Part 27. Something About The Truth
Surprise!
Hello, lama tak jumpa. Mungkin ada yang uda tau di sosmed, kesehatanku agak menurun kemarin-kemarin. Jadi maklum dulu ya aku pelan-pelan berusaha namatin ini. Makasi doanya 😉
Selamat ulang tahun bagi yang ultah (rasanya kmrn ada beberapa yang req di wall) btw aku jga ultah bulan ini. Siapa yang sagitarius?
Jangan lupa teman bintang ⭐️
Jangan lupa komen
Jangan lupa follow akun penulis : Matchamallow
🍁🍁🍁
"Kau tidak ingin tahu kabarku di season?" tanya Josephine saat berkunjung lagi beberapa hari kemudian dan mereka berjalan-jalan ke sungai sambil menuntun Phoenix.
"Apa pun jawabanku, kau akan tetap menceritakan," sahut Raphael malas.
Josephine tertawa. "Kau sudah sedikit hafal tentangku." Lalu ia mengelus leher Phoenix, kuda coklat Raphael. "Kau selalu membawa kuda ini."
"Itu milikku."
"Aku tahu kuda ini milikmu."
"Ayah membelikan ini khusus untukku." Raphael memperjelas.
"Ah, aku mengerti." Lalu Josephine mengamati Phoenix lagi. "Pantas saja ia sangat spesial."
Memang, Phoenix sangat spesial bagi Raphael. Begitu tahu ayahnya membelikan kuda itu khusus untuknya, Raphael menghabiskan banyak waktu untuk Phoenix. Ia menamakannya Phoenix karena warna coklat jingga kuda itu hampir menyerupai api seperti gambar burung phoenix di sebuah buku mitologi yang pernah ia baca. Kadang Phoenix bahkan mendekat jika Raphael menyebut namanya, seperti seekor anjing.
Raphael sangat senang, bukan hanya karena mendapat kuda. Tetapi juga karena itu hadiah dari sang marquess dengan inisiatifnya sendiri tanpa Raphael meminta.
"Lalu bagaimana seasonmu?" Raphael akhirnya menanyakan itu karena Josephine tidak kunjung menceritakan juga.
Josephine menoleh senang dan tiba-tiba menghampiri Raphael yang duduk di rumput. "Aku tidak menyangka kau akan tertarik!"
"Aku hanya bertanya."
"Well, kupikir semua akan sama dan membosankan seperti biasa..." Josephine menghela napas dan tersenyum menatap sungai. "Tapi ternyata tidak membosankan seperti biasa. Kau tahu? Tidak banyak pria tampan di dunia ini."
"Kau sudah pernah mengelilingi dunia?"
"Duniaku," ralat Josephine dengan nada memaksa. "Aku menemukan beberapa pria tampan di season ini."
"Rasanya kau pernah mengatakan ketampanan bukan kriteria utamamu."
"Memang, kriteriaku tetap tak berubah, tapi bagaimanapun juga aku adalah wanita. Kau harus memaklumi."
"Memangnya kenapa dengan wanita?"
"Wanita secara alami selalu tertarik kepada ketampanan. Meski mereka belum tentu menyukai pria tampan itu. Tetapi akan lebih mudah menyukai seorang pria tampan jika pria tampan itu memberikan perhatian. Mengerti?"
Raphael tidak begitu tertarik akan topik itu, tapi ia sebenarnya selalu iri dengan Josephine yang bisa mengungkapkan isi hatinya dengan leluasa, padahal biasanya wanita selalu menjaga citra dirinya. Josephine juga wanita yang cantik, hal yang tidak bisa Raphael pungkiri. Matanya yang berwarna biru muda, cemerlang, dan sesuai dengan rambutnya. Rambut yang jarang disanggul, kadang hanya diikat, bahkan pernah digerai. Keluarga Raphael sebagian besar memiliki rambut yang berwarna coklat gelap. Neneknya memiliki rambut pirang madu tetapi sudah memutih karena faktor usia. Rambut Josephine berwarna pirang keemasan dan sepertinya sangat halus.
Tunggu...ia terlalu muda untuk tertarik pada lawan jenis. Ini pasti karena Raphael tidak pernah dekat dengan wanita, dan Josephine memberinya terlalu banyak perhatian.
"Aku sudah melalui dua season," lanjut Josephine lagi.
Dengan tak nyaman, Raphael memundurkan tubuhnya ke belakang agar tidak terlalu dekat dengan wanita aneh itu, tapi Josephine malah ikut menggeser tubuh mendekatinya.
"Dan menolak puluhan lamaran. Beberapa di antaranya bergelar tinggi."
"Lalu?" tanya Raphael sembari memundurkan tubuhnya lagi sepelan siput agar tidak terlalu kentara.
"Hanya saja kita tidak bisa mengendalikan ke mana ketertarikan kita akan jatuh."
"Kau sedang tertarik kepada seseorang yang salah?"
"Entahlah. Aku hanya khawatir jika aku terlalu banyak menolak lamaran lagi. Ayahku bisa saja akan memilihkan seseorang dari mereka." Josephine mendesah enggan.
"Kau...akan menolaknya, bukan?"
Josephine tersenyum. "Apakah aku boleh melakukannya?"
Raphael tahu itu tidak mungkin. Menentang keputusan orangtua adalah tabu. Bangsawan selalu diajarkan untuk patuh kepada kepala keluarga atau pemegang posisi tertinggi dalam keluarga. Josephine adalah seorang wanita debutan yang sudah cukup umur. Dalam sekejap ia bisa saja menikah, dan pergi. Lalu Raphael akan kembali seorang diri. Bayangan itu membuatnya sedikit murung.
"Kupikir kau akan mengalami tahun-tahun season yang panjang." Raphael menelan ludah dengan hati-hati sebelum melanjutkan. "Bahkan hingga aku bisa menghadiri season nanti," ucapnya datar, berusaha tak terdengar penuh harap.
