Part 42.1 - Something About Keele

Raphael pikir semua sudah selesai setelah ia menemukan Kaytlin, namun ternyata tidak semudah itu.

Kaytlin menangis sepuasnya hingga airmatanya kering saat membersihkan makam ayah dan ibunya dari dedaunan. Tadinya Raphael tidak menyadari bahwa makam itu bersih dan telah disiangi dari rumput liar, sehingga ia tidak berpikir bahwa seseorang melakukannya. Raphael berlutut dan membantu membersihkannya sehingga pekerjaan itu cepat selesai. Kaytlin tidak mencegah Raphael, namun juga tidak mau melihatnya. Ia membawa sampah itu ke tumpukan dedaunan yang ada di dekat pohon, lalu beranjak pergi melewati pintu keluar pemakaman dan mengikuti jalan setapak di sana.

Dengan kebingungan, Raphael mengikutinya.

"Kaytlin," panggil Raphael.

Kaytlin semakin mempercepat langkahnya. Raphael terus mengikuti.

"Kaytlin, bisakah kau tidak berlari..."

Tapi Kaytlin tidak mau mendengar.

Sebenarnya Raphael ingin Kaytlin yang mengatakan sendiri masalah kehamilan itu, namun Kaytlin tidak berindikasi akan mengucapkan sepatah kata pun padanya. Dan jika Raphael membiarkan, Kaytlin bisa saja mencelakakan dirinya sendiri. Ia tahu Kaytlin ketakutan padanya karena berpikir Raphael akan melakukan apa yang dilakukan para bangsawan pada anak yang tidak diharapkan dan Raphael harus menghilangkan ketakutan itu dari diri Kaytlin.

"Kaytlin, aku tidak akan melakukan apa yang dikatakan Madame. Kumohon berhentilah."

Mendengar itu barulah Kaytlin berhenti dan ia menoleh pada Raphael. "Kau sudah tahu?"

"Ya, aku sudah tahu. Apa kaupikir aku sejahat itu hingga berani membunuh bayi tak berdosa?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa pun tentang dirimu."

"Sekarang kau sudah tahu."

"Baiklah." Kaytlin berbalik melanjutkan langkah dengan berjalan biasa.

Kembali Raphael mengikutinya.

"Bisakah kita pulang?" tanya Raphael lebih dulu setelah semenit tanpa pembicaraan.

"Ke mana?" tanya Kaytlin tanpa menoleh ataupun berhenti.

"Blackmere Park."

"Itu bukan rumahku."

"Itu rumahmu sekarang."

"Mengapa?"

Raphael tak langsung menjawab. Ia mempertimbangkan apakah harus mengucapkannya sekarang dalam situasi seperti ini?

"Seharusnya aku memintanya sejak awal. Menikahlah denganku."

Kaytlin tidak menyahut dan terus melangkah.

Raphael kebingungan. Jika tidak salah, ia baru saja melamar Kaytlin, bukan?

Beberapa menit kemudian setelah mereka habiskan dengan diam, Raphael melihat Kaytlin menuju rumah yang Raphael kenal sebagai rumah Josephine dulu saat ia ke Keele pertama kali. Tidak ada yang berubah dari bentuk bangunannya, namun rumah itu sepertinya tidak berpenghuni karena ditumbuhi belukar.

Ternyata Kaytlin memang tidak tinggal di sana. Saat sampai di tujuan, wanita itu melewatinya dan memasuki pekarangan rumah yang bertetangga dengan rumah itu. Raphael ikut memasuki pekarangan dan melihat sekeliling. Sepertinya itu adalah rumah tetangga Kaytlin yang membantu keluarganya memasak di dapur setiap pagi karena Josephine tidak bisa memasak. Raphael tidak ingat namanya, tapi ia ingat Kaytlin pernah bercerita.

"Pulanglah," ucap Kaytlin di depan pintu setelah dibuka.

Raphael terhenti di ambang pintu.

