Part 38 - Something About True Sadness
Sebelum membaca part ini, kalian bisa baca part 3 yang berjudul sama "Something About True Sadness"
Carlisle, seminggu kemudian...
"GINA!! GINA!! TIDAKK!!"
Teriakan Lisette yang menggema hebat mungkin bisa meruntuhkan pegunungan di depan mereka. Tubuhnya meluncur cepat di atas danau es sementara kedua tangannya memeluk Georgina erat. Georgina menertawakannya, begitu pula Kaytlin.
"Apa yang kautertawakan?!" protes Lisette pada Kaytlin.
"Aku hanya ikut-ikutan karena kalian semua tertawa," sahut Kaytlin.
"Aku tidak sedang tertawa! Dan, oh!! Bangunlah dari sana, Kay! Kau tidak pantas menertawakanku dengan posisi seperti itu!"
Kaki Kaytlin memang memakai sepatu skating, tapi ia sedang berjongkok di atas es dengan kedua tangan menggenggam erat tongkat kayu yang bertumpu di es agar dirinya tidak jatuh. "Aku tidak mau," tolak Kaytlin.
"Biasanya kau selalu suka tantangan."
"Aku takut terjatuh."
"Omong kosong! Kau tidak pernah takut terjatuh!"
"Aku serius."
"Kau curang, Kay! Kau hanya takut balas kutertawakan!"
"Lissy, ini kali pertama Kaytlin bermain skating. Ia pantas seperti itu," ledek Georgina. "Tapi kau sudah berbulan-bulan di sini."
"Aku memang sudah berbulan-bulan di sini, tapi esnya baru saja membeku, Gina!"
Kembali Georgina menertawakannya. Kaytlin menontonnya saja sambil tersenyum. Sudah seminggu Kaytlin berada di sini dan sesuai apa yang diceritakan dalam surat, Lissy mengajaknya berseluncur di danau es. Untunglah di Malton Manor tersedia sepatu untuk berseluncur dan semua dirawat dengan baik. Sepatu itu berupa papan kayu dengan dua logam pipih yang melengkung di ujungnya. Di sisi-sisinya, terdapat sabuk dari kulit yang berguna untuk mengikat logam tersebut dengan sepatu mereka.
Di luar dugaan, danau tempat berseluncur yang disebut Lissy ternyata cukup ramai. Di kanan kiri terdapat pemukiman penduduk sehingga beberapa orang berskating di sana, tidak hanya mereka bertiga. Tiang-tiang dengan tempat obor dipasang di beberapa tempat yang membuat Kaytlin berpikir suasananya pasti sangat indah di sore hari.
"Aku tidak mau bermain seperti itu lagi!" keluh Lisette.
"Jangan merajuk, Kakak Ipar." Georgina memeluk Lisette yang lebih mungil darinya lalu menggoyang-goyang tubuhnya ke kanan dan ke kiri. "Baiklah, ayo kita menepi dulu. Aku juga tidak ingin mencelakaimu dan membuat Anthony menangis."
"Kurasa sudah cukup kita bermain, ayo kita ke peternakan," ajak Lissy.
"Ayolah, aku juga sudah kelaparan. Ini saatnya makan siang," sahut Georgina.
"Ayo, Kay!!" Lisette melambai-lambaikan tangan karena Kaytlin masih terdiam di tempatnya.
Bertumpu pada tongkat kayu, Kaytlin berdiri dari es. Ia berseluncur perlahan dengan membuat tongkat tersebut seperti dayung. Sesekali ia menahan tongkatnya mengambang dan membiarkan dirinya meluncur sendiri. Rasanya mengerikan sekaligus menyenangkan. Sebenarnya Kaytlin bisa saja berseluncur dengan barbar. Seperti kata Lissy, ia tidak pernah takut terjatuh. Tapi kali ini, ia sedikit ketakutan.
***
Dengan menggunakan kereta yang ditarik dua ekor kuda, mereka pun berangkat ke peternakan. Hanya Kaytlin, Lisette, dan Georgina yang ikut hari itu bersama kusir dan seorang pelayan wanita. Lucy, Thomas, dan Emma tinggal di manor bersama Mrs. Bridget.
Jalan setapak yang mereka lalui dibatasi dengan parit, sementara di kanan kiri membentang perbukitan dan padang rumput. Sapi-sapi terlihat bergerombol merumput dengan beberapa penggembala yang berjaga. Beberapa menit berlalu, rumah pertanian Anthony sudah terlihat berupa bangunan memanjang dan deretan kincir angin, namun kereta bergerak dengan kecepatan lambat sehingga mereka tidak serta-merta sampai di sana.
"Kay, kudengar kau begitu populer saat mengikuti debutan kemarin." Lisette membuka percakapan lagi sementara kereta sedikit bergoyang karena melaju di atas tanah yang tidak rata.
