Part 44 - Something About Invitation

UPDATE!!

Jangan lupa memberi love dan komen 🥰

***

Akhirnya kita memasuki season 2 dari kehidupan Raphael dan Kay. Meski ini season 2, nggak banyak part lagi menuju ending.

 Para pemeran :

Kaytlin de Vere - Marchioness of Blackmere (akhirnya isi gelar juga si Kay di kolom ini 😆)

Raphael Fitzwilliam - Marquess of Blackmere

Dowager Marchioness of Blackmere

Derek Vaughan - Viscount Vaux of Harrowden

George Sommerby

Gretchen - pelayan pribadi Kaytlin

Winston Basset - kepala pelayan Blackmere Park

***

PART 44 – SOMETHING ABOUT INVITATION

Sebulan telah berlalu sejak pernikahan mereka dan semua berjalan tidak semenakutkan yang Kaytlin sangka. Terlalu banyak urusan yang harus dilakukan Raphael sehingga mereka jarang bertemu. Kaytlin juga belum perlu melakukan sosialisasi ke London karena setiap hari ia selalu mendapat tamu, entah teman-temannya, para perkumpulan lanjut usia ataupun aristokrat yang tidak ia kenal. Di sore hari, ia meluangkan waktu berjam-jam untuk dilukis oleh Mr. Henry Collen, yang sudah terkenal melukis portrait keluarga biasa hingga Ratu Victoria. Untunglah pakaian yang ia kenakan menyamarkan perutnya yang sudah mulai sedikit membulat sehingga Mr. Collen tidak tahu ia mengandung terlalu cepat dibanding hari pernikahan. 

Kaytlin tidak pernah mengumumkan tentang kehamilannya, namun semua orang di manor tahu sendiri. Dowager marchioness dan Gretchen begitu senang mengetahui akan ada anggota keluarga baru. Para pelayan tidak banyak bicara tapi Kaytlin tahu mereka berubah memperlakukannya sepert benda rapuh. Ironisnya di suatu tempat di luar sana, Lissy—saudara sedarah Kaytlin satu-satunya—belum tahu. 

Entah bagaimana caranya Kaytlin akan menyampaikan mengingat adiknya itu hingga kini bahkan masih syok Kaytlin menikah dengan siapa. Tapi cepat atau lambat semua orang akan segera tahu. Dan mungkin juga akan berhitung setelah ia melahirkan. Ya, Tuhan, ini agak memalukan...

“Jangan kaupikirkan. Itu hal yang sudah sangat umum terjadi.” Dowager marchiones malah menanggapi hal itu dengan remeh di suatu pagi yang cerah saat Kaytlin baru saja selesai membacakan koran untuknya.

“Mereka tetap akan menggunjingkannya.”

“Ya, mereka akan tetap bergosip karena itu salah satu hiburan masyarakat. Kita tidak mampu mencegah.”

“Aku merasa bersalah karena tindakanku ini telah merusak nama keluarga Anda.”

Dowager marchioness menyipitkan mata tak setuju sebelum mengucapkan pernyataan yang hampir menyebabkan Kaytlin tersedak. “Kau tidak membuat bayi itu sendirian, bukan?! Raphael juga terlibat dan sudah sepantasnya ia ikut menanggung ini semua.”

Dengan wajah merah padam menahan malu, Kaytlin ternganga. 

“Tapi rasanya ia tidak keberatan karena sejak dulu ia sudah sering menjadi bahan gunjingan dan aku pun sudah terbiasa dengan keadaan ini.”

“My Lady, seperti yang kukatakan di Keele beberapa waktu lalu, aku yang memulai semua ini. Aku yang lebih dulu merayunya__”

“Dan Raphael tidak menolak,” sergah sang Dowager. “Sedikit meleset dari prediksiku, tapi masa bodoh. Yang penting kalian bersama. Jika memang itu usaha terakhir yang harus kaulakukan, aku tidak mungkin akan menyalahkanmu. Malah aku sangat berterima kasih. Hidup dengan gunjingan ini lebih baik dibanding menerima wanita itu menjadi keluarga.”

Dulu Kaytlin pasti akan mencoba membela wanita itu, sebelum ia melihat dengan mata kepala sendiri kejadian di rumah kaca.

“Seandainya saja permasalahan Raphael dengannya bukan hubungan gelap, aku pasti sudah melaporkannya pada polisi tanpa ragu.”