Masih enggan menatap Raphael, Kaytlin membuka topi dan menaruhnya, membuat Raphael melihat bahwa wanita itu memotong rambut seperti saat pertama kali datang menemuinya di Blackmere Park dulu. Entah itu dilakukan untuk melindungi diri di perjalanannya yang selama ini sendirian ataukah sebuah impresi dari kehidupan baru.

"Apa kau tidak mendengar yang kukatakan tadi?" tanya Raphael dengan lembut.

Kaytlin menuju ke arahnya.

Hanya untuk menutup pintu dan menguncinya.

Raphael terdiam sesaat memandangi daun pintu yang tertutup di hadapannya.

"Kaytlin?" Raphael mengetuk.

"Pulanglah," ulang Kaytlin dari dalam.

"Aku akan tetap di sini sampai kau mau berbicara denganku."

"Terserah. Aku tidak peduli," sahut Kaytlin.

Raphael mengenal Kaytlin dan tidak mungkin Kaytlin setega itu. Berbekal keyakinan tersebut, Raphael menjauhi pintu dan duduk menunggu di undakan tangga.

Tapi satu jam berlalu. Kemudian satu jam berikutnya lagi, yang membuat Raphael memikirkan ulang keyakinannya. Ia bisa saja mendobrak pintu rumah untuk masuk, tapi tentu saja ia tidak akan melakukan cara barbar semacam itu, apalagi jika itu hanya akan menakuti Kaytlin.

Suasana begitu hening di sana padahal masih sore hari yang terang benderang. Entah bagaimana di malam hari dengan penerangan rumah yang tidak menggunakan lampu gas karena Raphael melihat tempat lilin di pilar teras. Raphael menengok ke sebelah di mana ia bisa melihat pekarangan rumah Josephine. Kosong tanpa penghuni. Lalu ia melihat sekitar dan mendapati rumah penduduk terdekat sekitar lima puluh meter. Masih untung Kaytlin memliki tetangga, tapi ia tidak sanggup membayangkan Kaytlin tidur sendirian di sana, apalagi dengan kondisinya sekarang yang mengandung anak.

Mengingat itu membulatkan tekad Raphael. Ia tidak akan pergi dari sana bahkan jika harus tidur di teras semalaman. Kaytlin pasti akan keluar dari rumah itu entah kapan dan Raphael akan menunggu saat itu datang.

Tidak berapa lama, Raphael mendengar seseorang mendendangkan lagu sambil bersiul-siul. Seorang pria muda muncul memasuki pekarangan bersama seorang balita dalam gendongannya. Wajahnya cukup tampan dan tubuhnya tegap. Di tangannya yang bebas tertenteng sebuah keranjang tertutup kain. Langkahnya terhenti di pekarangan berikut nyanyiannya melihat keberadaan Raphael di sana. Raphael pun menyipitkan mata.

"Siapa kau?" tanya Raphael.

"Seharusnya aku yang bertanya, Sir," sahut pria itu. "Mengapa kau ada di depan rumah Kaytlin?"

"Aku keluarga perwalian Kaytlin, Marquess of Blackmere."

"Ah, Kaytlin tidak pernah menceritakan tentang Anda sehingga aku tidak tahu, My Lord," ralatnya. "Aku Peter Hughes, reverend di desa ini. Jika Anda memerlukan bantuan__"

"Peter?" Mendengar nama itu, Raphael segera berdiri dan menatap waspada. "Apa urusanmu kemari? Bukankah kau sudah menikah dan mencampakkan Kaytlin?"

Peter tampak terkejut mendengar tuduhan itu, sementara bayi di tangannya menangis melihat Raphael yang mungkin terlihat sangat menyeramkan sekarang mengingat ia sedang kesal. "Aku tidak mencampakkan... Tunggu, mengapa Anda bisa tahu__"

"Aku sangat tahu dirimu."

Pintu dibuka dengan tergesa-gesa di belakang sehingga Raphael menoleh. Kaytlin melihat Raphael dan Peter bergantian, lalu melihat bayi yang menangis.

Ia terkesiap. "My Lord, kau membuat anak itu menangis."

"Persetan. Untuk apa ia membawa anaknya kemari? Mencari simpatimu?"

