Part 40 - Something About Lost
UPDATE!!
Belum 4k aku udah up sesuai janji ya minggu ini 😘
Jangan lupa tekan bintang
Jangan lupa komen
Follow akun author dong, biar dapet notif cerita : matchamallow
❄❄❄
Yang punya sosmed dan gabut bisa liat liat author yang juga sama gabutnya
Happy reading
❄❄❄
PART 40 - SOMETHING ABOUT LOST
Karena Harrogate lebih dekat dibanding Carlisle, Raphael memutuskan untuk mampir ke sana lebih dulu. Ia turun di Leeds dan meneruskan menuju Harrogate dengan menyewa kereta kuda. Kaytlin mengatakan pada neneknya akan ada di sana hingga musim dingin berakhir. Tidak ada salahnya untuk mengecek lebih dulu agar tidak perlu memutar jalan jika Kaytlin tidak ada di Carlisle. Entah apakah Kaytlin masih tetap akan menemui neneknya setelah apa yang terjadi, Raphael akan segera tahu.
"My Lord...? Selamat datang," sambut seorang pelayan di Harrogate dengan sedikit terkejut karena Raphael tidak pernah sekali pun ke sana. Tempat itu tidak termasuk properti miliknya karena merupakan hadiah dari keluarga neneknya untuk wanita itu setelah menikah dan terbukti menjadi tempat favoritnya setiap tahun.
"Di mana nenekku?"
"Her Lady ada di ruang tengah."
Tanpa basa-basi, Raphael menuju ruang tengah di mana neneknya berada. Tatapannya menyapu sekeliling, melihat ruangan demi ruangan di setiap langkah yang ia ambil, mencari apakah ada seseorang ataupun suara familier yang ia rindukan. Siapa tahu ia melewatinya dan menemukan orang itu tidur-tiduran di sofa sambil cekikikan membaca buku atau memainkan pianoforte di sudut ruangan.
Tapi tidak ada.
"Raphael?" Neneknya muncul di ambang pintu ruang tengah.
"My Lady." Raphael mengangguk singkat.
"Sungguh kejutan. Kemarilah." Dowager Marchioness barbalik kembali ke ruangan tadi. Raphael mengikutinya. Mereka memasuki ruangan dengan pelapis dinding bercorak bunga-bunga kecil berwarna maron. Perapian menyala di sudut dinding, namun jendela-jendelanya terbuka lebar, membawa angin segar masuk sekaligus memperlihatkan pemandangan bunga di pekarangan. Rumah tersebut tidak begitu besar, setidaknya tidak sebesar manor ataupun estat, sehingga cocok bagi seorang lanjut usia yang tidak kuat berjalan jauh.
"Ada apa? Apakah ada hal penting?" tanya neneknya saat mereka berdua duduk di sofa. Lalu sang dowager menyipitkan mata mengamati wajah Raphael. "Ada apa dengan pelipismu?"
Raphael terdiam sejenak mempertimbangkan bagaimana harus memulainya. "Apakah Nenek sendirian di sini?" tanyanya kemudian.
"Ya, aku sendirian. Dan aku senang kau datang mengunjungiku. Aku tidak menyangka kau ingat pada nenekmu ini."
Berusaha mengabaikan rasa bersalah melihat senyum semringah di wajah sang nenek, Raphael melanjutkan pada pokok pertanyaan. "Kaytlin tidak kemari?"
"Ia kemari pertengahan musim dingin lalu. Cukup lama ia di sini membacakan koran dan buku untukku setiap hari, padahal aku tidak meminta. Seperti biasa ia sangat berisik. Bahkan ke permandian pun ia ikut mengantar dan tidak membiarkanku tenang. Ia mengatakan akan sangat merindukanku karena kami tidak akan bertemu lagi. Tentu saja aku mengatakan itu hal konyol karena ia bisa menemuiku kapan saja entah itu di sini ataupun di Blackmere Park." Neneknya terkekeh. Raphael hampir tersenyum membayangkannya, tapi ia memilih mendengarkan dalam diam dan membiarkan neneknya melanjutkan.
"Tapi ia mengatakan ia tidak bisa. Katanya, ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Entah apa, aku tidak mengerti. Kupikir ia hanya bergurau. Namun saat berpamitan, ia malah mengucapkan terima kasih atas semua yang telah aku ajarkan padanya, sehingga aku takut apa yang ia katakan benar. Tapi, kenapa?" Neneknya mengutarakan pertanyaan itu lebih pada dirinya sendiri.
