Part 3 - Something about True Sadness

Akhirnya aku berhasil menemukan tempat itu dan berbicara langsung dengan Marquess of Blackmere. Mama pastilah sangat luar biasa karena bisa menjalin persahabatan dengan orang itu karena kesan pertamaku dia adalah orang yang kurang bersahabat. Tadi ia menolak kami. Entah apa penyebabnya. Tapi aku tetap percaya dia orang yang baik karena Mama mempercayainya.

Catatan harian Kaytlin de Vere

==============================

Pulang?

Kaytlin tidak tahu lagi kemana ia harus pulang.

Meski ayahnya berdarah bangsawan, ia adalah putra keempat sehingga tidak memiliki gelar. Rumah yang dulu ia tempati bersama ayah ibunya sudah diambil alih oleh kerabat ayahnya dan mereka tidak bersedia untuk merawat Kaytlin dan Lisette. Menjadi wali anak perempuan keluarga bangsawan berarti harus bertanggung jawab membiayai mereka serta mempersiapkan mas kawin untuk menikah nanti. Pantas saja ibu mereka menunjuk orang lain untuk menjadi wali Kaytlin dan Lisette. Hanya saja orang yang ditunjuk juga tidak bersedia.

"Apakah cukup, Kay?" Lisette ternyata sudah selesai mandi dan muncul di belakang Kay yang sedang menghitung sisa uang yang mereka punya.

"Aku sudah menyisihkan untuk biaya menginap dan makan kita hingga besok pagi. Kurasa kita akan kembali ke desa dan meminta bantuan gereja di sana untuk menampung kita sementara waktu. Dan jangan khawatir, mereka pasti menerima kita." sahut Kaytlin dengan cepat. Ia terbiasa berbicara terlalu cepat terutama jika sedang gembira atau gugup. Kali ini karena gugup. Ia tidak ingin Lisette ketakutan.

"Oh, Kay...aku tidak keberatan tinggal di mana pun, tapi apa kau tidak khawatir bahwa setiap hari mungkin kau harus melihat Peter di sana?" Lisette menatap Kaytlin cemas.

Peter adalah lelaki yang pernah dekat dengan Kaytlin. Dia seorang reverend, istilah untuk seorang yang aktif melakukan pelayanan di gereja.

"Tentu saja tidak, Lis. Hubunganku dan Peter baik-baik saja meski kami tidak sedekat dulu." Kaytlin tersenyum dan mengangguk-angguk untuk meyakinkan Lisette lagi.

Lisette masih terus menatap curiga Kaytlin karena tak percaya tapi akhirnya ia bergegas naik ke tempat tidur. "Baiklah, Kay...aku mempercayaimu...tapi jika kau ada masalah tolong ceritakanlah padaku. Adikmu ini sudah berusia delapan belas."

"Tentu saja. Aku pasti akan menceritakan apapun padamu. Sekarang hanya tinggal kita berdua dan kita akan selalu saling menjaga." balas Kaytlin.

"Kau memang selalu optimis, Kay. Aku ingin bisa berpikiran sepertimu, tapi saat ini aku tidak bisa," Lisette menghela napasnya pelan. "Di saat seperti ini aku selalu merindukan Papa dan Mama. Seandainya saja mereka masih ada...dan Mama juga tidak tahu bahwa wali yang ditunjuknya telah menolak kita. Ia jahat sekali padahal Mama mempercayainya. Rasanya sangat menyedihkan, Kay."

Tadi sore Kaytlin baru saja menceritakan dengan jujur pada Lisette bahwa Marquess of Blackmere menolak mereka karena tidak memiliki bukti, tapi Kay tidak ingin membahas hal itu lagi saat ini.

"Mereka sudah bahagia di surga, Lis. Kita sudah menangis hingga hampir membanjiri desa Keele kemarin dan kita sudah berjanji tidak akan menangis lagi." jawab Kay mengalihkan topik.

"Iya, Kay...terimakasih mengingatkanku," Lisette berbaring menatap langit-langit sambil mengerjapkan mata agar urung menangis. "Maaf aku tidur lebih dulu karena aku sangat lelah. Selamat tidur, Kay."