Kaytlin menoleh terkejut. “Melapor pada polisi?”

“Apa Raphael belum menceritakan padamu? Bekas luka di kepalanya, itu karena ulah Sophie.”

Kaytlin menggeleng. Sejak di Keele, ia memang melihat luka di dahi Raphael, namun berusaha tidak bertanya karena itu akan mengesankan ia peduli.

“Tapi Raphael tidak mengizinkan. Ia tidak ingin memperpanjang masalah. Katanya itu juga adalah kesalahannya, bukan hanya karena Sophie semata,” ucap Dowager Marchioness lamat-lamat. Rautnya menunjukkan kegelisahan bercampur kemarahan. 

Kaytlin juga merasakan hal yang serupa, namun bukan amarah, bukan pula kekecewaan. Ia tidak tahu apa pastinya, mungkin perasaan hampa karena ia tidak tahu isi pikiran Raphael sejak dulu ataupun sekarang. Jiwanya yang lalu telah ia kubur dalam-dalam, tapi bukan berarti menghilang. Di satu sisi ia ingin tahu, namun di sisi lain ia sudah menetapkan bahwa ia tidak ingin peduli lagi. Lagipula mereka tidak pernah berbicara. Atau mungkin hanya Kaytlin yang enggan berbicara karena Raphael kadang menanyakan hal-hal yang tidak begitu penting dan Kaytlin menjawab seperlunya. Semua terjadi karena Kaytlin yang telah menetapkan batas di antara mereka sejak pertama kali menginjakkan kaki kembali kemari. 

Saat itu ia baru tiba di manor setelah pernikahan di Keele. Dowager Marchioness langsung beristirahat ke kamarnya setelah menjalani hari yang begitu melelahkan. Kesempatan itu digunakan Kaytlin untuk mencari Raphael karena belum mendapat kesempatan untuk berbicara dengan serius sejak pria itu memutuskan tiba-tiba menikahinya dengan mendadak. Tidak mungkin ia membahas itu semasih ada Dowager Marchioness di antara mereka. 

"My Lord, aku tahu ini sudah sore, tapi aku harus berbicara.” Kaytlin memasuki pintu ruang kerja Raphael yang terbuka. Masa bodoh Raphael akan marah karena dirinya menerobos tanpa mengetuk pintu. Ia sudah tidak tahan berpura-pura seharian ini.

Namun kesan itu tidak ia dapatkan saat Raphael mendongak menatapnya. "Baiklah." Ia menutup bukunya dan menyingkirkan semua ke samping.

"Secara pribadi," imbuh Kaytlin.

"Aku akan melihat keadaan dapur." Penuh pengertian, Winston segera pergi meninggalkan ruangan dan menutup pintu.

"Duduklah." Raphael mempersilakan.

"Tidak, aku tidak ingin berlama-lama menganggumu."

"Sama sekali tidak menganggu. Aku sudah memperkirakan kau pasti akan datang. Aku tahu pernikahan tadi begitu mendadak__"

"Aku tidak hendak membahas pernikahan kita, My Lord. Semua sudah terjadi dan tidak ada yang bisa kulakukan untuk saat ini," sela Kaytlin. "Aku hanya ingin bertanya kapan kau akan mengurus pembebasan Madame?"

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu,” jawab Raphael sedikit enggan.

"Tolong katakan bagaimana caranya jika Madame masih dipenjara karena diriku?"

"Madame...dia ada di butiknya dan tidak pernah dipenjara.”

"Maksudmu?"

"Aku tidak pernah membawa polisi ke sana,” jawab Raphael. “Tapi aku memang ke sana,” tambahnya. “Sendirian,” tambahnya lagi. 

Perlu waktu bagi Kaytlin untuk mencerna jawaban tersebut. "Kau membohongiku?!" 

"Seharusnya kau malah senang Madame baik-baik saja, bukan?" Raphael berdiri dari kursinya. 

"Bagaimana aku bisa senang?!"

"Jadi kau akan lebih senang jika Madame benar-benar dipenjara?"

"Tentu saja tidak! Aku tidak suka kau selalu menipuku!"

"Lalu apa yang harus kulakukan? Segala cara baik-baik sudah kucoba tapi tidak ada hasilnya.”

