Part 37 - Something About Carlisle
UPDATE!!
Jangan lupa menekan bintang
Jangan lupa komen
Sedikit pencerahan tentang tokoh2 yang muncul di sini. Anthony memiliki 4 orang adik dengan urutan sbb : Georgina, Lucy, Thomas, dan Emma
Georgina sudah usia debutan, Lucy kira2 msh SMP, Thomas msh bocil, Emma msh balita.
Happy reading...
***
Saat kereta memasuki gerbang, Kaytlin terkejut karena berpikir bahwa mereka memasuki estat atau rumah yang salah. Bangunan yang ada di depan sana tidak begitu besar, dengan dua lantai, tapi sangat indah dan terawat baik.
Dan sangat jauh dari perkiraan.
"Apa ini benar Malton Manor?" tanya Kaytlin pada pelayan pria dari Blackmere Park yang membukakannya pintu dan membantunya turun saat kereta sudah terhenti.
"Ya, Miss, di sinilah Malton Manor, rumah adik Anda sekarang," jawab si pelayan. "Aku akan mengabarkan pada mereka sekaligus membawa barang Anda. Tunggulah di sini, Miss."
Kaytlin mengangguk.
Sembari menunggu, Kaytlin mendongak lagi untuk mengamati rumah tersebut. Pintu utamanya berada di tengah, tanpa pilar ataupun teras. Terdapat jendela di kanan kiri pintu utama. Dan di lantai dua jendela-jendela itu pun sama, namun menjorok ke luar dan membuat Kaytlin berpikir apakah ada ceruk di sana.
Terlalu dini untuk menebak hal itu. Pertama-tama, ia harus memastikan lebih dulu ini rumah yang benar atau tidak.
"Kay!!" Sebuah teriakan membuat perhatian Kaytlin kembali ke pintu.
Lisette berlari dari dalam rumah disusul Thomas dan Lucy. Di belakang mereka, Georgina mengejar Emma sebelum menggandengnya untuk berjalan bersama. Berarti ia sudah berada di rumah yang benar. Benarkah? Ini rumah keluarga Weston?
Tapi Kaytlin tidak sempat kebingungan karena perasaan bahagia yang meluap-luap lebih mendominasi. Ia melangkah mendekat pada Lisette yang segera memeluknya dengan keras.
"Aku hampir tidak percaya saat mereka mengatakan kau sudah ada di depan! Mengapa kau tidak menyuratiku sebelum berangkat?!" cecar Lisette dengan mata bersinar marah, berkaca-kaca penuh haru, dan bahagia dalam waktu bersamaan. Meski sudah menikah, Lisette masih sama seperti dulu. Ia tidak menyanggul rambut panjang pirangnya dan hanya mengulatnya di kanan kiri bahu seperti saat mereka masih di Keele.
"Aku langsung berangkat saat cuaca masih cukup baik meski turun salju. Kupikir tidak baik jika aku menunda lagi."
"Apa kita pernah bertemu?" tanya Thomas yang berhasil menyusul Lissy paling awal.
"Tentu saja kita pernah bertemu dengannya, Thomas," gerutu Lucy yang menyusul di urutan kedua. "Dia Miss Kaytlin, kakak Lissy. Dan jangan bertanya apa dia mencintai Anthony seperti yang selalu kautanyakan pada setiap wanita."
"Karena itu tidak sopan?"
"Karena Anthony sudah menikah."
Thomas mengangguk-angguk bingung.
"Hai, Lucy," sapa Kaytlin seraya membungkukkan tubuh agar sejajar kepala mereka. "Dan Thomas."
"Senang bertemu denganmu lagi, Kaytlin." Lucy membuat gerakan menekuk kaki selayaknya seorang lady yang anggun.
"Selamat datang, Kaytlin." Georgina yang baru menyusul juga ikut memberikan salam. Mereka semua sudah terbiasa memanggil Kaytlin tanpa embel-embel Miss semenjak Kaytlin menginap seminggu di Mayfair dulu.
"Miss, kurasa aku sudah bisa meninggalkan Anda." Pelayan pria yang kembali dari rumah menghampiri Kaytlin kembali untuk pamit. "Barang-barang Anda sudah kuserahkan pada pelayan di dalam."
"Terima kasih," ucap Kaytlin seperti kebiasaannya, yang membuat pelayan itu menyeringai kikuk. "Dan maaf aku telah menunda waktu makan Anda," imbuhnya.
"Jangan dipikirkan, Miss," sahut pelayan itu terdengar tulus. "Jaga diri Anda."
Lalu pelayan itu kembali menuju kereta kuda yang menunggu dan memanjat duduk di sebelah kusir. Kaytlin memandanginya penuh sopan santun seperti melepas seseorang yang bertamu, sementara Lisette mengawasi dengan kebingungan.