"Itu kemungkinan sepuluh tahun lagi. Aku akan menjadi perawan tua dan itu memalukan."
"Tidak juga," sergah Raphael.
"Yah...meski itu memalukan tapi sebenarnya kebebasan semacam itu adalah sebuah kemewahan," ujar Josephine penuh arti. Ia terlihat gelisah, entah ia memiliki suatu masalah atau hanya ketakutan akan masa depan seperti yang selalu dialami wanita.
"Jika ayahmu menjodohkan, katakan saja pada mereka aku melamarmu," cetus Raphael tiba-tiba. Entah setan mana yang merasukinya.
Josephine ternganga mendengar pernyataan itu. "Kau serius?!"
"Yahh..."
Sedetik kemudian Josephine tertawa seakan menganggap perkataan Raphael lucu.
"Aku hanya berusaha membantumu. Bagaimanapun aku juga memiliki gelar sehingga ayahmu akan mempertimbangkan dan kau akan bebas selama sepuluh tahun ke depan. Tidak sopan tertawa seperti itu," gerutu Raphael dengan wajah merah padam.
Tapi Josephine tidak berhenti tertawa, dan malah semakin menjadi-jadi. Raphael membiarkannya saja meski kesal.
"Maaf! Aku tidak tahan!" Josephine berusaha menghapus matanya yang berair. "Tapi apa kau benar-benar menyukaiku seperti laki-laki menyukai wanita?"
"Tentu saja tidak! Sudah kukatakan aku hanya menawarkan bantuan!"
"Baiklah kalau begitu, aku sangat menghargainya. Terima kasih." Josephine tersenyum tulus. "Aku senang rupanya kau sudah menganggapku teman baik."
"Hanya teman. Bukan teman baik."
"Baiklah, hanya teman." Tidak peduli jawaban sarkas Raphael, sekejap kemudian Josephine kembali ceria. "Sekarang, karena kita teman...bolehkah aku meminjam kudamu?"
Mendengar itu Raphael tersentak. "Tidak!"
"Ayolah, aku sangat mahir berkuda!" Tanpa peduli penolakan Raphael tadi, Josephine menumpukan tubuh pada pijakan di samping tubuh Phoenix dan naik ke atas pelana. Raphael tercengang karena pertama kali melihat wanita menaiki kuda mengangkang.
Josephine mengulurkan tangan padanya. "Ikutlah!"
"Aku tidak mau!"
"Kalau begitu aku akan meninggalkanmu."
"Berengsek! Itu kudaku!"
"Kau tidak boleh mengumpat pada seorang lady!"
"Persetan!"
"Aku akan benar-benar meninggalkanmu!"
"Tidak..." Raphael spontan mengucapkan itu dan meraih tangan Josephine. Jauh di dalam hati ia tidak ingin itu terjadi. Meninggalkannya, dalam artian sesungguhnya.
Josephine menariknya hingga terpaksa Raphael memegang pinggang wanita itu saat duduk di belakang. Ia merasa luar biasa malu dalam jarak sedekat itu apalagi menyentuhnya meski hanya pakaian.
"Berpegangan yang erat!" teriak Josephine bersamaan kedua kakinya mengentak pada pijakan.
Itu bukan peringatan kosong. Karena setelahnya Raphael merasa akan mati konyol jika sampai terlempar dari kudanya sendiri. Josephine benar-benar mengendarai kuda dengan kecepatan angin. Sungguh, ia wanita yang sangat pemberani sekaligus gegabah. Kuda itu berderap cepat menyusuri pinggir sungai bahkan kecepatannya tidak berkurang saat berbelok menuju padang rumput luas yang terhampar. Raphael memeluk pinggang wanita itu erat. Rasa malunya sudah hilang entah ke mana, berganti rasa ketakutan. Rupanya mati itu menakutkan meski kemarin-kemarin rasanya ia ingin mati. Raphael harus memikirkan ulang.
Tapi lama-kelamaan kecepatan itu membuatnya tenang. Sepertinya Josephine memang sudah ahli menunggang kuda hingga Phoenix tetap pada jalur yang mulus. Saat tubuhnya tidak terlalu tegang, Raphael membuka mata dan melihat manor Blackmere Park di sisi kiri mereka, dikelilingi oleh pohon-pohon dengan perpaduan warna merah, jingga, dan kuning. Dari kejauhan, tempat itu ternyata bisa terlihat sangat indah di musim gugur.
Sejenak Raphael pikir tidak ada yang akan bisa menghentikan Josephine, tetapi Josephine tiba-tiba memanuver Phoenix untuk berbalik dan langkah kuda itu mulai melambat hingga berhenti di dekat semak belukar. Begitu berhenti, Josephine berteriak senang dan menyuruh Raphael turun sebelum ia sendiri ikut merosot turun dari kuda.
"Kupikir aku salah melihat tetapi benar ini beri." Wanita itu mengambil beberapa buah berwarna hitam dari salah satu semak.
"Kau tidak akan memakannya, bukan?" tanya Raphael cemas.
"Mengapa tidak?" Josephine menyodorkan tiga butir beri itu pada Raphael. Raphael menerima dan menatapnya sejenak dengan curiga. Lalu ia melihat Josephine tanpa ragu memakan beri miliknya.
"Beri jenis apa ini?"
"Elderberry," jelas Josephine. "Jangan khawatir, bibiku sering membuat selai dari beri ini. Cobalah."
Raphael memakan sedikit beri itu dengan ragu. Rasanya tidak terlalu manis dan juga ada sedikit rasa pahit. Ini sebenarnya mencurigakan.
"Kita beruntung." Josephine mengangguk-angguk ceria. "Bukankah keajaiban bahwa alam menyediakan segala sesuatu bagi kita?"
Raphael enggan menanggapi tapi ia memakan sisa berinya.