Kaytlin menoleh padanya. "Kau tahu sendiri itu adalah rencana Dowager Marchioness, Lissy," sahut Kaytlin malu. Hampir semuanya pernah Kaytlin jelaskan dalam surat, termasuk juga pertunangan pura-pura itu agar tidak membuat Lisette salah sangka.
"Aku tidak tahu Her Lady bisa bertindak sejauh itu. Kupikir beliau begitu serius saat mendampingiku dulu di season. Tidak kusangka Her Lady memiliki sisi jail yang tidak kuketahui." Lisette tertawa. "Apakah benar Her Lady seperti itu padamu, Kay?"
"Yah...Her Lady seperti itu." Kaytlin ikut tertawa. Lisette tidak tahu Dowager Marchioness melakukan semua itu untuk tujuan lain. Sebegitu putus asanya sang lady sehingga ia mati-matian memperjuangkan agar cucunya menikah dengan siapa pun selain Sophie. Seandainya saat ini Dowager Marchioness tahu apa yang terjadi, wanita itu pasti akan memaksa Raphael menikahi Kaytlin. Pun jika Kaytlin menceritakan semua yang terjadi pada Lissy dan Anthony, tidak diragukan lagi mereka akan menuntut adanya pernikahan. Maka dari itu, Kaytlin menutup mulut rapat-rapat pada mereka semua. Sekali ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menikah dengan orang yang tidak mencintainya, maka itu untuk selamanya.
"Aku tidak sabar menantikan musim semi tahun depan saat kau melanjutkan season."
"Melanjutkan season?" ulang Kaytlin linglung.
"Season depan, Kay. Bukankah kau akan mengunjungi Dowager Marchioness di Harrogate dan setelahnya kau akan menetap bersamaku? Lalu kau akan melanjutkan season di London bersamaan debut Georgina."
Kaytlin baru tersadar tentang itu. "Maaf, aku lupa."
"Bagaimana kau bisa lupa pada perencanaan hidupmu?!" Lisette tercengang.
"Aku tidak terlalu berminat lagi melanjutkan season. Mu-mungkin kita bisa berfokus pada debut Georgina." Kaytlin beralih pada Georgina yang duduk di sebelah Lisette dan sejak tadi mendengarkan percakapan mereka dengan penuh minat.
"Apakah ada hal buruk terjadi sehingga kau tidak berminat melanjutkan season?" Tiba-tiba Georgina bertanya.
Kaytlin menatap Georgina dan Lissy bergantian. "Tidak. Tidak ada yang buruk. Aku hanya sedikit jenuh."
"Jenuh?" Lissy mengerutkan alis prihatin.
"Yah..."
"Kupikir karena ada banyak pria bajingan seperti yang dibicarakan oleh governess-ku," lanjut Georgina.
"Tidak." Kaytlin menggeleng. "Hampir sebagian besar gentleman yang kutemui di season sangat baik. Bahkan ada yang dijuluki John si Bajingan, tapi ia tidak sebajingan yang dikatakan orang-orang."
"Bagi Kaytlin, semua orang di dunia ini orang baik," keluh Lisette pada Georgina. "Bahkan yang memanfaatkannya sekalipun."
"Itu artinya ia tidak berpikiran buruk pada orang lain. Bukankah itu tindakan yang terpuji?"
"Lisette benar, Georgina." Kaytlin mencoba tidak terdengar getir. "Tidak semua orang di dunia ini baik. Kau harus berhati-hati."
"Kay?" Lisette tercengang heran kembali.
"Aku tidak ingin menjerumuskan Georgina." Cepat-cepat Kaytlin menjelaskan. "Bagaimanapun, Georgina sudah seperti adik yang harus kita lindungi."
Lisette menghela napas kasar. "Begitulah dirimu. Kau selalu mencemaskan orang lain, tapi tidak pernah berhati-hati dengan dirimu sendiri."
Untung saja kereta kuda sudah memasuki pagar rumah pertanian sehingga Lisette tidak sempat melanjutkan topik itu. Tempat itu ternyata langsung menyatu dengan desa penduduk. Areanya luas dan berbatasan dengan sungai di mana kincir-kincir angin berdiri untuk pengairan. Bangunan barn, lumbung, dan kandang kuda dibangun sangat megah dan lapang. Beberapa pekerjaan dijalankan dengan mesin yang mempermudah tenaga manusia. Anak-anak dari pekerja peternakan berlarian ke sana kemari karena orangtua mereka bekerja sekaligus tinggal di tempat tersebut.
"Anthony biasanya ada di lumbung utama bersama Mr. Smith dan yang lain," tukas Georgina.
"Siapa Mr. Smith?" tanya Kaytlin.
"Akunting yang mengurus segala pembukuan dan keuangan."
"Itulah mengapa kukatakan ia tidak pernah memerah sapi," ucap Lisette.
Georgina tertawa. "Sebenarnya kakakku pernah memerah sapi seperti yang kaubayangkan. Hanya untuk sebatas tahu alur pengerjaannya dan berapa yang dihasilkan dalam sekali produksi."