"Kau memakai kereta kuda sewaan?!" Lisette yang baru menyadari, tercekat setelah kereta itu pergi.
"Ya, aku ke Carlisle menggunakan kereta api dari Birmingham."
"Sendirian?"
"Tentu saja tidak. Aku ditemani beberapa pelayan," tutur Kaytlin sedikit berdusta.
"Gretchen?"
"Tidak, Gretchen tidak ikut."
"Mengapa mereka tidak masuk lebih dulu untuk makan atau sekadar minum teh?" tanya Lisette. "Mereka pasti lelah menempuh perjalanan jauh."
"Mereka harus mengejar jadwal kereta api untuk kembali ke Blackmere Park." Kaytlin beralasan.
"Sayang sekali," ungkap Lisette prihatin. "Baiklah, yang terpenting kau sudah selamat sampai di sini. Ayo masuk, akan kuantar kau beristirahat."
Kaytlin mengikuti Lissy.
Dan tidak menoleh ke belakang lagi.
***
"Kau terkejut, bukan? Aku pun terkejut saat pertama kali sampai di sini dan mengetahui bahwa ini rumah keluarga Anthony," jelas Lisette saat melihat Kaytlin masih kebingungan tak percaya memasuki manor.
Rumah Anthony jauh dari kata reyot yang selalu Kaytlin dan Lissy pikirkan dulu. Bergaya Regency yang didominasi oleh warna putih, bangunannya berbentuk memanjang dengan langit-langit yang dibuat lebih rendah dibanding manor bangsawan pada umumnya. Gorden serta karpetnya berwarna abu-abu muda hampir di setiap ruangan.
"Bagaimana pendapatmu, Kaytlin?" Georgina ikut bertanya dengan antusias.
"Kau memiliki manor yang sangat indah. Seperti berada di dunia khayalan, tapi ini nyata."
"Aku yang mendekorasinya dengan acuan rumah bonekaku," cetus Georgina bangga.
"Benarkah?" Kaytlin menoleh tercengang.
"Benar. Georgina sangat berbakat dalam mengatur interior ruangan," puji Lisette. "Ini berbeda dari dekorasi manor pada umumnya tetapi ini sangat segar dan unik. Aku pun sangat mengaguminya."
"Anthony membiarkanku melakukan apa pun pada manor ini. Untunglah, manor ini tidak terlalu besar karena salah satu leluhur pendahulu kami memiliki ketakutan pada tempat yang megah dan besar, entah kenapa. Tapi fasilitas manor ini cukup lengkap, dan oh...Kay belum melihat aula dansa!" Georgina beralih pada Lissy.
Lissy pun mengangguk-angguk cepat. "Kami memiliki kejutan untukmu, Kay. Ayo!"
"Ke aula!! Ke aula!!" Thomas dan Emma berlari lebih dulu diikuti Lucy yang berteriak menyuruh mereka tenang.
Mereka menuju aula yang sekaligus berfungsi sebagai ruang keluarga. Setiap manor bangsawan pada umumnya memang memiliki aula di bagian depan sebagai tempat untuk menjamu tamu jika mengadakan pesta dansa. Aula di manor ini tidak terlalu besar dengan kapasitas puluhan hingga seratus tamu. Lagi-lagi, langit-langitnya tidak terlalu tinggi dengan chandelier yang tergantung di tengah-tengah. Perhatian Kaytlin tertuju pada sebuah pohon Natal yang berada di atas meja. Apakah itu kejutan yang dimaksud Lissy?
"Saat Anthony dan aku membaca suratmu, seketika kami sama-sama memiliki ide bahwa kami juga harus mengikuti tren membuat pohon Natal, apalagi kau akan datang sebentar lagi. Dengan ini kau tidak akan merasa sayang telah meninggalkan Blackmere Park karena di sini pun kau menemukan pohon Natal." Lisette menjelaskan dengan antusias.
Sejenak Kaytlin menatap pohon Natal itu tanpa bisa berkata-kata. Pohon itu bahkan lebih ramai dan meriah dibanding yang ada di Blackmere Park, lengkap dengan hiasan bola kaca berwarna-warni, pita-pita merah dan emas, lilin-lilin yang belum dinyalakan, serta patung malaikat di puncaknya. Ditambah lagi dengan beberapa mainan kayu, dan ornamen bergambar dari kertas.
"Aku tidak menyangka." Kaytlin menoleh haru. "Terima kasih telah memikirkan sejauh ini, Lissy."
"Kita akan merayakan akhir tahun ini dengan meriah!"
"Meriah! Meriah!" Lagi-lagi Thomas dan Emma kecil membeo ucapan Lissy sambil melompat-lompat.