➰➰➰
Keesokan harinya, Raphael terkapar di tempat tidur setelah lemas akibat muntah dan diare berkepanjangan. Ia keracunan beri. Elderberry tidak boleh dikonsumsi mentah-mentah tanpa diolah terlebih dahulu melalui proses pemasakan. Winston dan para pelayan dapur menjelaskannya sehingga Raphael tahu. Dasar wanita bodoh. Dan Raphael lebih bodoh lagi karena percaya padanya.
Sial.
Setidaknya Josephine juga merasakan penderitaannya. Wanita itu pasti juga terkapar seperti Raphael sekarang, apalagi ia memakan lebih banyak buah beri dibanding Raphael. Semoga ia masih hidup. Raphael masih berbaik hati mendoakannya di sela-sela dendam.
Bagaimanapun ia mulai suka pada wanita itu. Kemarin ia sedikit merasa bahagia. Sebuah perasaan yang jarang muncul sejak kematian ibunya. Bahkan mungkin sebelum itu.
🍁🍁🍁
.
.
.
PART 27| SOMETHING ABOUT THE TRUTH
Dear Kaytlin,
Mungkin terlalu dini untuk menulis surat, tapi begitu sampai di Carlisle, Lisette sudah sangat mencemaskanmu, begitu pula aku. Lissy sudah akrab dengan Georgina, Lucy, Thomas dan sebentar lagi Emma. Kuharap kau baik-baik saja dan jangan ragu memberitahukanku jika ada masalah di sana.
Anthony Weston
➰➰➰
Dear Kaytlin,
Aku kebingungan. Entah kenapa estat Anthony jauh lebih dari ekspektasiku. Kupikir semua bangsawan memiliki estat suram seperti wali kita, ternyata tidak. Tapi ini terlalu...bagus.
Yang sesuai dengan bayangan kita hanyalah ada hewan ternak, tapi tempat ini sangat luas sehingga harus memakai kereta atau kuda untuk sampai ke peternakan. Kau akan terkejut...karena aku terkejut. Tempat ini sangat bersih dan terurus. Entah bagaimana aku menggambarkannya padamu. Kau akan mengerti sendiri saat melihatnya nanti. Semua sangat di luar dugaan. Dan yang paling aneh adalah Anthony tidak pernah memerah sapi selama aku di sini.
Aku belum bertanya tentang masalah itu padanya karena ada masalah lain. Emma sangat cemburu padaku padahal aku tidak pernah merayu Anthony. Bahkan hanya berbicara sepatah dua patah kata, Emma sudah mengusirku agar menjauh dari Anthony. Baiklah, aku mengerti ia masih anak-anak dan khawatir aku akan merebut kakaknya. Untung saja aku belum memutuskan memiliki anak. Aku ingin bisa sepertimu yang sangat sabar menghadapi anak kecil.
Jangan mencemaskanku karena ini tidak seserius yang kaubayangkan. Secara umum, aku merasa aman di sini. Justru keadaanmulah yang harus dikhawatirkan. Dari surat ini bisa kaubayangkan sendiri aku sangat cemas. Aku yakin Her Lady akan memperlakukanmu dengan baik tapi bagaimana dengan wali kita? Aku takut ia melakukan hal-hal buruk padamu dan membuatmu tertekan. Tolong kabarkan padaku segera.
With Love,
Lissy
➰➰➰
Lantunan Beethoven Sonata F Minor yang mengentak terdengar pagi hari itu di manor Blackmere Park. Bagian pembuka dari Sonata F minor bertempo cepat/ allegro dan merupakan bagian paling sulit dibanding bagian lainnya. Bagian pertengahan dari sonata ini bertempo lambat/ adagio dan Kaytlin belum sampai pada bagian itu karena belum menguasai allegro.
Awalnya, semua berjalan lancar karena Kaytlin cukup hafal. Beberapa detik kemudian di mana tiba pada bagian dengan tempo yang sangat cepat, permainannya berubah sedikit kacau dengan beberapa nada yang meleset. Mrs. Susan yang berdiri di samping Kaytlin terlihat tertekan, tetapi ia membiarkan Kaytlin tetap melanjutkan.
Penderitaan ini bermula beberapa hari lalu saat Kaytlin sudah berhasil mahir memainkan Beethoven mulai dari Fur Elise hingga Symphony no 5 level pemula dengan gemilang. Terakhir kali ia memperagakan Moonlight Sonata hingga bagian dua tanpa kesalahan. Mrs. Susan memujinya, begitu pun Dowager Marchioness.
Hanya Lord Blackmere yang terlihat tidak senang.
Pria itu mengeluh pada Mrs. Susan betapa estatnya bertambah suram seperti rumah hantu dan meminta sang guru musik mengganti dengan sesuatu yang lebih ceria. Saat itu juga ia langsung menyarankan Sonata F Minor. Sepertinya ia tidak mungkin tidak tahu bagian tersulit sonata itu terletak di awal. Mrs. Susan tentu saja tidak berani menolak keluhan Lord Blackmere sehingga memaksa Kaytlin berlatih partitur itu secara dadakan.
https://youtu.be/4Tr0otuiQuU
Moonlight Sonata
https://youtu.be/o5dL-65mKe0
Sonata in F Minor
Sonata F Minor itu akhirnya selesai dengan beberapa nada sumbang yang sangat mengganggu pendengaran. Kaytlin menarik tangan dari tuts dan menoleh pasrah ke penontonnya. Dowager Marchioness dan Mrs. Susan masih terdiam dengan ekspresi yang sulit untuk didefinisikan.
Di luar dugaan, Lord Blackmere membersit geli dan bertepuk tangan singkat. Dowager Marchioness melirik cucunya dengan kesal.
"Maafkan atas permainan buruk ini. Aku akan berusaha lebih baik lagi," sela Kaytlin, berusaha memperbaiki suasana.