"Kau tidak mengerti betapa aku begitu khawatir memikirkan Madame sepanjang hari!” Kaytlin berjalan mondar-mandir dengan frustrasi. “Sekarang setelah mengetahui kenyataannya aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya merasa lega!" Ia berhenti lagi dengan kesal. 

"Baiklah, aku meminta maaf untuk itu. Tapi pikirkanlah sisi baiknya, Madame tidak pernah merasakan berada di penjara dan nama baik butiknya masih terjaga. Apa yang kauinginkan lagi sekarang?"

Biasanya Kaytlin begitu mudah memaafkan, tapi entahlah...semenjak mengandung dan mengalami morning sickness sendirian, begitu sulit baginya untuk tidak kesal pada Raphael. Inilah titik awal di mana kesabaran yang sudah ia bangun dengan susah payah, menguap kembali dengan mudahnya.

"Aku ingin kamar sendiri," sahut Kaytlin.

"Kau memang akan mendapat kamar marchioness.”

"Aku setuju menikah denganmu karena anak ini, bukan untuk alasan lainnya. Aku tidak akan memasuki kamarmu, jadi jangan memasuki kamarku."

Sebenarnya Raphael sudah mengerti tanpa Kaytlin perlu menjelaskan sejelas-jelasnya, bukan? Dan pria itu juga tahu Kaytlin sedang menantangnya. Ia menatap Kaytlin penuh penilaian sementara sudut bibirnya terangkat. "Sikap pemarah tidak cocok untukmu.”

"Aku serius!"

"Dan jawabanku tidak!" sahut Raphael tiba-tiba dengan ketegasan di luar prediksi Kaytlin. "Aku bisa menjanjikanmu apa pun, tapi tidak yang satu ini. Jika kau berpikir bisa membuat hubungan kita semakin jauh sebaiknya lupakan saja karena aku tidak akan membiarkannya."

***


Yah, dan begitulah. Sejak kembali ke manor, Raphael mulai kembali ke wujudnya semula. Seharusnya Kaytlin bertahan di pondok Mrs. Henrietta yang akan membuat pria itu tak berkutik. Meski mungkin mereka akan hidup selamanya di sana karena Raphael tak mau pergi tapi Kaytlin akan memastikan mereka berdua menderita bersama setiap detiknya. 

Namun meski menolak pengaturan Kaytlin, Raphael tidak pernah memasuki kamarnya bahkan setelah mereka menikah di London. Mungkin ia memikirkan ulang dan menuruti keinginan Kaytlin, atau mungkin memang Raphael hanya tak berminat. Sebelum menikah pun Raphael juga tidak menunjukkan minat yang berlebihan padanya. Bukannya Kaytlin ingin Raphael berminat padanya. Tentu saja tidak. Ini hanya spekulasi yang muncul berdasarkan pengalaman.

"Bisa saja His Lord tersinggung atas penolakan Anda, My Lady." Gretchen mengemukakan pendapat setelah mendengar cerita Kaytlin yang tidak terlalu mendetail. Kaytlin pun terpaksa bercerita karena Gretchen terus bertanya dan mendesaknya. Padahal Kaytlin tidak pernah memperlihatkan permusuhannya pada Raphael di depan pelayan, namun entah mengapa Gretchen bisa curiga. Mungkin karena Gretchen pelayan pribadinya yang selalu memasuki kamar Kaytlin di pagi hari dan hampir bersamanya setiap saat.

“Tapi ia tidak terlihat marah, malah ia terlalu perhatian pada Anda setiap hari. Jadi kurasa His Lord tidak tersinggung.” Gretchen menyengir lebar. “Mungkin His Lord hanya memberi Anda waktu untuk meredakan emosi. Itu sebenarnya hal yang baik, bukan?” 

“Aku tidak merasa ada sesuatu yang baik dari itu.”

“Jadi Anda mengharapkan His Lord memaksa ke kamar dan menerkam Anda?”

"Gretchen!!" Kaytlin terperanjat.

"Memang apa yang Anda harapkan? Bahwa His Lord akan hidup selibat selamanya? Atau mencari wanita simpanan?"

“Tidak! Maksudku...aku tidak peduli...”

“Anda benar-benar serius membiarkan His Lord mencari wanita simpanan?!”

“Aku bisa menerima itu.”

Gretchen berdecak remeh. “Anda tidak mungkin rela.”