Kaytlin tersenyum, lalu melihat sekeliling. "Di mana Anthony?"
"Setiap siang ia berada di rumah pertanian. Seandainya ia tahu kau akan kemari hari ini ia pasti tidak akan pergi ke sana," terang Lisette. "Tenang saja, beberapa jam lagi ia akan pulang."
Pelayan datang membawa teh dan kue. Mereka duduk bersama di sofa. Lisette bercerita tentang bagaimana saat ia pertama kali tiba di sini dan bahwa Georgina membantunya untuk beradaptasi sehingga mereka berdua menjadi akrab. Lalu tentang Emma yang sudah tidak terlalu memusuhinya, tentang Thomas dan Lucy yang selalu bertengkar di mana pun mereka berada. Juga tentang sungai, danau, perbukitan, serta betapa mereka begitu dekat jika ingin menuju Skotlandia.
"Kay, apa kau yakin tidak ingin makan? Meski jam makan siang sudah lewat, aku tinggal meminta koki untuk menyiapkan hidangan sederhana untukmu."
"Tidak. Aku belum merasa lapar." Kaytlin menolak tawaran Lisette untuk kedua kali.
"Apakah kau serius, Kay? Kau baru saja menempuh perjalanan jauh. Biasanya di hari-hari biasa saja kau selalu makan begitu banyak."
"Jangan membuka aibku pada Georgina."
"Aib? Memang seberapa banyak porsi makan Kaytlin?" tanya Georgina.
"Kadang-kadang aku merasa sangat lapar."
"Ia menambah hingga tiga kali. Bahkan hingga pernah muntah karena ia tidak mengerti takaran perutnya sendiri."
Kaytlin hanya menanggapi dengan tertawa lagi. Sampai kini Lisette tidak tahu alasan Kaytlin melakukannya. Dan sebenarnya ia tidak ingin mengingat kekonyolannya itu, tapi ia mengatakan ada dirinya bahwa itu tidak apa-apa karena itu hanyalah masa lalu yang sudah berakhir.
***
"Semua kamar tidur ada di lantai dua. Georgina tidur bersama Lucy di kamar tengah, sedangkan Thomas dan Emma tidur bersama Mrs. Bridget. Mrs. Bridget adalah pengasuh Emma, kau sudah bertemu dengannya tadi, bukan? Mrs. Bridget, ini Kaytlin kakakku. Kaytlin, ini Mrs. Bridget," tukas Lisette cepat saat memperkenalkan pada Kaytlin. Kaytlin menoleh pada wanita paruh baya bertubuh gempal itu dan tersenyum.
"Senang bertemu Anda, Mrs. Bridget." Entah berapa kali ia harus mengucapkan salam karena rumah itu begitu ramai.
"Senang bertemu Anda juga, Miss Kaytlin. Jika ada masalah dengan anak-anak, Anda bisa memanggilku."
"Oh, Mrs. Bridget, Kaytlin tidak pernah memiliki masalah dengan anak-anak, tidak sepertiku," canda Lisette yang membuat mereka bertiga tertawa.
Lissy lanjut mengoceh saat menaiki tangga diikuti Kaytlin, semua anak-anak Weston, serta Mrs. Bridget. "Mereka memiliki governess, tapi ia lebih suka pulang dan pergi karena rumahnya dekat dari sini. Nah, Anthony tidur di kamar paling ujung yang berada di sana." Lisette menunjuk ujung koridor. "Dan di sebelahnya adalah kamar kita."
Lissy membuka pintu dan memperlihatkan sebuah kamar yang bernuansa putih. Tempat tidur bertudung renda berada di tengah. Perabotannya lengkap dan cenderung berwarna putih atau pastel sehingga tidak sedikit pun ada kesan suram di sana. Namun, terdapat pintu penghubung di tengah dinding di sebelah kiri yang membuat Kaytlin tercenung.
"Tapi ini kamar countess," tukas Kaytlin was-was.
"Ya, aku tahu. Aku menikah dengan Anthony." Lisette mengangguk-angguk. "Ada apa, Kay?"
"Tidak, aku hanya merasa canggung."
"Jangan dipikirkan. Lihat, mereka saja tidak pernah memikirkan apa pun jika sudah memasuki kamar ini." Lisette mengedikkan dagu pada Emma, Thomas, dan Lucy yang bermain di tempat tidur. Lucy dengan tenang tidur-tiduran di sana sementara Georgina dan Mrs. Bridget berusaha menenangkan Emma dan Thomas yang melompat-lompat.
"Mereka sudah terbiasa seperti itu."
Kaytlin tertawa kecil. "Kelihatannya kau sudah mulai menyukai anak-anak."
