Part 41 - Something About Hopeless
UPDATE!!
Jangan lupa menekan bintang
Jangan lupa komen
Jgn lupa follow author : Matchamallow
PART 41 - SOMETHING ABOUT HOPELESS
Dari kusir neneknya yang mengantarkan Kaytlin pergi, Raphael tahu bahwa Kaytlin turun di stasiun. Tapi ia tidak tahu Kaytlin berangkat ke mana. Ada begitu banyak jurusan kereta di stasiun dan Kaytlin pasti memilih salah satunya. Terkutuklah Raphael karena membuat wanita itu tahu cara bepergian dengan kereta api sehingga membuat Kaytlin bisa berada di mana pun di seluruh pelosok Inggris sekarang.
Dan Raphael juga tidak tahu apa yang Kaytlin lakukan selama ini untuk bertahan hidup. Lisette mengatakan Kaytlin tidak membawa uang. Kaytlin menolak uang dari Lisette saat adiknya itu ingin memberikan Kaytlin uang maharnya. Malton tidak mengambil mahar tersebut dan memberikannya pada Lisette saat mereka menikah, sedangkan Lisette tidak tahu harus menggunakan mahar itu untuk apa sehingga ia menyimpannya di rekening selama ini.
Tentu saja, Raphael sudah menduga Kaytlin tidak akan mau menerima uang sepeser pun jika itu berasal dari Raphael. Semua barang-barang yang Raphael berikan ditinggalkan oleh Kaytlin utuh di lemarinya di Blackmere Park. Hanya beberapa pakaian yang dibawanya karena itu memang penting. Kenyataan bahwa wanita itu entah ada di mana tanpa uang, bersama anak dalam perutnya membuat Raphael semakin panik.
Tidak ada yang bisa ia lakukan di tengah malam menjelang pagi sehingga ia menginap di Harrogate, namun Raphael segera berangkat pagi-pagi setelah sarapan tanpa menuda lagi. Neneknya mengatakan akan menulis surat pada para anggota perkumpulan lanjut usia yang sekiranya dekat dengan Kaytlin untuk memastikan apakah Kaytlin bersama salah satu dari mereka. Kabar berita Kaytlin menghilang tidak akan tersebar untuk sementara karena teman-teman Sir Walcott bisa menjaga rahasia, begitupun Lisette dan Malton. Namun tetap saja, Raphael harus secepatnya menemukan karena jika berita itu tersebar bisa merusak reputasi Kaytlin.
Raphael mengawali pencariannya dari Crakehall karena tempat itu satu county dengan Harrogate di North Yorkshire. Hanya satu jam perjalanan. Di sana adalah rumah dari Baron of Fauconberg, ayah Josephine Forthingdale, kakek Kaytlin. Rasanya agak mustahil jika Kaytlin memilih ke tempat pria itu, tapi segala kemungkinan akan Raphael coba. Lagipula ia ingin mengetahui seperti apa keluarga Kaytlin karena segala urusan Kaytlin kini akan menjadi urusannya. Dia yang dulu tidak pernah peduli pada apa pun, kini peduli pada kehidupan seorang wanita hingga bagian terkecil yang mungkin Kaytlin sendiri sudah tak peduli. Padahal dulu wanita itu ingin menemui kakeknya dengan keyakinan naif bahwa ia akan diterima. Raphael yang telah meredupkan sikap positif itu dan Raphael yang sudah mematikan semangatnya.
Setelah beberapa kali berhenti untuk bertanya, Raphael akhirnya menemukan rumah masa kecil Josephine. Priory itu tidak sebesar estat Raphael namun berkali-kali lipat lebih suram. Tanaman bunga dibiarkan tidak terawat sehingga tumbuh rumput-rumput liar, pohon-pohon begitu rimbun tidak pernah dipangkas, dan tanaman sulur merambat di dinding rumah yang terbuat dari susunan batu. Terbesit pikiran bahwa tidak ada orang yang tinggal di tempat itu sehingga surat yang Raphael kirimkan saat pernikahan Lisette de Vere mungkin tidak pernah sampai pada penerimanya. Namun, pemikiran itu sirna karena pintu dibuka oleh wanita pelayan tua saat Raphael mengetuknya.
"Ya, Sir?" tanya pelayan itu.
Raphael menyerahkan kartu namanya. "Aku ingin bertemu Baron of Fauconberg."
Pelayan itu menerima kartu nama tersebut, lalu mendongak. "Saya akan bertanya lebih dulu. Silakan duduk, My Lord."
Setelahnya, pelayan itu menghilang di koridor. Raphael masuk dan berdiri menunggu di ruang tamu, mengamati sekeliling ruangan yang lebih rapi dibandingkan di luar. Hanya ada satu lukisan di atas perapian, yakni lukisan yang Raphael yakin adalah Baron of Fauconberg sendiri di masa mudanya. Berambut pirang, mengenakan pakaian era Regency. Hanya wajah keras tanpa gurat senyum sedikitpun yang membedakannya dengan Josephine.
Tidak lama, pelayan tadi kembali lagi dari koridor. "My Lord, silakan masuk ke dalam. Aku akan mengantar Anda."
Raphael mengikutinya melintasi koridor dan memasuki kamar pertama yang ada di sana. Seorang pria tua duduk di sofa dekat jendela, dengan celana panjang yang terbalut jubah tidur panjang berwarna coklat. Rambut pria itu sudah memutih dan menipis, sementara di tangannya yang keriput tergenggam tongkat berjalan. Sepertinya sang baron tidak kuat berjalan, atau menderita kelumpuhan sehingga Raphael yang harus menemuinya ke kamar. Raphael yakin umur pria itu jauh lebih muda dari neneknya, tapi sesuatu membuat penampilan fisiknya terlihat lebih tua.
"Ada yang bisa kubantu, My Lord?" tanya sang baron dengan suara serak.