"Jadi ia sudah pulang?"
"Dua bulan lalu," sahut Dowager Marchioness. "Oh, ya, Raphael, apa kau akan menginap di sini? Aku akan menyuruh pelayan menyiapkan kamar."
"Tidak." Raphael menggeleng.
"Apa kau mau makan siang atau setidaknya minum teh?"
"Tidak." Raphael menggeleng kembali. "Aku harus pergi."
"Pergi? Tapi, kau baru saja datang...." Dowager Marchioness mengerutkan kening, lalu sekonyong-konyong wajah sang nenek berubah cemberut menyadari sesuatu. "Kau datang bukan untuk mengunjungiku, bukan?"
"Nenek, aku..."
"Seharusnya aku sudah menduga," sela neneknya dongkol. "Lalu apa yang kaulakukan di sini, cucuku yang berbakti? Kebetulan lewat?"
"Kupikir Kaytlin ada bersamamu."
"Musim dingin sudah berlalu, tentu saja ia tidak bersamaku. Untuk apa__" Ucapan Dowager Marchioness terjeda dan ia menatap lekat-lekat. "Kau...mencari Kaytlin?" tanyanya seakan tak percaya.
Raphael terpaksa mengakui itu dan mengangguk.
Lalu keheningan yang memekakkan terjadi setidaknya selama semenit ke depan.
"Raphael, jangan katakan bahwa kau berubah pikiran tentang..."
"Ya, Nenek," sahut Raphael. "Kau menang."
"Benarkah?" Neneknya tercengang, lalu sedetik kemudian ia menyipitkan mata curiga. "Apa ada sesuatu yang terjadi selama kalian tidak dalam pengawasanku?"
"Apa ini pengadilan?"
"Berarti benar," cetus neneknya menghela napas dalam seraya menatap lantai. "Jika tahu berakhir seperti ini, seharusnya kutinggalkan kalian berdua sejak awal."
"Pardon me?" Giliran Raphael mengernyit merasa salah mendengar.
Dowager Marchioness mengangkat wajah lagi dengan cepat, teringat sesuatu yang mendesak. "Lalu bagaimana dengan Sophie? Ia melepaskanmu?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Sebelum aku selesai mengucapkan apa pun, ia sudah melempariku dengan vas bunga."
"Karena itukah kau mendapat luka di kepalamu?"
Dengan enggan, Raphael mengangguk.
"Bagus. Bagus sekali." Gurat cemberut neneknya segera berubah menjadi senyuman cerah, secerah mentari yang baru saja muncul di musim semi ini. Ia menaruh tehnya dan berdiri. "Well, jangan pedulikan itu dan kau harus segera berangkat ke Carlisle. Pergilah dari rumahku ini sekarang juga."
Raphael ikut berdiri. "Nenek, aku minta maaf jika kedatanganku__"
"Tidak perlu berbasa-basi. Semakin cepat kau pergi, semakin baik." Dowager Marchioness menuntun Raphael menuju pintu keluar rumahnya. Ia menepuk-nepuk punggung Raphael dan terkekeh hingga mereka tiba di depan pintu. "Kabarkan berita baik padaku secepatnya."
Lalu ia menutup pintu di depan wajah Raphael.
***
Raphael kembali lagi ke stasiun terdekat dan meneruskan tiga perempat perjalanan ke Carlisle yang lebih jauh. Selama di kereta ia memikirkan bagaimana bisa Kaytlin tetap ceria setelah perpisahan mereka seakan tidak terjadi apa apa. Seperti yang ia baca dalam surat, seperti juga cerita neneknya. Begitu cepat Kaytlin melupakannya, sementara di sini Raphael hampir gila. Kaytlin membawa kesepian dalam hidupnya yang mana sebelumnya itu tidak menjadi masalah bagi Raphael, namun kini ia benci tidur sendirian, makan sendirian, bahkan membenci estatnya yang suram.