"Kami benar-benar salah sangka sebelumnya tentang kehidupan Anthony," tukas Kaytlin dengan malu.
"Lisette sudah menceritakan padaku. Setidaknya kalian benar-benar menyukai kakakku sebagaimana ia."
"Lisette takut akan semakin membebaninya, karena ia juga memikirkan keberadaanku."
"Itu tidak mungkin." Georgina mengibaskan sebelah tangan. "Kami bukan keluarga yang kaya raya, tapi kami berkecukupan karena keluarga kami selalu berusaha mengemban tanggung jawab sebagai landlord dan mengatur keuangan dengan baik. Dan laki-laki di keluarga kami juga tidak suka berjudi. Itu berlaku turun temurun."
"Itu sangat mengagumkan. Sebenarnya kalian pantas menjadi panutan semua bangsawan. Ah, maksudku panutan semua orang."
"Jangan katakan kau mengingat Lord Vaughan, Kay." Lissy cekikikan.
"Lord Vaughan?" tanya Georgina.
"Seorang viscount yang gemar berjudi, tapi ia memiliki wajah yang tampan."
"Dan ia juga seorang teman yang baik." Kaytlin mengingat bantuan yang sering diberikannya.
"Di mana kalian bertemu dengannya?"
"Ia teman baik Lord Blackmere bersama Mr. Sommerby. Dua orang itu sering berkunjung ke estat."
"Katamu ia begitu tampan, Lissy. Mengapa kalian tidak tertarik padanya?"
"Ia mencari wanita pewaris kaya," sahut Lissy.
"Seperti terdengar begitu bajingan." Georgina tertawa.
"Yah, ia memang bisa dikategorikan bajingan. Tapi seperti kata Kaytlin, ia sangat baik. Kali ini Kaytlin tidak mengada-ngada."
"Bajingan baik hati?" Georgina mengerutkan alis.
"Yah, bajingan baik hati." Lissy tertawa lagi.
Kereta kuda berhenti di depan sebuah barn kayu yang berpelitur. Pintunya terbuka lebar sehingga menampakkan orang-orang di dalamnya yang bekerja di balik meja. Tempat itu lebih mirip seperti kantor dibanding lumbung.
"My Lady." Salah seorang pria paruh baya berdiri memberikan salam pada mereka.
"Selamat siang, Mr. Smith. Kami mencari kakakku."
"Aye, My Lady."
Hanya sapaan singkat dan Georgina serta Lissy langsung mengajak Kaytlin ke samping lumbung di mana ada teras terbuka. Sepertinya mereka sudah biasa ke sana dan tahu di mana Anthony berada. Kaytlin merasa seperti anak-anak lagi yang berlari lincah ke sana kemari menuju tempat di mana pun yang ia inginkan di Keele.
"Anthony!!" seru Georgina melihat kakaknya sedang menyiapkan makan siang di meja kayu besar yang ada di sana, sementara seorang koki pria memasak di belakang meja bar.
"Kalian sudah ke danau?" tanya Anthony.
"Ya, dan kami lapar. Makanya kami kemari," ucap Georgina blak-blakan yang membuat Kaytlin malu.
"My Lord." Lisette memberi salam. Anthony menoleh dan menatapnya naik turun dengan aneh.
"Ya, Lissy. Apa-apaan ini?" tanggap Anthony seraya menertawakannya.
"Aku berusaha menunjukkan pada kakakku bahwa aku menghormatimu." Lissy melirik mereka bergantian dengan cemberut.
"Ini bukan di London."
"Walaupun begitu, apa kau tidak bisa sedikit bersandiwara?" Lisette mengulurkan kedua tangan. "Biar kubantu membawakan," tawarnya karena di tempat itu tidak ada pelayan.
"Duduk saja," elak Anthony lanjut membawakan piring makanan ke meja. "Lagipula sudah selesai."
"Seharusnya aku melayanimu."
"Duduklah, Lissy," panggil Georgina. "Anthony sudah terbiasa menjadi ibu rumah tangga di sini."
"Seharusnya ini tugasmu, George! Bisamu hanya makan saja." Anthony menarik rambut Georgina yang membuat Kaytlin terbelalak. Georgina mengaduh lalu balas memukul Anthony yang terkekeh.
"Jangan terkejut, Kay. Begitulah mereka," kata Lisette yang akhirnya mengalah dan duduk.
"Kita lupa ada Kaytlin di sini." Anthony tersadar.
"Teruskan saja. Aku suka melihat keakraban kalian." Kaytlin tertawa.
"Untung Kaytlin dan Lissy bisa menerima kebarbaranmu, Anthony." Georgina mendongak pada kakaknya dan tersenyum lebar.
"Sebenarnya sehari-hari Georgina lebih parah dari ini, tapi ia menahan diri karena ada kalian," balas Anthony yang membuatnya mendapat lemparan remah roti dari Georgina.
Kaytlin tertawa lagi dengan bibir terkatup, sementara Lisette menggeleng-geleng sambil menuangkan teh untuk dirinya.