“Kau tidak akan menduga apa yang bisa kulakukan.”

“Oh...Tidak, tidak.” Gretchen menggeleng. “Aku mengenal Anda.”

“Kau tidak terlalu mengenalku.”

“His Lord juga sepertinya tidak akan mencari wanita simpanan.”

“Terserah ia ingin melakukan apa.”

“My Lady...Anda tidak mungkin bisa selamanya tidak berbicara dengan His Lord. Pasti akan ada suatu hal yang membuat Anda harus berbicara dengannya.”

“Contohnya?” 

“Entahlah.” Gretchen mengangkat bahu. “Lihat saja nanti.”

"Jadi, My Lady, ada sekitar empat puluh lebih anak di desa ini dan keluarga mereka sudah setuju untuk mengikuti sekolah sore,” Mr. Harrison menyela percakapan mereka tanpa salam basa-basi. Dia adalah salah satu petani sepuh yang diandalkan sebagai juru bicara warga desa. Akhir-akhir ini Kaytlin memang mengunjungi daerah sekitar karena itu termasuk salah satu tugasnya sebagai marchioness. 

Dan ini adalah kunjungan Kaytlin yang kedua kali. 

"Di luar dugaanku, mereka menyambut baik usul Anda.”

“Itu berita gembira, Mr. Harrison,” sambut Kaytlin seraya berdiri dari bangku tempatnya menunggu. “Saya akan mencarikan guru yang terbaik dan membangun tempat khusus untuk itu sementara kita meminjam bangunan desa.”

Mr. Harrison merengut skeptis. "Yah...baiklah. Meski saya tidak mengerti mengapa itu penting.” 

"Tentu saja penting. Pengetahuan akan menjadi bekal yang baik jika mereka dewasa kelak."

"Kehidupan kami hanya seperti ini. Jika tidak menjadi petani maka akan menjadi pekerja pabrik."

"Petani dan pekerja pabrik adalah pekerjaan yang mulia dan sangat dibutuhkan. Tanpa mereka, manusia tidak akan bisa makan dan usaha tidak akan berjalan."

Mata Mr. Harrison menyipit heran. "Kupikir Anda akan mengatakan dengan bersekolah mereka akan menjadi pengacara atau akuntan."

Kaytlin tertawa. "Jika mereka ingin, mengapa tidak?”

"Sudahlah, Mr. Harrison. Lihat sisi baiknya. Akan lebih sulit untuk menipu orang-orang yang bisa membaca dan berhitung. Mereka akan tahu jika ada yang memanipulasi panen gandum dan juga kontrak kerja." Gretchen yang tidak tahan akhirnya ikut menjelaskan.

Tampak Mr. Harrison masih merengut. "Baiklah, itu cukup masuk akal. Ayo, akan kuantar berjalan-jalan ke ladang seperti permintaan Anda, My Lady.”

Mereka naik ke kereta dengan atap terbuka di mana kusir telah menunggu. Gretchen naik lebih dulu dan meraih tangan Kaytlin sementara Gilles membantunya naik. Menepis bantuan pelayan, Mr. Harrison menaiki kereta sendiri dan mengambil tempat duduk di hadapan Kaytlin dan Gretchen. Ia mendekap topinya di dada dengan sebelah tangan, tampak tak nyaman berada di sana. Namun jarak antara ladang satu dengan ladang yang lain cukup jauh sehingga tidak bisa ditempuh dengan berjalan kaki.  

"Apakah Anda berencana memperbaiki pertanian di desa ini?" tanya Mr. Harrison dalam perjalanan.

"Tidak, Mr. Harrison.”

"Lalu mengapa Anda mengunjungi semua pemilik ladang?"

"Hanya untuk mengumpulkan informasi, karena aku tidak memiliki pengetahuan tentang pertanian sebelumnya. Dan mungkin jika ada yang memerlukan bantuan__”

"Anda tidak akan bisa membantu mereka semua."

"Aku memang tidak bisa menjanjikan apa pun. Aku hanya akan mengusahakan yang terbaik yang bisa kulakukan."

"Tentang sekolah itu pun, mungkin tidak akan terlalu berjalan seperti yang Anda harapkan. Tidak semua orang menganggap pendidikan penting, apalagi untuk anak perempuan yang hanya akan berakhir di rumah."