Menemukan kenyataan ini membuatnya kembali ragu apakah Kaytlin memang benar-benar menyukainya sebesar yang ia kira ataukah itu hanya pikirannya semata. Dan ia kembali berpikir apakah yang ia lakukan saat ini benar. Tidak ada surat lagi setelah surat Kaytlin terakhir kali. Tapi itu lumrah karena Raphael juga tidak pernah mengirimkan surat ke Carlisle dikarenakan ia takut Kaytlin tidak akan menyukai itu. Ia pun juga tidak tahu harus menulis apa. Rasanya ia mengalami de javu mengingat dulu pun ia menulis surat berkali-kali pada Josephine saat tidak pernah muncul untuk mengunjunginya di Blackmere Park dan sekalinya jadi, ia membuang suratnya ke tempat sampah karena merasa apa yang ia tulis begitu konyol.
Sial, Raphael membenci dirinya karena tidak bisa mengekspresikan perasaan dengan baik selain perasaan tidak suka. Ia tidak bisa mengekspresikan rasa senang, gembira, dan simpati, tapi ia tidak segan menolak dan mengucapkan kata 'tidak' pada orang lain yang baru ia kenal. Sedangkan Kaytlin, adalah kebalikan dari dirinya.
Beberapa jam kemudian ia sampai di stasiun Carlisle Citadel dan segera mencari kereta kuda. Ia tidak berhenti dan langsung menuju estat Malton karena hari sudah menjelang sore. Sesuai aturan karena ia baru pertama kali ke sana, ia menunggu di depan pintu setelah mengatakan pada pelayan Malton Manor kedatangannya.
Tapi bukan Kaytlin yang menyambutnya, melainkan Lisette. Wanita itu ke pintu depan dengan keterkejutan besar dan menatap bingung melihatnya berdiri di sana. Raphael pun merasa canggung karena ia tidak begitu dekat dengan adik Kaytlin tersebut, padahal penampilan fisiknya amat mirip dengan Josephine yang sesungguhnya membuatnya berubah pikiran dulu saat menerima perwalian mereka.
"My Lord...?" Lisette mematung tak berkedip selama beberapa detik, lalu ia terkesiap. "Oh, maafkan ketidaksopananku. Silakan masuk."
Lisette mundur dan membuka pintu lebar-lebar. Ia berjalan ke arah kanan, lalu ternyata salah sehingga berbalik ke kiri dengan gugup seraya meremas-remas jemarinya. Raphael hanya mengikutinya saja.
"Si-silakan duduk," ujar Lisette saat mereka sudah berada di ruang tamu.
Raphael mengambil tempat di salah satu sofa. Setelahnya, Lisette duduk di hadapannya dengan meja di antara mereka.
"Di mana Malton?" tanya Raphael sebagai bentuk kesopanan karena Malton adalah pemilik rumah.
"Dia masih di rumah pertanian. Sebentar lagi dia akan datang," sahut Lisette. "Apakah Anda ingin menemuinya?"
"Tidak." Raphael menggeleng. "Bisakah aku menemui Kaytlin?" tanyanya kemudian.
"Kaytlin?" beo Lisette.
"Ya."
"Oh!! Maksud Anda...Kaytlin, kakakku..." Lisette tersadar seakan baru mengingat nama tersebut. "Kaytlin ada di Harrogate."
Seketika suasana hening.
"Harrogate?" ulang Raphael dengan mata menyipit.
Lisette mengangguk-angguk. "Kaytlin masih berlibur di rumah Dowager Marchioness, nenek Anda."
Jantung Raphael berdetak lebih cepat karena merasakan firasat buruk. Namun, ia harus memastikan lebih dulu. "Apa kau yakin? Bukankah ia seharusnya kembali setelah musim dingin berlalu?"
"Tentu saja. Kaytlin yang mengatakannya dalam surat terakhir kali. Ia ingin berada di Harrogate karena ingin menemani Her Lady hingga setahun ke depan."
"Bisakah aku melihat suratnya?"
Sejenak Lisette terlihat kebingungan, tapi ia melakukan apa yang Raphael pinta. "Tentu. Tunggu sebentar, My Lord." Ia berdiri dan masuk ke dalam meninggalkan Raphael sendirian.
Semoga saja ini hanya kesalahan saja. Raphael berulang kali mengucapkan doa itu dalam hati.
Lisette kembali beberapa saat kemudian. Wajahnya tampak khawatir sekarang dibanding gugup seperti sebelumnya. Ia menyerahkan sepucuk surat pada Raphael. Raphael mengenali itu memang tulisan Kaytlin dan membacanya.