Tidak menggubris Raphael lebih lanjut, Kaytlin bergegas turun menuju pekarangan. Ia memberikan beberapa shilling sebelum mengambil keranjang dari tangan Peter. "Terima kasih, Peter." Lalu mengusap pipi anak kecil yang menangis tersebut. "Tidak apa apa, Roddy. Kami hanya bercanda." Ia tersenyum.

Roddy berhenti menangis, namun bayi itu menggigit bibir terisak dan merentangkan kedua tangan meminta gendongan Kaytlin.

"Aku tidak bisa..." Kaytlin melihat keranjang di tangannya lalu pada akhirnya menyampirkannya di siku untuk meraih Roddy. "Baiklah. Sebentar saja."

Dengan gusar Raphael menyaksikan pemandangan indah itu. Indah bagi Peter tentunya karena pria itu tersenyum semringah. Seumur-umur Raphael tidak pernah terbakar kecemburuan melihat Kaytlin dekat dengan Derek, George, maupun pengagum wanita itu di season. Tapi kali ini ia merasa ingin membunuh seseorang melihat Kaytlin menggendong seorang bayi dari mantan...pria itu bahkan tidak pernah menjadi kekasih Kaytlin menurut ceritanya. Tapi pria itu benar-benar licik dengan memanfaatkan kelemahan Kaytlin.

Senyum Peter sirna saat menoleh pada Raphael. "Kaytlin, apa kau mendapat kesulitan dengannya?"

Raphael mendengar itu. "Ia baik-baik saja, sialan. Justru seharusnya kau tidak berada di sini mengunjungi seorang wanita lajang sementara istrimu menunggu di rumah."

Kembali Roddy menangis sehingga Kaytlin melerai. "My Lord, hentikan__"

"Aku sudah berpisah dengan istriku Molly!" Peter ikut membalas yang membuat Kaytlin terperangah tak habis pikir.

Itu jawaban yang lebih buruk lagi bagi Raphael. "Lalu kau berniat menjadikan Kaytlin cadangan?"

Wajah Peter memerah oleh campuran rasa malu dan amarah.

"Peter," pinta Kaytlin. "Jangan membalasnya__"

"Dengar, kita tidak saling mengenal, My Lord. Dan urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan Anda."

"Tentu saja ada sangkut pautnya. Jika sekarang kau berniat mendekati Kaytlin setelah pernikahanmu gagal maka langkahi dulu mayatku. Lagipula Kaytlin tidak memerlukan tambahan anak orang lain untuk bergelayut di roknya karena sebentar lagi ia akan memiliki a__"

"MY LORD!!" Kaytlin berbalik dan berteriak murka. Raphael seketika mengatupkan bibir, menurut.

Namun kemarahan Kaytlin membuat Roddy di gendongannya terkejut sehingga kembali menangis bahkan menjadi-jadi.

"Peter, maaf untuk semua ini dan pulanglah." Dengan frustrasi, Kaytlin mengembalikan Roddy ke gendongan pria itu.

Peter menatap khawatir Kaytlin yang berlalu. "Kaytlin..."

"Ia menyuruhmu pulang..."

"Kau juga, My Lord," gumam Kaytlin saat melewatinya.

"Aku tidak akan pulang sampai kau ikut bersamaku."

"Kaytlin, apa kau sungguh mengenal orang ini?!" Peter meninggikan suara. "Jika tidak, aku akan memanggilkan orang-orang untuk mengusirnya."

Ancaman itu membuat Raphael meradang. "Mengapa tidak kau saja yang mengusirku sekarang juga?" Dengan tatapan tajam, ia mendekati Peter dan Roddy yang menangis meraung-raung,

Cepat-cepat Kaytlin turun kembali mencegahnya. "Aku mengenalnya, Peter. Jangan khawatir dan pulanglah." Ia menggamit siku Raphael untuk menyeretnya ke dalam.

***

"Apa kau tidak melihat ada anak kecil di sana?!" omel Kaytlin dengan jengah setelah membanting pintu dan mereka berdua ada di dalam rumah.