"Tentu saja aku harus menyukai anak-anak yang ini. Mereka adik-adik Anthony," gerutu Lissy.
Kaytlin terdiam mengawasi anak-anak itu lagi dengan senyum lembut.
"Kay, apa kau keberatan tidur di sini?" tanya Lisette tiba-tiba, yang di mana ia mungkin menyadari kegelisahan Kaytlin.
"Aku tidak keberatan tidur di mana pun, tapi aku sedikit merasa bahwa ini tidak pantas."
"Jangan khawatir. Anthony tidak pernah memasuki kamar ini meski ada pintu penghubung. Pintu itu terkunci. Aku jamin kau tidak akan mendapati diri berada dalam suasana yang memalukan." Lisette terkikik. Lalu karena Kaytlin hanya tersenyum hambar, wajah Lisette berubah cemas. "Kay...tidak akan ada yang berubah bahkan setelah kau ataupun aku menikah. Kau sendiri yang sering mengatakannya dulu. Dan aku juga tidak ingin ada yang berubah."
Itu memang pemikiran Kaytlin, tapi sekarang entah kenapa ada perasaan sungkan telah berada di antara Anthony dan Lissy. Mungkin jika hanya datang untuk berlibur, Kaytlin tidak akan keberatan tidur di sana karena hanya sementara. Masalahnya ia akan tinggal di sini untuk seterusnya. Ia akan lebih senang jika Lisette memberinya kamar pelayan, tapi tentu saja Lisette tidak akan menerima ide tersebut. "Apa Anthony tahu tentang pengaturan ini?"
"Aku sudah pernah membicarakan padanya dan dia tidak keberatan kau tidur di sini denganku. Kau juga sudah tahu bagaimana Anthony, bukan?"
Melihat wajah Lisette yang begitu berharap, Kaytlin tidak sampai hati merusak kegembiraan itu. "Baiklah kalau begitu." Ia mengangguk. Pelan-pelan ia akan membicarakan ulang hal ini dengan Lisette nanti.
"Bahkan Anthony menyiapkanmu meja begitu aku bercerita bahwa kau suka menulis." Dengan riang, Lisette mengajaknya ke sudut ruangan dekat jendela terujung di mana terdapat sebuah meja estetik berwarna putih dengan cermin duduk bulat besar berbingkai emas di atasnya. "Ini biasa kugunakan sebagai meja rias karena kau belum datang. Kau bisa menulis dan menggambar kesukaanmu di meja ini. Tapi jika kau merasa tidak cocok, aku akan mengusahakan meja lain."
"Tidak, tidak. Ini lebih dari cukup, Lissy."
"Syukurlah kalau begitu. Dan Kay, aku juga ingin menunjukkanmu ini."
Belum sempat Kaytlin mengomentari meja itu lagi, Lissy menariknya menuju jendela. Jendela itu berbentuk ceruk yang dilengkapi dengan bantalan empuk menyerupai sofa. Di sisi kanan kirinya terdapat rak berwarna putih berisi berbagai macam buku. Kaytlin tidak melihatnya tadi karena terfokus pada kamar countess. Begitu menyadarinya, ceruk baca itu membuatnya terkagum-kagum. Belum pernah ia melihat ceruk seperti itu seumur hidupnya.
"Georgina yang merancangnya kemarin karena permintaanku untukmu. Ia melihat contoh di sebuah buku cerita bergambar. Lalu, ini adalah buku-buku milik Georgina. Ia dengan senang hati berbagi padaku mengetahui aku suka membaca roman picisan." Lisette menjelaskan.
Jemari Kaytlin menyentuh deretan buku tersebut dan terhenti pada Northanger Abbey.
"Kau ingin membaca Austen yang itu?"
"Aku sudah membacanya."
"Benarkah?" Lisette mengerutkan alis.
"Catherine Morland, si pemimpi." Sama seperti dirinya.
"Oh ya, si pemimpi." Lisette memutar bola mata. "Kau sudah membacanya. Aku pasti lupa. Jangan-jangan kau sudah membaca semua novelnya dan aku tidak tahu."
"Tidak. Banyak yang belum kubaca."
"Georgina memiliki semua seri dari setiap penulis. Koleksi novelnya sangat banyak. Di kamarnya lebih banyak novel lagi, apalagi di perpustakaan."
Melihat Lissy begitu bersemangat, Kaytlin tersenyum. "Kau sangat beruntung menemukan anggota keluarga yang sejalan denganmu."