"Bagi Miss Kaytlin yang baru beberapa hari berlatih, itu sudah cukup baik, My Lord, My Lady," jelas Mrs. Susan. Terlihat sekali ia khawatir reputasinya sebagai guru musik yang berkompeten akan tercemar dengan permainan ugal-ugalan Kaytlin. "Dengan sedikit latihan lagi, dia akan sempurna."
Lord Blackmere mengangguk-angguk setuju. "Tidak diragukan lagi. Aku sangat percaya dengan hal itu, Madam."
Jelas-jelas itu terdengar seperti ejekan. Kaytlin ingin protes, tapi tentu saja ia tidak mungkin bersikap kurang ajar saat ada orang lain.
➰➰➰
Dear Lissy dan Anthony,
Surat kalian datang bersamaan dan membuatku senang mengingat bahwa aku masih memiliki kalian sebagai keluarga. Aku sengaja membalas dalam satu surat agar kalian bisa membacanya bersama. Emma sangat mirip denganmu, Lissy, di mana waktu kecil dulu kau juga pernah cemburu saat Papa atau Mama memberikan perhatian padaku. Pada akhirnya kau menyayangiku. Aku yakin Emma pun akan demikian nanti.
Dowager Marchioness sangat bersemangat mengajariku banyak hal. Lord Blackmere juga memperlakukanku dengan lebih baik. Mungkin kalian tidak percaya, ia sering tertawa sekarang. Jadi kalian tidak perlu khawatir.
Aku juga tidak sabar ingin segera ke Carlisle.
With Love,
Kaytlin
Tentu saja Kaytlin tidak berbohong bahwa Lord Blackmere memang sering tertawa akhir-akhir ini. Hanya saja ia tidak menyebutkan secara mendetail bahwa itu bukan karena senang, tapi menertawakannya.
➰➰➰
"Sepertinya kau sangat menikmati kegiatanmu menyiksa Kaytlin," gerutu Dowager Marchioness saat Raphael melewati ruang biru dan baru saja akan memberikan salam padanya.
"Menyiksa? Aku justru sedang berusaha memberikan semangat."
Mendengar jawaban itu, Dowager Marchioness menatap garang. "Kau hanya mengacau! Berhentilah bermain-main!"
"Nenek, malah kau yang menyiksanya. Semua ini terlalu berlebihan. Kudengar kau menyewa guru baru kembali untuknya."
"Berlebihan? Aku berusaha menjadikannya seperti yang kauinginkan. Ia sudah berjalan seperti seorang lady dan tidak berlari-lari seperti yang selalu kaukeluhkan dulu. Ia juga sudah menghafal ratusan aturan tata krama sehingga tidak akan memalukan seperti yang kaukeluhkan dulu. Dengan pengetahuan akademik dan pelatihan piano dari Mrs. Susan sedikit lagi ia akan sempurna."
"Ia tidak perlu sesempurna itu."
"Pendapatmu tidak diperlukan. Bukan kau yang akan menikahinya."
Raphael menyimak raut neneknya sebelum menjawab. "Hanya mengungkapkan pendapat sebagai laki-laki."
"Sayangnya, kau sangat berbeda dari kebanyakan laki-laki di London."
"Tetap saja aku yang lebih tahu tentang arah pikiran mereka."
"Omong kosong! Kau hanya ingin membuatnya terus terlihat bodoh, padahal kau sebenarnya khawatir."
"Apa yang harus kukhawatirkan?"
"Khawatir ia menjadi wanita yang sesuai standar para ton dan menarik banyak perhatian, di luar perkiraanmu." Dowager Marchioness tiba-tiba tersenyum. "Dan kau akan kehilangan hiburan."
Raphael hanya menanggapi dengan mendengus geli.
"Kulihat akhir-akhir ini kau malah ikut dengannya bermain croquet."
"Dulu kau mengharapkan aku bersikap sedikit lebih baik padanya. Sekarang aku sudah bersikap lebih baik padanya, kau masih juga mengkritikku. Jadi apa yang sebenarnya harus kulakukan, My Lady?"
Balasan itu membuat Dowager Marchioness kehabisan kata-kata untuk sejenak. Pada akhirnya ia melanjutkan, "Terus terang aku ragu kau serius untuk menjadikannya debutan. Tapi apa pun usahamu untuk mengganggu, aku sudah mendapatkan undangan dan dua hari lagi Kaytlin akan menghadiri pesta dansa pertamanya sebagai debutan."
Raphael menatap neneknya kembali, lalu ia berdiri dari sofa. "Baiklah, kurasa semua sudah jelas. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi tentang Kaytlin, bukan?"
"Raphael...ada satu hal lagi..." sela Dowager Marchioness yang membuat Raphael berhenti dan menoleh kembali dari tempatnya. "Aku akan melakukan cara apa pun untuk membuatnya dikenal. Apa-pun," ucap Dowager Marchioness penuh penekanan. "Kau...tidak akan keberatan, bukan?"
"Untuk apa aku keberatan? Lakukanlah sesukamu sepanjang itu tidak melanggar hukum , My Lady," sahut Raphael.
➰➰➰
Raphael merasa tuduhan khawatir itu sungguh menggelikan. Ia tidak akan khawatir karena Kaytlin dengan jelas sudah mengerti bahwa Raphael tidak pernah benar-benar menjadikannya debutan. Lagipula Kaytlin sudah menerangkan bahwa ia tidak ingin menikah untuk saat ini karena ingin menjadi penjahit.
Penjahit.
Raphael mengernyit lagi mengingat cita-cita aneh itu.
"My Lord." Baru saja ia memikirkannya, wanita itu menghampiri Raphael saat mereka tidak sengaja bertemu di koridor depan.