"Tidak masalah, Mr. Harrison. Secara pribadi aku percaya dunia akan berubah. Apakah Anda sudah mendengar tentang North London Collegiate School yang baru didirikan? Anak perempuan bisa bersekolah di sana sekarang.”

“Tapi tentu saja itu khusus untuk kalangan atas,” tambah Gretchen. 

“Aku tidak tahu, tapi apa pun itu aku tidak yakin mereka semua akan betah belajar entah itu anak perempuan ataupun laki-laki. Kami semua sudah cukup nyaman dengan kehidupan kami.”

“Aku akan membicarakannya dengan tenaga pengajar agar membuat suasana belajar semenarik mungkin,” terang Kaytlin.

Mr. Harrison menatap Kaytlin curiga hingga ia pun akhirnya mengungkapkan terus terang.  "Apa keuntungan Anda melakukan semua ini?" 

Kaytlin mengerjap bingung. "Tidak ada.”

"Bahkan untuk menagih sewa tanah?"

"Itu urusan His Lord. Aku tidak mencampurinya."

"Tapi Anda istrinya..."

“Aku hanya melakukan tugasku.”

“Itu sulit dipercaya.”

"Jika My Lady mengatakan tidak ada, maka itu berarti tidak ada," sela Gretchen dengan sedikit kesal. "Mengapa Anda begitu memaksa?"

Sepertinya gertakan Gretchen membuat Mr. Harrison sedikit takut sehingga tidak membalas lagi. Namun ia juga tidak terlihat puas dengan jawaban itu.

Ladang pertama yang mereka temui adalah milik Mrs. Fowler. Suaminya bekerja di pabrik sehingga ladang di rumah mereka diurus oleh Mrs. Fowler sendiri beserta anak-anaknya. Mrs. Fowler memiliki sepuluh anak, anak-anak lelakinya membantu bekerja di ladang sedangkan anak perempuan tertua mengurus adik-adiknya di rumah. Mrs. Fowler sendiri saat ini sedang hamil anak ke sebelas.

"Kami memiliki satu hektar tanah yang tidak ditanami." Mrs. Fowler menunjuk padang penuh semak belukar yang membentang di samping mereka. "Sebenarnya bisa saja kami menggarapnya, My Lady, tapi hanya anak-anakku yang bekerja di sini. Lahan itu juga terlalu jauh dari sumur yang membuat lebih sulit untuk membawa air ke sana."

"Kalian tidak memikirkan untuk mencari pekerja tambahan?" 

"Tidak, tentu saja tidak. Kami tidak sanggup membayarnya." 

"Kita tidak bisa terlalu berharap akan mampu mendapatkan keuntungan dengan pekerja tambahan mengingat tanah di wilayah ini tidak begitu bagus untuk pertanian," imbuh Mr. Harrison. “Tidak semua tanah bisa dijadikan lahan bertani. Maka dari itulah banyak yang memilih mencari pekerjaan pasti ke kota."

Kaytlin tercenung mendengar penjelasan itu. “Begitu rupanya.” Ia menunduk melihat tanah di kakinya. 

"Ah, kudengar His Lord sedang mencari tambahan pekerja." Tiba-tiba Mrs. Fowler berseru menarik perhatian Kaytlin.

"Pekerja tambahan?”

"Kata Mr. Basset, His Lord memang sedang mencari tambahan pekerja di istal untuk merawat kuda karena kejuaraan Derby sudah dekat," bisik Gretchen.

"Jika benar mungkin Anda bisa mempertimbangkan putraku Griffin untuk bekerja di sana. Ia cukup kuat menggarap ladang dan terbiasa memberi makan ternak kami."

"Owh...aku tidak memiliki wewenang untuk itu..." Kaytlin kebingungan tapi ia mencoba menutupinya. "Akan kucoba menyampaikan pada His Lord."

"Terima kasih, My Lady!" Mrs. Fowler berseru antusias dengan tiba-tiba seakan topik itu lebih menarik dibandingkan ladangnya. 

***

“Sudah kukatakan bukan, My Lady...” Gretchen memamerkan senyum menyebalkan saat perjalanan pulang dan selesai mengantarkan Mr. Harrison kembali ke rumahnya. “Cepat atau lambat pasti Anda harus berbicara pada His Lord.”

“Biasanya Mr. Basset yang mengurus penerimaan karyawan, bukan?" 