"Selamat tidur, Lis."

Kaytlin masih memperhatikan Lisette sejenak sebelum kembali pada kecemasannya. Meski Lisette berkata bahwa ia sudah dewasa, Kaytlin masih tetap menganggapnya adik kecil yang perlu ia lindungi. Secepatnya Kaytlin harus lepas dari sikap terlalu mengkhawatirkan adiknya itu. Lisette memang sudah beranjak dewasa dan ia berhak belajar untuk menghadapi dunia ini.

Tetapi Lisette memang terlalu cantik...kecantikan rapuh yang menurun dari ibu mereka.

Sejak beranjak remaja banyak pria di desa yang mendekati Lisette mulai dari pendekatan yang sopan hingga kurang ajar. Dan Kaytlin yang selalu ada di depan adiknya untuk menghalau jenis yang terakhir.

Kaytlin anak pertama, dan ia lebih mirip ayahnya. Ayahnya juga tampan dan mewariskan hal yang terbaik pada diri Kaytlin, tapi kecantikan Kaytlin bukan yang digemari di Inggris. Standar kecantikan Inggris adalah rambut pirang, kulit pucat layaknya baru saja berendam sungai Thames semalaman, mata biru dan sifat penurut. Lisette memenuhi semua syarat itu sedangkan Kaytlin tidak. Kaytlin berambut hitam meski ia bermata biru seperti Lisette. Ia juga memiliki tubuh tinggi yang hampir sepadan dengan seluruh remaja pria di Desa Keele hingga semua enggan mendekatinya. Ditambah lagi dengan sifatnya yang terlalu periang dan lebih menyukai percakapan tentang dunia dibanding cuaca. Lelaki tidak suka wanita yang terlalu pintar. Bagi mereka wanita cukup melahirkan anak dan mengurus suami.

Tapi Kaytlin tidak pernah peduli sebelumnya karena ia sudah memiliki Peter. Peter mendekatinya tiga tahun yang lalu saat ia berusia sembilan belas tahun dan akhirnya mereka selalu kemana-mana bersama. Di saat semua mata lebih memandang Lisette dibanding Kaytlin, Peter melakukan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa ia lebih cocok bersama Kaytlin dan Kaytlin mempercayainya karena saat itu Peter sudah berusia dua puluh enam tahun. Mungkin di mata Peter, Kaytlin yang berusia empat tahun di atas Lisette lebih cocok untuknya.

Peter tidak pernah mengatakan cinta, tapi Peter adalah cinta pertama Kaytlin dan juga pria yang mendapatkan ciuman pertamanya di halaman rumah seorang tuan tanah yang mengadakan pesta musim panas.

Awalnya ia berpikir hanya Peter yang mau menerima Kaytlin apa adanya.

Hingga peristiwa itu terjadi...

Saat itu salju pertama turun pada hari perayaan Natal di rumah mereka dan tidak ada yang lebih menggembirakan dibanding mendapatkan gaun baru.

Kaytlin mendapatkan gaun berwarna cream kehijauan sedangkan Lisette biru pastel. Gaun itu sangat sederhana tanpa crinoline, renda, ataupun payet seperti gaun wanita bangsawan, karena seperti itulah gaun-gaun yang dipakai orang-orang yang hidup di desa, tapi kegembiraan mendapat gaun baru begitu tak terhingga bagi mereka berdua hingga mereka tak peduli.

Semua tetangga yang bertamu memuji mereka, tapi kebanyakan lebih memuji Lisette. Kaytlin juga merasa kagum dan bangga melihat adiknya. Lisette memang begitu memukau dalam gaun biru pastel itu ditambah lagi bila ia tersenyum. Bagaikan malaikat. Wajar jika Kaytlin tak terlihat. Lisette terlalu berkilau hingga ia tertutupi oleh kilauan tersebut.

"Kay sayang, kau terlihat cantik. Syukurlah gaun itu cocok untukmu." ibunya memegang pundak Kaytlin saat sedang berdiri di depan cermin.

"Oh, Mama...aku tahu aku tidak secantik yang kaukatakan. Tapi gaun pemberianmu ini benar-benar sangat indah dan aku menyukainya. Terimakasih, Mama." Kaytlin merangkul Josephine dan mencium pipinya.