Penampilan Kaytlin seperti akan bepergian karena ia sudah memakai mantel dan membawa topi di tangannya. Suara sepatu bot di balik roknya terdengar tegas saat ia berjalan, seakan menahan diri untuk tidak berlari-lari seperti kebiasaannya dulu. Neneknya pasti berusaha mengubahnya mati-matian karena sekarang Kaytlin tampak lebih rapi dengan rambut yang dijepit kuat ke belakang. Tatanan rambut itu membuat segala yang ada pada wajahnya lebih bersih dan terlihat jelas, seperti mata biru tua yang dibingkai bulu mata dan alis yang hitam pekat, serta bibir yang berwarna merah, yang sekarang sedang memberengut kesal. Sudah bisa dipastikan wanita itu juga akan melayangkan protes padanya.
"Aku hanya ingin mengingatkan. Aku sudah tahu bahwa aku di sini bukan untuk menjadi debutan, sehingga sebenarnya aku tidak perlu mempelajari segala ilmu yang tidak akan berkaitan bagi masa depanku. Tapi kumohon, bisakah Anda jangan mempermalukanku terus menerus?" cerocosnya panjang lebar.
"Kalau sudah tahu seperti itu, lalu mengapa kau sendiri menganggapnya serius?" timpal Raphael.
"Aku berusaha serius karena tidak ingin membuat Her Lady curiga. Tapi Anda sendiri yang malah memperlihatkan bahwa semua itu tidak serius, bahkan menjadikannya sebagai bahan tertawaan. Sebenarnya apa yang Anda harapkan untuk kulakukan?"
"Seperti yang kukatakan dulu, kau hanya perlu pergi ke season dan berteman dengan Sophie. Hanya itu."
Rasanya dulu memang hanya itu yang ia minta. Ia tidak pernah menyuruh Kaytlin menjadi lebih baik ataupun memperlihatkan segala kelebihan pada dirinya yang akan menarik perhatian.
"Berhentilah berusaha menjadi seorang lady," tambahnya agar lebih mudah dipahami.
Kaytlin terperangah. "Aku tidak pernah berusaha menjadi seorang lady!" Lalu karena sadar terlalu berapi-api, Kaytlin kembali sopan. "Maafkan kekasaranku. Tapi dengan itu Anda tahu bukan aku tidak akan bisa menjadi seorang lady?" Ia tertawa. Dengan cepat wanita itu selalu bisa kembali riang. Entah pikirannya terbuat dari apa.
"Baiklah, aku memang terlalu keras berusaha. Tapi Anda tidak perlu khawatir karena aku pasti berusaha sebaik-baiknya pada tujuanku semula."
"Kaytlin." Suara Dowager Marchioness memotong pembicaraan mereka. Wanita itu berjalan dari balik koridor yang berhubungan dengan tangga.
"Her Lady mengajakku bepergian," gumam Kaytlin sebelum mengangguk singkat. "Selamat siang, My Lord."
Raphael sempat khawatir neneknya mendengar pembicaraan mereka. Kaytlin pun terlihat sama khawatirnya.
Tetapi sepertinya tidak, karena neneknya bersikap biasa saja. Ia melirik sekilas pada Raphael sebelum tersenyum pada Kaytlin. "Ayo kita berangkat."
➰➰➰
"Kaylin...menurutmu bagaimana Raphael?" Dowager Marchioness mengajaknya bercakap-cakap saat perjalanan di kereta.
Kaytlin menoleh. "Maaf, My Lady, aku tidak mengerti pertanyaan Anda."
"Maksudku, sebagai seorang wanita, bagaimana menurutmu Raphael? Apakah ia menarik?"
"Me-me...narik?" Tidak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu, Kaytlin seketika tergagap.
"Ya."
"Te-tentu saja, My Lady. His Lord sangat menarik." Kaytlin menelan ludah.
"Sangat?" Dowager Marchioness menyipitkan mata.
Kaytlin tak sadar menjawab terlalu jauh. "Maksudku...yah...dia sangat menarik."
Tidak mungkin ia menarik lagi ucapannya.
"Jawaban itu benar-benar kauucapkan dari hatimu? Bukan karena sungkan, bukan?"
Kaytlin menggeleng. "Tidak, My Lady, aku bersungguh-sungguh," tukasnya. Kaytlin malah berharap sebaliknya bahwa Dowager Marchioness memang menganggapnya sungkan. Ia sudah mati-matian menutupi rasa malunya tetapi wajahnya terasa panas yang mengindikasikan ia pasti terlihat merah padam.
"Syukurlah kalau begitu." Dowager Marchioness tersenyum sembari mengamatinya. Rasanya Kaytlin ingin melompat keluar jendela kereta kuda. Ia membetulkan tempatnya duduk yang mulai tak nyaman. Kain rok gaunnya serasa ada yang terlipat tapi ternyata tidak.
"Aku sedikit khawatir karena selama ini ia tidak pernah terlihat bersama wanita. Aku hanya meminta pendapatmu karena kebetulan kau adalah wanita."
Mengapa Dowager Marchioness tidak menerangkannya sejak awal?! Kaytlin mengerang dalam hati. Mendengar penjelasan itu, Kaytlin cukup lega karena itu berarti pertanyaan itu tidak ditujukan secara khusus padanya. Meski tetap saja rasa malunya belum menghilang sepenuhnya.
"Mungkin His Lord sibuk dengan pekerjaannya. Seperti Mr. Maximillian," tukas Kaytlin.
"Entahlah." Dowager Marchioness menarik napas dan melihat ke luar jendela. "Sebenarnya aku sudah lama menerima kenyataan bahwa gelar Blackmere akan berakhir di tangannya karena ia tidak akan menikah."
Karena Kaytlin hanya terdiam, Dowager Marchioness menambahkan dengan riang seakan mengerti Kaytlin pasti kebingungan untuk menanggapi. "Ini bukan penyesalan atau kesedihan. Aku benar-benar menerima."
"Anda sangat berpikiran terbuka, My Lady." Kaytlin tersenyum tulus. Tidak banyak bangsawan memang yang memiliki pemikiran seperti lady di hadapannya.