"Biasanya seperti itu. Tapi Mr. Basset tidak mengerti kuda dan tidak tahu seperti apa kompetensi pekerja istal yang diminta Lord Vaughan, sehingga semua ditentukan oleh His Lord sendiri.”

“Kau pasti berbohong.”

“Tanyakan saja pada Mr. Basset jika Anda tidak percaya.”

Kaytlin menarik napas kasar dan menatap pemandangan. 

“Kecuali Anda bisa mengabaikan permintaan Mrs. Fowler. Ia hanya meminta bantuan Anda untuk menyampaikan. Tidak akan ada yang tahu Anda menyampaikannya atau tidak. Tinggal katakan saja bahwa pekerjaan itu sudah terisi oleh orang lain.”

Sungguh...Gretchen memang terlalu mengenalnya. Tentu saja Kaytlin tidak mungkin tega. Ia terpaksa harus berbicara kepada Raphael. Kaytlin akan menyampaikannya dengan padat, jelas, dan singkat sehingga tidak akan memakan waktu lama. Jika dipikir-pikir rasanya tidak ada yang sulit dengan itu. 

.
.
.

Kecuali jika takdir selalu berusaha mempermainkannya. 

Saat Kaytlin berjalan menuju ruang kerja—karena Mr. Basset mengatakan Raphael ada di sana—ia mendengar suara familier yang membuatnya terhenti. Lord Derek Vaughan melangkah keluar melewati pintu bersama Mr. George Sommerby. Kaytlin hendak berbalik untuk kabur, tapi terlambat karena mereka melihatnya lebih dulu. 

"My Lady! My Lady!" seru Derek dan George hampir berbarengan. "Kau mencari suamimu?" Mereka mengejar.

"Tidak!" sanggah Kaytlin dengan wajah merah padam saat berbalik. Sebenarnya ia selalu lebih memilih kabur daripada berhadapan dengan Derek dan George. Dua orang itu terus mengingatkannya pada kelakuan Kaytlin dulu yang sering mengejar Raphael dan sekarang menjadikannya sebagai bahan ledekan. “Maksudku, aku tidak tahu bahwa kalian datang. Aku akan kembali lagi nanti jika begitu.”

Derek tersenyum. “Kami sudah selesai berurusan dengan Blackmere dan tidak akan menghalangimu menemuinya sekarang...”

“...jika memang kau ingin menemuinya,” lanjut George dengan senyuman yang serupa.

“Tidak...aku tidak...” Tatapan Kaytlin terhenti pada Derek dan tersadar sesuatu. “Lord Vaughan kebetulan sekali aku baru ingat sedang mencari Anda!”

“Mencariku?” 

Kaytlin mengangguk. Dengan ini ia tidak perlu lagi mencari Raphael. Bagaimana Kaytlin bisa lupa tentangnya tadi? “Kudengar Anda sedang mencari pekerja untuk merawat kuda.”

“Benar,” sahut Derek. “Rafe sudah mendapatkan beberapa yang cocok.”

Sepertinya Kaytlin terlambat.

“Ada apa?” tanya Derek. 

"Tidak. Hanya ada seorang anak laki-laki bernama Griffin dari desa sekitar mengatakan ingin melamar pekerjaan di istal. Apakah ada kemungkinan ia bisa diterima?"

“Apakah ia berkompeten?”

“Kata ibunya ia biasa mengurus ternak dan kuda. Penampilannya juga cukup mendukung untuk itu.”

"Well, jika begitu seharusnya akan lebih mudah jika kau menyampaikan pada suamimu, My Lady."

“Tapi kupikir Anda yang berwenang mengurus kuda untuk kejuaraan Derby, My Lord.”

“Bukan aku yang membayar upahnya.” 

“Sebenarnya Rafe tidak membeli kuda untuk Derby semata. Itu hanya alasan, dan kebetulan Vaughan yang dijadikan kambing hitam,” sela George.

“Mungkin Rafe memiliki pemikiran lain jika kau yang mengajukan,” tukas Derek lagi tak memberi kesempatan Kaytlin bertanya pada George apa maksudnya. 

“Tidak...kurasa tidak perlu. Anda mengatakan sudah mendapatkan pekerja.”

"Apa kalian bertengkar?" tanya Derek tiba-tiba.

"Pardon me?"