Dear Lissy dan Anthony,
Seharusnya aku kembali sekarang, tapi Dowager Marchioness sendirian di sini hingga tiba saat ia kembali ke Blackmere Park. Bukannya aku tidak ingin kembali ke Carlisle, tapi aku merasa Her Lady lebih memerlukanku. Her Lady mengatakan sangat senang aku ada di sini dan menjadi teman bicaranya. Penglihatan Her Lady juga buruk sehingga ia memerlukan bantuanku untuk membaca dan menuliskan surat untuknya setiap hari. Kami bersenang-senang hingga pergi bersama ke permandian air panas.
Lagipula aku tidak akan mengikuti season tahun ini seperti yang kukatakan terakhir kali. Tapi aku akan berusaha menemui kalian dan melihat debut Georgina di London jika Her Lady ke sana. Mungkin setahun ini aku akan cuti dari season dan bersama Her Lady. Kumohon jangan mengkhawatirkanku karena aku bahagia. Aku menyayangi kalian. Sampaikan maafku pada Lucy karena tidak bisa menemaninya membaca Times lagi.
Kaytlin.
"My Lord...? Ada apa?" tanya Lisette menyadari ada yang tidak beres.
Raphael mengangkat pandangan dari surat dan menatap wanita itu. Ia mempertimbangkan untuk berbohong karena ia tahu Lisette pasti akan khawatir. Tapi itu tidak akan membantu keadaan karena ia membutuhkan banyak informasi dari orang yang paling dekat dengan Kaytlin dan itu adalah adiknya.
"Aku baru saja dari Harrogate. Dan Kaytlin tidak ada di sana," ungkap Raphael.
"Apa?"
"Nenekku mengatakan ia sudah kembali kemari."
Mulut Lisette membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi ia terdiam mencerna situasi. Seperti yang sudah Raphael perkirakan, wanita itu pasti akan khawatir sekarang.
"Apa maksud Anda...Kaytlin menghilang?"
"Semoga saja tidak," sahutnya gelisah. Ia sama khawatirnya dengan Lisette, bedanya ia bisa menahan diri, sedangkan Lisette segera bereaksi tidak bisa menutupi kepanikan.
"My Lord..." ucapnya dengan suara bergetar. "Ke mana dia? Apa dia diculik? Apa dia celaka di perjalanan...?"
"Lisette...aku akan mencarinya," ucap Raphael seraya menenangkan napasnya sendiri yang mulai tak beraturan. "Kumohon kau tenang dan bantu aku. Bisakah kau menuliskan semua nama teman-teman Kaytlin saat di season beserta alamatnya?"
Lisette mengangguk-angguk kuat. Ia berlari lagi ke dalam, dan kembali lagi dengan pena dan kertas. Dengan gemetar ia menuliskan nama-nama di atas meja ruang tamu sesuai yang diminta Raphael. Tulisannya kacau namun masih bisa terbaca. Air mata wanita itu menetes dan Raphael melihatnya. Raphael berdiri dan segera meminta pelayan mengambilkan air minum.
"My Lord!! My Lord!!" Dengan sesenggukan dan sulit bernapas, Lisette mencengkeram pakaian Raphael saat Raphael berlutut di sampingnya.
"Minumlah." Raphael menyerahkan air di tangannya. Lisette patuh dan meminumnya hingga kepanikannya sedikit menghilang.
"Se-semua yang kutahu sudah ku-kutulis." Lisette menyerahkan tulisannya. "Se-selebihnya Anda bisa bertanya pada Melissa. Mungkin ada yang belum kutambahkan."
Raphael melipat kertas tersebut dengan satu tangan dan memasukkannya ke dalam saku.
"My Lord...apa yang harus kulakukan?" tanya Lisette.
"Tidak ada. Aku akan mencarinya. Kau tenanglah di sini dan ceritakan pada Malton."
"Aku juga akan mencarinya mulai dari tempat-tempat terdekat. Aku akan menuliskan surat kepada Anda. Kumohon Anda juga mengabariku."
Raphael mengangguk.
Cengkeraman Lisette pada lengan bajunya masih belum terlepas sehingga Raphael belum bisa beranjak. "My Lord...aku...aku gagal..." Lisette menggigit bibir menahan tangis. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi pada Kay. Ia berusaha terlihat baik-baik saja, tapi aku tahu ia hanya berpura-pura. Mungkin ia bisa menipu orang-orang, tapi aku...aku sudah bersamanya sejak lahir sehingga ia tidak akan bisa mengelabuiku. Tapi...tapi...ia tidak mau menceritakan apa pun padaku. Ia menolak bantuanku...Lalu sekarang ia pergi dariku...Sebenarnya apa salahku sehingga ia tidak mau lagi berbagi__"
"Lisette..." Raphael memegang kedua bahu wanita itu menghentikan kepanikannya. "Dengar, kau tidak gagal dan kau tidak melakukan kesalahan apa pun."