"Di usia ini, aku memang mencoba lebih banyak menerima," lanjutnya. "Tapi terus terang, aku senang melihat kau sudah akrab dengan Raphael." Lagi-lagi Dowager Marchioness membuka topik yang membuat Kaytlin khawatir perasaannya akan terbaca.
Sebenarnya ia dan Lord Blackmere tidak bisa dikatakan akrab, tetapi Kaytlin hanya berusaha untuk menerima keadaan seperti biasa. Ia masih memiliki perasaan terhadap Lord Blackmere tapi Kaytlin tidak akan bersedih sepanjang hari seperti dalam drama hanya karena pria itu tidak memiliki perasaan yang sama. Ada banyak hal lain yang menyenangkan dalam hidup dibanding hanya memikirkan itu. "Kami hanya menyapa seperti biasa, My Lady. Sepertinya His Lord tidak terlalu sibuk akhir-akhir ini dan suasana hatinya juga cukup baik."
"Hmmm, suasana hatinya memang sangat baik." Dowager Marchioness membenarkan, lalu setelahnya ia tidak bertanya apa-apa lagi yang membuat Kaytlin bersyukur.
Lord Blackmere memang cukup bersahabat sekarang. Kaytlin mendengar perjanjian Mr. Maximillian dengan Viscount Wallingford sudah resmi dimulai, ditambah lagi Kaytlin juga sudah bersedia membantunya menjadi penghubung pria itu dengan Duchess of Schomberg. Mungkin ia sudah senang semua dalam hidupnya berjalan lancar.
Hanya saja di saat suasana hati Lord Blackmere sedang baik, pria itu punya kecenderungan gemar menyusahkan orang lain. Jangan berusaha menjadi seorang lady, katanya. Tapi pria itu menyiksanya dengan Sonata F Minor.
Meski menyebalkan, hal itu bukan masalah besar bagi Kaytlin. Yang ia pikirkan adalah kenyataan bahwa ia akan berada di Blackmere Park lebih lama dibanding rencana.
Setahun.
Setahun setelah Duchess of Schomberg menjanda lebih tepatnya. Dan itu pun tidak jelas kapan. Kaytlin ingat di desanya dulu ada seorang sesepuh yang sudah sakit-sakitan dan tidak bisa melakukan apa pun lagi. Semua orang sudah mengira umurnya tidak akan panjang, tetapi sesepuh itu bertahan di atas tempat tidurnya hingga tiga tahun sebelum benar-benar meninggal. Tidak ada yang tahu sampai kapan Duke of Schomberg bertahan. Kaytlin tidak mendoakan seseorang cepat mati tapi di sisi lain ia mengalami dilema.
Dan ia juga tidak mengerti mengapa Lord Blackmere masih mengulur-ngulur waktu untuk menjalankan rencananya. Seharusnya pria itu bisa muncul sekarang di season, bertemu Duchess of Schomberg, dan mengakrabkan diri. Tahun depan jika Kaytlin tidak menjadi debutan lagi pun, semua ton akan mengingat bahwa mereka berdua sudah cukup saling mengenal. Tidak masalah jika Kaytlin menghilang dari season saat itu karena keberadaannya akan terlupakan dengan mudah. Tidak banyak yang mengingat seorang wanita yang pernah menjadi debutan jika hanya sekejap, seperti ibunya dulu.
➰➰➰
Mendekati hari H debutnya, Dowager Marchioness masih juga merasa kurang padahal Kaytlin sudah merasa berlebihan. Kali ini Dowager Marchioness mengajaknya ke toko kosmetik dan parfum paling terkenal di Bond Street untuk membeli beberapa keperluan.
"Kulitnya sangat cerah," tukas Mr. Harold, pria tua kurus pemilik toko tersebut. "Ia hanya perlu perawatan biasa seperti masker dari rumput laut."
Mr. Harold mengambil beberapa botol kaca bersegel dari salah satu rak.
"Tapi wajahnya memiliki sedikit freckles. Komunitas lebih mengagungkan kulit pucat tanpa cela. Apa kau bisa melakukan suatu usaha untuk menutupi hal itu?" keluh Dowager Marchioness. "Mungkin sedikit bedak atau pemerah pipi?"
"Maaf, My Lady. Sang Ratu melarang semua itu sekarang karena mengandung bahan berbahaya."
"Benarkah?!" Dowager Marchioness terkesiap. "Untung saja aku tidak pernah memakainya karena dulu wajahku gatal-gatal saat mencobanya pertama kali."
"Anda beruntung, My Lady. Kulit sensitif menyelamatkan Anda." Mr. Harold mengangguk-angguk. "Sejak dulu tokoku juga hanya menjual kosmetik dari bahan alami sehingga tidak terkena protes dari masyarakat."
Setelah bercakap-cakap tentang kosmetik berbahan arsenik itu, Dowager Marchioness menyuruh Kaytlin untuk memilih parfum sendiri bersama Mr. Harold sementara wanita itu melihat-lihat ke rak lain.
"Seperti parfum yang kupakai saat ini, Sir," tukas Kaytlin saat Mr. Harold menanyakan bahan-bahan yang ia inginkan untuk membuat parfumnya.
Mr. Harold menghirup dalam-dalam di dekat Kaytlin. "Bergamot, ekstrak teh...dan beberapa bahan lain."
Kaytlin terkesima. Hampir seluruh pemilik toko parfum memiliki kemampuan penciuman ajaib seperti Mr. Harold. Semoga saja ia bisa membuat sama persis.
"Baiklah, aku akan membuat sampelnya dulu," Mr. Harold berbalik mengambil beberapa botol wewangian di raknya. Ia mencampur beberapa tetes wewangian tersebut dalam takaran yang berbeda-beda menjadi satu dalam sebuah botol yang lebih besar.