"Untuk apa ia datang ke sini?"

"Membawakanku ayam!"

"Apa tidak ada pilihan lain?!"

"Tidak, karena aku tidak bisa membunuh ayam untuk kumakan!"

"Aku akan membunuh semua ayam di dunia ini untukmu mulai sekarang!"

"Tidak perlu! Aku tidak memakan semua ayam di dunia ini!" Kaytlin meninggalkan Raphael menuju dapur.

Kenapa mereka jadi berakhir memperdebatkan pembunuhan ayam?

Tersadar, Raphael menyusulnya. Ia menemukan Kaytlin sedang memotong-motong ayamnya sebelum memasukkan dalam panci rebusan di tungku. Raphael tentu saja tidak berani membuat Kaytlin bertambah emosi di saat wanita itu sedang membawa pisau daging.

"Apa kau perlu bantuan?"

"Tidak."

Raphael menarik napas dan menatap lantai. "Kaytlin, maaf...aku..."

"Aku mengizinkanmu masuk untuk mencegah keributan dengan warga desa, bukan untuk berbicara denganku."

"Kau hanya menunda sesuatu yang pasti akan terjadi. Cepat atau lambat kita harus berbicara."

Kaytlin menutup panci rebusannya dan mencuci tangannya kembali sebelum mengeringkan dengan lap. Barulah saat itu Raphael tersadar bahwa Kaytlin sudah tidak memakai jaketnya lagi. Ia menatap perut Kaytlin yang masih rata namun gaunnya tampak begitu ketat di sana karena lingkar pinggang Kaytlin bertambah. Mungkin orang yang tidak tahu hanya akan mengira wanita itu bertambah gemuk. Kemungkinan besar Peter juga tidak tahu. Dan Raphael tidak bisa menerima jika pria itu tidak tahu. Peter harus tahu bahwa Kaytlin sudah menjadi milik seseorang.

Meski itu tidak sepenuhnya benar...

Kaytlin melewatinya keluar dari dapur. Raphael kembali mengikutinya.

"Hari akan gelap sebentar lagi. Pulanglah ke estatmu, My Lord," ucap Kaytlin sembari menyiapkan lilin di meja dan sekeliling ruangan dengan cekatan.

"Kau tidak mempertimbangkan untuk kembali pada pria itu, bukan?"

"Apa aku terlihat sebodoh itu untuk kembali padanya?" tutur Kaytlin tenang.

Mendengar itu saja cukup membuat Raphael lega. "Tidak."

"Aku bisa menjaga diriku. Pergilah."

"Aku sudah mengatakan tidak akan pergi jika tidak bersamamu."

"Lalu? Hanya ada satu kamar di sini, tapi aku tidak mau berbagi karena itu tidak pantas. Ada sofa yang keras dan tidak nyaman di ruang tamu. Pilihan lainnya, kau bisa mencari penginapan." Kaytlin menoleh padanya dan bersedekap. "Tapi lebih baik lagi jika kau pulang ke estatmu yang nyaman, My Lord."

"Aku akan tidur di sofa," putus Raphael.

"Aku tidak menyediakan makan malam."

"Tidak apa. Itu memang bukan kewajibanmu."

"Di sini tidak ada handuk dan peralatan mandi lebih."

"Aku akan membelinya di desa."

"Juga tidak ada air panas."

"Tidak masalah."

Kaytlin sepertinya sudah kehabisan argumen sehingga hening untuk sesaat.

"Terserah kalau begitu." Ia menurunkan tangan dengan gontai dan berlalu ke dalam dapur kembali.

***

Raphael kembali dari berbelanja saat hari sudah gelap. Seperti yang ia perkirakan, suasana tempat itu di malam hari melebihi estatnya yang suram, padahal seharusnya tidak. Untung saja jalanan sudah dilengkapi dengan lampu gas di beberapa tempat ramai sehingga bisa meminimalisir kecelakaan konyol seperti jatuh terguling ke parit atau dipatuk ular.