Lisette menatap Raphael penuh harap dengan matanya yang basah.
Mungkin ini adalah percakapan paling panjang yang pernah ia lakukan bersama Lisette de Vere sepanjang hidup. Tapi dengan ini Raphael tahu sisi lain dari Kaytlin yang tidak pernah ia tahu sebelumnya. Apa yang ia pikirkan selama ini salah. Kaytlin tidak sekuat yang terlihat dan Raphael sudah melukainya entah sedalam apa.
"Aku yang bersalah. Dan aku berjanji akan menemukannya."
***
Dengan cepat Raphael bergegas ke kereta kuda sewaannya yang menunggu. Ia kembali ke stasiun dan memutuskan berbalik ke Harrogate sekali lagi. Neneknya pasti sudah gila jika bermain-main dengan menyembunyikan Kaytlin, tapi neneknya terbukti memang memiliki rencana yang gila saat season kemarin demi mendekatkan Raphael dan Kaytlin. Bagaimanapun, Raphael akan lebih bersyukur jika neneknya berada di balik semua ini dan mengerjainya dibanding mendapati Kaytlin benar-benar menghilang.
Hari sudah malam saat ia sampai di depan pintu rumah neneknya di Harrogate. Ia mengetuk pintu dengan tak sabar, dan pelayan membukakannya terburu-buru.
"Apa Kaytlin ada di sini?" tanyanya menginterogasi si pelayan.
"Maksud Anda Miss de Vere?"
"Ya, dia."
"Dia sudah kembali ke rumah adiknya...My Lord." Pelayan itu mengikuti Raphael yang melewatinya dan membuka satu demi satu kamar. Hanya ada tiga kamar utama di sana dan dua kamar pelayan. Bahkan Raphael memeriksa hingga ke dapur dan kamar pelayan yang mengakibatkan pelayan-pelayan yang ada di sana kebingungan.
"Raphael?" Neneknya keluar dari kamar mendengar kegaduhan. "Ada apa? Mengapa kau kembali?"
"My Lady, kumohon. Kau tidak menyembunyikan Kaytlin, bukan?" Raphael bergegas ke arahnya.
"Untuk apa aku menyembunyikannya? Ia sudah kembali ke Carlisle."
Raut wajah neneknya tidak menunjukkan kepura-puraaan. Meski Raphael juga tidak yakin, karena neneknya ahli dalam memasang topeng wajah.
"Raphael!" Neneknya meninggikan suara karena Raphael hanya diam. "Apa yang terjadi?"
"Kaytlin tidak ada di Carlisle."
"Ia tidak ada__" Wajah neneknya masih kebingungan. Mata Raphael tak lepas menatap gerak-geriknya. "Lalu di mana dia?"
Saat itulah Raphael menyadari, neneknya tidak bergurau ataupun mengerjainya. Kaytlin benar-benar menghilang.
"Raphael?!"
Raphael mengambil surat di sakunya dan menyerahkan pada neneknya. Dengan mengerutkan kening, sang nenek membaca surat tersebut. Ia terhenyak dan menatap Raphael.
"Raphael, ia berbohong pada adiknya. Ke mana ia pergi?"
"Itu juga yang menjadi pertanyaanku."
Jangan katakan kalau Kaytlin juga berbohong pada Raphael dalam suratnya.
Aku bahagia dan tidak ada anak.
Kaytlin sama sekali tidak bahagia, dan Lisette sudah menceritakannya. Adiknya mengatakan Kaytlin menangis. Tidak ada dalam bayangannya Kaytlin bisa menangis karena ia tidak pernah melihatnya. Tidak sekali pun selama Raphael mengenalnya di Blackmere Park. Bahkan di saat mereka berpisah, Kaytlin masih tersenyum seperti hari-hari biasa.
Lalu untuk apa ia pergi dari Raphael, dari Lisette, dari semuanya, jika tidak ada sesuatu yang disembunyikan. Setahun. Ia ingin pergi setahun...
Aku bahagia dan tidak ada anak.