“Pertengkaran dalam rumah tangga adalah hal biasa.”

“Tunggu,” Kaytlin tertawa sumbang. “Apa yang sedang Anda bicarakan?”

"Rafe, apa kalian bertengkar?" seru Derek keras-keras ke arah pintu ruang kerja yang masih terbuka. 

Sementara George tergelak, Kaytlin terperangah hebat. “Lord Vaughan!” Ia menarik lengan pria itu menjauh. “Aku tidak bertengkar dengannya dan...seandainya aku bertengkar dengannya, dengan segala rasa hormat, itu adalah urusan kami!” 

"Ada apa, Vaughan?" tanya Raphael yang sudah berdiri di ambang pintu. 

"Her Lady bertanya padaku apakah kau bisa mempekerjakan seseorang dari desa untuk di istal?” 

Raphael melarikan pandangan pada Kaytlin sebelum kembali pada Derek. “Apa kita memerlukannya?” 

“Tidak.” Derek menyeringai lebar.

Sementara George membekap mulutnya sendiri dengan geli, Raphael menatap Derek beberapa detik lebih lama. "Kurasa tidak memberatkan jika hanya menambah satu. Kabarkan saja padanya untuk kemari.”

"Lihat?” Derek berbalik pada Kaytlin. “Kau tinggal mengatakannya saja dan Blackmere akan menurut padamu. Apa ada lagi yang kauminta, My Lady? Dengan senang hati aku akan membantu untuk menyampaikan."

"Tidak! Terima kasih, Lord Vaughan!" tolak Kaytlin cepat.

“Kaytlin, kebetulan aku sedang mencarimu.” Raphael memanggilnya tepat di saat Kaytlin baru saja hendak pergi dari sana. 

Terpaksa Kaytlin berbalik. “Ya, My Lord,” sahut Kaytlin, mengabaikan Derek dan George yang berbisik-bisik tawa di sampingnya. 

***

Untung saja Lord Vaughan dan Mr. Sommerby tidak ikut campur lagi lebih jauh dan membiarkan mereka berbicara empat mata. Kaytlin duduk di hadapan Raphael dengan formal dan menaruh tangannya di pangkuan. Mungkin di sini Kaytlin tidak bisa memusuhi Raphael sebebas saat berada di Keele, tetapi ia masih bisa menciptakan batas dan menempatkan diri sejauh mungkin. 

“Aku baru mengetahui tentang ini. Kudengar kau mengunjungi penduduk sekitar.” Raphael memulai pembicaraan. 

“Itu memang tugasku, bukan?”

“Sebenarnya kau tidak perlu melakukannya. Tugas itu hanya formalitas.”

“Lalu apa lagi yang harus kukerjakan?” tanya Kaytlin. 

“Entahlah. Apa saja tugas lain yang disebutkan nenekku?”

“Mengatur jamuan makan dan menyambut tamu...jika ada pesta. Tentu saja tidak ada pesta di sini, kecuali beberapa tamu yang datang dalam jumlah besar seperti para perkumpulan lanjut usia. Tidak setiap hari. Lalu mengatur rumah tangga...yang sudah berjalan lancar berkat Mr, Basset dan para pelayan,” jelas Kaytlin lengkap. 

“Berarti tidak ada pekerjaan tersisa,” kata Raphael. “Tapi tidak akan ada yang menuntutmu untuk itu.”

“Aku hanya merasa sungkan tinggal di sini tanpa mengerjakan apa pun.”

“Sungkan?” dengus Raphael hampir tertawa. “Kau tidak menumpang ataupun bekerja di sini. Kita meni__”

“Masalahnya aku sudah terlanjur berkunjung dan sudah membuat janji untuk mereka,” potong Kaytlin cepat karena ia tidak tahan mendengar kata itu.

“Janji seperti apa?” Raphael terlihat seperti akan mendengar dengan serius. 

“Hanya membantu menyediakan guru untuk anak-anak yang tidak bersekolah agar bisa membaca dan menulis. Jangan khawatir tentang upahnya karena aku memakai uang tunjangan marchioness. Kebetulan aku tidak...maksudku belum memerlukannya.”

“Itu hakmu. Terserah kau ingin menggunakannya untuk apa, tapi aku sarankan kau tidak perlu ke sana lagi dan menyuruh salah seorang pelayan untuk melanjutkan, apa pun itu.” 