"Kay, kau harus mencoba susu dari peternakan ini." Lisette menuangkan susu tersebut ke cangkir Kaytlin sebelum menambahkan teh dan dua balok gula.
"Ah, kau benar. Kaytlin belum pernah mencobanya," tukas Anthony.
"Terima kasih," ucap Kaytlin sebelum menyesap teh tersebut dan memujinya.
"Tapi Anthony tidak mau menambah produksi susu," lanjut Georgina. "Ia kasihan pada anak sapi."
"Anak sapi?" Kaytlin kebingungan.
"Jika ingin produksi susu yang berlimpah, umumnya orang akan memisahkan induk sapi dari anaknya yang baru lahir agar tidak menyusui sehingga produksi akan maksimal," jelas Anthony.
"Anthony tidak tega melakukan itu."
"Aku bukannya tidak tega, George. Itu ajaran dari almarhum orangtua kita. Mereka seseorang yang menyukai keseimbangan alam. Aku hanya menghormatinya. Lagipula sudah ada pabrik malt."
"Yah, sudah ada pabrik malt. Di sini cuaca sangat dingin, semakin ke utara semakin dingin. Malt akan selalu menjadi komoditas yang baik."
Kaytlin mendengarkan dengan saksama. Kedua bersaudara sudah seperti pebisnis dibanding bangsawan tanpa mereka sadari. Hanya saja mereka masih menjalani sistem sewa tanah yang saling menguntungkan dengan warga setempat sehingga masih dianggap menjalani tata cara kebangsawanan dengan benar. Para warga menyewa tanah untuk menanam gandum, lalu mereka membeli hasil panen warga untuk bahan baku malt.
Pembicaraan itu berlanjut hingga mereka selesai makan dan Georgina mengajak mereka berjalan-jalan melihat-lihat peternakan. Anthony kembali bekerja dan mengatakan akan pulang bersama-sama mereka nanti. Kaytlin menikmati melihat sapi-sapi penghasil susu dan juga menonton Lisette dan Georgina menaiki kuda. Georgina sangat mahir berkuda dan ia mengajarkan pada Lisette yang sudah bisa memacu kuda mengelilingi kandang dengan kecepatan lambat. Padahal dulu Lisette sangat takut kepada hewan-hewan yang lebih besar dari ayam.
"Kay, ayo berkuda!" teriak Lisette pada Kaytlin yang berdiri di tepian pagar.
"Tidak." Kaytlin menggeleng santai. "Kau saja."
"Kau bercanda, bukan?"
"Aku serius, Lissy."
Masih berada di punggung kuda, Lisette mendekatinya. "Jangan katakan kalau kau takut, Kay."
"Kuda-kuda yang kita pakai sangat jinak," dukung Georgina yang ikut mendekat. "Paling pahamu akan sedikit lecet saat pertama menaikinya, tapi itu hal yang sangat wajar dan tidak berbahaya."
"Kurasa untuk saat ini aku tidak bisa."
"Ada apa, Kay?" tanya Lisette.
"Aku...mengalami sakit pinggang saat perjalanan kemari dan belum pulih benar."
Wajah Lisette berubah panik. "Itu seminggu yang lalu! Mengapa kau tidak mengatakannya padaku?! Apakah masih sakit, Kay?!" tanyanya seraya turun dari kuda.
"Tidak, tidak, ini tidak seburuk yang kaubayangkan." Cepat-cepat Kaytlin menjelaskan. "Ini hanya sakit pinggang biasa dan segera pulih."
"Apa kau yakin?" tanya Georgina. "Kita bisa memanggilkan dokter di desa."
"Itu tidak perlu. Aku yakin."
"Paling tidak kita harus meringankannya. Norma sepertinya memiliki beberapa balsam dan minyak. Dulu saat kakiku terkilir, ia memberikanku balsamnya dan cukup ampuh," jelas Georgina menyebut nama salah satu pelayan tua mereka.
"Kurasa itu sudah cukup untuk meringankannya. Aku akan meminta pada Mrs. Norma nanti." Kaytlin menyetujui. Ia menoleh pada Lisette. Adiknya itu terdiam seakan memikirkan sesuatu yang dalam. Kaytin merasa gelisah bahwa apa yang dipikirkan Lisette adalah dirinya, tapi dengan segera kegelisahan itu menghilang karena Lisette juga ikut sepakat.
"Baiklah, tapi katakan padaku jika kau kesakitan lagi, Kay."
***
Malam Natal pun akhirnya tiba. Malton Manor menyambutnya dengan makan malam bersama serta pesta dansa di aula. Bukan pesta besar-besaran karena hanya melibatkan anggota keluarga beserta pelayan yang tidak memiliki rumah di kampung halaman sehingga memilih mengikuti perayaan itu di sana. Lilin-lilin di pohon Natal dinyalakan. Anthony menyewa pemain musik dari desa untuk memeriahkan suasana. Makanan-makanan serta kue-kue dihidangkan secara prasmanan di meja aula, limun disediakan dalam bejana kaca. Dan untuk yang ingin meminum sesuatu yang lebih keras, malt serta whisky disediakan di ruang terpisah agar tidak terminum oleh anak-anak.