"Mungkin Anda tidak ingat bahwa aku pernah menulis surat pada Anda."
"Surat?" Baron of Fauconberg mengerutkan kening.
"Undangan untuk menghadiri pernikahan cucu Anda, Lisette de Vere, putri kedua Josephine."
Mendengar nama Josephine membuat pegangan pria itu pada tongkatnya mengetat. Ia menghindari tatapan Raphael. "Aku tidak punya putri bernama Josephine. Bagiku ia sudah mati!"
"Kebetulan ia memang sudah mati," timpal Raphael blak-blakan.
Reaksi sang baron di luar dugaan. Pria tua itu tampak terpukul seakan tak percaya apa yang Raphael ucapkan.
"Kau bohong. Kau bahkan bukan siapa-siapa Josephine."
"Ia menunjukku menjadi wali untuk kedua putrinya. Richard de Vere meninggal karena kecelakaan. Lalu Josephine menyusul setelahnya karena infeksi sehingga ia sempat memberitahu kedua putrinya untuk mencariku di Blackmere Park."
Meski didominasi oleh kemarahan, Baron of Fauconberg tidak bisa menghalau kepedihan yang muncul di wajahnya. Jelas sekali Kaytlin tidak mungkin ada di sini. Sang baron bahkan tidak tahu keadaan putrinya sendiri apalagi cucunya.
"Jadi bajingan itu sudah membunuhnya..."
"Ia tidak membunuhnya."
"Ia sudah membunuhnya!" Sang baron menggertakkan gigi. "Bagaimana bisa ia membiarkan Josephine ikut mati bersamanya?!"
Pernyataan itu terdengar ironis setelah tadi pria itu mengatakan Josephine sudah mati baginya.
"Kau tidak bisa menyalahkan Richard de Vere semata. Seandainya kau menerima kenyataan itu dan menerima mereka, bisa saja ini semua tidak terjadi."
"Berani-beraninya...!" Mata sang baron terbelalak hebat saat menoleh pada Raphael. Jika tidak terhalang penyakit, mungkin pria itu sudah mencoba membunuh Raphael sekarang. "Seandainya ia menuruti perintahku, ia mungkin masih hidup dan bahagia sekarang!"
"Ia tidak akan bahagia. Kau hendak mengekangnya."
"Aku berusaha menikahkannya dengan seorang pria terhormat yang memiliki kedudukan tinggi!"
"Kudengar pria terhormat itu berumur lebih tua darimu."
"Ia bisa memberikan Josephine segalanya. Josephine pastilah menyesal menikah dengan pria miskin pilihannya itu."
"Richard de Vere juga memberikan segalanya pada Josephine. Kuyakinkan dirimu, Josephine tidak menyesal, bahkan hingga akhir hayatnya."
"Mengapa kau membela bajingan itu?! Ada hubungan apa kau dengannya?! Aku tidak peduli jika kau marquess atau duke sekalipun! Jika kau memiliki hubungan keluarga dengannya, pergilah dari propertiku ini!"
"Aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya," sahut Raphael miris. Ia juga membenci Richard de Vere dan tidak pernah berniat membela pria itu seperti ini bahkan dalam mimpi terburuknya sekalipun. Sayang sekali, pria itu adalah orang yang Kaytlin sayangi. Dan tanpa pria itu, Kaytlin tidak akan ada di dunia ini.
"Lalu untuk apa kau kemari?" lanjut sang baron. "Jika kau hanya menyuruhku untuk memaafkan Josephine, lupakan saja dan pergilah."
"Aku tidak akan memintanya karena ia tidak pernah bersalah padamu."
"Ternyata kau lebih bajingan dari pria itu," desis sang baron.
"Memang." Raphel menyetujui. Ia menatap sekeliling ruangan sebelum terpaku pada pintu. "Aku akan pergi. Yang kucari jelas tidak ada di sini."
"Apa yang kaucari?"
"Aku ragu kau ingin tahu. Ia putri tertua Josephine. Dan amat mirip dengannya."
Sang baron mendengus sinis. "Karena ia menghilang, kau harus mencarinya? Begitulah Josephine. Ia selalu melarikan diri saat tidak mau mematuhi perintahku. Ia anak yang liar. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana putrinya jika memang ia mirip Josephine. Sebaiknya kau berhenti mencarinya. Ia hanya akan membuat sial."
Hanya karena melihatnya sudah lemah dan sakit-sakitanlah yang membuat Raphael bisa menahan desakan untuk menghajar pria yang telah membuat Josephine menderita tersebut. Jika tidak bertemu langsung mungkin Raphael tidak akan percaya ada seseorang sekejam itu pada anak gadisnya. Bahkan mengetahui Josephine telah meninggal pun, pria itu tak terlihat menyesal. Josephine memang pernah mengatakan ayahnya sangat keras, namun wanita itu bercerita dengan begitu riang seakan bukan sesuatu hal yang serius. Seharusnya Raphael menyadarinya. Josephine Forthingdale yang tidak akan pernah mengatakan bahwa ia sedang kesulitan ataupun bersedih dan Kaytlin benar-benar mewarisi sifat menyebalkan itu.
"Josephine adalah wanita paling hebat dan pemberani yang pernah kukenal. Begitu pula putrinya. Aku merasa sangat beruntung bertemu dengan mereka sehingga aku tidak tenggelam dalam kepahitan seumur hidup seperti dirimu."
"Keluarlah!" bentak sang baron tak tahan lagi.
Tanpa menunggu, Raphael segera keluar dari kamar dan rumah terkutuk itu. Untung saja Kaytlin tidak jadi kemari. Raphael tidak sanggup membayangkan wanita itu akan menghadapi segala hinaan pria tua keras kepala itu pada ayahnya, pada ibunya. Hal itu akan menjadi pukulan berat setelah Raphael juga mengecewakannya. Ya, Tuhan, ia sama saja dengan pria tua itu. Ia sama pahitnya dengan Baron of Fauconberg jika saja Kaytlin tidak datang dalam hidupnya dan mengubah semua hal.