"Benar, aku sangat beruntung." Lisette menyetujui seraya menatap ke luar jendela. "Dan di sini sangat indah, bukan? Memang di dalam rumah ramai dengan anak-anak, aku merasa pening sesekali, tetapi aku tidak akan pernah kesepian atau ketakutan sendirian. Dan setiap kali aku melihat ke balik jendela, aku merasakan kedamaian yang tidak akan kutukar dengan kehidupan di London sekalipun karena kusadari aku tidak pernah tertarik pada hal itu. Kehidupan yang kuinginkan persis seperti ini, seakan aku berada di Keele. Sedikit demi sedikit aku bisa merasakan sekarang, bahwa Carlisle adalah rumahku."
Kaytlin menatap adiknya itu, lalu ikut melihat ke arah pandang Lisette pada pemandangan di kejauhan berupa bukit berumput yang tertutup salju di beberapa bagiannya.
"Dan sekarang kau datang. Aku merasa begitu lengkap." Lisette meraih sebelah lengan Kaytlin untuk memeluk lengan itu seperti yang biasa dilakukannya sejak kecil.
"Apa kau ingin beristirahat, Kay? Aku sampai lupa bahwa kau baru saja datang," lanjut Lissy menarik kepalanya dari bahu Kaytlin.
"Aku belum mengantuk, jadi kurasa aku akan mandi saja," tukas Kaytlin.
"Aku akan menyiapkan air panas untukmu."
"T-tidak usah repot." Kaytlin menggeleng. "Aku bisa mandi dengan air dingin."
"Di sini? Di musim dingin di perbatasan Skotlandia?" Lisette tertawa geli. "Jangan konyol, Kay. Kau akan lebih merepotkanku jika sakit. Lagipula di sini sudah tersedia kran air panas."
"Oh, ya?" Kaytlin baru tahu.
"Yah, kau mungkin tidak tahu karena di kamar kita dulu tidak tersedia, tapi Anthony sempat tertarik untuk membangun instalasinya setelah mendengar cerita Mr. Maximillian, jadi ia meminta buku instalasi pipa air panas itu pada wali kita. Aku akan meminta pelayan menyalakan kayu bakar di tungku air dan juga sekalian membawakan perlengkapan mandimu. Tunggulah di sini bersama Georgina dan yang lain." Lisette menjelaskan dan bergegas ke luar kamar meninggalkan Kaytlin di tempatnya berdiri. Lalu ia muncul lagi di pintu hanya untuk menambahkan, "Jangan membuka krannya dulu, tunggu aku kembali, Kay."
Meski sudah tahu, Kaytlin mengangguk tersenyum. "Iya, Lis."
Adiknya itu terlihat sangat riang dan bahagia sekarang sehingga Kaytlin merasa lega.
***
"Kaytlin! Kaytlin!" Lisette berteriak gembira saat Kaytlin menuruni tangga. Ia baru saja selesai mandi serta berpakaian santai, dan memang hendak mencari Lisette kembali di lantai bawah.
"Anthony sudah datang!" lanjut Lissy sementara di belakangnya Anthony mengikuti dan juga melihat ke arahnya. Penampilannya masih seperti biasa, memakai pakaian dengan warna-warna netral yang tidak begitu mencolok bahkan cenderung kusam. Namun semua itu tidak penting karena yang terpenting adalah ia tersenyum tulus pada Kaytlin. Kaytlin mempercepat langkahnya untuk turun dan Anthony langsung menyambutnya dengan pelukan singkat dan tepukan di punggung.
Begitulah Anthony, selalu melanggar aturan kebangsawanan tanpa rasa bersalah. Jika menurut tatacara yang berlaku, seharusnya Anthony mencium punggung tangannya, namun Kaytlin tidak keberatan disambut seperti itu. Malah ia senang karena diperlakukan seperti anggota keluarga.
"Selamat datang, Kaytlin." Anthony melepasnya dan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Aku tidak menyangka kau bisa sampai di sini seorang diri."
"Ia muncul begitu saja di halaman rumah," keluh Lissy.
"Tapi kita tidak heran, bukan?" tukas Anthony.
Lisette menyetujui. "Yah, kita tidak heran."
"Apa aku terlihat seliar itu di mata kalian?" Kaytlin tertawa geli.
"Liar? Wanita tangguh terdengar lebih baik."
Kaytlin sedikit miris. Ia tidak pernah setangguh itu. Malah ia merasa lemah. Dan bodoh.
"Lain kali mintalah bantuan kami. Kau tidak tahu bagaimana Lisette mencemaskanmu," kata Anthony kemudian.
"Ya, mintalah bantuan kami, Kay."
Kaytlin mengangguk-angguk. "Pasti. Aku akan merepotkan kalian suatu saat nanti, entah kapan. Kalian jangan menyesal jika saat itu tiba."
"Tidak akan." Anthony tertawa sebelum menoleh pada Lissy. "Karena kakak kita sudah di sini, kita harus menyambutnya dengan spesial."