Kaytlin sedang memakan ayamnya saat Raphael memasuki rumah. Sebenarnya Raphael lapar karena terakhir kali ia makan adalah siang tadi, namun Kaytlin tidak mengindikasikan mempersilakannya ikut makan atau apalah sehingga ia pun tidak berani duduk di meja makan. Tapi ia merasa lega bahwa Kaytlin masih berinisiatif untuk makan dan itu cukup membuat Raphael bisa menahan rasa laparnya sendiri. Lagipula ini hanya sampai besok pagi karena ia akan mengambil kudanya yang ia titipkan di kedai saat hari sudah terang.

Raphael bertanya letak kamar mandi. Kaytlin menunjukkannya acuh tak acuh dan tidak lupa menyuruh Raphael membawa lilin. Kamar mandi itu sangat gelap tanpa penerangan sehingga Raphael memutuskan hanya mencuci mukanya saja. Tempat ini sebenarnya agak berbahaya untuk ditempati oleh wanita hamil sendirian, tapi mungkin keberanian Kaytlin sudah di luar pemikiran Raphael sendiri.

Benar apa yang dikatakan Lisette. Kaytlin memang berubah. Dan perubahan itu tidak ditutup-tutupinya lagi sekarang. Wanita itu lebih sensitif, lebih sulit, dan hanya berbicara secukupnya pada Raphael. Tidak ada lagi senyum palsu, tidak ada lagi kepura-puraan, dan Kaytlin juga berbicara tidak begitu formal lagi padanya. Entah Raphael harus senang atau sedih dengan itu.

Sudah beberapa menit waktu yang berlalu dengan mereka berdua hanya terdiam di ruang tengah. Raphael memuaskan diri mengamatinya, masih merasa tidak percaya bahwa Kaytlin ada di sana. Sedangkan Kaytlin melakukan pekerjaan menjahit dengan penerangan beberapa buah lilin di meja, tidak repot-repot menganggap Raphael ada.

"Apa yang kaujahit?" tanya Raphael.

"Pekerjaan dari gereja," sahut Kaytlin tenang.

"Dari Peter?"

"Aku menawarkan diri."

"Sukarelawan?"

"Tidak. Aku memerlukan uang."

"Ah." Raphael mengangguk-angguk. "Begitu rupanya." Ia menatap sekeliling dan memutuskan mengalihkan pembicaraan agar tidak berhubungan dengan Peter lagi. "Ini rumah wanita tua yang kaubicarakan itu, bukan?"

"Ya. Mrs. Henrietta," terang Kaytlin.

"Ia mewariskannya padamu?"

"Tidak. Orang-orang seperti dirinya tidak sempat untuk membuat wasiat semacam itu."

"Lalu?"

"Gereja mengambil alih rumah ini sepanjang tidak ada keluarga yang mengklaimnya."

Lagi-lagi gereja. Sepertinya Raphael tidak bisa menghindar. "Dan Peter memberikannya padamu?" sindir Raphael.

Kaytlin menoleh tersinggung. "Untuk itulah aku menjahit sebagai ganti sewa tempat ini."

Bagus. Bagus sekali. Raphael kini tinggal di rumah yang disewakan Peter dan dibayar oleh Kaytlin. Hal ini sedikit melukai harga dirinya, tapi setidaknya ia bisa merasa lega bahwa Kaytlin tidak mau menerima bantuan Peter secara gratis.

***

Pagi harinya, Raphael terbangun dengan pegal-pegal di punggung dan kakinya karena sofa yang ditidurinya begitu kecil. Sekeliling rumah begitu sunyi, namun jendela-jendela sudah terbuka. Dengan segera, Raphael bangkit untuk mencari Kaytlin.

Wanita itu tidak ada di mana pun, di kamarnya, di dalam rumah, maupun di dapur. Namun tungku di dapur menyala entah memasak apa, dan barang-barang Kaytlin masih di kamar, berikut pekerjaan menjahitnya yang menandakan ia tidak lari. Begitulah kemungkinan yang Raphael kira. Entah apa kenyataan yang ia dapatkan nanti.