“Apakah yang kulakukan salah?” 

“Tidak. Kau melakukan hal yang benar. Aku hanya mengkhawatirkanmu, karena tidak pernah ada satu pun keluargaku mengunjungi mereka dalam beberapa dekade terakhir.”

“Mereka memang tidak menerimaku begitu saja, tapi mereka juga tidak melakukan hal-hal buruk padaku,” ungkap Kaytlin. “Jangan khawatir. Aku akan menjaga anakmu sebaik-baiknya.”

“Rasanya tadi aku mengatakan mengkhawatirkanmu.”

“Itu juga sama dengan menjaga diriku, My Lord.”

Raphael menyipitkan mata. “Mengapa kau masih berbicara seperti ini padaku?”

“Seperti apa?”

“Sudah sejak lama aku memanggilmu Kaytlin. Kau juga bisa memanggilku dengan namaku.”

Berbagai emosi yang menyesakkan menyerbu Kaytlin seketika, namun ia berusaha menjaga rautnya tetap tenang. “Menurut tata krama aku harus tetap memanggilmu My Lord di depan umum. Kau tidak akan suka jika aku kelepasan memanggil namamu sewaktu-waktu__”

“Aku tidak keberatan.”

“Tapi aku keberatan!” refleks Kaytlin tiba-tiba. 

Sesaat suasana hening karena Raphael terdiam tanpa melepaskan pandangan darinya. Tapi ia tidak terlihat seperti akan marah atau tersinggung. 

Kaytlin segera merendahkan suaranya lagi. “Maaf, My Lord. Apakah ada hal lain lagi yang ingin kausampaikan?”

“Sebenarnya ada satu hal lagi.” Raphael berdiri untuk mengambil surat di meja kerjanya dan menaruh di depan Kaytlin sebelum duduk kembali. “Undangan dari Dowager Duchess of Torrington untukmu.”

Kaytlin sama sekali tidak menyentuh surat itu dan hanya memandangnya. 

“Sepertinya Torrington tidak menceritakan pada ibunya sehingga ia masih mengirimkan undangan untukmu.”

“Bisakah aku menolaknya?”

“Aku sudah menolaknya dua kali dan mengarang alasan untukmu. Ini adalah undangan ketiga yang ia kirimkan. Sebenarnya aku juga tidak ingin kau datang, tapi tidak sopan jika menolaknya terus menerus. Dia memiliki pengaruh yang cukup besar. Kau bisa saja dikucilkan oleh para ton jika ia memberikan kesan bahwa dirimu arogan.”

“Aku tidak keberatan.”

“Tapi aku keberatan,” sergah Raphael. “Percayalah, kau tidak akan suka menghadapinya.”

“Suka atau tidak, untuk saat ini aku tidak ingin ke sana.” 

“Kau tidak akan ke sana sendirian. Aku akan mengantarmu.”

“Memangnya itu bisa mengubah keadaan?”

Raphael terdiam mengamatinya. “Apakah ada yang kautakutkan?”

“Tidak ada...”

“Torrington?”

“Tidak,” sanggah Kaytlin. Ia tidak takut dengan Torrington dan Sophie, sepanjang ia tidak sendirian bersama mereka. Hanya saja jika boleh, ia lebih memilih meninggalkan segalanya di belakang dan tidak menoleh lagi pada masa lalu. Yang lebih ia takutkan adalah mengapa Raphael sepertinya begitu ingin Kaytlin ke sana padahal Kaytlin tahu pria itu tidak pernah peduli pada reputasi, apalagi pergaulan sosial. Ia khawatir Raphael memiliki maksud tertentu, entah apa.

Tapi...menolak undangan itu hanya akan menimbulkan kecurigaan Raphael semakin menjadi. 

Tangan Kaytlin terulur mengambil surat di meja dan membaca isinya hanya untuk mengetahui kapan pesta itu diadakan. Ia melipat kembali surat itu dan mengembalikan ke tempatnya semula. 

“Baiklah,” sahutnya tak bersemangat. 

***

TBC part 45

Wihh bakal ketemu Torrington lagi 🥰

Di Karyakarsa sudah up part 45.1 dan 45.2. Buat yang mau mendukung author biar bisa bayar listrik dan lain lain.

Terima kasih sudah menekan bintang dan komen.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top