***
Raphael tidak tahu ke mana sebenarnya Kaytlin memilih untuk pergi setelah lima hari berlalu lagi dalam pencarian yang sia-sia. Ia sudah pergi ke semua rumah teman-teman Kaytlin yang ditulis oleh Lisette.
Melissa, Selene, Elizabeth...dan puluhan lainnya seiring tambahan informasi yang didapat karena sifat Kaytlin yang begitu mudah akrab dengan siapa saja. Mereka semua terkejut saat melihatnya datang. Bukan keterkejutan karena ketakutan menyembunyikan sesuatu, tapi lebih karena terkejut seorang pria datang berkunjung. Raphael sudah membuat banyak kesalahpahaman dari ibu-ibu para debutan tersebut yang mengira Raphael ke sana untuk melakukan pendekatan pada putri mereka. Sungguh ia lelah seperti ini, namun mau bagaimana lagi, ia perlu memastikan Kaytlin ada di sana atau tidak.
Dan ternyata teman-temannya pun bukan merupakan pilihan Kaytlin sebagai tempat pelarian.
"Gretchen, kau yakin mereka semua tidak berpura-pura?" tanya Dorie pada putrinya saat mereka dalam perjalanan pulang dari rumah terakhir yang ada dalam daftar teman-teman Kaytlin.
"Aku yakin mereka tidak berpura-pura. Aku sudah bertanya pada pelayan-pelayan di sana dan mereka tidak melihat Miss Kaytlin pernah berkunjung lagi setelah musim dingin," jelas Gretchen.
Dorie dan Gretchen menemani Raphael dalam pencarian Kaytlin setelah mereka mengetahui bahwa Kaytlin menghilang. Selama ini, Gretchen yang paling sering menemani Kaytlin ke mana pun sehingga ia cukup akrab dengan para pelayan dari teman-teman Kaytlin tersebut untuk mendapatkan informasi yang akurat. Sedangkan Dorie hanya ikut untuk mendampingi mereka karena Gretchen terlihat jelas ketakutan pada Raphael yang hanya diam dengan tampang suramnya di kereta.
"Apa kau tahu tempat lain yang mungkin dikunjungi Kaytlin?" Raphael akhirnya bertanya.
Gretchen menatapnya takut-takut. "A-aku akan memikirkannya, My Lord," sahutnya tergagap.
Raphael mulai mengingat-ingat setiap kali ia bercakap-cakap dengan Kaytlin. Mungkin ia bisa mendapatkan petunjuk, mungkin ada sesuatu yang terlupa. Kaytlin selalu menceritakan segalanya, hingga detail-detail terkecil dan Raphael selalu mendengarkannya. Namun sekeras apa pun ia berpikir tidak ada yang ia dapat karena ia tidak bisa berkonsentrasi.
Hingga dua hari lagi berlalu dengan hasil nihil.
"My Lord, kemarin seharusnya Anda ke London untuk bertemu Mr. Maximillian." Winston yang baru memasuki ruangannya pagi itu memperingatkan.
"Aku melupakannya." Raphael menyisiri rambut dengan frustrasi.
"Aku sudah menyuruh kurir ke London mengirimkan pesan setelah Anda pergi kemarin. Aku sudah menduga Anda tidak bisa menghadirinya."
"Syukurlah jika begitu."
"Mungkin Anda ingin membuat janji ulang?"
"Tidak," sahut Raphael gamang. "Sementara tidak."
"Her Lady akan pulang dua hari lagi dari Harrogate." Winston menambahkan saat Raphael mengecek surat-surat yang berada di nampan. Tangan Raphael terhenti pada sebuah surat bersegel Earl of Malton. Ia segera mengambil pisau kertas dan membukanya.
My Lord,
Aku sudah mencari Kaytlin di beberapa rumah penduduk yang cukup akrab dengannya di sini, tapi aku belum menemukannya. Aku pun meluaskan pencarian hingga sempat mengunjungi Her Lady di Harrogate. Kemungkinan aku akan ke London bersama Malton jika di sini kami tidak membuahkan hasil. Bagaimana dengan pencarian Anda? Apakah Anda sudah menemukan Kaytlin? Dan apakah Anda sudah melaporkan pada polisi karena Malton menyuruhku bertanya sebelum ia melaporkan pada polisi.
Lisette de Vere Weston
Neneknya akan pulang dan kini Lisette akan ke London.
Dengan gelisah Raphael menaruh surat tersebut dan mempersiapkan kertas kosong untuk balasan. Ia sudah melapor pada polisi dua hari lalu dan meminta mereka untuk menyelidiki diam-diam. Untung saja mereka mengerti bahwa reputasi seorang wanita dipertaruhkan sehingga menyanggupi permintaan Raphael.
"My Lord, Mr. Basset." Seorang pelayan muncul di depan pintu membuat Raphael mendongak dari surat. "Mr. Maximillian."
Christopher Maximillian memasuki ruang kerja Raphael. Untuk ukuran seseorang yang biasa berperilaku tenang dan tak terbaca, kali ini Maximillian terlihat gelisah seakan ada sesuatu yang mengusiknya.
"Blackmere." Ia menjabat tangan Raphael.
"Aku melupakan pertemuan itu," ucap Raphael tanpa meminta maaf ataupun menunjukkan penyesalan.
"Lupakanlah. Aku sudah di sini." Maximillian melemparkan dokumen ke meja sebelum dengan santai mengambil tempat duduk di depan Raphael.
Raphael menatap dokumen yang masih terbungkus amplop coklat tersebut. "Kau tidak mengalami kesulitan dengan Torrington?"
