Part 45.2 - Something About Love and Confession

UPDATE!!!

Klik bintang dulu dan komen hadirr!!!

Siapa yang masih sabar baca sampai hari ini? 🤣

Sebelumnya terima kasih atas dukungan kalian, plagiat kemarin akhirnya ditakedown juga oleh aplikasi F. Semoga dia jera ya dan nggak copas punya orang lagi 😣

***

Just info, cerita ini sudah tahap akhir dan siap siap dari skrg menabung buat yang minat punya versi cetak🥰

Apakah akan tamat di Wattpad? Ya akan tamat di Wattpad, tapi epilog dan extra part ada di buku.

Apakah bukunya komplit? Semua komplit dari Wattpad dan bagian eksplisit yang hanya dipost di KK.

***

Pemeran yang muncul di cerita ini :

Kaytlin de Vere ~ Marchioness of Blackmere

Raphael Fitzwilliam ~ Marquess of Blackmere

Damon Falkner ~ Duke of Torrington

Earl of Fenwood
(salah satu pengagum Kaytlin dulu yang tidak banyak bicara, mau berpura-pura menjadi pengagum Kaytlin agar tidak dituntut oleh keluarga untuk cepat-cepat menikah)

Marchioness of Lichfield dan Princess Frederica
(anggota bangsawan sosial atas, tamu Dowager Duchess of Torrington)

***

Flashback part lalu :

Setelah menikah, Kaytlin bersikap formal kepada Raphael.

Raphael mengajaknya kembali ke Torrington House dan bertemu dengan Duke of Torrington. Kaytlin begitu takut bahwa Raphael curiga padanya karena ia memang menyimpan rahasia tentang hubungan gelap Duke of Torrington dan Duchess of Schomberg.

Di pesta tersebut, tidak sengaja Kaytlin bertemu Earl of Fenwood dan berdansa. Tanpa disangka Fenwood mengungkapkan perasaannya pada Kaytlin dengan terlambat.

***

PART 45.2 - SOMETHING ABOUT LOVE AND CONFESSION

Benarkah?

Fenwood memiliki perasaan padanya lebih dari sekadar teman?

Kaytlin masih berdiri di sana, mengawasi sosok Earl of Fenwood hingga menghilang di antara kerumunan tamu pesta.

Selama ini Kaytlin hanya berpikir secara sederhana saja. Jika Fenwood mengatakan berpura-pura maka ia tidak akan pernah berani berpikir sebaliknya. Meski Fenwood beberapa kali mengajaknya berjalan-jalan di Hyde Park bersama Melissa dan meski teman-temannya mengatakan Fenwood sepertinya terlalu perhatian pada Kaytlin karena selalu muncul di pesta mana pun yang Kaytlin hadiri. Mengapa ia tidak mengatakannya secara terang-terangan bahwa ia benar-benar mendekati Kaytlin?

Namun, seandainya Fenwood mengatakannya, apakah Kaytlin akan menerima?

"Lady Blackmere, ada apa?" tanya Princess Frederica.

Kaytlin menoleh dari lamunan. "Tidak apa. Maaf, apakah aku mengabaikanmu, Your Highness?"

"Malah aku yang ingin bertanya. Karena sejak tadi aku tersadar hanya bercakap-cakap dengan Lady Lichfield saja dan melupakanmu."

"Tidak masalah. Aku juga sedang melihat-lihat siapa saja yang hadir karena tadinya aku tidak menyangka bertemu Lord Fenwood."

"Setahuku Lord Fenwood pengagummu dulu saat menjadi debutan, bukan?" Marchioness of Lichfield bertanya.

"Benarkah?" Princess Frederica terkesiap. "Apakah ia tidak kecewa mendengarmu menikah?"

"Lord Fenwood tidak hadir saat pernikahanku," jawab Kaytlin yang membuatnya bertanya-tanya juga apakah saat itu bisa diartikan kekecewaan. Tapi itu bukan salah Kaytlin, bukan? "Sepertinya tidak, karena tadi kami bercakap-cakap seperti biasa."

"Fenwood seorang gentleman yang sportif, Princess Frederica. Aku cukup mengenal keluarganya. Ia pria yang tampan sama seperti ayahnya saat muda dulu, Marquess of Willingdon," jelasnya seraya tersenyum mendesah. "Keluarganya juga kaya raya dan terhormat."

"Kau sangat beruntung dulu bisa dikagumi oleh pria semacam itu." Princess Frederica menatap Kaytlin dengan mata berbinar.

"Kudengar Lady Blackmere memang banyak pengagum, Your Highness."

"Tidak sebanyak yang kaupikirkan, Lady Lichfield," sanggah Kaytlin. "Kebanyakan dari mereka menyukaiku sebagai teman baik. Lagipula sekarang aku sudah menikah."

"Justru karena sudah menikah, kau harus lebih berhati-hati, Lady Blackmere."

"Berhati-hati?"

Kedua wanita yang sudah berstatus menikah di depannya itu semakin merapat pada Kaytlin seakan apa yang mereka bicarakan selanjutnya bersifat rahasia.

"Akan ada banyak lelaki yang mendekatimu setelah kau menikah," bisik Lady Lichfield.

"Mereka mungkin memiliki niat yang..." Princess Frederica berdeham. "...tidak begitu terhormat."

"Kauingat pembicaraan kita di meja makan dulu tentang Duchess of Schomberg yang dirumorkan__"

"Oh!! Lady Lichfield!! Dia teman baik Duchess of Schomberg!" Princess Frederica beralih pada Kaytlin dengan raut cemas. "Maaf. Lady Blackmere. Maksud kami hanya ingin memberikan contoh. Belum tentu Duchess of Schomberg melakukan yang dirumorkan padanya. Kita harus berpraduga yang baik seperti yang Dowager Duchess of Torrington katakan."