Sementara Mr. Harold bekerja, Kaytlin melihat sekeliling dari tempatnya duduk. Toko itu cukup ramai dan sebagian besar pengunjungnya adalah wanita. Meski ada juga dua orang pria sedang menunggu di sofa yang disediakan di depan sebagai tempat menunggu. Mereka tampaknya laki-laki yang sabar karena sejak Kaytlin memasuki toko, mereka sudah ada di sana, dan belum juga pulang hingga kini.
Perhatian Kaytlin pada dua pria itu teralihkan saat pintu masuk dibuka dan lima orang lady memasuki toko. Dari pakaiannya, terlihat mereka adalah para bangsawan kaya. Kaytlin hampir tidak mengenalinya tetapi ia tidak bisa berkedip saat salah satu dari mereka adalah Lady Sophie, Duchess of Schomberg.
Punggung Kaytlin seketika menegang. Ia melihat sekeliling dan menemukan Dowager Marchioness sedang ada di lantai dua, di mana lantai itu didesain berbentuk selasar seperti perpustakaan, sehingga orang-orang di lantai satu bisa melihat orang-orang di lantai dua. Begitu pula sebaliknya.
Kaytlin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bukankah ia memang harus mengakrabkan diri dengan Duchess of Schomberg? Tapi ia tidak menyangka akan secepat ini.
Tepat di saat Kaytlin masih berpikir, sang duchess melihatnya. Dan ia langsung menghampiri Kaytlin dengan wajah semringah. "Kaytlin?!" tanyanya saat mendekat. Matanya menatap Kaytlin naik turun. "Apakah ini benar? Kau masih ada di London?"
"Your Grace." Kaytlin langsung berdiri dari kursinya dan memberi salam.
"Duduklah. Jika kita bertemu di tempat seperti ini, jangan terlalu formal seakan aku adalah Ratu Inggris. Bukankah kita sudah saling mengenal?" Sophie mengambil tempat di salah satu kursi di sebelahnya. Kaytlin kembali duduk dan mencoba santai. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Apakah His Lord belum memberitahukan pada Anda?" Kaytlin bertanya balik. Seharusnya Lord Blackmere sudah bercerita tentang semuanya karena sudah hampir dua minggu Kaytlin berada di estat.
"Tidak." Sophie mengernyit. "Aku hanya tahu bahwa adikmu sudah menikah dengan salah seorang earl. Selamat untuk adikmu."
Kaytlin tersenyum dan berterima kasih.
"Dan kabarnya kau ikut bersama mereka," lanjut Sophie.
Kaytlin menggeleng. "His Lord menceritakan..." Ucapan Kaytlin terjeda, berharap wanita di depannya itu akan langsung mengerti. "Rencana...bahwa aku harus membantu kalian."
Sejenak Sophie terdiam mencerna perkataan Kaytlin. Lalu tak sampai beberapa detik kemudian, ia terperangah dan menutup mulutnya dengan tangannya yang bersarung putih. "Aku tidak menyangka ia akan mau memintamu."
Kaytlin tersenyum lagi dan mengangguk-angguk.
"Maaf, sebenarnya itu permintaan yang tidak sopan. Aku sungguh malu mengetahui semua ini, tetapi kuharap kau mengerti."
"Tidak, Your Grace. Aku tidak berpikiran macam-macam. Dengan senang hati aku membantu karena His Lord sudah membantu adikku," terang Kaytlin.
"Miss de Vere, bisa kaucoba dulu apakah sudah sesuai?" Mr. Harold menyodorkan botol kaca yang sudah berisi sampel parfumnya pada Kaytlin. Kaytlin menerima botol sampel tersebut lalu menghirup dan menuang isinya ke pergelangan tangan sebelum menghirupnya lagi untuk kedua kali.
"Ini sama persis. Bahkan sempurna!" gumam Kaytlin takjub.
"Baiklah, aku akan membuatkannya sebotol kalau begitu," tukas Mr. Harold senang. Dan ia meninggalkan mereka kembali.
"Aroma yang sangat unik," komentar Sophie yang mencoba mencium sampel parfum tersebut. "Mengapa kau tidak memilih sesuatu yang lebih feminim seperti mawar, atau mungkin lili? Itu aroma yang sedang digemari."
"Terakhir kali mendiang ibuku sangat suka memakai parfum dengan wangi ini. Memakainya selalu memunculkan perasaan sentimentil." Kaytlin mengemukakan alasan sambil tersenyum memandang cairan parfumnya di botol kaca. "Aku belum ingin kehilangan kenangannya."
"Ah, Lady Forthingdale. Aku turut berduka. Ibumu dulu kudengar sangat cantik, Kaytlin. Tapi saat itu aku masih anak-anak sehingga aku tidak pernah benar-benar mengenalnya."
"Bahkan ia juga masih menjadi yang tercantik di desa kelahiranku dulu. Atau mungkin aku terlalu mengaguminya karena dia ibuku." Kaytlin tertawa pelan.
Pembicaraan mereka tanpa diduga berlangsung lancar dari satu topik ke topik yang lain. Sikap Duchess of Schomberg sangat bersahabat dan tidak terlalu mempermasalahkan gelarnya yang paling berperan besar terhadap semua itu. Kaytlin tidak terlalu gugup lagi dan sifat aslinya yang suka berteman muncul seketika. Sophie bahkan sebenarnya memiliki pemikiran seorang gadis belia, sama seperti Lisette, Melissa, Selene, dan semua temannya di season. Ternyata wanita itu memang manusia biasa dan Kaytlin semakin prihatin atas nasib wanita itu yang terpaksa harus menikah di usia remaja. Pantas saja Sophie tidak pernah terlihat sendirian. Wanita itu memang hanya kesepian dan butuh dukungan.
"Kaytlin, kau sudah selesai memilih parfum, bukan?" Dowager Marchioness muncul menghampiri mereka dan membuat Kaytlin dan Sophie menoleh.
Kaytlin segera berdiri dari kursinya. "My Lady, kuharap aku tidak membuat Anda menunggu tadi. Sungguh, aku tidak sadar."