Kaytlin sedang duduk santai di sofa bersama Georgina. Ia mengambil limun dan menonton para pelayan di sisi lain aula yang sedang berdansa Quadrille. Thomas, Emma, dan Lucy seperti biasa berlari ke sana kemari dan sesekali mengikuti orang-orang yang berdansa. Para pelayan sepertinya sangat menyayangi Emma sehingga mereka menggendongnya bergantian dengan gemas. Lisette berdiri di dekat perapian, membicarakan sesuatu pada Anthony dengan wajah merona. Melihat itu, Emma turun dari gendongan pelayan dan berlari ke kaki Anthony meminta digendong.
"Kaytlin, kita belum membaca Times hari ini!" seru Lucy riang sambil mengibas-ngibaskan koran di tangannya ke udara. "Kita akan membacanya, bukan?"
"Luce!! Ini malam Natal! Tidak ada orang yang membaca Times di perayaan Natal," keluh Georgina.
"Tapi Kaytlin sudah berjanji membaca Times setiap hari bersamaku!"
"Ada apa?" Lisette mendekat dan duduk di sebelah kanan Kaytlin.
"Bukan masalah, Lis." Kaytlin tidak ingin mengecewakan Lucy sehingga ia segera menerima koran itu. "Kalau begitu kita adalah orang pertama yang membaca Times saat malam Natal?"
Lucy kembali gembira dan bersandar pada lengan Kaytlin agar bisa membaca bersama-sama.
"Memangnya Times tidak libur hari ini?" Lisette ikut mencondongkan tubuh menyimaknya.
"Entahlah apa mereka akan mendapat libur Natal."
"Apa ada berita untuk menjadi perdana menteri, Kaytlin?" tanya Lucy.
Kepolosan Lucy masih juga membuat Kaytlin terhibur, tapi seperti biasa ia menanggapi dengan serius. "Ini salah satunya, berita keputusan undang-undang baru dari House of Common dan House of Lords."
Lucy segera membacanya.
"Sungguh berita yang tidak menarik, Kay," bisik Lisette yang hanya terdengar mereka. "Bisa-bisanya Lucy menyukainya."
Kaytlin tertawa pelan. "Ia memiliki kesukaan di bidang politik, Lissy. Tidak seperti kita yang menyukai roman picisan."
"Well, setidaknya ia memiliki tujuan hidup. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan selain menjadi ibu rumah tangga."
"Ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang mulia dan tidak ternilai."
"Bahkan menjadi ibu rumah tangga pun aku payah. Kau tahu sendiri aku tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga."
"Kalau begitu, kau bisa membantu Anthony memerah sapi," canda Kaytlin yang membuat mereka berdua tertawa.
"Apa tidak ada berita tentang Selene di sini? Aku merindukannya." Lissy ikut membuka-buka koran tersebut setelah Lucy selesai.
"Ini Times, bukan koran gosip." Kaytlin menyesap limunnya yang belum sempat ia minum karena interupsi Lucy.
"Benarkah tidak ada berita tentang para ton?"
"Kadang-kadang ada, tapi berita-berita formal seperti pertunanganmu dulu."
"Ah, kau benar. Aku ingat mengatakan pada Her Lady tidak usah mengumumkannya karena aku malu, tapi ia bersikeras karena katanya sudah menjadi tradisi__Kay!!" Tiba-tiba Lisette terkesiap dan menatap koran dengan terbelalak. "Kau sudah membaca ini?! Duke of Schomberg meninggal!"
Kaytlin terdiam gamang selama beberapa detik. "Apa...?"
"Kau ingat Duchess of Schomberg, bukan?!"
Tentu saja Kaytlin mengingatnya dengan jelas.
"Apa kau juga ingat Missy..." Lisette merendahkan suara karena tersadar mereka sedang bergosip. "Kau ingat Missy pernah mengatakan pada kita kalau Duchess of Schomberg memiliki kekasih gelap? Seandainya itu benar, kemungkinan besar kita akan segera tahu. Mungkin setahun lagi, karena ia harus berkabung...tunggu, sekarang apakah kita masih harus berkabung setahun? Mengingat kita juga dulu sudah memasuki season padahal belum setahun sejak kematian Mama."
"A-aku tidak tahu." Kaytlin menyahut gugup karena tidak bisa berkonsentrasi. Ia menaruh limunnya di meja dengan linglung dan mengalihkan pandangan ke depan perapian di mana ada pohon Natal di sana. Tubuhnya terasa menggigil, padahal tidak kedinginan.
Jadi...Duke of Schomberg akhirnya meninggal...
"Kay.....Kay!! Apa kau mendengarkanku?!" Suara Lissy yang meninggi membuat Kaytlin tersadar dari lamunan. Ia tidak mendengar ocehan Lisette setelahnya.