"Aku mengerti, Princess Frederica. Sebenarnya aku pun tidak terlalu dekat dengan Duchess of Schomberg."

"Syukurlah. Jadi seperti itu...kami tidak ingin kau mendapat rumor yang sama sepertinya. Meski itu hanya sekadar rumor."

"Sebaiknya kau tidak terjerumus untuk bermain api dengan pria lain, kecuali..." Lady Lichfield berdeham lebih keras seakan ada sesuatu yang tersangkut di kerongkongannya. Ia semakin mendekat pada Kaytlin. "...kecuali jika suamimu yang melakukan lebih dulu, atau ia tidak memperlakukanmu dengan baik."

"Tidak." Kaytlin menggeleng dengan wajah merah padam. "Tentu saja aku tidak pernah berpikir sejauh itu, My Lady." Meski pernikahannya bukan pernikahan normal, lanjut Kaytlin dalam hati. "Dan His Lord memperlakukanku dengan baik."

"Pernikahanmu masih terbilang baru." Lady Lichfield meraih tangan Kaytlin dan menggenggamnya. "Meski kau sudah menjaga diri kau juga harus menjaga suamimu baik-baik. Banyak sekali wanita-wanita jalang...maksudku wanita dengan niat tidak terhomat di luar sana."

Tatapan Lady Lichfield terlihat penuh tekad.

"Terima kasih atas nasehat Anda," ucap Kaytlin.

"Sama-sama, Lady Blackmere. Jangan sungkan bertanya apa pun nanti jika menemukan kesulitan."

Kaytin mengangguk lagi. Kedua wanita itu tampak puas. Sebenarnya tanpa perlu mereka ungkapkan pun Kaytlin sudah tahu sebagian kecil kehidupan pernikahan para bangsawan dari cerita-cerita Gretchen. Pun juga ia sudah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Duchess of Schomberg. Dan bahkan juga Raphael...

Sampai kini Kaytlin tidak tahu bagaimana nasib hubungan mereka. Ia hanya tahu Raphael sudah menemui Sophie tapi ia tidak tahu apa yang dibicarakan. Raphael tidak membahasnya, dan Kaytlin pun tidak pernah bertanya karena ia tidak ingin peduli.

"Lady Blackmere..." Seorang pelayan wanita mendekatinya dan memberi bungkukan salam. "Dowager Duchess ingin berbicara Anda."

"Her Grace...?" Kaytlin bertanya-tanya hal apa yang begitu penting antara dirinya dan Dowager Duchess untuk dibicarakan, tapi ia tidak menemukan. Atau mungkin Dowager Duchess hanya ingin memberikan nasehat-nasehat, seperti yang dilakukan Princess Frederica dan Lady Lichfield padanya?

"Her Grace pasti kesulitan menemukanmu di tengah kerumunan," ujar Lady Lichfield. "Ada baiknya kau cepat menemuinya, Lady Blackmere. Jangan sampai beliau menunggu lama."

Kaytlin menoleh sekilas ke selasar lantai dua, tapi Raphael dan yang lain sudah tidak ada di sana. Tadinya Raphael menyuruh tetap tinggal, namun Dowager Duchess juga tidak bisa diabaikan.

"Saya akan mengantarkan Anda padanya. Mohon ikuti saya, My Lady," ucap si pelayan lagi sebelum berbalik dan berjalan.

Tanpa bertanya lagi, Kaytlin mengikutinya. Pelayan itu keluar dari ruangan pesta, dan berbelok ke kiri. Manor itu begitu besar namun Kaytlin hampir saja hafal dengan beberapa jalan di sana mengingat kejadian terakhir kali. Ia ingat jalan menuju rumah kaca, dan juga ruang kerja Torrington. Kadang ia tidak habis pikir mengapa seseorang sebaik Dowager Duchess bisa memiliki anak seperti Duke of Torrington. Mungkin saja dikarenakan pola pengasuhan bangsawan yang menyerahkan segalanya pada pengasuh setelah seorang anak lahir sehingga tidak mendapatkan pengaruh dari seorang ibu. Atau mungkin sang duke terlalu mengerti bahwa ia terlahir dengan privilege yang begitu besar dan memilih bersikap arogan.

Lama Kaytlin memikirkan itu, ia baru tersadar bahwa sang pelayan membawanya terlalu jauh. Bahkan penerangan tidak dinyalakan di beberapa tempat yang mereka lewati sehingga suasana menjadi remang-remang. Keadaan itu membuat Kaytlin curiga.

"Di mana Dowager Duchess hendak bertemu dengan saya?" Kaytlin memberanikan diri bertanya.

"Sudah sampai, My Lady." Pelayan itu berbelok di sebuah koridor dan membuka sebuah pintu untuknya. "Silakan."

Dengan waspada, Kaytlin maju selangkah memasuki ruangan yang terlihat seperti ruang santai tersebut. Benar saja firasat buruknya terbukti. Seseorang duduk di sofa, dan itu bukan Dowager Duchess melainkan Duke of Torrington.

"Kau?!" Kaytlin tersentak.

"Sungguh tidak sopan! Kau tidak sadar berbicara dengan siapa?!" hardik Torrington. Kesombongan pria itu memang tak lekang oleh apa pun.

"Aku kemari karena Dowager Duchess memanggilku."

"Ibuku tidak memanggilmu. Aku yang menyuruh pelayan melakukannya."

Kaytlin menoleh. Pelayan tadi sudah tidak ada lagi di belakangnya. Dengan cepat fokusnya kembali lagi pada Torrington. "Untuk apa berbohong seperti itu?"