"Aku dan Georgina sudah meminta koki untuk memasak hidangan lengkap untuk makan malam."
"Tidak perlu repot. Aku bisa memakan apa pun yang tersedia," ucap Kaytlin sungkan.
Anthony menoleh lagi pada Kaytlin dengan mata bersinar geli. "Kau memang harus memakan apa pun yang tersedia," candanya. "Tenang saja, Kaytlin. Ini hanya acara penyambutan biasa. Koki juga tidak mungkin bisa mempersiapkan makan malam besar dalam waktu singkat."
***
Makan malam di Malton Manor bisa dikatakan adalah makan malam terunik yang pernah ada. Suasananya amat ramai dengan suara anak-anak. Thomas berlari-lari mengitari ruangan bersama Lucy, saling melemparkan ejekan satu sama lain. Emma berteriak meminta turun dari kursi untuk ikut berlari, lalu ia mendarat di pangkuan Anthony dan tertawa di sana sebelum Mrs. Bridget mengangkatnya dan menaikkannya kembali ke kursi. Anthony, Georgina, serta Lisette sepertinya sudah terbiasa dengan keadaan itu. Terkadang Georgina hanya memperingati adik-adiknya agar tidak berlarian saat pelayan membawakan nampan berisi makanan ke meja. Lalu selebihnya mereka membiarkan saja semua berinteraksi sesuka hati.
Hingga pelayan memberitahu bahwa semua makanan sudah dihidangkan ke meja.
"Thomas, Lucy." Anthony memanggil.
Meski begitu aktif, kedua anak itu tidak membangkang dan segera kompak berlari menuju meja. Mereka masih tertawa-tawa hingga naik ke atas kursi masing-masing dan baru senyap setelah Georgina mulai memimpin doa. Semua menangkupkan tangan di dada sambil menunduk di meja. Suara Georgina terdengar merdu dan renyah saat memanjatkan puji syukur. Kaytlin mendengar bunyi denting samar hingga tergoda membuka sebelah mata. Ternyata Thomas mencoba mengambil salah satu ceri dari kue tar dengan garpu. Menyadari seseorang memergokinya, ia menatap Kaytlin waspada. Kaytlin tersenyum padanya penuh persekongkolan. Masih belum sepenuhnya yakin pada Kaytlin, Thomas hanya diam.
Selesai doa bersama, Anthony mempersilakan untuk makan. Kembali suasana menjadi ramai dengan denting gelas dan piring karena di sana banyak anak-anak. Meski mereka belum tahu bagaimana tata cara makan sesuai tata krama agar tidak menimbulkan terlalu banyak bunyi, semua tetap dibiarkan untuk makan secara mandiri. Mrs. Bridget yang merupakan pengasuh, ikut duduk bersama mereka untuk makan sekaligus membimbing Emma yang juga sudah bisa makan sendiri.
Karena ini makan malam untuk penyambutannya, Anthony dan Lissy memaksa Kaytlin mengambil semua hidangan lebih dulu, bahkan Lissy membantu mengisi piringnya saat Kaytlin mengatakan sudah cukup. Sesuai ucapan Anthony, hidangan yang tersedia bukan hidangan besar karena dibuat secara mendadak. Namun, Kaytlin salut bahwa koki bisa membuat ayam panggang, sherperd's pie, stew sayuran dan beberapa kue dalam waktu singkat.
"Lucy sering menghabiskan ceri."
Suara itu membuat Kaytlin menoleh. Thomas berpindah dan duduk di sampingnya saat mereka sudah menyelesaikan hidangan utama dan sedang menikmati dessert. Tampaknya ia sangat perlu menjelaskan pada Kaytlin untuk memulihkan nama baik.
"Kau suka ceri?" tanya Kaytlin.
Thomas mengangguk-angguk.
"Kalau begitu kau boleh mengambil ceriku." Kaytlin mengambil ceri dari kuenya yang masih belum ia sentuh sejak tadi.
"Kau tidak suka ceri?" Thomas balik bertanya.
"Aku suka. Tapi aku sudah banyak memakan ceri selama hidupku," tukas Kaytlin.
Mata Thomas berbinar senang. "Oke, Miss Kaytlin."
"Kau bisa memanggilku Kaytlin."
"Kau sudah tua. Aku harus memanggilmu Miss."
"Tua?" Kaytlin mengerjap.
"Maksudnya dewasa." Lucy yang juga mendekat ikut menimpali. "Maafkan kebodohan adikku, Kaytlin."
"Aku tidak bodoh, Luce!" gerutu Thomas cemberut.
Berusaha menengahi, Kaytlin tertawa pelan. "Tentu saja Thomas tidak bodoh. Dan Lucy juga tidak bermaksud mengatakan Thomas bodoh."