"Kurasa jika benar begitu, Her Grace akan segera mendapatkan apa yang ia inginkan. Bukankah ia dipaksa menikah oleh keluarganya?" tanggap Kaytlin.
"Yah, kurasa juga begitu." Lisette menaruh koran di meja lalu menaikkan kaki dan memeluk lututnya sebelum meletakkan bibirnya yang cemberut di sana. "Tapi entahlah, aku hanya tidak suka padanya. Mungkin ini hanya rasa dengki."
Lisette memang selalu memiliki kewaspadaan yang baik menyangkut orang lain, tidak seperti Kaytlin. "Aku juga...tidak suka padanya."
"Benarkah? Kupikir kau tidak pernah memiliki pikiran buruk."
Kaytlin tertawa getir. "Aku manusia, Lissy, bukan malaikat."
"Hadiah!! Hadiah!!" sorak Georgina membuyarkan keadaan. Thomas dan Emma ikut bersorak dan melompat-lompat mendengar itu. "Mari kita membuka hadiah!!"
Lisette menegakkan punggung dan menurunkan kaki. "Ayo, Kay, kita akan membuka hadiah."
Semua berkumpul ke bawah meja pohon Natal di mana beberapa kotak kado sudah terbungkus di sana dengan nama masing-masing. Georgina dan Lissy yang menyiapkannya jauh-jauh hari. Thomas yang lebih dulu membuka kadonya mendapatkan building brick dari kayu, sedangkan Emma mendapatkan boneka lilin. Lucy sangat senang mendapatkan buku album perangko, lengkap dengan perangko bergambar Ratu Victoria.
Anthony kebingungan saat membuka hadiahnya yang berupa kaos kaki yang berisikan manisan, jeruk tangerine, dan kue kering. Itu adalah hadiah yang biasa diberikan untuk anak-anak kurang mampu yang tidak mendapat hadiah Natal dari orangtua. Georgina beralasan ia tidak tahu harus memberikan apa sehingga ia menyisihkan satu dari bagian paket sumbangan mereka pada gereja tahun ini. Tahu dirinya dikerjai, Anthony tidak marah dan berterimakasih pada hadiah yang sangat menghibur tersebut.
Meski pikirannya terpecah, Kaytlin berusaha merasakan kegembiraan itu. Seharusnya memang apa pun yang terjadi, entah Duke of Schomberg meninggal atau tidak, tidak ada pengaruh bagi Kaytlin. Ia yang meninggalkan Raphael dan sudah tahu kisah ini akan berakhir seperti apa.
Ia sudah tahu. Sudah tahu.
"Kaytlin, kami juga sudah menyiapkan kado untukmu!"
Kaytlin terkejut bagai dibangunkan dari mimpi saat Georgina memberikan sebuah kado terbungkus pita merah di tangannya. Ia menatap kado tersebut lalu mengangkat wajah mendapati semua orang menatapnya antusias.
Kembali ia menunduk menatap kado itu. "Ini untukku?"
"Ya, aku menyiapkannya karena tahu kau akan kemari," tukas Lissy. "Bukalah, Kay."
Tangan Kaytlin bergerak menarik simpul pita perlahan-lahan. Ia membuka tutupnya. Di dalamnya terdapat majalah Ladies Magazine edisi spesial akhir tahun serta peralatan menjahit dalam kotak eksklusif.
"Aku tidak tahu harus memberimu apa, karena kau sudah memiliki cukup banyak pakaian. Lalu aku teringat cita-citamu. Dan akhirnya aku memilihkan ini. Kuharap kau menyukainya, Kay."
Kaytlin mengambil majalah Ladies Magazine tersebut dan mengamati gambar sampulnya yang berupa ilustrasi berwarna seorang lady dengan gaun malam Natal dan kotak hadiah di tangan.
Cita-cita.
Ia hampir lupa bahwa ia memilikinya. Ia pernah berjalan penuh semangat pada hari hujan di Keele hanya untuk pergi ke rumah Mary Ann karena tak sabar membaca Ladies Magazine terbaru. Semangat itu sepertinya menghilang akhir-akhir ini, ikut terkubur bersama hatinya malam itu.
Sesuatu yang basah mengalir dari pelupuk matanya dan jatuh di atas hadiahnya.
"Kaytlin?" Georgina yang melihatnya pertama kali.
Kaytlin segera mengangkat wajah dan menghapus airmata yang datang tak terduga itu. Ia...menangis?
"A-aku sangat terharu."
Georgina tertawa dan memeluknya akrab. "Oh, Kaytlin, semua mendapat hadiah. Tidak perlu seterkejut itu."
"Aku hanya tidak menyangka, Gina." Cepat-cepat ia tersenyum lalu menatap Lisette yang ternyata diam tak berkedip melihatnya. "Terima kasih, Lissy...Aku sangat menyukainya."