"Tidak, aku juga baru selesai memilih keperluanku." Dowager Marchioness mengalihkan pandangan pada Sophie. "Rupanya kau sedang bersama Your Grace." Ia tersenyum.
Sophie berdiri dari tempatnya duduk dan menyentuh bahu Kaytlin. "My Lady, kudengar Kaytlin akan menjadi debutan dan aku sangat senang dengan kabar itu. Aku tidak sabar lagi untuk mengenalkannya pada beberapa gentleman kenalanku yang memiliki reputasi yang baik tentu saja."
Alis Dowager Marchioness terangkat. "Ah, kau sangat murah hati, Your Grace. Tapi aku yakin Kaytlin akan mendapatkan seseorang yang baik, dengan atau tanpa bantuan orang lain tentu saja."
"Aku juga sangat yakin dengan hal itu, Lady Blackmere," balas Sophie seraya tersenyum.
"Baiklah kalau begitu. Kaytlin dan aku terpaksa harus pamit lebih dulu karena kami tidak ingin pulang terlalu sore. Sampai jumpa lagi, Your Grace." Dowager Marchioness meraih tangan Kaytlin. "Ayo, Kaytlin."
Sesudah memberikan salam pada Duchess of Schomberg, Dowager Marchioness masih menggandengnya. Kaytlin merasa cengkeraman tangan wanita itu lebih erat dibanding biasa. Atau mungkin itu hanya perasaan Kaytlin saja.
Dowager Marchioness baru melepaskannya pelan saat mereka berdua sudah berada di dalam kereta.
"Kaytlin...dengarkan aku..." ucap Dowager Marchioness dengan emosi tertahan. Kaytlin baru menyadari hal tersebut setelah melihat raut wajah sang lady. Ia merasakan firasat buruk.
"Aku memang menerima kenyataan jika Raphael tidak akan menikah," tuturnya pelan. "Kutegaskan lagi, jika-ia-tidak-menikah. Kau mengerti?!"
Kaytlin bergeming di tempatnya dengan kebingungan.
"Tapi aku tidak akan pernah rela hingga ke liang kubur jika ia menikah dengan wanita itu!" lanjutnya.
"M-My Lady...aku tidak meng__"
"Kau mengerti! Aku tahu betul kau mengerti! Berhentilah berpura-pura karena aku mendengar percakapanmu di koridor tadi bersama Raphael!"
Rupanya kekhawatiran Kaytlin tadi benar. Tapi Dowager Marchioness begitu ahli menutupi semuanya hingga Kaytlin yakin wanita itu tidak mendengar.
"Aku tahu ada yang tidak beres saat Raphael tiba-tiba menjadikanmu debutan. Setelah mendengar percakapan kalian tadi pun aku belum sepenuhnya mengerti. Tetapi begitu melihatmu akrab dengan wanita itu, aku tersadar..." Dowager Marchioness menatapnya dengan campuran rasa sedih sekaligus kemurkaan. "Kaytlin, aku tidak percaya kau mau melakukan semua ini! Kupikir kau anak yang baik."
"Maaf..." tutur Kaytlin. Ia sebenarnya masih ingin berkelit, tetapi Dowager Marchioness akan sangat membencinya dan Kaytlin juga tidak bisa membayangkan bagaimana di estat nanti.
"Tapi, My Lady...mungkin Anda harus mempertimbangkan ulang. His Lord dan Duchess of Schomberg saling mencintai. Mereka__"
"Kaytlin, kau tidak mengerti." Dowager Marchioness memegang kedua bahunya dan menatap lekat. "Raphael...sikapnya seperti itu, tetapi ia orang yang baik. Dan Sophie...ia terlihat baik, tapi kau tidak tahu siapa dia. Akulah yang mengenal mereka semua. Jika sampai kau membantu mereka bersatu, aku bersumpah akan membuatmu berakhir di penjara karena telah menjerumuskan keluargaku!"
Mendengar kata penjara, Kaytlin terperanjat. Tidak sekali pun dalam hidupnya ada bayangan bahwa ia berakhir di sana. Dowager Marchioness cukup mampu untuk menjebloskannya ke penjara dengan tuduhan palsu karena wanita itu adalah bangsawan. Kesenjangan masih berlaku sangat keras sejak zaman dulu hingga sekarang.
"Kumohon, My Lady, aku minta maaf sekali lagi. Aku...aku melakukannya hanya untuk membalas budi karena apa yang His Lord berikan pada Lissy...Aku tidak ingin mendukung ataupun mencampuri hubungan His Lord dan Your Grace...Aku akan pergi secepatnya dari estat hari ini..."
"Oh, tidak...kau tidak boleh pergi." Dowager Marchioness menyipitkan mata. "Dan sebaliknya, kau harus ikut campur."
Kaytlin terdiam kebingungan untuk sesaat. "Ikut campur?"
"Ya, kau akan berperan besar dalam semua ini dan hanya kau yang bisa, karena Raphael..." Ucapan Dowager Marchioness terhenti seakan mempertimbangkan sesuatu. Lalu ia hanya melanjutkan dengan permintaan yang membuat Kaytlin semakin berada dalam dilema. "Berjanjilah padaku, kau tidak akan membuat mereka bersatu."
Dowager Marchioness menatapnya dengan mata menyala penuh amarah.
"Berjanjilah, Kaytlin!"
🍁🍁🍁
Yuk komen NEXT
Terimakasih sudah menekan bintang dan komen
Nb : tidak semua gambar di part ini sesuai keakuratan tahun sejarah. Foto toko parfum itu tahun 1900-an sih cuma pas sejak zaman dulu (1700an, bahkan sebelumnya) memang sudah ada toko parfum. Ga nemu gambarnya aja.
Foto Kaytlin main piano juga rambutnya harusnya nggak sepanjang itu 😂 bayangin sendiri aja ya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top