"Tidak. Di luar dugaan ia menjadi sangat penurut pada Wallingford. Entah apa yang mengubahnya," sahut Maximillian. "Atau Kaytlin mungkin mengatakan sesuatu padanya. Ia berubah sejak malam penandatanganan perjanjian itu. Tapi kemungkinan itu agak tidak masuk akal. Apa yang Torrington takuti darinya?" Maximillian terkekeh.
Raphael terdiam dan memikirkan bahwa itu pun tidak masuk akal.
"Kudengar wanita itu sekarang sudah menetap di rumah adiknya dan tidak akan kembali kemari?"
"Dia..."
"My Lord." Kembali pelayan tadi muncul di depan pintu menyelamatkan Raphael dari menjawab pertanyaan Maximillian. "Lord Vaughan dan Mr. Sommerby juga datang berkunjung. Saya menyuruh mereka menunggu karena masih ada tamu."
"Kau tidak keberatan mereka masuk?" tanya Raphael pada Maximillian.
"Aku tidak memiliki keperluan penting." Maximillian mengangkat bahu.
"Biarkan mereka masuk."
Derek dan George memasuki ruangan dan melihat Maximillian.
"Oh, Maxi," sapa Derek lebih dulu. "Sungguh kejutan bertemu denganmu di sini."
"Vaughan. Sommerby." Maximillian mengangguk karena cukup mengenal mereka sehingga tidak menyebutkan gelar.
"Apakah kalian ada pembicaraan penting?" tanya George yang mengambil tempat favoritnya di sofa.
"Tidak. Aku hanya berkunjung. Cukup sulit membuat janji dengan Blackmere sekarang," tambah Maximillian dengan sindiran yang ditujukan sebagai lelucon.
"Ah! Kau benar. Terutama akhir-akhir ini. Kami kemari dan Rafe selalu tak ada di tempat," timpal Derek.
"Bukankah kalian juga sudah terbiasa di rumah ini entah aku ada ataupun tidak?" keluh Raphael yang disambut kekehan George dan Derek.
"Kami sebenarnya ingin mengajakmu bersenang-senang lagi, Rafe."
Raphael menghela napas lelah. "Aku tidak bisa."
"Tapi kami mengerti jika kau ada urusan bisnis__"
"Tidak, aku sedang jenuh untuk membicarakan bisnis dengan Blackmere." Maximillian berdecak. "Justru aku ingin bersenang-senang, jika kalian tidak keberatan aku ikut."
"Ternyata kau lebih menyenangkan dibanding Rafe, Maxi," ujar Derek. "Sayang sekali pertunjukan lady berjalan sudah usai bulan ini. Padahal kami bisa mengajakmu ke sana sebelum menghabiskan malam di hiburan London."
"Aku sudah melihat pertunjukan itu. Tentu saja aku harus melihat pertunjukan yang telah menurunkan segelintir pendapatanku dari Fairley's."
"Kau pemilik Fairley's?" Raphael menyipitkan mata.
Maximillian menoleh dan menggeleng. "Bukan. Pemiliknya adalah kenalanku. Aku hanya ikut berinvestasi di sana karena kupikir convenience store memiliki masa depan yang baik."
"Apakah masih berjalan baik?" tanya George.
"Tentu saja. Aku tetap yakin pada prediksiku. Pertunjukan Lady Berjalan memang menarik perhatian saat ini, tapi aku tidak yakin akan terus bertahan karena masyarakat mudah bosan. Namun aku salut pada pencetus idenya. Siapa pun itu, ia memiliki pemikiran yang kreatif. Padahal sebelumnya tempat itu adalah butik tradisional yang mulai ditinggalkan dan ia mampu berinovasi."
"Mungkin kau bisa menyelidiki dan merebut orang itu untuk menjadi orangmu, Maxi," saran George yang menawarkan gelas minuman pada Maximillian.
"Mungkin." Maximillian menerima gelas berisi brendi tersebut dan menyesapnya. "Apa pun bisa dibeli dengan uang."
"Kecuali jika ia pemilik butik itu," ucap Derek tidak setuju.
Maximillian mendengus. "Itu tidak mungkin. Pemilik toko-toko itu sudah berumur. Pelakunya pasti seseorang yang masih muda. Umurnya tidak lebih dari tiga puluh."
"Mengapa kau begitu yakin?" Derek terkekeh lalu menoleh pada George. "Kepercayaan dirinya hampir setara Kimleigh, George."
"Tapi setidaknya ia tidak mengucapkan omong kosong seperti Kimleigh, Derek." George ikut terbahak.
"Tentu saja aku yakin. Orang tua cenderung diberikan kebijaksanaan, sedangkan anak muda memiliki gejolak dan semangat."
"Tunggu..." Raphael bergumam yang membuat mereka semua menoleh. "Tempat itu tempat menjahit, bukan?"
"Itu butik, Rafe. Ya, itu tempat menjahit," sahut Derek.
Pikiran Raphael kembali pada saat Kaytlin memergokinya di Bond Street bersama Sophie. Saat itu Kaytlin hanya sendirian di sana, sehingga Raphael membawanya pulang.
"Apa yang kaulakukan di sana seorang diri?"
"Aku mengambil pekerjaan sampingan." Kaytlin memperlihatkan bungkusan yang ia bawa pada Raphael.
"Apa itu?"
"Gaun."
"Lalu?"
"Ini gaun yang belum jadi. Aku menjahitnya, My Lord."
"Menjahit?"
"Ya!" Kaytlin mengangguk-angguk senang. "Aku cukup bisa diandalkan untuk menjahit. Jika Anda memiliki celana yang sobek atau kaus kaki yang berlubang aku bisa menjahitkannya untuk Anda."