"Pertanyaan bodoh. Memangnya kau mau datang jika tahu aku yang memanggilmu?"

Untuk apa juga Kaytlin bertanya? Tanpa basa-basi lagi, Kaytlin berbalik berjalan keluar pintu. Menyangkut Torrington, Kaytlin sudah tidak peduli pada kesopanan meski pria itu seorang duke.

"Kembali kemari! Kuperintahkan__" Torrington bangkit dari sofa dan mengikutinya dengan langkah-langkah lebar karena Kaytlin tidak menggubris. "Aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu! Dengarkan aku dulu, Miss de Vere!"

"Aku bukan Miss de Vere lagi!" Kaytlin menoleh dengan tatapan penuh ancaman. Torrington pun ikut terhenti.

"Maksudku Lady Blackmere..." Torrington meralat sekenanya. "Sebaiknya kita bicarakan di dalam, karena tidak pantas jika dilihat orang lain."

Kaytlin terperangah tak habis pikir. "Justru kita tidak pantas di dalam ruangan hanya berdua, Your Grace."

Raut Torrington merasa terhina. "Aku tidak mungkin melakukan hal yang tidak pantas padamu!"

"Memang tidak! Terakhir kali Anda hanya ingin mencelakaiku!"

"Itu hanya gurauan! Apa kaupikir orang terhormat sepertiku serius hendak melakukan niat tercela semacam itu?!"

"Mana kutahu!" Kaytlin menggertakkan gigi kesal. Memangnya Torrington pikir Kaytlin sebegitu bodohnya? Entah siapa yang paling bodoh di antara mereka sebenarnya, tidak begitu jelas sekarang. "Mungkin saja Anda tidak hendak melakukan hal yang tidak pantas. Tapi siapa yang tahu jika Anda sedang menjebakku mengingat terakhir kali aku mengetahui apa yang Anda lakukan."

"Aku tidak ingin menjebakmu dan aku tidak berniat buruk! Aku mengundangmu dengan hormat kemari dan hanya ingin berbicara!"

"Kalau begitu bicarakan sekarang juga. Di sini."

Torrington tampak enggan mereka bicara di sana. Atau mungkin ia hanya tidak suka bahwa Kaytlin secara tidak langsung baru saja memerintahnya. Bibirnya terkatup erat dan rahangnya mengeras. Apa pun itu pada akhirnya ia terpaksa menerima. "Kau...menikah dengan Blackmere."

"Lalu apa masalahnya?"

"Aku tidak menyangka hubunganmu sedekat itu dengannya."

"Jika hanya ingin mengatakan itu saja, bisakah aku kembali sekarang?" tanya Kaytlin tak sabar karena berbicara dengan Torrington memang hanya membuang-buang waktu saja. "Aku khawatir His Lord melihatku ada di sini bersama Anda."

"Suamimu masih sibuk bersama Wallingford. Dan sepertinya Maximillian juga tidak akan membiarkannya pergi ke mana pun."

"Seharusnya Anda juga bersama mereka."

"Aku tidak tertarik kepada bisnis kapitalis." Torrington melangkah mendekati bufet kayu yang berada di dinding foyer dan menumpukan lengannya di sana dengan pose elegan. "Kau tahu? Wallingford terlalu terjerumus dengan semua itu dan melupakan nilai-nilai tradisi feodal kita."

"Itu cukup memprihatinkan. Sayangnya aku tidak bisa berlama-lama mendengarkan keluhan Anda."

"Tunggu!" sergah Torrington yang membuat Kaytlin mundur dengan waspada karena pria itu maju selangkah mendekat. Torrington melihat itu dan ikut memilih berhati-hati yang membuat Kaytlin semakin tidak mengerti apa yang diinginkannya.

Torrington lanjut bertanya, "...karena kau menikah dengannya, apa kau memberitahukan kejadian malam itu?"

"Aku sudah berjanji tidak akan memberitahukan padanya dan sampai hari ini janji itu masih kutepati....tapi aku bisa saja terpaksa mengatakannya jika Anda terus menakut-nakutiku seperti ini," ancam Kaytlin.

"Aku tidak sedang menakut-nakutimu...!" Torrington menurunkan nada suaranya lagi, sedikit memaksakan diri. "Dengar, aku melakukan saranmu untuk mengakhiri hubungan."

Maksudnya adalah dengan Sophie. Kaytlin bahkan sudah lupa pernah memberikan saran itu.

"Tapi ia bereaksi begitu keras dan bahkan mengancamku. Ini salahmu."

Kaytlin terperangah tak terima. "Pardon me, Your Grace, Anda menyalahkanku atas apa yang telah Anda mulai sendiri?! Itu hanya sekadar saran yang Anda sendiri kuingat menolaknya. Setelahnya aku tidak melarang dan tidak peduli jika Anda ingin melakukan apa pun," sembur Kaytlin panjang lebar dan itu belum selesai. "Lagipula Anda sudah mengatakan sendiri bahwa Anda memang tidak berniat serius dengan hubungan itu. Aku curiga bahwa Anda sama sekali tidak mendengarkanku dan hanya menjadikannya sebagai kambing hitam atas kegagalan Anda berbicara dengannya. Anda memang sudah berniat mengakhirinya karena takut, mengingat ia baru saja menjan__"

"Cukup!" Torrington menaikkan sebelah tangannya dengan raut menderita. "Hentikan itu...mendengarnya hanya membuatku sakit kepala..."

"Anda hanya tidak bisa mendengarkan kenyataan."