Tanpa melepaskan senyumnya, Kaytlin berdiri dari karpet membawa hadiahnya hingga sampai ke depan meja makanan. Di sana ia berdiri diam membelakangi semua orang yang untunglah mulai terdengar riuh kembali karena sekarang giliran pembagian kado Natal untuk para pelayan sehingga perhatian mereka tidak akan tertuju padanya yang masih berusaha menghentikan tangis.
Ya...ia menangis. Betapa pun Kaytlin mencoba menghapusnya, airmata itu terus menyeruak tanpa bisa ia hentikan. Saat itulah Kaytlin menyadari ia sudah tidak mampu mengendalikan dirinya lagi. Tubuh dan pikirannya sudah lelah untuk terus bertindak berlawanan dengan kata hati. Mereka memberontak dan meronta, menyuruh Kaytlin untuk berhenti menyiksa diri. Ini adalah akibat yang harus ia tanggung setelah memendam semua kesakitan itu dalam dasar pikirannya yang terdalam. Jauh dalam dirinya, ia tahu ia merasa sakit, tapi ia meyakinkan diri sebaliknya. Selama ini ia sudah berusaha membohongi dirinya bahwa ia baik-baik saja, tetapi kenyataannya tidak. Ia tidak baik-baik saja.
"Kay..." Sebuah suara memanggilnya.
Dari balik bahunya Kaytlin menoleh, dan mendapati Lissy dan Anthony berdiri menatapnya khawatir.
Baru saja ia mencoba tersenyum, Lissy tiba-tiba maju menggamit lengannya dan menariknya ke luar aula membuat Kaytlin terkejut.
"Lissy, Lis__"
Tapi Lisette terus mengajaknya berlari hingga berhenti di ruang depan di mana tidak ada orang di sana kecuali mereka. Ia berbalik hanya untuk memeluk Kaytlin. Tangisnya pecah dalam kegelapan.
"Lissy..." Dengan gemetar Kaytlin memeluk punggung adiknya untuk menenangkan.
"Selama ini aku hanya menahan untuk tidak membicarakannya denganmu! Tapi aku tahu ada yang salah. Sejak hari pertama kau datang, kau berubah, Kay! Kau begitu pendiam. Seperti bukan kakakku yang selama ini kukenal."
"A-aku..." Kaytlin tidak tahu harus menjawab apa. Ia tidak ingin membuat Lisette menangis, tapi ia juga tidak tahu bagaimana meredakan airmatanya sendiri.
"Kau tidak pernah takut mencoba apa pun, tapi kau kini penakut. Kau juga tidak pernah bisa diam dan selalu berlari-lari, tapi kini aku sering melihatmu termenung sendirian. Aku bertanya-tanya apa yang membuat kakakku seperti ini, tapi aku masih berusaha berpikir positif bahwa kau baru menyesuaikan diri dengan tempatmu yang baru. Lalu hari ini...hari ini kau menangis, Kay...Kau hanya menangis saat Papa dan Mama meninggal, tapi tidak pernah...tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa membuatmu menangis," isak Lissy. "Jadi apa yang membuatmu sedih, Kay? Ceritakanlah. Aku ada di sini untukmu."
"Aku tidak bersedih, Lissy..."
"Tidak, Kay. Aku tahu kau sedang bersedih. Kau pernah mengatakannya sendiri padaku. Saat itu, kita berpelukan seperti ini. Saat itu juga Desember dan salju turun persis seperti saat ini. Aku mengingatnya dengan jelas, Kay. Apa kau tidak mengingatnya?"
Kaytlin mengingatnya.
Saat itu salju turun. Saat itu mereka memang berpelukan. Saat itu adalah bulan Desember. Dan saat itu Lissy menangis mengetahui pertunangan Peter dan Molly.
"Lis?! Mengapa kau menangis?" Kaytlin bertanya dengan khawatir.
"Aku tahu kau sedih!" rengek Lisette."Seharusnya Peter bersamamu, Kay, bukan Molly. Selama ini kupikir ia menyukaimu!"
"Aku yang seharusnya bersedih, bukan dirimu." Kay tertawa dan memeluk adiknya.
"Makanya menangislah kalau kau memang bersedih, Kay."
Saat itu Kay memang tidak menangis. Karena ia...tidak bersedih. Sama sekali tidak.
Lalu Kaytlin mengucapkannya.
"Mungkin suatu saat nanti aku akan menangis. Saat aku benar-benar sedih. Kau akan tahu itu, Lis."
***
My Lord,
Kaytlin menuliskan kata pembuka suratnya dengan berat. Malam itu ia masih terjaga, meski sudah berusaha untuk tidur. Sebenarnya di malam-malam sebelumnya pun sama saja. Kaytlin sering terjaga. Bedanya hanyalah sekarang Kaytlin sudah bisa menerima keadaan dirinya, hingga merasa sudah siap untuk menuliskan surat yang telah ia janjikan.