Menjahit. Cita-cita Kaytlin adalah menjadi seorang penjahit rendahan yang selalu Raphael tertawakan. Sejak tinggal di sini, Kaytlin bekerja sampingan di salah satu butik di Bond Street karena ingin mengumpulkan uang jika tidak tinggal di Blackmere Park lagi. Dan wanita itu sangat tertarik saat Raphael menceritakan tentang inovasi bisnis pertunjukan di Vauxhall Garden dan di saat yang sama juga membahas tentang Fairley's dan butik Madame. Ucapan Maximillian menyadarkannya, membuat Raphael melengkapi semua kepingan teka-teki. Lady Berjalan itu, jika Maximillian tidak salah berspekulasi, berarti Kaytlinlah yang ada di baliknya.
Seketika Raphael berdiri dari kursi.
"Winston, siapkan kuda dan panggil Gretchen ke depan. Aku ingin berbicara padanya."
"Baik, My Lord."
"Rafe?" Ketiga orang lain di ruangan itu mendongak heran.
Raphael menoleh pada mereka dengan tatapan serius. "Derek, di mana butik Madame yang mengadakan pertunjukan Lady Berjalan itu?"
***
Semua mengarah pada kesimpulan yang sama. Gretchen pun mengatakan bahwa tempat yang paling sering Kaytlin datangi adalah butik Madame Genevieve yang Derek katakan mengadakan pertunjukan tersebut.
Raphael langsung menuju Bond Street di London seorang diri dengan kudanya karena ia sudah tidak sabar. Butik yang ia tuju begitu ramai dengan pelanggan yang sepertinya masih terpengaruh dengan euphoria dari pertunjukan Lady Berjalan meski kata Derek pertunjukan itu sudah usai.
"Selamat siang, My Lord." Seorang wanita pelayan menghampirinya dengan ramah begitu Raphael memasuki butik dan melihat sekeliling. "Ada yang bisa kubantu untuk Anda?"
"Apakah Kaytlin ada di sini?" tanya Raphael langsung ke pokok tujuan.
"Miss Kaytlin?" Wajah pelayan itu kebingungan. Ia menoleh ke dalam sebelum menatap Raphael kembali. "Aku tidak melihatnya akhir-akhir ini."
"Kapan terakhir kali kau melihatnya?"
"Beberapa hari lalu. Tapi...aku tidak begitu mengerti. Kurasa Anda bisa bertanya pada Madame."
"Bisakah kaupanggilkan dia?"
"Tunggu sebentar." Wanita pelayan itu menghilang di balik tirai burgundi yang tergantung di pintu untuk menutupi pandangan sehingga pelanggan tidak akan bisa melihat kegiatan di dalam. Tapi demi Tuhan, Kaytlin memang ada di sini, atau sempat berada di sini. Sudah dipastikan ia berada di balik pertunjukan Lady Berjalan itu. Seandainya saja Raphael menyadari sejak awal dan mengikuti Derek dan George menontonnya. Semua ini terlihat seperti lelucon kehidupan sekarang.
Tidak lama, seorang wanita paruh baya bertubuh langsing muncul dari balik tirai pintu. Wanita pelayan tadi mengantarkannya pada Raphael sebelum meninggalkan mereka berdua untuk melayani pelanggan lain.
"Maaf, siapa Anda?" tanya Madame saat duduk di sampingnya karena hanya ada satu sofa panjang untuk menunggu di sana.
"Aku keluarga perwalian Kaytlin."
"Anda..." Madame terdiam sejenak sebelum menebak ragu. "Marquess of Blackmere?"
"Benar, Kaytlin pernah mengatakan padaku bahwa ia bekerja di sini. Bisakah aku bertemu dengannya."
Madame Genevieve menatap wajah Raphael dengan menelisik. Entah hanya pikiran Raphael saja, suara wanita itu yang tadi begitu lembut seketika berubah dingin dan formal. "Kaytlin tidak di sini."
"Bukankah ia yang mengadakan pertunjukan Lady Berjalan itu, Madame?"
"Kaytlin memang menjalankan ide itu untuk butikku. Tapi sayangnya, saat ini ia tidak di sini lagi."
Meski terdengar tidak sopan, Raphael terpaksa berucap jujur. "Bisakah aku mempercayai Anda?"
"Anda bisa mengeceknya sendiri." Madame Genevieve berdiri. "Silakan ikut saya ke dalam, My Lord."
Raphael ikut berdiri dan berjalan mengikuti wanita itu. Begitu tirai dibuka, ia melihat ruang ganti untuk melakukan pengukuran dan pengepasan. Beberapa karyawan mengukur tubuh pelanggan, Raphael tidak bisa melihat keseluruhan karena beberapa sekat tertutup tirai dan ia tidak mungkin membukanya mengingat kemungkinan ada wanita yang berpakaian tidak lengkap melakukan pengepasan pakaian.
Raphael menuju ruangan selanjutnya, di mana ruangan tersebut lebih luas, penuh sesak dengan gulungan kain dan peralatan menjahit. Meja potong besar terdapat di tengah dengan pola-pola tergantung di sana sini, sedangkan ada dua mesin jahit bertengger yang merupakan penemuan baru di masa itu. Para pekerja sibuk membuat gaun, namun juga tidak ada Kaytlin di antaranya.
"Ada apa di sana?" Raphael melihat sebuah pintu yang terlewat di sudut ruang kerja.
"Itu hanya ruang untuk beristirahat siang dan juga pintu belakang. Tempatnya sedikit tidak layak."
Raphael membuka pintu tersebut dan melihat dapur lengkap dengan meja makan. Tungku pembakarannya membuat noda hitam di dinding dan sekitarnya dengan mengerikan. Ia turun ke tempat itu, lalu membuka pintu belakang dan dikejutkan dengan tikus-tikus yang berdecit berlarian menyelamatkan diri. Bak pencelup warna kain, berada di pinggir selokan dengan aroma yang mungkin bisa membunuh seseorang. Namun Raphael mengerti mengapa Madame menaruh bak itu di tempat terbuka. Pewarna celup kain mengandung bahan berbahaya yang merusak pernapasan. Raphael hanya tidak percaya bahwa Kaytlin sanggup bertahan tinggal di tempat itu, terlebih dengan kondisinya saat ini. Kaytlin bisa saja hidup nyaman di estat Malton, tapi seperti yang wanita itu pernah katakan, ia tidak ingin Malton dan adiknya tahu hubungannya dengan Raphael.