Kali ini Torrington yang menoleh tak terima. "Tidak ada manusia yang pernah mengoceh sepanjang itu padaku! Jangankan aku, siapa pun juga tidak akan tahan mendengarnya. Aku tidak mengerti kenapa Blackmere bisa memilih menikahi wanita bawel sepertimu padahal masih banyak wanita penurut di luar sana!"

"Ia juga tidak tahan! Tapi terpaksa menikahiku!"

"Apa?" Torrington mengernyit.

"Lupakanlah!" cetus Kaytlin dengan cemberut. "Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa Anda repot-repot memanggilku hanya untuk ini."

"Aku perlu seseorang untuk membicarakannya. Kau ada di sana saat itu! Pada siapa lagi aku harus berbicara?!"

"Anda lupa Lord Wallingford juga ada di sana?"

"Setan busuk itu?" dengus Torrington. "Ia hanya bisa menertawakanku."

"Tapi apa yang Anda bicarakan sebenarnya juga tidak ada hubungan denganku."

"Suka atau tidak, ini semua berhubungan denganmu." Torrington mengangkat wajah dengan serius. "Ia menyebut namamu..."

Kaytlin terdiam menahan napas.

"Sepertinya ia lebih dendam padamu ketimbang padaku," lanjut Torrington. Alisnya berkerut penuh spekulasi. "Apa yang telah kaulakukan padanya?"

Hanya memergoki hubungan terlarang wanita itu dan membuat Raphael tidak jadi menikahinya.

Dan sebenarnya itu semua tidak merugikan Sophie. Wanita itu masih seorang duchess, tingkatan tertinggi dari semua gelar setelah gelar kerajaan. Ia juga mendapatkan pembagian warisan dari suaminya yang membuatnya menjadi salah satu janda muda terkaya di Inggris. Ditambah pula ia sudah mendapatkan perhatian Torrington. Tidak mungkin ia memikirkan kehilangan Raphael.

Atau mungkin Sophie tidak memikirkan itu semua, namun hanya dendam karena Kaytlin telah merebut sesuatu yang menjadi miliknya selama bertahun-tahun. Kaytlin sudah menginjak ego Sophie, sama seperti yang ia lakukan pada Torrington. Hanya saja Torrington lebih mudah mengungkapkan semuanya secara terang-terangan pada Kaytlin.

Atau...Kaytlin memikirkan kemungkinan ketiga, kemungkinan yang paling tidak ia inginkan dan jauh di luar pemikirannya, bahwa Sophie memang mencintai Raphael.

"Tidak ada..." Kaytlin bergumam rendah.

"Apa ada masalah?" Suara Raphael mengejutkan mereka berdua. Kaytlin mencoba menoleh tanpa terlihat panik. Raphael berdiri hanya beberapa meter di keremangan di belakang Kaytlin. Entah sejak kapan ia ada di sana sehingga Torrington dan Kaytlin tidak mengetahui. Bahkan langkahnya pun tak terdengar. Suka atau tidak, Kaytlin merasa lega Raphael ada di sana mengingat ia menghadapi Torrington seorang diri, namun ia juga bingung apa yang harus ia jelaskan tentang keberadaannya di sini.

"Lady Blackmere tersesat kemari," jawab Torrington lebih dulu. "Kebetulan aku melihatnya."

"Tersesat?" Raphael berjalan mendekat dan berhenti di sebelah Kaytlin. "Kupikir tadi ia pergi bersama pelayan Torrington House."

"Benar..." sahut Torrington muram. "Ia tadi bersama pelayan."

"Baik sekali kau menunjukkan jalan kembali padanya."

"Dia sebenarnya sudah tahu. Aku hanya sedikit beramah-tamah. Begitu lama kita tidak bertemu setelah insiden terakhir kali."

"Apakah kau masih memiliki masalah dengan Kaytlin, Your Grace?" Raphael bertanya dengan nada tenang. "Karena dia lady-ku sekarang, aku bisa mewakilinya menerima apa pun keluhanmu."

"Semuanya sudah selesai saat penandatanganan perjanjian itu, Blackmere."

"Baiklah," tanggap Raphael datar. "Lain kali jika kau ingin berbicara dengannya lagi, pastikan aku ada di sana."

"Sepertinya kau sangat otoriter pada istrimu."

"Tidak. Aku sedang melindunginya."

Torrington mendengus sebagai bentuk ketersinggungan. "Dariku?"

"Dari segalanya."

Atmosfer ruangan itu sarat ketegangan. Kaytlin yang menyimak mereka merasa khawatir. "Bisakah kita kembali ke aula...My Lord?" selanya hati-hati.

"Kita memang akan kembali." Raphael menyelipkan tangan ke pinggang Kaytlin. "Selamat malam, Your Grace."

Tanpa menunggu balasan sang duke, ia mengajak Kaytlin berlalu.

***

"Pertanyaanku masih sama seperti sebelumnya."

Raphael tidak repot-repot menunggu mereka sampai di aula untuk bertanya. Malah ia mengajak Kaytlin berhenti di selasar yang berbatasan dengan taman dan pintu masuk aula. Orang-orang yang berada di dalam bisa melihat mereka namun tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Apa ia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" lanjut Raphael.

"Aku baik-baik saja," sahut Kaytlin.

"Jadi, karena kau baik-baik saja, mungkin kau bisa bercerita sekarang apa yang ditutupi oleh Torrington dariku."

Sementara Raphael bisa berlaku santai, Kaytlin terdiam kaku di tempatnya berdiri dan menatap Raphael dengan berbagai kemungkinan dalam pikirannya. "Kau mendengar?"

"Tidak banyak. Butuh waktu bagiku untuk menyusulmu setelah aku melihatmu pergi dengan pelayan itu."