"Tidak, Kay. Mama tidak pernah berbohong padamu. Kau cantik dan seharusnya kau sudah menikah dengan seseorang sekarang. Usiamu sudah melewati usia menikah dan itu kesalahan Papa dan Mama yang tidak mengirimmu ke London untuk mengikuti season..."

"Aku masih sembilan belas tahun, Ma," Kaytlin meringis. "Apa aku terlihat begitu tua?"

"Tentu saja tidak, Kay. Selamanya kau tetap terlihat seperti bayi kecil Mama yang dulu. Sebenarnya Mama juga tidak setuju dengan tradisi kita yang menganggap gadis seusiamu terlambat menikah. Mama dan Papa masih ingin bersamamu sehingga takut mengirimmu ke season. Maafkan keegoisan kami." Josephine tertawa.

Kaytlin mengangguk. Ia mengerti bahwa lumrahnya seorang gadis berumur enam belas bahkan kurang dari itu sudah turun ke masyarakat untuk bersosialisasi, mengikuti season, dan menikah. Kay dapat dikategorikan sebagai perawan tua.

"Aku bahagia lebih lama tinggal bersama kalian di sini, Ma. Lagipula Mama pernah bercerita bahwa Mama sendiri menikah dengan Papa saat berumur dua puluh dua tahun dan Mama begitu bahagia. Aku ingin menemukan seseorang yang seperti Papa." ujar Kaytlin dengan riang.

"Kau pasti akan menemukannya, Kay," Josephine mengelus-elus rambut putrinya penuh rasa sayang. "Kurasa tahun depan yang sebentar lagi datang adalah tahun yang bagus untuk memulai debutmu."

"Kalau Mama ingin menahanku lagi juga tidak apa-apa."

"Atau kau memang tidak berniat mengikuti season selamanya? Kudengar akhir-akhir ini kau dekat dengan Reverend Peter..."

Kaytlin tersentak kaget. "Mama! Kau memata-mataiku."

Josephine hanya terkikik yang membuat Kaytlin bertambah malu. Tapi sepertinya ibundanya ini merestui hubungan Kaytlin dengan Peter. Dia sempat berpikir orangtuanya akan bersikeras ia menikah dengan seorang bangsawan...atau setidaknya seorang pria yang memiliki darah bangsawan, tapi ternyata tidak. Dan Kaytlin merasa lega dengan itu.

"Oh, aku sayang padamu, Ma. Dan juga Papa." Kaytlin memeluk ibunya lagi.

***

"Aku tak percaya ini! Reverend Peter dan Molly benar-benar bertunangan?!" Lisette mencibir dengan raut jijik saat melihat kedua insan yang sedang ia bicarakan tampak berjalan bergandengan tangan saat pulang dari kebaktian Minggu. Peter dan Molly tidak melihat mereka karena suasana saat itu sedang ramai.

"Benar, Lis. Aku baru tahu kemarin. Mereka berdua benar-benar cocok dan saling me..."

"Kay!! Apa kau sudah tidak waras?!" hardik Lisette. "Aku pikir selama ini Peter menyukaimu, Kay." protesnya kembali.

Kaytlin bergegas lagi dan memalingkan pandangan. "Aku dan Peter berteman baik. Peter sangat bahagia dan aku juga bahagia untuknya."

"Tapi, Kay....Ini tidak adil!" Lisette yang mungil berusaha menyamakan langkah Kaytlin. "Seharusnya Peter menikah denganmu. Ia menyukaimu!"

"Ia memang menyukaiku, Lis." Kaytlin berhenti karena tersadar Lisette terengah-engah mengejarnya.

"Lalu?"

"Molly lebih baik untuknya dibandingkan aku."

"Apa?" Lisette mengernyitkan kening. "Aku tidak mengerti, Kay."

"Kau tidak akan mengerti...."

"Jelaskan padaku, Kay!!"

Lisette memang agak keras kepala dan ia mulai menunjukkannya sekarang. Kaytlin menatap tak berdaya pada adiknya hingga akhirnya menarik napas panjang.

