Part 34.1 - Something About The Fear

Raphael terbangun dan menemukan Kaytlin masih tertidur di sampingnya. Kadang seperti inilah, ia tersadar dan kebingungan akan apa yang ia lakukan tetapi sungguh ia tidak bisa menahan diri. Sekali ia merasakan wanita itu rasanya memabukkan. Suatu keajaiban bahwa pagi ini ia bisa menjauhkan tangannya dari Kaytlin karena ia tidak tega membangunkannya. Lagipula ia masih syok dengan keadaan. 

Kata-kata itu yang membuatnya lepas kendali. Bahwa Kaytlin memang menatapnya di meja makan, mempelajari Sonata F Minor karena permintaan Raphael yang tidak serius, dan berhenti berharap kepadanya. Itu seperti sebuah pengakuan cinta tanpa perlu mengucapkan cinta itu sendiri. Jadi lelaki yang selama ini disukai Kaytlin bukan Peter ataupun Malton, tapi dirinya? Kadang perlakuan Kaytlin yang selalu baik kepada siapa saja membuatnya bingung, tetapi setelah tahu ia tidak bisa membiarkannya hilang. Seperti ada keinginan besar yang membuat ia harus menahan Kaytlin, suatu hal di luar logika yang tidak bisa ia gambarkan dengan tepat seakan Kaytlin adalah peri dengan segudang keindahan yang hendak melompat kembali ke dunia khayalan dan Raphael harus mencegahnya terbang. 

"Bagaimana jika ia memiliki perasaan padamu? Apakah itu akan mengubah sesuatu?"

Pertanyaan dari neneknya itu tidak pernah berani Raphael jawab karena terlalu mengerikan. Ia sudah tahu cepat atau lambat inilah yang akan terjadi sehingga ia selalu menghindar. Sekarang ia sudah tidak bisa menghindar. Apalagi ia sudah melewati batas yang lebih besar lagi...yang tidak pernah ia lakukan bersama Sophie karena Raphael selalu bisa melakukan pencegahan. 

Sial.

Membayangkan masa depan yang belum tentu terjadi saja sudah membuat Raphael pusing dan menutup mata dengan tangan. 

Dengan segera Raphael beranjak dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi dan berpakaian seadanya seperti yang biasa ia lakukan setiap pagi, Raphael memutuskan keluar lewat pintu kamar marchioness dan membiarkan pintu kamarnya tetap terkunci agar tidak ada yang masuk sampai Kaytlin terbangun sendiri. 

Ada keraguan saat Raphael memutar kunci pintu penghubung. Sudah berpuluh tahun Raphael tidak pernah membuka pintu itu. Tapi akhirnya ia membukanya juga.

Hawa pengap sedikit terasa saat Raphael berada di sana meski kamar itu dibersihkan seminggu sekali oleh pelayan. Sebagaimana pun baiknya tempat itu dirawat, tetap saja tanpa kehidupan semua terasa berbeda, seakan ia berada di dimensi lain. Kenangan buruk Raphael kembali bangkit saat melihat tempat tidur bertudung itu meski ranjang ibunya sudah dibuang dan diganti dengan ranjang baru. Rasanya ia perlu melakukan renovasi agar kamar itu benar-benar berbeda, bersih dari masa lalu. Ia akan menyuruh Winston mengurusnya.

"Selamat pagi, My Lord. Saya tidak tahu Anda sudah bangun." Winston sedikit terkejut begitu pula para pelayan saat Raphael mendatangi dapur, area yang tidak pernah ia datangi dalam hidupnya sekali pun meski masih merupakan bagian dari manornya. Hari memang masih terlalu pagi dan Raphael bangun lebih cepat satu jam dibanding kebiasaan. 

"Teruskan saja sarapanmu," ucap Raphael. "Setelah itu mintalah salah satu pelayan membawakan gaun pagi Miss de Vere," perintahnya langsung ke tujuan.

"Ah, aku ingat Gilles melaporkan padaku bahwa Miss de Vere menginap di estat karena badai," ujar Winston. 

Semua pelayan menoleh berbarengan ke arah Gilles yang masih mematung dengan mulut penuh scone. Gilles melihat mereka semua bagai terdakwa, lalu dengan terlambat ia mengangguk.

"Koper-koper dari rumah keluarga Humpwell juga masih di kereta belakang," lanjut Winston. "Aku akan meminta Dorie mengambil salah satu gaun pagi Miss de Vere di sana dan membawakan ke kamarnya."

"Bukan ke kamarnya. Bawakan padaku."

Winston terdiam sejenak seakan memastikan ia tidak salah mendengar. "Pada Anda...My Lord?"

"Benar. Kutunggu di ruang kerja." Tanpa menunggu tanggapan Winston, Raphael berbalik. 