"Pelayan itu mengatakan Dowager Duchess yang ingin bertemu denganku, jadi aku bersedia mengikutinya."

Raphael mengangguk seakan langsung percaya dengan semua itu tanpa perlu sanggahan.

"Jangan-jangan...kau sengaja mengajakku ke Torrington House hanya karena ini?" Kaytlin tersadar.

"Sepertinya kau memang sudah mengerti. Jadi, apa itu?"

"...bukan hal penting."

"Biar aku yang menilai itu nanti." Raphael mengulang apa yang Kaytlin ucapkan dulu saat ia memaksa Raphael mengungkapkan apa yang dituduhkan Sophie tentangnya hingga Torrington bersedia menandatangani perjanjian itu. "Setelah kau bercerita."

Tentu saja Kaytlin tidak bisa.

"Kau tidak mau menceritakannya?" tanya Raphael karena Kaytlin hanya diam.

"Aku tidak bisa. Jangan memaksaku," sahut Kaytlin. "Percayalah, kau mungkin akan lebih suka tidak mendengarnya."

"Jika aku tidak tahu persis apa yang terjadi, aku tidak bisa melindungimu dari Torrington."

"Aku bisa menjaga diriku sendiri."

Raphael tampak menahan diri untuk mengucapkan sesuatu yang menyebalkan. Kaytlin terlalu mengenalnya sehingga ia hafal raut wajah Raphael yang satu itu. Dan ia juga sadar ucapannya tadi pasti terdengar menyebalkan bagi Raphael. Meski akhir-akhir ini ia memang selalu sengaja bertingkah menyebalkan, Raphael tidak pernah menanggapi serius seperti sekarang.

"Baiklah." Raphael melangkah dan berjalan melewati Kaytlin. "Karena kau tidak bisa mengatakan, aku akan bertanya pada Torrington."

Kaytlin terbelalak. "Tunggu..." Dengan segera Kaytlin mencegah.

Tapi Raphael tidak menggubris.

"My Lord, aku berjanji padanya untuk tidak mengatakan pada siapa pun," ungkap Kaytlin.

"Aku pun pernah berjanji pada seseorang, tapi aku mengingkarinya untukmu," jawab Raphael tanpa berhenti. "Tidak bisakah kau melakukan hal yang sama?"

"Ini tidak sama," sahut Kaytlin gusar.

"Jelaskan padaku."

Kaytlin terdiam, namun kaki dan pikirannya bekerja. Ia harus cepat memutuskan mana yang terbaik di antara situasi yang sama-sama buruk ini.

"Baiklah, aku akan mengatakannya." Akhirnya ia menyerah.

Langkah Raphael terhenti dan ia berbalik menghadap Kaytlin. Kaytlin pun berhenti, menjaga jarak dari pria itu.

"Tapi tidak di sini," lanjut Kaytlin.

***

Entahlah. Kaytlin sudah tidak mengerti lagi apa yang ia lakukan. Ia tidak mungkin membiarkan Raphael membuat keributan dengan Torrington. Berurusan dengan Raphael saja sudah rumit apalagi ditambah Torrington. Tapi di atas segalanya, ia tidak menyangka bahwa Raphael ingat dengan itu semua dan memendamnya selama ini. Kaytlin pikir Raphael sudah lupa, sama seperti Kaytlin yang sudah menutup lembaran kejadian itu dalam hidupnya.

Tidak lama, mereka sudah dalam perjalanan pulang karena Raphael tidak menunda waktu lagi setelah Kaytlin berjanji akan mengatakannya. Kaytlin juga tidak berani mengambil risiko menanggung reaksi Raphael di Torrington House menyangkut perselingkuhan itu. Raphael akan terkejut, itu pasti. Tapi tidak tahu bagaimana tindakannya.

Sementara Kaytlin terduduk diam di bangku kereta tanpa melakukan apa pun, Raphael melepas cravat dan membuka satu kancing teratas seperti kebiasaan. Ia tidak terlalu betah memakai pakaian formal dan juga tidak suka menghadiri pesta, tapi ia melakukan semua ini hanya untuk tahu tentang rahasia Torrington. Berarti Raphael melihatnya berkali-kali saat berdansa dengan Fenwood hanya untuk menunggu Torrington masuk dalam jebakannya, bukan karena cemburu. Sial, Kaytlin bahkan sempat memikirkan ucapan Fenwood tadi? Ia terkesan seperti berharap, padahal tidak.

Berusaha mengalihkan pikirannya, Kaytlin memandang ke luar jendela. Sebenarnya Torrington House dekat dengan Mayfair, sayangnya Anthony dan Lissy sudah pulang ke utara. Cuaca malam ini begitu cerah sehingga ia bisa melihat dengan jelas pemandangan kota. Satu per satu bangunan terlewati, termasuk Brown's Hotel yang membuat ingatan Kaytlin kembali lagi saat ia meminta menginap pada Raphael untuk mengulur waktu keberangkatannya ke Carlisle. Betapa pun Kaytlin berusaha menghindar, takdir seakan mengumpulkan kepingan yang membuat semua ingatannya kembali pada hari itu. Rasanya begitu memalukan bahwa ia pernah mengejar pria di depannya ini seperti orang gila. Entah bagaimana Raphael memandangnya dulu, Kaytlin juga tidak ingin tahu. Seandainya ia bisa memutar waktu, mungkin ia akan berusaha melihat Fenwood atau pria-pria yang mendekatinya di season, bukan pria yang sudah menyuruhnya menjauh sejak awal. Mungkin salah satu di antara mereka benar-benar mencintainya. Mungkin...