"My Lord." Madame memanggilnya di pintu dapur.
Raphael berbalik kembali.
Madame mengajaknya menaiki tangga menuju lantai dua. Sangat kontras dengan lantai satu, keadaan di sana sangat sepi meski hiruk pikuk jalanan dan pekerjaan di bawah terdengar samar-samar.
"Aku dan para pekerja tidur di sini. Termasuk juga Kaytlin."
Sementara Madame berdiri di tengah ruangan, Raphael membuka satu per satu pintu kamar. Kamar yang pertama berisi satu tempat tidur, Raphael yakin itu adalah milik Madame. Suasananya sunyi dan tidak banyak barang apalagi lemari besar sehingga tidak mungkin Kaytlin bersembunyi di sana. Lalu Raphael mengecek kamar yang lain yang merupakan kamar pekerja di mana terdapat beberapa tempat tidur bertingkat dan lemari-lemari kecil. Juga tidak ada seorang pun di sana.
"Bagaimana, My Lord?" tanya Madame. "Sudah kukatakan ia tidak di sini. Ia sudah pergi."
"Ke mana ia pergi?" Dengan pelan, Raphael menutup pintu kamar pekerja yang terakhir ia lihat.
"Aku tidak tahu. Ia pun enggan memberitahukan padaku, karena sepertinya ia ingin menghapus jejak. Aku hanya tahu ia menghindari seseorang, tapi aku tidak tahu siapa__"
Ucapan Madame terhenti di udara.
"Atau jangan-jangan...kau yang dihindarinya?"
Madame menatapnya curiga. Raphael masih berhati-hati padanya sehingga ia menahan diri untuk mengucapkan apa pun sebelum ia mengetahui bagaimana sebenarnya wanita di hadapannya ini. Kaytlin mungkin bisa dengan mudah mempercayai seseorang, namun Raphael tidak.
"Kau seorang aristokrat..." Madame bergumam. Terdapat pemahaman di wajah wanita itu sebelum tertawa miris. "Kau orangnya, bukan? Kau laki-laki yang memberikan kesulitan pada Kaytlin. Seharunya aku sudah menduga."
"Kau tahu keadaannya?"
"Tentu saja aku tahu. Aku seorang wanita yang pernah diberi kesempatan mengandung. Ia tidak bisa menutupinya dariku," sahut Madam.
Tidak ada keraguan lagi. Kaytlin benar-benar hamil dan menutupinya dari Raphael dan semua orang.
Madame melanjutkan dengan nada permusuhan. "Ia tidak akan mau menjadi mistressmu atau wanita simpanan siapa pun, My Lord."
"Aku tahu," sahut Raphael.
"Lalu untuk apa kau mencarinya?" Madame berjalan pelan mendekati meja untuk menumpukan tubuh di sana dan bersedekap. "Apakah kau sama saja dengan ayahmu yang ketakutan pada mistressnya?"
Pertanyaan itu membuat Raphael tersentak. Madame...wanita itu tahu tentang masa lalu keluarganya. "Siapa kau?"
"Kau tidak mengingat wajahku?"
"Tidak. Sama sekali tidak...."
Berpuluh-puluh tahun telah berlalu, dan Raphael saat itu juga masih anak-anak. Ia tidak mungkin bisa mengingat dengan jelas wajah seseorang yang bertemu dengannya satu dua kali. Tapi ia bisa menebak, mulai dari mengapa wanita ini membahas ayahnya. Figur wanita itu, matanya, tubuhnya, meski warna rambut itu sudah mulai memudar, dan wanita itu orang Perancis.
"Kau...mistress ayahku?"
Madame mengangguk.
"Tidak mungkin. Aku mengingat nama mistress ayahku. Itu bukan dirimu." Karena itulah Raphael tidak pernah curiga saat membayar tagihan-tagihan yang ditujukan pada wanita itu.
"Aku menghilang beberapa tahun lamanya karena hampir gila. Aku mengubah identitasku menjadi identitas sepupuku, menjalani hidupku yang baru. Tapi aku tidak akan pernah melupakan betapa kejam ayahmu sudah membunuh seorang bayi tak berdosa hanya demi nama baiknya."
Raphael menggeleng. "Ayahku memang bukan orang yang baik, tapi ia bukan pembunuh__"
"Ia tidak menceritakan padamu?" Madame tertawa sinis. "Ia membunuh anaknya. Anak yang kukandung. Ia tidak ingin mendapat aib karena memiliki anak haram dariku. Tapi ia tidak mengatakannya sedari awal dan menungguku hingga melahirkan. Anak itu perempuan. Ayahmu tidak memerlukan anak perempuan dan ia menyerahkannya pada keluarga petani tanpa sepengetahuanku. Saat aku menemukannya, ia sudah menjadi seonggok kuburan."
Air mata menuruni wajah Madame sehingga sedikit menghapuskan keraguan Raphael bahwa wanita itu hanya mengarang cerita. Raphael tidak tahu sama sekali. Ia hanya tahu ayahnya memiliki mistress dan tidak mau mendengar cerita apa pun tentang mistress itu lagi. Ayahnya menyalahkan kebangkrutan mereka pada sang mistress tapi sekarang Raphael tidak tahu cerita mana yang harus ia percaya. Namun semua itu tidak penting lagi sekarang.
"Seandainya ia mengatakan bahwa ia tidak menginginkan anak itu, aku akan pergi. Aku bersumpah akan pergi darinya."
"Kau...menanamkan pikiran itu pada Kaytlin?" Dengan gemetar, Raphael tersadar.