"Molly menyukainya dan mendekati Peter...dan keluarga Peter berusaha meyakinkan Peter untuk menerima Molly." Kaytlin berbicara putus-putus.

"Keluarga Peter jahat sekali padahal mereka sudah tahu bahwa Peter menyukaimu."

"Tidak, Lis," Kaytlin menggeleng-geleng. "Mereka tidak salah. Peter pun tidak salah. Peter adalah anak pertama dari dua belas bersaudara. Mereka semua hidup serba kekurangan dan Molly yang seorang anak pedagang kaya serta memiliki perkebunan akan menjamin kemakmuran mereka."

Peter memang tidak bersalah....

Menikah dengan Kaytlin yang tidak memiliki mas kawin hanya akan membuat kehidupan mereka semakin menderita nantinya. Kaytlin orang yang realistis dengan kehidupan.
Lisette maju memeluknya dan menepuk-nepuk punggung Kaytlin.

"Lis....jangan memperlakukanku seperti ini. Aku tidak apa-apa. Sungguh," Kaytlin memegang bahu Lisette dan melepaskan pelukan mereka. "Lihat? Aku tidak menangis, bukan?"

Lisette mengerjap-ngerjap menatap lurus pada Kay. Mereka berdua saling bertatapan selama beberapa saat dan tanpa sadar airmata Lisette jatuh mengalir di pipinya.

"Lis?! Mengapa kau menangis?" tanya Kay khawatir.

"Aku tahu kau sedih!" rengek Lisette.

"Aku yang seharusnya bersedih, bukan dirimu." Kay tertawa dan memeluk adiknya.

"Makanya menangislah kalau kau memang bersedih, Kay."

Kay menghela napas panjang dan menepuk-nepuk punggung Lisette untuk menenangkannya. Lisette terlalu menyayanginya juga dan Kay mengerti.

"Mungkin suatu saat nanti aku akan menangis. Saat aku benar-benar sedih. Kau akan tahu itu, Lis."

❄❄❄

Banyak yang nanya visual Lis sama Kay itu gimana. Aku belum dapat visual sih karena emang ga rencana pakai cast. Tapi secara umum wajah mereka begini deh :

Kaytlin

Lisette

Cantik ya? Iya emang cantik. Tapi standar kecantikan Inggris pada masa itu adalah wanita pirang pucat.

Umur Kay 22 dan Lis 18. Kalau Raphael tunggu next part aja ya hahaha. Penampakan dia juga belum dapet karena aku belum nemu wajah yg pas. Sebenarnya wajah dia agak agak dingin seperti Richard Armitage atau Ian Somehalder. Tapi dua cowok itu terlalu tua. Masih nyari yang agak muda.

***

Btw pada masa itu emansipasi wanita memang belum ada. Jadi wanita tuh kesannya direndahkan. Mereka ditakdirkan cuma untuk menikah aja. Bangsawan lebih suka anak anak gadisnya menikah dengan pria bergelar. Semakin tinggi gelarnya semakin baik. Masalahnya pria bergelar tinggi di Inggris saat itu kebanyakan sudah tua, apalagi gelar sekelas duke. Nggak jarang anak gadis dinikahkan dengan pria tua. Untuk ukuran Marquess, Raphael yang masih berumur tiga puluh tahunan termasuk muda.

***

Dalam kehidupan keluarga bangsawan, biasanya putra pertama yang akan mewarisi gelar ayahnya.

Jika putra pertama meninggal sebelum punya anak laki-laki, gelar itu jatuh pada adiknya (putra kedua) jika tidak punya adik, maka jatuh ke tangan sepupu. Dan dia harus LAKI LAKI. Perempuan tidak pernah mendapat warisan, kecuali dalam beberapa kasus contohnya si wanita ada keturunan bangsawan Skotlandia (adat Skotlandia ada yang memberikan warisan pada anak perempuan), atau mendapat warisan karena titah ratu.

Ayah Kay dan Lis adalah putra keempat, jadi ia tidak bergelar meski keturunan bangsawan. Biasanya disebut Honorable. Rumah yang mereka miliki juga adalah warisan keluarga sehingga saat ayah Kay meninggal, rumah itu diklaim kembali oleh keluarga mereka.

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top