"Apa kau lapar?" tanya Raphael saat melewati Picadilly. "Jika kau lapar, kita bisa menepi."

"Tidak," jawab Kaytlin dingin. Tidak mungkin ia lapar dalam keadaan kusut semacam ini. Memikirkannya pun tidak. Lagipula ia sudah makan sedikit hidangan prasmanan di aula pesta tadi.

"Baguslah. Karena aku juga sedang tidak lapar," kata Raphael. "Menurutmu apakah kita sudah cukup jauh dari Torrington House?"

Kaytlin mengerti Raphael sudah menagih penjelasan yang ditunggunya. Ia memberikan tatapan serius saat memulai pembicaraan. "Torrington mengancamku jika aku memberitahukan padamu maka ia akan membuat masalah dengan perjanjian Wallingford."

"Ia sudah menandatanganinya. Mustahil ia bisa membuat masalah. Jika bisa pun ia akan berhadapan dengan Maximillian."

"Tapi bisakah Torrington tidak perlu tahu aku sudah mengatakannya padamu?"

"Haruskah memastikan itu? Aku tidak mungkin membicarakan lagi dengannya jika aku sudah mengetahui darimu."

"Kau belum tahu apa yang akan kukatakan."

"Katakanlah."

Sedikit gelisah, Kaytlin memilih menatap kedua tangannya di pangkuan. "Torrington tidak secara spesifik menutupi darimu. Ia menutupinya dari semua orang dan itu termasuk dirimu. Akulah yang menutupinya darimu."

"Mengapa begitu?"

"Karena aku menemukan Torrington bersama Duchess of Schomberg berdua, di rumah kaca." Tidak perlu Kaytlin jelaskan lebih lanjut lagi karena Raphael pasti sudah mengerti apa artinya.

Tapi ia sudah mengucapkannya. Tuhan...Ia memberanikan diri melihat Raphael. Pria itu hanya diam tanpa ekspresi, tidak terlihat sedikit pun rasa syok ataupun keterkejutan. Itu mengherankan. Atau mungkin Raphael hanya tidak percaya apa yang Kaytlin ceritakan?

"Maka dari itu aku tidak terima saat Duchess of Schomberg memutarbalikkan fakta bahwa aku yang merayu Torrington," imbuh Kaytlin. "Terserah kau percaya padaku atau tidak. Aku tidak peduli."

"Aku percaya," ucap Raphael. "Semua itu cukup tepat memberiku jawaban mengapa Torrington terlihat takut padamu."

"Ia hanya takut aku mencemarkan nama baiknya sehingga selalu mengawasiku. Wallingford juga ada di sana bersama seorang pelayan. Bahkan Duchess of Schomberg pun bisa menyebarkannya. Tapi dia hanya mencurigaiku." Semua yang Kaytlin pendam keluar begitu saja. "Jika boleh memilih, aku tidak pernah ingin tahu tentang itu semua."

"Seharusnya kau katakan saja saat itu padaku tanpa perlu khawatir pada Torrington."

"Aku juga tidak ingin merusak kebahagiaanmu menyangkut Duchess of Schomberg," sahut Kaytlin sarkas.

Raphael mendengus. "Lalu kau berencana membiarkanku tidak mengetahui itu selamanya?"

"Tidak juga. Aku sudah berusaha memisahkanmu darinya. Karena itulah aku merayumu."

"Itu alasanmu?"

"Pada akhirnya kau tidak terlalu kecewa, bukan? Anggap saja kau dan Duchess of Schomberg seimbang. Dia melakukan kesalahan dengan Duke of Torrington dan kau melakukan kesalahan denganku."

"Kau menganggap dirimu sebuah kesalahan?"

"Memangnya apa lagi yang lebih buruk?"

Raphael terdiam. Kaytlin memaksakan diri bertahan menatap pria itu sepenuhnya.

"Kau melakukannya karena mencintaiku. Kau yang mengatakan sendiri."

Penegasan itu membuat perut Kaytlin melilit.

"Tidak...Aku berbohong..." Hati Kaytlin terasa teriris-iris saat mengucapkannya. Ia tidak ingin, tapi ia perlu mengatakan ini untuk menyelamatkan sebagian kecil dari harga dirinya yang sudah hancur. "Aku tidak mencintaimu."

Rasanya Kaytlin akan mati sekarang juga. Ia menahan airmata yang hendak meluap, dan sudah terlatih melakukan itu meski kali ini sedikit sulit.

Namun, yang tidak Kaytlin duga adalah Raphael. Pria itu malah terlihat terpukul yang seharusnya ditunjukkan saat Kaytlin membuka rahasia Torrington tadi. Ataukah hanya Kaytlin yang terlambat melihatnya?

"Kau tidak serius mengatakannya karena marah padaku, bukan?" tanya Raphael.

Kaytlin menggeleng.

"Maksudmu aku harus percaya kau memilih bermain-main dengan taruhan kehormatanmu sendiri? Begitu?" Raphael tertawa miris.

Memang pria itu tidak mungkin percaya, tapi Kaytlin hanya bisa berusaha, seaneh apa pun cerita itu terbentuk. Ia mengangguk. Sekali. Dengan perlahan. "Aku menyukaimu. Tapi tidak terlalu."

Raphael mengamatinya dengan mata berkilat-kilat. "Memangnya kau sebodoh itu?"

"Aku memang sebodoh itu untuk menyadarinya sekarang," jawab Kaytlin getir. "Kau sudah tahu aku memang bodoh sejak dulu. Berkali-kali kau mengatakannya tapi aku tidak pernah mendengar. Mengapa harus bertanya lagi?"

