoba untuk mencari tahu siapa pengirimnya, namun nomor tersebut tidak dapat dilacak. Ortiz merasa terpojok dan cemas. Ancaman itu bukan hanya membuatnya khawatir tentang keselamatan dirinya, tetapi juga tentang keselamatan Krisan, yang kini menjadi pusat perhatian dalam ancaman itu.
BERSAMBUNG
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top