"Nah, Kaytlin tahu itu," gerutu Thomas sebelum berlari menuju tempat duduknya kembali.
Lucy mendekat pada Kaytlin dan berbisik. "Semua laki-laki itu bodoh."
Kaytlin tercengang menatap Lucy dengan geli. Entah darimana gadis seumur itu bisa mendapat kesimpulan. "Kakakmu Anthony juga laki-laki."
"Anthony mungkin bisa menjadi pengecualian. Tapi ia juga tidak terlalu pintar."
"Tidak terlalu pintar?"
"Pokoknya tidak ada laki-laki yang pintar. Jika nanti aku besar, aku tidak ingin mencari suami."
"Lalu apa yang ingin kaulakukan?" Kaytlin mendengarkan dengan penuh minat.
"Mungkin menjadi Ratu Inggris."
Kaytlin mengerjap, lalu berusaha menahan tawa agar tidak terkesan meremehkan ucapan Lucy. "Kurasa kedudukan Ratu dan Raja diwariskan turun temurun, tapi jangan khawatir karena kau bisa menjadi perdana menteri, Lucy. Itu kedudukan tertinggi di pemerintahan Britania."
"Seperti Duke of Wellington?"
"Ehem." Kaytlin mengangguk. "Sekarang perdana menteri kita adalah Earl of Aberdeen."
"Ia seorang earl? Seperti Anthony!"
"Ya, benar."
"Tapi rasanya tidak pernah ada perdana menteri wanita."
"Yah, memang belum ada. Meski begitu, kau harus tetap berusaha meraih apa yang kauimpikan nanti. Kadang dunia bisa berubah."
"Apa kau tahu bagaimana caranya menjadi perdana menteri?"
"Ouh..." Pertanyaan Lucy terlalu kritis sehingga membuat Kaytlin sedikit kewalahan. "Aku tidak tahu secara spesifik, tetapi jalan yang kaulalui akan sangat panjang. Pertama-tama kau harus belajar lebih dulu di sekolah, lalu setelah lulus, kau harus aktif di salah satu partai politik entah itu Whig ataupun Tory. Dan setelahnya kau menjadi perwakilan mereka di House of Lords," jelas Kaytlin dengan hati-hati, takut membuat Lucy kecewa dengan penjabarannya yang minim.
Di luar dugaan, Lucy menatap kagum padanya. "Dari mana kau tahu semua itu?"
"Aku membacanya."
"Apa yang sering kaubaca?"
"Buku. Paling sering...buku cerita." Kaytlin tersenyum mengingat ia tidak bisa mengatakan dengan jelas bahwa itu roman picisan. "Tapi jika kau ingin mengetahui tentang politik dan semacamnya, kau bisa memulainya dengan sesuatu yang ringan seperti koran Times setiap pagi."
"Apa kau membaca Times setiap pagi?"
"Yah, tapi tidak terlalu pagi." Setahun terakhir ini Kaytlin selalu membacanya karena di Blackmere Park berlangganan koran tersebut. Setiap pagi koran tersebut ada di ruang kerja dan baru dipindahkan menjelang siang ke ruang santai sehingga Kaytlin baru bisa membacanya saat minum teh bersama Dowager Marchioness.
Mengingat Dowager Marchioness membuat Kaytlin menggeleng. Ia tidak ingin merasa melankolis hari ini sehingga ia mengalihkan pikiran pada hal lain.
"Kalau begitu kita akan membaca Times besok. Aku akan memintanya dari Anthony." Lucy ternyata belum selesai.
"Baiklah, kita akan membacanya." Kaytlin menyetujui.
Merasa puas dengan janji itu, Lucy beranjak kembali ke kursinya.
Keriuhan di meja makan itu terus berlanjut hingga makan malam selesai. Anak-anak membaca buku-buku cerita di perapian sebelum Mrs. Bridget mengajak mereka semua ke kamar untuk tidur lebih dulu. Barulah saat itu juga Kaytlin merasakan tubuhnya sudah cukup lelah dan matanya mulai berat. Lisette yang melihatnya menguap berkali-kali segera mengajak Kaytlin beristirahat.
Mereka berganti pakaian menjadi pakaian tidur dan menyisiri rambut satu sama lain di depan kaca rias. Tidak banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyisir rambut Kaytlin karena rambutnya tidak terlalu panjang, berbeda dengan Lisette yang memiliki rambut panjang bergelombang hingga ke pinggang.
"Kadang aku ingin memotong rambutku sependek rambutmu. Kau tdak tahu bagaimana penderitaanku setelah mencuci rambut," keluh Lisette.
"Mungkin kau bisa memotongnya sedikit, tapi tidak sependek ini."