***

Lalu tidak ada kata yang terucap lagi hingga mereka sampai di manor. Entah mengapa Raphael membisu sepanjang perjalanan, begitu pula Kaytlin. Satu per satu mereka memberikan mantel pada pelayan di pintu depan, lalu Kaytlin menaiki tangga lebih dulu tanpa menoleh meski ia tahu Raphael ada di belakangnya hingga memasuki kamar masing-masing.

Seandainya saja ia bisa meminum sedikit alkohol, tetapi tidak bisa karena bayi dalam perutnya. Kaytlin merasa seperti seseorang yang depresi hanya karena mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan hatinya. Namun ia meyakinkan diri bahwa itu hanya perasaannya saja mengingat ia baru mengalami pembicaraan yang melelahkan. Jadi ia memilih berendam dalam air hangat untuk meredakan ketegangan, tapi itu pun tak membuat perasaannya pulih karena seharusnya ia tidak berada di sana, seharusnya ia tidak menikah dengan Raphael.

Lalu di mana seharusnya ia berada?

"Rambut Anda memanjang dengan cepat, My Lady," komentar Gretchen saat menyikat rambut Kaytlin di depan meja rias. Sebenarnya rambut Kaytlin tidak perlu disikat, tapi Gretchen mengatakan itu ritual para lady untuk menyikat rambut dua ratus kali sebelum tidur.

"Entahlah. Aku juga merasa rambutku lebih cepat panjang dibanding saat aku tidak pernah memotongnya dulu."

"Mungkinkah aku harus mempertimbangkan memotong rambutku? Lihat, rambut Anda juga lebih halus setelah tumbuh." Gretchen memaparkan rambut itu ke depan melewati bahu Kaytlin. "Rambutku sedikit kering dan bercabang."

"Berapa kali kau mencuci rambut dalam sebulan?"

Gretchen mengangkat wajah terbelalak. "Anda meremehkan kebersihanku? Aku mencuci rambutku seminggu sekali. Bahkan terkadang dua kali." Ia meninggikan dagu sombong.

Kaytlin tersenyum menggoda. "Bagaimana saat musim dingin?"

"itu pengecualian," gerutu Gretchen. "Tidak ada air panas di kamar pelayan. Anda ingin membuatku mati membeku?"

"Ide yang bagus. Aku akan mencari pelayan baru__oh!!" Kaytlin memekik karena Gretchen menyentak keras sikatnya hingga rambut Kaytlin tertarik. "Gretchen!!"

Tertawa-tawa, Gretchen berlari mengitari kaki tempat tidur menuju pintu. Kaytlin berdiri dari kursi, merangkak naik ke tempat tidur, dan melemparkan bantal yang mengenai punggung Gretchen dengan presisi terlalu tepat hingga wanita itu hampir terjungkal dengan pose konyol. Kaytlin tertawa lepas sepuasnya meski ia tahu itu hanya sementara karena sebentar lagi ia akan tidur dengan rasa kesepian dan penyesalan diri.

"My Lady!!" Gretchen berbalik kesal dan ancang-ancang hendak membalas.

Baru saja Kaytlin akan melemparkan bantal kedua, pintu penghubung tiba-tiba terbuka. Kaytlin berhenti tertawa. Gretchen tersentak kaget.

Raphael melangkah masuk begitu saja dengan ketidaksabaran yang mengancam. Ia berjalan ke arah Kaytlin, namun tatapannya tertuju pada Gretchen yang mematung bingung. "Keluar," perintahnya.

Dengan panik Gretchen bergegas.

"Dan kunci pintunya."

Suara pintu berdebam yang ditutup Gretchen membuat Kaytlin sadar dengan terlambat. Ia membuang bantal dan hendak menghindar, tapi Raphael meraih dan memeluknya lebih dulu tepat sebelum Kaytlin bisa turun dari sisi lain tempat tidur. Dalam waktu yang seakan melambat, ia merasakan tubuhnya mendarat dengan lembut di tempat tidur. Kaytlin tidak menunggu untuk memberontak menolaknya bahkan sebelum ia membuka mata.

"Lepaskan!!"

"Kaytlin! Kita sudah menikah!" geram Raphael menahan lengan Kaytlin di bawahnya. "Kita terikat sampai mati seperti yang kauinginkan!"

"Aku tidak menginginkannya lagi! Dan kau juga tidak menginginkannya!"

"Siapa bilang?!"

"Kau memang tidak mengatakannya, tapi aku bisa menyimpulkan keengganan! Ya, Tuhan! Jangan menakut-nakutiku seperti ini! Aku tidak bermaksud mengikatmu sampai mati! Kau bisa menceraikanku setelah aku melahirkan!"

Mendengar kata 'cerai' membuat Raphael meradang. "Tidak pernah ada perceraian di Inggris selama lima puluh tahun terakhir, Madam. Dan kita, tidak akan bercerai. Aku bisa memastikan itu."

"Kalau begitu kau bisa hidup seperti bangsawan normal lainnya," tukas Kaytlin cepat-cepat. "Kau bisa menjalin affair dengan siapa pun yang kauinginkan. Aku akan menutup mata terhadap__"

"Tapi sialnya aku menginginkanmu," potong Raphael. "Kalau kau bisa menutup mata untuk affair-ku artinya lebih mudah menutup mata untuk apa yang akan kulakukan padamu sekarang."

Kaytlin menggeleng. "Kau tidak bisa memaksaku."

"Memang tidak."

"Lalu apa yang kaupikir sedang kaulakukan?"

"Selama ini aku menepati apa yang kauinginkan. Aku tidak pernah memasuki kamarmu."

"Kau sekarang ada di kamarku!" desis Kaytlin mengingatkan.