***

Kaytlin terbangun sendirian. Selama beberapa detik ia baru sadar ia tidur di kamar siapa.

Ini sudah melewati jam makan pagi. Ia belum bergerak sedikit pun saat matanya melihat lukisan malaikat di langit-langit. Ternyata memang seindah itu dan ia tersenyum. 

Lalu ia bangkit untuk duduk. Ada sedikit rasa tidak nyaman di antara kedua pahanya, tapi tidak sakit. Rupanya begitu rasanya kehilangan keperawanan, akhirnya ia tahu. Tidak ada penyesalan tentang itu. Tidak ada airmata yang ingin tertumpah. Sama sekali tidak. Malah Kaytlin tidak terlalu memikirkannya karena ia terlalu senang mengetahui ternyata Lord Blackmere menyukainya dan ia memang adalah orang ketiga....

Sepertinya kalimat terakhir tidak perlu, hanya merusak suasana. 

Pakaiannya yang berserakan di lantai sudah terlipat dan ditata rapi di atas sofa, lalu ada gaun pagi bersih milik Kaytlin di sebelah tumpukan itu. Siapa yang melakukannya? Kaytlin sedikit panik bahwa ada pelayan yang masuk sebelum ia bangun tidur, tapi ternyata tidak karena pintu masih terkunci. Sepertinya Lord Blackmere yang melakukannya. Tidak disangka pria itu bisa melipat pakaian dengan baik. Ada secarik kertas berisi catatan di atasnya, ditimpa oleh pemberat kertas. Kaytlin mengambil dan membacanya.

Berhati-hatilah membuka kran di kamar mandi. Di sebelah kanan adalah kran air panas, sebelah kiri air dingin. Jika tidak ingin berbagi sabun, perlengkapan mandi baru ada di kabinet di bawah wastafel.

Untung saja Lord Blackmere tahu diri untuk meninggalkan kamarnya. Kaytlin tidak tahu harus bereaksi apa menghadapi pria itu di pagi hari setelah hal-hal yang mereka lakukan semalam. 

Kaytlin melompat kembali ke tempat tidur dan menyelimuti dirinya. Ia akan segera mandi tentu saja, tetapi ia harus membenamkan diri dulu di sana. Ranjang tersebut sedikit beraroma pemiliknya. Rambutnya, tubuhnya, parfumnya, pria itu memiliki aroma yang menyenangkan dan spesial. Kaytlin mungkin sudah terlalu tergila-gila padanya. Tidak mau berbagi perlengkapan mandi katanya? Justru Kaytlin menginginkan hal itu. 

Setengah jam kemudian setelah mandi dan memakai gaun pagi, Kaytlin keluar dari kamar itu untuk menuju kamarnya sendiri sambil membawa pakaian kotornya. Dengan hati-hati ia melangkah melewati lorong guna memastikan tidak ada yang melihat. Bagaimanapun juga ini memalukan, ditambah lagi ia belum bertemu Lord Blackmere untuk memastikan bagaimana ia bersikap di estat dan apakah ia jadi ke Carlisle atau tidak sekarang.  Kaytlin tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu mengingat Kaytlin yang merayunya semalam sedangkan hubungan pria itu dengan Duchess of Schomberg belum berakhir. Oh, please, Kaytlin bahkan ngeri dengan nama itu meski hanya sebatas  memikirkan.

Memang, ia harus secepatnya menemui Lord Blackmere untuk memastikan. Entah Kaytlin mungkin saja mendapatkan kekecewaan setelahnya tapi setidaknya ia tidak berakhir gila jika terus menerus diterpa perasaan senang dan khawatir bergantian terus menerus.

Pintu kamarnya sudah terbuka sehingga Kaytlin langsung melangkah masuk. Namun tidak ada orang di sana. Ia meletakkan pakaian kotor di wadahnya dan melihat salah satu koper yang ia tinggalkan di tempat Melissa ada di dekat lemari. Seseorang pasti membuka pintu karena menaruh kopernya. 

"Miss Kay!" seru sebuah suara di belakangnya dan bunyi gedebuk mengikuti. Kaytlin berbalik dan menemukan Gretchen dan koper Kaytlin di kaki wanita itu. 

Dengan panik Gretchen menghampiri dan memeluknya. "Kupikir Anda menghilang ke mana!" ucapnya histeris, lalu melanjutkan panjang lebar. "Mr. Basset mengatakan bahwa His Lord mencari Anda ke Torrington House dan kembali kemari karena badai di perjalanan ke utara. Oh, maafkan aku. Aku yang mengatakan pada His Lord bahwa Anda ke East End, bukan ke Carlisle padahal Anda sudah menyuruhku tidak mengatakannya. Tapi mereka semua memaksaku, kusir, Paul di pelayan yang mendampingi kita, dan bahkan ibuku!"