"Rambutmu sekarang sudah cukup panjang, Kay." Lisette mengamati.
Kaytlin menyentuh ujung rambutnya yang berada di atas dada. Raphael pernah mengatakan hal yang sama dan menambahkan dengan candaan bahwa Kaytlin sudah mulai terlihat seperti perempuan. "Yah, sudah sepanjang ini," gumam Kaytlin.
"Kau terlihat tidak senang rambutmu memanjang?" Lisette tertawa heran.
"Aku mulai terbiasa dengan rambut pendekku."
Lisette menatap pantulan wajah Kaytlin di cermin lagi saat berbicara. "Kau membuatku mengingat setahun lalu, saat kita kebingungan hendak ke mana. Kau memotong rambut dan mengaku kakak laki-lakiku setiap kali kita singgah di suatu tempat agar terhindar dari pelecehan. Lalu kita seperti orang bodoh yang bertanya ke mana-mana alamat Blackmere Park dan tersesat berkali-kali karena kita ragu memasuki hutannya dan tidak yakin ada manusia yang tinggal di sana."
Kaytlin hanya membalas dengan kekehan dan memilih fokus menyikat rambut Lissy.
"Tapi kita bisa melalui semua itu karena pemikiran optimismu yang selalu membuat ketakutanku hilang. Meski aku kadang khawatir padamu karena kau terlalu berani, pada akhirnya aku tahu kau benar, Kay."
Sisir di tangan Kaytlin terhenti. "Tidak selalu. Aku hanya tidak terlalu takut melakukan kesalahan," sahut Kaytlin pelan sebelum menambahkan. "Sebenarnya aku juga kadang merasa ragu-ragu."
"Lalu selama ini...?"
"Aku tidak ingin membuatmu semakin ketakutan." Kaytlin melirik dari cermin dan tersenyum jail.
Lisette tertawa. "Sesekali kau juga harus berbagi ketakutanmu, Kay. Sebenarnya aku tidak selemah itu."
"Ya, aku tahu."
"Ayo kita tidur. Kau sudah seharusnya beristirahat." Lisette menghentikan kegiatan Kaytlin dan beranjak ke tempat tidur. Kaytlin pun bersiap naik di sisi sebaliknya.
"Besok kita akan berjalan-jalan bersama Georgina. Georgina dulu terlihat pendiam, bukan? Tapi ternyata itu hanya kamuflase. Ia sama barbarnya seperti dirimu."
"Benarkah?" Kaytlin terkekeh.
"Bagaimanapun, dia yang membantuku cepat beradaptasi di sini," jelas Lisette, lalu ia menatap Kaytlin dengan raut khawatir. "Kay, jika ada yang kauinginkan atau ada yang tidak kausukai, jangan ragu mengatakan padaku. Aku ingin kau merasa betah di sini sama sepertiku."
"Tentu saja aku akan merasa betah bahkan tanpa kau perlu mengusahakan apa pun," sahut Kaytlin mengingat pohon Natal, dan segala hal yang disediakan oleh Lisette di manor ini untuknya.
"Aku tahu itu, tapi aku ingin menyenangkanmu. Selama ini hanya dirimu yang selalu berusaha menyenangkanku dan semua orang, kali ini giliranku melakukannya untukmu."
Ucapan seringan itu membuat hatinya mencelos. Kaytlin tersenyum menahan haru. "Terima kasih, Lissy."
"Baiklah, sekarang tidurlah. Aku akan berbalik sehingga aku tidak tergoda untuk mengajakmu mengobrol lagi. Kau sudah melalui hari yang melelahkan." Lisette berbalik badan memunggungi Kaytlin.
Kaytlin ikut berbalik badan memunggungi Lisette. Matanya menatap keremangan di depannya.
Saat suasana tenang seperti ini, Kaytlin merasakan kehampaan kembali. Untunglah kelelahan membuatnya tidak lama merasakan semua itu. Ia memang sengaja menunggu tubuhnya sangat lelah sehingga ia tidak akan sempat berpikir sebelum tidur. Mungkin di sinilah ia harus berada. Meski ini adalah dunia Lissy, meski ini bukan tempat yang ia impikan, tapi di sini semua orang menerima dan mencintainya. Ia juga merasa lega karena jauh dari Duchess of Schomberg, dari Duke of Torrington. Dan Raphael Fitzwilliam.
***
Bersambung part 38
Komen NEXT di sini
Part 39 akan up weekend
Buat yang mau baca lebih cepat, bisa ke Karyakarsa, sudah up sampai part 40
Part 38 harga 5000 (50 kakoin)
Part 39 harga 3000 (30 kakoin)
Buat yang tidak bisa beli tidak apa apa, nanti tetap diposting di sini sampai tamat. Thanks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top