Raphael mengambil peralatannya di tas dan bergegas menuju kamar mandi dekat kebun belakang. Penerangan kamar mandi itu lebih jelas di pagi hari karena mendapat sinar matahari dari sela-sela atap yang berlubang. Dalam kamar mandi itu terdapat tong besar berisi air dan sebuah baskom di atas meja batu untuk mencuci muka. Lalu di sebelahnya terdapat kloset datar tertutup papan kayu yang memiliki pegangan di atasnya.

Tidak lama, ia kembali ke dalam dan merasa lega melihat Kaytlin memang tidak pergi. Wanita itu duduk di meja makan, sedang memakan telurnya. Sementara di sisi lain meja ada sebuah piring lagi berisi sarapan serta secangkir teh yang mengeluarkan uap panas.

"Sarapanmu, My Lord," ucap Kaytlin tanpa menoleh padanya.

"Sebenarnya ini tidak perlu__"

"Jika kau tidak suka, ada kedai di desa ini yang menyediakan sarapan."

Raphael mengambil tempat duduk di hadapan makanan yang sudah dihidangkan itu. "Kau salah paham. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kau tidak perlu repot melayaniku seperti ini."

"Sebenarnya aku tidak ingin," aku Kaytlin terus terang. "Tapi aku hanya memperlakukanmu sama seperti saat aku dan Lissy pertama kali diterima di Blackmere Park."

Lalu Kaytlin terdiam kembali menekuri telurnya. Wanita itu benar-benar memperlakukannya sama seperti Raphael memperlakukannya dulu. Ia menerima mereka namun tidak termasuk keramahan darinya. Tapi Kaytlin menanggapi sikap ketus Raphael dulu dengan kesabaran, sehingga kini pun Raphael akan bersabar hingga wanita itu kembali menjadi dirinya yang dulu. Rasanya dunia memang berputar.

Meski bukan komposisi english breakfast yang lengkap dengan hanya telur, kacang merah, dan roti, sarapan itu dibuat oleh Kaytlin, yang membuat Raphael tidak bisa merasa lebih senang lagi. Ia tahu Kaytlin bisa memasak, tapi belum pernah memakan makanan buatan Kaytlin sebelumnya karena di estat sudah ada koki. Di luar dugaan, telur yang dibuat Kaytlin sempurna dan kacang merahnya juga tidak sehambar buatan orang-orang. Kecuali roti itu yang pasti dibeli Kaytlin tadi saat Raphael bangun tidur sehingga tidak menemukannya di mana-mana. Kaytlin terlalu baik dan sempurna untuk Peter si bajingan. Ia pun juga terlalu baik untuk Raphael yang sama bajingannya, tapi Raphael tidak rela untuk memberikan Kaytlin pada siapa pun sekarang.

Raphael sudah menghabiskan semua sarapannya di piring, bertepatan Kaytlin yang juga hampir selesai memakan telurnya. Saat tinggal sesuap, Kaytlin menaruhnya kembali. Ia meminum tehnya dan memundurkan kursi ke belakang untuk berdiri dengan lesu. Raphael mengawasinya berjalan memasuki kamar.

Merasa ada yang tidak beres, Raphael pun berdiri dan menyusul ke kamar. Persetan dengan kepantasan karena sudah terlambat untuk itu setelah semua hal-hal tidak pantas yang pernah mereka lakukan. Ia menemukan Kaytlin sedang tidur bergelung di kasur memunggunginya, terlihat tenang, namun menderita.

"Ada apa?" tanya Raphael.

"Aku hanya ingin tidur sebentar. Enyahlah," sahut Kaytlin.

Jika tidak salah, Kaytlin mengalami morning sickness seperti yang ibu Raphael dulu sering alami di bulan-bulan awal kehamilan. Tidak ada yang bisa Raphael lakukan karena itu terjadi secara alami.

Raphael keluar dari kamar dan mengambil waslap yang juga ia beli kemarin. Ia membasahinya dengan air bersih dingin dan memerasnya kuat-kuat hingga tidak menetes. Ia kembali ke kamar Kaytlin dan duduk di pinggir ranjang. Kaytlin terdiam dan sedang menutup matanya, tapi Raphael tahu wanita itu tidak tidur.