Semua yang Kaytlin katakan berkebalikan. Itu berarti...
Raphael masih terdiam di tempatnya berdiri, namun merasa dunia di kakinya runtuh.
Ya, Tuhan. Ada anak di antara mereka.
***
Kaytlin memuntahkan sarapannya lagi pagi itu di selokan belakang. Untung saja ia tepat waktu untuk mencapainya sehingga ia tidak perlu mengepel lantai lagi seperti kemarin.
"Kaytlin..." Madame Genevieve menghampirinya dan mengurut punggungnya. Ia kembali lagi ke dalam dan membawakan segelas air. Kaytlin mengusap bibir dengan punggung tangan dan meminum air yang diberikan Madame. Seekor tikus besar melewati kakinya, berlari di atas sepatunya. Kaytlin dan Madame hanya diam dengan hampa. Itu adalah sesuatu yang biasa di tengah selokan kota London, sehingga mereka tidak menanggapinya.
"Sudah baikan?" tanya Madame.
Kaytlin mengangguk pelan.
"Aku akan makan lagi nanti," ucap Kaytlin tidak menghabiskan sarapannya. "Kurasa aku akan bekerja sekarang."
"Kau bisa beristirahat dulu."
"Bekerja membuatku lupa pada mualku." Ia beranjak menuju ruang kerja yang tertutup rapat dari dapur. Partikel-partikel dari kain dan benang yang tak tampak, biasa beterbangan sehingga tidak baik jika jatuh di makanan. Sebelum bekerja pun, Kaytlin dan Madame mengenakan masker kain untuk mencegah debu memasuki pernapasan mereka. Ini bukan tempat yang baik untuk Kaytlin, Kaytlin menyadarinya. Belum lagi pencelup warna kain yang beracun yang tidak pernah Kaytlin sentuh karena Madame melarangnya. Tapi sedikit lagi, ia ingin sedikit lagi menyelesaikan sesuatu yang telah ia bangun.
"Apa kau yakin ingin mempertahankannya?" tanya Madame saat mereka berdua sedang memasang pita berbentuk mawar di sekeliling tepian gaun untuk finishing. Beberapa pekerja lain bekerja dengan jarak aman sehingga tidak mendengar percakapan mereka.
Kaytlin mengangguk. Sebenarnya Kaytlin menutupi kondisinya sejak ia datang dan meminta bantuan Madam untuk tinggal di tempat ini dengan kompensasi pekerjaan. Fisiknya tidak menampakkan tanda-tanda yang akan menimbulkan kecurigaan. Tapi Kaytlin tahu ada sesuatu yang terjadi setelah ia tidak mendapatkan bulanan. Lalu lambat laun, rasa mual itu muncul dan semakin meningkat, sehingga ia tidak bisa lagi menutupinya dari Madame.
"Siapa yang menyebabkanmu seperti ini? Apa ia salah satu pria pengagummu di season?"
Kaytlin terdiam sejenak mempertimbangkan sesuatu, sebelum menggeleng.
"Tapi dia dari golongan aristokrat?"
"Madame, maaf aku tidak bisa memberitahu Anda," ungkap Kaytlin dengan berat hati.
"Baiklah." Madame menghela napas. "Maaf aku terlalu ingin tahu, Kaytlin."
"Tidak apa, Madam. Aku tahu Anda peduli padaku."
"Ya, aku menyayangimu seperti anakku sendiri."
"Bersamanya, aku melakukannya dengan sukarela karena aku menginginkannya. Dan aku tidak mau menimpakan kesalahan hanya padanya sekarang." Kaytlin menjelaskan perlahan.
"Mengapa ia membiarkanmu dan tidak menikahimu?"
"Ia tidak tahu."
"Kau tidak ingin ia tahu...Dan ia tidak ingin menikahimu sejak awal." Madame mengambil kesimpulan. "Kau takut menjadi korban baby breeding seperti yang kuceritakan."
Baby breeding adalah praktik umum di masa itu, di mana bayi yang tidak diharapkan dari seorang wanita simpanan akan dibuang agar tidak menimbulkan aib atau menuntut ayahnya di masa depan. Kaytlin tidak bisa menutupi tangannya yang gemetar saat tetap memaksa menjahit. Ia meyakinkan diri bahwa Raphael tidak akan melakukan itu, bahwa Raphael tidak akan sekejam itu. Tapi terbukti terakhir kali ia dikecewakan oleh kenyataan bahwa ia ternyata tidak mengenal Raphael di saat Kaytlin yakin bahwa ia begitu mengenalnya. Ketakutan itu ada, meski hanya setitik.