"Ya, tapi aku baru ingat kau dulu menerobos kamarku. Apa aku pernah mengizinkanmu ke sana?" Raphael mengangkat sebelah alis.

Rasa malu luar biasa yang muncul tiba-tiba membuat seluruh kekuatannya luruh. Tentu saja Kaytlin tidak mampu menyanggah. Itu memang kesalahan fatal yang paling berandil membuat mereka berakhir dalam situasi ini.

"Jawab aku, My Lady."

"Tidak," sahut Kaytlin terpukul.

"Kurasa tidak adil jika hanya aku yang menjadi bahan percobaanmu, bukan?" Tangan Raphael turun menelusuri pipinya lalu mengelus lembut bibir Kaytlin dengan ibu jari. Tatapannya berlama-lama di sana sebelum bertemu mata Kaytlin. "Katamu kau tidak mencintaiku? Buktikan itu sekarang. Aku ingin kau menciumku seperti yang kulakukan pada malam itu."

Mendengar permintaan Raphael, Kaytlin menggeleng ngeri. "T-tidak, aku tidak ma__"

"Kau yang menciptakan permainan itu dan menolaknya sekarang adalah kecurangan," desak Raphael dengan senyuman sarat dendam. "Lakukan. Aku memberimu kesempatan yang sama. Jika kau memang tidak mencintaiku, aku tidak akan mengganggumu lagi."

Sungguh...Raphael benar-benar memilih saat yang tepat untuk mengungkit kesalahan Kaytlin satu per satu.

Selama beberapa tarikan napas cepat, Kaytlin terdiam mengumpulkan segenap keberanian dan tanpa berdebat lagi, ia langsung melakukannya. Wajah Raphael hanya berjarak beberapa senti. Tidak perlu banyak usaha untuk menempelkan bibirnya pada bibir pria itu. Raphael segera menyambut penuh antisipasi dan Kaytlin memejamkan mata, berharap dengan tidak melihatnya ia tidak akan terpengaruh. Namun itu sebuah kesalahan karena ia tetap bisa merasakan setiap sentuhan dengan lebih intens dan mengerang karenanya. Tangannya mencengkeram bahu Raphael dan menariknya mendekat.

Terdengar gemuruh tawa di tenggorokan Raphael yang membuat Kaytlin tersadar kembali ke bumi. Merasa tak terima, ia mengigit bibir pria itu. Tidak terlalu keras, namun cukup memberikan rasa sakit. Raphael meringis namun tidak melawan ataupun menarik diri. Dengan pasrah Kaytlin melepaskan karena ia juga tidak akan pernah bisa menyakiti Raphael lebih dari itu. Rasa malu atas kekalahannya membuatnya ingin mendorong Raphael menjauh, namun karena tidak berhasil ia memukulnya membabi buta dengan kekuatan tangan yang tidak seberapa. Raphael hanya melindungi diri dengan memalingkan wajah, lalu ia meraih tangan Kaytin dengan lembut untuk menghentikannya.

"Kau hanya marah, bukan?" Raphael memberikannya ciuman yang tidak ditujukan untuk membangkitkan gairah. Itu ciuman yang sangat manis. Terlalu manis.

"Kau boleh marah. Sepuasmu. Tapi jangan katakan kau tidak mencintaiku."

Satu ciuman lagi.

"Itu sedikit menyakitkan..." Ia tertawa pilu di bibir Kaytlin. "Tidak...itu terlalu menyakitkan."

Dan lagi. Kali ini lebih dalam, seolah tanpa henti.

Kaytlin nyaris tak bisa bernapas mendengar ucapan Raphael yang mungkin merupakan sebuah usaha yang disengaja ataupun tidak untuk membuatnya terlena. Apa pun itu, terasa terlalu menyenangkan setelah keputusasaan yang Kaytlin lalui sehingga tubuhnya tidak setegang sebelumnya. Raphael merengkuhnya mendekat. Kaytlin menyelipkan tangan melingkari punggung Raphael. Ia membiarkan Raphael masuk dan membelai lidah Raphael dengan lidahnya. Suara tertahan yang mirip erangan terdengar dari Raphael. Kaytlin tidak menepis gairahnya lagi dan memeluk rapat-rapat.

Tanda penerimaan itu sudah cukup untuk membuat Raphael lepas kendali tanpa perlu disadari. Tangan Raphael membuka ikatan pita di gaun tidur Kaytlin dengan perlahan. Di satu titik Kaytlin sempat tersadar apa yang hendak terjadi, namun Raphael yang tahu dan merasakan itu tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat Kaytlin kembali lupa, terutama bila Raphael menciumi cekungan bahunya, lehernya, dan menyelipkan lidahnya pada telinga Kaytlin yang sensitif sebagaimana yang Kaytlin juga lakukan. Ia menyentuh Raphael di mana pun dengan tangan dan bibirnya. Aroma musk dan cologne pria itu yang sudah hampir ia lupa memenuhi hidungnya dan memuaskan indranya.

"Kaytlin...berikan padaku..." bisik Raphael menyerupai permohonan.

Dengan terengah Kaytlin mengangguk. Dan ia tahu tidak akan ada yang bisa menghentikan Raphael sekarang.

Ava Max ~ Into Your Arms

***

To be continued...

PENTING : SPECIAL Part 45.3 HANYA diupdate di Karyakarsa dan tidak diup di sini. Buat kalian yang ingin baca bisa langsung ke sana, harga Rp 5000,-

Untuk yang ingin baca lebih cepat bisa ke KK uda sampai part 46.2, harga 3000-5000 saja. Biar author bisa makan n bayar listrik 😣

Terima kasih sudah memberi bintang dan komen.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top