"Aku sama sekali tidak tahu bahwa kau ayah dari anak yang dikandungnya. Tapi aku bersyukur sekarang setelah tahu." Madame Genevieve tertawa. "Kuharap kau tidak akan pernah menemukannya. Aku sempat mengutuk keluargamu tidak akan pernah mendapat keturunan__"
"Madame!" Raphael mendekat dan mencengkeram bahu wanita itu sebelum mengguncangnya penuh amarah. "Aku tidak peduli urusan masa lalumu dan ayahku! Aku tidak peduli kutukanmu! Aku hanya peduli pada Kaytlin! Di mana dia?!"
Wanita itu tidak terlihat gentar sedikit pun dan hanya tersenyum kosong. "Aku sudah mengatakannya padamu, My Lord. Aku tidak tahu. Seandainya aku tahu pun aku tidak ingin memberitahukan padamu. Tapi sungguh, aku tidak tahu."
"Ia tidak membawa apa pun yang bisa mendukung kehidupannya."
"Kau tidak yakin Kaytlin bisa menghidupi dirinya? Itu berarti kau tidak benar-benar mengenalnya."
Raphael melepas cengkeramannya dan mundur mengatur napas untuk menenangkan diri. "Mungkin aku memang tidak begitu mengenalnya."
"Kaytlin bisa ada di mana pun saat ini karena ia menghasilkan uang yang cukup untuk menghidupi dirinya selama setahun ke depan. Ia bahkan bisa keluar dari negara ini jika ingin."
"Kaytlin tidak memiliki siapa pun di luar Inggris."
"Keluarga ayahnya ada di Perancis."
"Ia tidak mungkin ke sana."
Raphael sudah menelusuri keluarga Richard de Vere melalui kedutaan dan semua tidak dalam kondisi yang memungkinkan untuk menolong Kaytlin. Sebagian besar dari mereka bangkrut setelah perang. Lagipula salah satunya sudah mengusir Kaytlin dan adiknya dari rumahnya di Keele setelah Josephine meninggal. Kaytlin tidak mungkin seputus asa itu hingga memilih meminta bantuan pada mereka.
Putus asa...Raphael memikirkan sekali lagi. Apa mungkin Kaytlin seputus asa itu?
"Segala kemungkinan bisa terjadi, My Lord. Kau tidak mengenal Kaytlin, bukan?"
***
Tanpa mengucapkan apa pun lagi pada Madame, Raphael berderap keluar dari butik tersebut dan kembali menaiki kudanya menuju kantor administratif kerajaan. Tidak mungkin Kaytlin bisa keluar dari Inggris dan memasuki negara lain jika tidak memiliki seaport (paspor) yang hanya bisa dibuat di sana. Kemungkinan Kaytlin keluar Inggris sangatlah kecil, tapi Raphael hanya ingin memastikan segala hal.
Namun setelah berkuda dengan kecepatan seperti orang gila, ia pun keluar dari kantor administratif kerajaan tanpa hasil. Tidak ada seaport terdaftar atas nama Kaytlin de Vere yang menandakan Kaytlin masih ada di Inggris. Entah Raphael harus senang dengan berita itu atau tidak.
Masalahnya, ke mana Kaytlin sekarang? Ke mana Raphael harus mencarinya?
Ia sudah menelurusi semua teman-teman Kaytlin, semua anggota Perkumpulan Lanjut Usia, dan tempat terakhir keberadaan Kaytlin di butik. Mungkin Raphael harus mengulang lagi dari awal, mengunjungi kembali teman Kaytlin satu per satu karena sekarang mungkin Kaytlin mendatangi mereka setelah tidak berada lagi di Bond Street. Semua akan Raphael lakukan, tapi hari ini ia begitu lelah sehingga ia memilih beristirahat dengan makan siang di sebuah tavern di pinggiran kota London.
Raphael juga sempat mendatangi kantor polisi dan meminta untuk mengawasi butik Madame selama 24 jam untuk mengantisipasi Kaytlin kembali ke tempat itu. Bisa saja Madame berbohong. Betapa Raphael sangat berharap bahwa apa yang diceritakan Madame adalah kebohongan. Semuanya, tanpa kecuali.
Jika cerita Madame benar, berarti ia adalah anak dari seorang pembunuh. Meski ia tidak terlibat dengan semua itu, tetap saja Raphael merasa muram. Ia menyayangi ayahnya tanpa alasan. Mungkin alasannya sederhana : hanya karena pria itu adalah ayahnya. Meski pria itu sudah menyakiti ibunya bahkan sudah membuatnya kecewa berkali-kali. Tetap saja, ia menyayangi pria berengsek itu sepenuh hati sama seperti ia menyayangi ibunya, juga neneknya.
Raphael berusaha meyakinkan diri untuk tidak mempercayai ucapan Madame. tapi semua ini tetap membuatnya terpukul.
Keluar dari tempat makan, Raphael memutuskan berjalan kaki dan menuntun kudanya di jalan setapak utama. Ia tidak tahu hendak pergi ke mana dan hanya membawa kudanya berjalan tanpa tujuan. Ia tidak ingin memikirkan apa pun kali ini hingga pulang ke estat sore nanti.
Di persimpangan, seharusnya ia memilih jalan menuju estatnya. Namun Raphael menoleh ke arah berlawanan dan teringat bahwa jalan itu adalah jalan yang membawanya ke Keele saat hendak menemui Josephine.
Josephine pernah mengatakan bahwa Raphael pasti akan kembali ke sana, tapi sampai detik ini Raphael tidak pernah menginjakkan kakinya lagi di tempat itu. Saat itu ia marah pada Josephine karena meninggalkannya menikah dengan Richard de Vere. Saat itu ia hanya ingin membuktikan bahwa ucapan Josephine tidak selamanya benar.
"Suatu saat kau akan mengerti saat kau menemukan orang yang bersedia berkorban untukmu dan kau juga bersedia berkorban untuknya. Seperti Richard."