"Tidak apa, Gretchen. Aku tidak menyalahkanmu." Kaytlin menenangkan. 

Gretchen melepas pelukannya dan menahan Kaytlin sejauh rentangan tangan. Tatapannya yang cemas meneliti tubuh Kaytlin mulai dari rambut hingga kaki. "Anda baik-baik saja? Apakah His Lord memarahi Anda?"

"Tentu saja ia marah."

Gretchen terkesiap, tapi Kaytlin melanjutkan, "hanya sebentar dan aku baik-baik saja." Kaytlin tersenyum. "Apa kau tahu di mana His Lord sekarang?" tanyanya.

Merasa kebingungan, Gretchen mengerjap sekali dan setelah tersadar Kaytlin bertanya, ia menjawab dengan cepat. "Owh, His Lord ada di ruang kerjanya bersama Mr. Basset seperti biasa."

"Syukurlah. Aku harus menemuinya." Kaytlin melewati Gretchen menuju pintu. Gretchen segera mengikutinya.

"Anda tidak sarapan dulu, Miss? Mr. Basset berpesan padaku membawakan sarapan Anda ke kamar jika sudah bangun."

"Nanti, Gretchen. Itu bisa menunggu," sahut Kaytlin sambil berjalan cepat bersama Gretchen di sampingnya. "Aku harus memastikan sesuatu. Jika tidak, rasanya aku tidak akan bisa memakan apa pun."

"Memastikan apa, Miss?"

"Itu..."

Ucapan Kaytlin terhenti, begitu pula kakinya. Otomatis Gretchen ikut berhenti dan menoleh ke depan melihat apa yang Kaytlin lihat. 

Siapa lagi yang bisa membuatnya terhenti? Memang pria itu. Lord Blackmere sedang berjalan dari arah berlawanan bersama Winston Basset di belakangnya dan juga ikut terhenti saat melihat Kaytlin bersama Gretchen. Ekspresinya tidak menunjukkan raut senang ataupun kesal sehingga Kaytlin tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. 

Tadinya Kaytlin merasa harus secepatnya menemui pria itu, tetapi begitu bertemu rasanya ia ingin kabur ke arah sebaliknya dan menggali lubang di halaman depan manor atau di pinggir sungai agar tidak ditemukan siapa pun. 

Bertahanlah Kaytlin, bertahanlah, hiburnya dalam hati. Lalu ia menarik napas samar dan menatap lurus.

"My Lord, bolehkah aku meminta waktu Anda?" tanya Kaytlin sopan. Selain ada Gretchen dan Mr. Basset, beberapa pelayan lain yang sedang mengerjakan tugas ada di dekat sana dan kemungkinan mendengar. 

"Aku akan ke London," jawab pria itu. 

Jawaban yang selalu diutarakan jika sedang tidak ingin berbicara dengannya. 

Kaytlin terdiam kaku tetapi di dalam dirinya ia merasakan kepanikan yang luar biasa. Ini jauh di luar dugaan. 

"Vauxhall Garden," lanjut Lord Blackmere.

Kaytlin kebingungan. "Maaf?"

"Apa kau mau ikut?" 

Sesaat suasana hening bagai di pemakaman.

"A-Anda mengajakku?" tanya Kaytlin tak percaya.

"Kau bisa bersiap dua jam lagi?"

"Tentu." Kaytlin harus melalui beberapa detik untuk tersadar. Ia merasa senang. Luar biasa senang. Tidak ada sesuatu yang bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini sampai-sampai membutuhkan usaha keras baginya untuk tidak tersenyum saat berbalik. 

Belum ada beberapa langkah, ia berbalik lagi dan menghambur memeluk pria itu, membuat salah seorang pelayan menjatuhkan tongkat pel ke lantai. 

"Maaf, aku tidak bisa menahannya." Kaytlin segera melepakan pelukan dengan malu.

"Tidak apa." Lord Blackmere tersenyum. Senyuman yang melelehkan seluruh diri Kaytlin. Seumur hidup, Kaytlin belum pernah melihatnya tersenyum seperti itu untuknya. Dan pria itu mengajaknya ke Vauxhall Garden.

Tanpa berani melihat ekspresi Gretchen dan para pelayan, Kaytlin berbalik kembali dan melangkah cepat menuju kamar. 

Gilles mengambil tongkat pelnya.

Dan semua kembali bekerja. 

***

Nextt?

5000 bintang dan 5000 komen buat next!! Part kemarin kalian pasti langsung capcus ke KK ya ampe lupa neken bintang? 

Tapi gak dipaksa, aku tetep update kok, tenang aja. Hehe.

Terima kasih sudah menekan bintang dan komen. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top