Banyak yang ingin kuceritakan. Tentang padang rumput, sungai, dan juga danau es tempatku dan Lissy berskating. Juga begitu banyak hewan ternak yang dibiarkan bebas di padang rumput terbuka setiap aku melewati perbukitan. Di hari ketiga, salju tidak turun sehingga Lissy dan Anthony mengajakku berwisata ke Hadrian's Wall dan Carlisle Castle yang berada di perbatasan Skotlandia. Aku baru tahu bahwa banyak situs bersejarah di sini.
Georgina mengajari Lissy berkuda. Begitu banyak kuda di sini yang membuatku teringat pada Daisy. Aku harap ia diberi makan dengan baik.Tapi tentu saja aku yakin ia diberi makan dengan baik mengingat Anda menyayangi Tommy.
Aku meninggalkan bukuku karena terlalu berat untuk kubawa, tapi Georgina memiliki koleksi buku bacaan yang mungkin tak akan habis kubaca seumur hidup. Anda benar, Romeo berusia enam belas tahun dan Juliet tiga belas. Lissy juga menghias ceruk untuk tempat membaca karena ia tahu aku suka duduk di atas ceruk-ceruk saat di Blackmere Park. Ia pun membuat pohon Natal tahun ini begitu aku bercerita bahwa di sana membuat pohon Natal. Sepertinya ia berusaha membuat semua yang kuinginkan ada di sini.
Tapi aku juga tidak melupakan ceruk-ceruk suram di Blackmere Park, pohon Natal yang dibuat Mr. Basset, serta Vauxhall Garden yang hampir bangkrut. Semua itu adalah hal paling indah yang pernah...
Pena di tangan Kaytlin terhenti karena airmatanya jatuh di kertas surat itu dan membuat tintanya luntur ke mana-mana. Kaytlin memang pernah menyiapkan diri untuk menghadapi penolakan itu, tapi saat benar-benar mengalaminya, setelah apa yang mereka lakukan bersama, rasa sakit yang dialaminya hampir tak tertahankan. Dadanya terasa sesak dan gumpalan asin memenuhi tenggorokannya.
Rasanya Kaytlin tidak sanggup melanjutkan, tapi ia harus melakukannya. Ia harus mengirim surat itu ke Blackmere Park. Untuk menunjukkan padanya bahwa ia bahagia, bahwa semua semua rasa sakit ini tidak berarti apa-apa.
***
Blackmere Park, dua hari kemudian...
"Koran dan surat-surat, My Lord."
Winston meletakkan nampan di meja kerja Raphael pagi itu.
Situasi yang terjadi hari ini tidak berbeda dengan apa yang terjadi setiap tahun selama musim dingin. Blackmere Park begitu sunyi, seakan tidak ada kehidupan. Pelayan di dapur pun berbicara dengan lebih hati-hati karena segala suara di rumah ini terkesan menggema. Tapi mereka pun lebih banyak diam kali ini karena tidak ada yang perlu dijadikan bahan pembicaraan. Situasi kota dan London juga tidak banyak kegiatan sehingga tidak banyak berita. Keuntungannya hanyalah mereka tidak perlu banyak bekerja. Kecuali Gilles, yang semakin banyak membelah kayu bakar.
Winston Basset melakukan tugasnya seperti biasa tanpa banyak pertanyaan. Ia tidak berniat memulai pembicaraan apa pun dengan Marquess of Blackmere. Mereka berdua sama-sama setara dalam bidang itu. Mungkin Winston masih sempat berbicara dengan pelayan untuk memberikan perintah, berbeda dengan sang lord yang tahan tidak mengucapkan sepatah kata pun berhari-hari. Hal itu juga sudah menjadi pemandangan yang lumrah setiap musim dingin. Tidak ada yang berubah.
Raphael mengambil surat-surat terlebih dulu. Sepertinya tidak ada surat yang penting sehingga ia mengoper urutan surat ke belakang tanpa membukanya.
Hingga sampai pada satu surat yang bertuliskan Carlisle tanpa segel lilin Earl of Malton. Ia memilihnya, dan meletakkan kembali surat-surat lain di nampan. Dengan menggunakan pisau, ia membuka amplop surat tersebut dan mengeluarkan isinya untuk ia baca.
My Lord,
Banyak yang ingin kuceritakan.
Tapi terlalu banyak, hingga tidak sempat kutuliskan semua. Yang jelas tidak ada masalah dan aku bahagia bisa berkumpul dengan Lisette.
Ps : Tidak ada anak.
Kaytlin.
***
The Happiest Girl - Blackpink
Hatiku hanya menginginkan dirimu
Ketika kau mengatakan 'tidak'
Tapi malam ini aku akan menjadi gadis paling bahagia di dunia
Kau akan melihatnya seolah itu tak menjadi masalah
Aku bisa menghentikan air mataku jika aku menginginkannya
Tapi malam ini aku akan menjadi gadis paling bahagia di dunia
Kau akan melihatnya seakan itu tak pernah terjadi
***
Bersambung part 39
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top