"Kuharap ini membantu." Ia mengusap sisi wajah Kaytlin dengan waslap basah itu dari dagu hingga pelipis.

Kaytlin mengambil alih waslap tersebut dan menggunakannya untuk menutup wajah. "Terima kasih. Sekarang pergilah."

"Aku tidak bisa meninggalkanmu."

"Tentu saja kau bisa. Aku bisa mengatasi ini sendirian."

"Aku ikut andil dalam membuatmu seperti ini."

"Tapi aku akan merasa lebih baik jika kau pergi."

"Baiklah." Raphael mengalah dan berdiri dari ranjang sebelum berjalan keluar. "Aku ada di luar jika kau memerlukanku."

"Tidak akan," sahut Kaytlin dari balik punggungnya.

Raphael belum pernah melihat Kaytlin keras kepala dan di saat yang sama merasa itu begitu lucu hingga membuatnya ingin tersenyum. Namun mengingat kembali keadaan saat ini ia mengurungkannya dan berpikir keras bagaimana harus secepatnya membuat wanita itu berubah pikiran. Ia tidak bisa ada di sini terus menerus dengan kehamilan Kaytlin yang terus tumbuh tanpa status yang jelas. Belum lagi ancaman dari Peter si bajingan yang datang tak terduga. Raphael tahu Kaytlin tidak akan sebodoh itu menanggapi perhatian Peter, tapi Raphael lebih takut bahwa sewaktu-waktu ia yang lepas kendali dan berujung membuat masalah dengan pria itu.

Hal itu ia pikirkan seraya mencuci piring dan cangkir bekas sarapannya tadi berikut juga piring sarapan Kaytlin. Ini pertama kali Raphael mencuci piring seumur hidupnya dan tidak tahu apakah ia melakukannya dengan benar atau tidak.

Setelahnya, ia mandi dengan air dingin yang juga terpaksa ia lakukan mengingat ia sudah memakai pakaian yang sama lebih dari 24 jam. Rasanya ia juga akan segera berakhir mencuci pakaian untuk pertama kali jika tidak berhasil membujuk Kaytlin hari ini. Masalahnya pakaian apa yang harus ia kenakan selama pakaian yang ia cuci belum kering?

Keluar dari kamar mandi, ia melihat Kaytlin sudah sepenuhnya pulih dan sedang meneruskan pekerjaan menjahitnya di sofa. Ia tidak repot-repot untuk melihat Raphael yang merupakan kebiasaan barunya.

"Aku akan pergi sebentar," ucap Raphael sembari memakai sepatu.

Kaytlin mengangguk masih tanpa melihatnya.

"Apa ada yang kauinginkan?" tanya Raphael sekali lagi.

"Tidak," sahut Kaytlin.

Raphael terdiam menatap wanita itu dan mempertimbangkan sesuatu.

"Bisakah kau mengantarku?"

Kaytlin mendongak dan menatapnya tak suka. "Kemarin malam kau berkeliling desa seorang diri."

"Itu karena aku tersesat."

"Memangnya apa yang ingin kaucari sekarang?"

"Kudaku kutitipkan di salah satu kedai yang ada di ujung desa. Bagaimana aku bisa pergi dari sini, jika aku tidak bisa menemukan kudaku?" Raphael beralasan. Tentu saja ia berbohong. Ia tahu jalan ke kedai itu, tapi ia hanya ingin Kaytlin tetap berada dalam pengawasannya.

Kaytlin menghela napas, menaruh pekerjaannya, dan berdiri untuk berjalan menuju kamar. Tak lama, ia muncul dengan kaki bersepatu bot dan jaket serta topi di tangan.

"Ayo," ajaknya.

***
Bersambung 42.2

Makasi 4k bintangnya.

KOMEN NEXT DULU

Up selanjutnya Senin lusa. Jangan lupa dukung dengan bintang dan komen biar author makin semangat kejar2an 😘

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top