Apalagi jika pria itu benar akan menikah dengan Sophie.
"Kau tidak perlu mengatakannya, aku sudah tahu ia seorang aristokrat." Madame melihat gelagat Kaytlin. Lalu ia kembali menarik napas dalam lagi saat melanjukan pekerjaan. "Jangan khawatir. Aku akan berusaha melindungimu darinya meski aku tidak tahu ia siapa."
"Terima kasih, Madame." Air mata Kaytlin kembali jatuh, namun dengan cepat Kaytlin menghalaunya agar tidak berkelanjutan. Ia membenci dirinya karena begitu mudah menangis akhir-akhir ini. Dan karena itulah ia tidak bisa berada di dekat Lisette yang akan menaruh curiga padanya, meski ia sangat rindu pada adiknya itu sekarang.
"Oh, Kaytlin...kuharap suatu saat kau mau berbagi padaku bebanmu, apalagi kau telah memberikan ide untuk melakukan Pertunjukan Lady Berjalan padaku. Aku berutang budi padamu yang sudah membuat omzet permintaan meningkat."
"Aku melakukannya untuk diriku sendiri, Madame." Kaytlin tersenyum samar meski tidak terlihat karena ia mengenakan masker. Pertunjukan fashion itu telah mengembalikan semangat Kaytlin, mengembalikan tujuan hidupnya. Apalagi Madame dengan baik hati telah memberikannya kesempatan untuk mewujudkan salah satu gaun dalam sketsa yang ia lukis. Gaun itu adalah yang sedang mereka kerjakan sekarang.
***
Pagi bagai neraka itu akhirnya berlalu. Kaytlin akhirnya bisa menelan makanannya tanpa harus keluar lagi. Hanya pagi hari ia seperti itu. Begitu menjelang siang, rasa mual itu sedikit memudar. Madame mengatakan itu hanya akan berlangsung beberapa bulan saja. Kaytlin akan bertahan.
Di luar suasana sudah ramai, dengan orang-orang yang ingin melihat pertunjukan. Beberapa pekerja dan gadis yang disewa Madame memakai gaun yang kali ini akan dipertunjukkan. Panggung tinggi dibuat di depan pertokoan. Madame tidak melakukannya sendiri. Ia bekerja sama dengan hampir seluruh toko-toko tua di Bond Street untuk melengkapinya, mulai dari toko sepatu, topi, dan tas tangan. Kaytlin yang memadu madankannya hingga menjadi satu kesatuan yang serasi.
Biasanya, Kaytlin tidak ikut dalam pertunjukan dan hanya menjadi perancang. Namun kali ini, ia memakai sendiri pakaiannya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin dan baru kali ini mengagumi tubuhnya yang tinggi menjulang sehingga ia menatapnya berlama-lama karena semua itu hanya sementara. Sebentar lagi perut itu tidak akan serata sekarang dan pinggangnya juga tidak akan seramping saat ini.
Namun, Kaytlin baru menyadari bahwa ia cantik dan berharga.
"Kaytlin, kau sudah siap?" Madame memanggilnya.
Kaytlin menoleh dan mengangguk. Lalu ia mengenakan topeng untuk menutupi setengah wajahnya dan topi besar berhias bunga dan pita untuk menutupi kepalanya. Tidak akan ada yang mengenalnya saat ini, bahkan Lisette sekalipun.
Saat Kaytlin melangkahkan kakinya yang bersepatu tinggi keluar, orang-orang terkejut melihat gaun yang tak umum, dari seorang lady berambut hitam pendek sebahu yang juga tak lazim di masa itu. Namun, Kaytlin mengangkat dagu dan memberikan senyum penuh percaya diri dari bibir indahnya.
Dan mereka semua pun terpana.
***
Komen NEXT di sini
Bersambung part 41
Seperti biasa 4000 bintang kalau mau up cepet, kalau tidak tercapai tenang aja minggu depan pasti di up 🙏❤
Buat yang mau baca kelanjutan lebih dulu, bisa ke Karyakarsa. Cari part 41, harga 3000 aja (30 kakoin)
Untuk part 42 di KK otw setelah Silver Lining part 12 up 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top