"Aku tidak menyukai Richard," sahut Raphael.
Josephine hanya menanggapinya dengan tertawa. "Tapi Richard dan aku sangat menyukaimu. Aku berharap kau akan berkunjung kembali suatu saat nanti."
"Tidak akan."
"Kau selalu mengatakan seperti itu, tetapi aku tahu kau pasti akan kembali lagi."
Sepertinya setelah bertahun-tahun berlalu, kini ia baru mengerti.
Kaki Raphael melangkah memilih jalan menuju Keele. Ia menaiki kudanya dan memacunya dengan cepat melintasi jalan tersebut. Beberapa jam kemudian, ia memasuki jembatan kecil yang merupakan batas desa Keele dan kembali menuntun kudanya. Ia menuju sebuah kedai di mana ia bisa menitipkan kuda agar bisa minum dan beristirahat setelah lelah bekerja. Lalu ia bertanya di mana letak pemakaman di desa tersebut pada pemilik kedai.
Dengan berjalan kaki, Raphael menelusuri petunjuk dan bertanya lagi pada beberapa warga yang ia lewati. Semua masih terlihat sama, tidak banyak yang berubah. Hewan ternak seperti ayam, bebek, dan domba masih bebas berkeliaran di jalanan dan membuatnya harus beberapa kali menghindari kotoran dengan kesal. Raphael bertanya-tanya apakah rumah Josephine masih ada dan siapa yang menghuninya sekarang, namun sayang sekali tempat itu tidak searah dengan tujuannya.
Selayaknya pemakaman desa, tempat itu tidak begitu luas sehingga tidak memerlukan waktu lama bagi Raphael menemukan nisan bertuliskan Josephine de Vere, bersebelahan dengan makam Richard de Vere.
Raphael berdiri menatap nisan itu tanpa melakukan apa pun. Ia tidak membawa bunga atau apa pun yang bisa ia taruh di atas makam. Sebenarnya Raphael tidak percaya pada kehidupan setelah kematian. Ia tidak percaya pada surga dan neraka, meski ia masih percaya pada adanya Tuhan itu sendiri. Ia hanya meyakini bahwa kematian adalah tidur panjang yang abadi, untuk selamanya. Mungkin itu hanya untuk penghiburan dirinya, karena ia tahu ia cenderung akan berakhir di neraka. Mungkin juga tidak.
Namun ia berlutut dan bergumam di depan makam, seolah Josephine akan mendengarnya. "Josephine...kau benar. Aku datang."
Meski semua sudah terlambat. Meski Josephine sudah tidak ada lagi untuk melihatnya.
"Maafkan aku sudah mengecewakanmu."
Tangan Raphael terulur untuk menyentuh nisan itu dan menelusuri ukiran nama Josephine di atasnya.
"Kuharap kau masih menganggapku teman."
Karena Raphael menganggapnya salah satu teman terbaik yang pernah ia miliki. Dan ia menyesal tidak mengucapkan hal itu dulu. Tapi ia yakin, Josephine mengerti bahwa saat itu Raphael masih anak-anak yang belum bisa memikirkan sesuatu secara dewasa. Yang tidak paham bahwa Josephine saat itu sedang meraih kebahagiaannya. Ironisnya, Josephine bahkan mengingat Raphael hingga akhir hayat. Ia mempercayakan hal yang paling berharga dalam hidupnya pada Raphael, bukan pada keluarganya, bukan pada siapa pun. Tapi hanya Raphael.
Dan sekali lagi, Raphael mengecewakannya.
Merasa cukup berbicara seorang diri yang mana itu sangat bukan dirinya, Raphael kembali berdiri. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi sehingga ia hanya diam di sana selama beberapa menit yang berlalu dalam keheningan. Saat memasuki pemakaman, tidak ada seorang pun di sana sehingga suasana begitu sunyi. Entah kenapa Raphael merasakan kehadiran orang lain sehingga ia menengok ke belakang.
Ia berpikir dirinya berhalusinasi karena melihat Kaytlin berdiri di sana.
Wanita itu terdiam. Raphael pun terdiam.
Saat itulah Raphael sadar ia tidak berhalusinasi. Kaytlin ada di sini, di Keele. Tempat ini sungguh tidak terpikirkan oleh Raphael sehingga ia tidak mencarinya hingga kemari. Tapi yang membawanya kemari adalah ingatannya pada Josephine.
Josephine...
Kaytlin memejamkan mata erat-erat seakan menahan sesuatu, namun tidak berhasil karena napasnya tercekat dan ia mengeluarkan tangis yang begitu memilukan. Ini pertama kali Raphael melihatnya menangis dan hal itu juga membuatnya terguncang dengan cara yang sama. Menyadari ia bereaksi seperti orang tolol dengan hanya terdiam, Raphael mengambil langkah menuju wanita itu.
Kaytlin melihatnya mendekat dan mulai mundur menjauh seperti yang dilakukannya sejak peristiwa malam itu. Kaki yang selama ini mengejarnya, kini menghindarinya seakan Raphael adalah wabah. Sesungguhnya Raphael begitu sakit melihat penolakan itu, tapi selama ini menahan diri. Kali ini ia tidak akan membiarkannya. Raphael mempercepat langkah dan meraih wanita itu sebelum membawanya dalam pelukan.
Tangis Kaytlin semakin menjadi-jadi. Ia menolak Raphael, ia tidak ingin dekat dengan Raphael. Tapi Raphael tidak melepaskannya, dan ia tahu ia tidak akan melepaskannya lagi seumur hidup.
***
Bersambung part 42
Komen NEXT di sini
Jangan lupa menekan tanda cinta jika suka part ini.
Seperti biasa, guys. 4k bintang untuk part berikutnya atau tunggu minggu depan 😉
Untuk yang mau baca cepat bisa ke Karyakarsa. Sudah sampai part 42. Harga 4rb
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top