Part 24.3 - Something About Proposal
Selamat hari kemerdekaan!!
*
*
Mungkin udah banyak yang tau kalau DANIEL AND NICOLETTE bakal diadaptasi menjadi film seri Wattpad dan Vidio. Stay tune progressnya ya. Yang punya medsos, follow akun Wattpad dan Vidio buat ngeramein dong.
Btw, masukkan juga Sean and Valeria ke perpus kalian.
*
*
*
Jangan lupa memberi bintang
Jangan lupa komen
Follow akun penulis :
*
*
*
"Aku sangat malu dengan semua ini," kata Kaytlin kepada Lisette saat mereka berada di dalam kamar bersiap hendak membersihkan diri untuk makan malam. Anthony sudah pulang beberapa saat lalu. Dowager Marchioness sempat memanggilnya lagi dan menanyakan tentang pembicaraannya dengan Anthony. Lalu setelahnya, Kaytlin menceritakan pada Lisette.
Kecuali tentang lamaran itu. Lisette tidak mendengar pembicaraannya dengan Anthony di taman tadi dan Kaytlin juga tidak mau membahasnya entah kenapa.
"Mengapa kau harus malu?" tanya Lisette yang sejak tadi mendengarkan dengan saksama.
"Aku tidak terbiasa menjadi objek dari suatu...perhatian." Terutama Dowager Marchioness. Akhir-akhir ini sepertinya sang lady sangat memperhatikan gerak-geriknya. Ia takut Dowager Marchioness akan memandangnya buruk dan pembuat masalah padahal ia hanya menumpang di estat.
"Seharusnya Lord Blackmere yang malu dengan itu, bukan dirimu, Kay," tukas Lisette.
"Tidak. Untuk apa ia malu? Sejak awal dia memang menolak mensponsoriku dan aku menerima."
Lisette menatap lantai dengan tangan terpangku. "Tapi aku tidak mengerti mengapa Lord Blackmere masih mempertimbangkan. Seharusnya ia langsung setuju, bukan? Atau setidaknya masa bodoh dan membiarkan kau disponsori."
"Itu juga yang menjadi pertanyaanku."
"Apa mungkin ia tersinggung? Jika ia menyetujui permintaan Lord Malton maka banyak yang akan berpikir Lord Blackmere tidak mampu mensponsorimu."
Dugaan Lisette membuat Kaytlin ikut berpikir dengan lesu. "Kau benar. Kurasa alasan itu yang paling mendekati." Perasaan Kaytlin semakin runyam.
"Atau mungkin Lord Blackmere hanya berhati-hati mengambil keputusan karena belum mengenal Earl of Malton. Terus terang, aku pun terkejut ia mengajukan diri menjadi sponsormu," terang Lisette.
"Madame mengatakan ia tidak kesulitan keuangan, tapi Madame juga tidak tahu seberapa besar kemampuan finansial Lord Anthony. Hal itu juga menambah pikiranku. Mungkin ia bisa saja mensponsoriku sesuai kemampuannya," Kaytlin menoleh pada Lisette. "Apa kau tahu berapa syarat minimal untuk mensponsori seorang lady?"
"Tidak, aku tidak tahu pasti. Melissa mengatakan orangtuanya memberikan mahar tiga ribu pound. Kudengar ada juga lady lainnya yang memiliki mahar perhiasan, tanah, bahkan kuda."
"Kuda?" tanya Kaytlin, lalu menyimpulkan sesuatu. "Mungkinkah Lord Anthony akan memberikanku mahar hewan ternak?"
Mereka berdua saling bertatapan penuh tanda tanya.
"Mungkin saja," sahut Lisette mengernyit, tapi selanjutnya ia menggeleng. "Tidak, ia tidak mungkin sekonyol itu. Aku tidak bisa membayangkan dirimu dikenal sebagai debutan dengan mahar seekor sapi!"
Kaytin tertawa. "Tetap saja aku merasa sungkan padanya entah apa pun yang ia keluarkan. Apalagi mengingat ia memiliki empat adik yang harus ia tanggung. Tiga di antaranya akan menjadi debutan nanti dan Anthony juga harus menyediakan mahar."
"Benar, aku juga menghargai niat baik seseorang, hanya saja aku masih belum sepenuhnya percaya." Lisette mendesah lelah.
***
Akhir-akhir ini Raphael sangat sering melihat neneknya duduk di ruang santai biru di mana setiap kali menuju ke ruang kerja, Raphael harus melewati ruangan tersebut. Seperti saat ini. Raphael sebenarnya sedang enggan untuk bertemu neneknya itu setelah insiden dengan Malton.
"My Lady." Tapi Raphael tetap menyapanya demi kesopanan. Ia tidak mungkin berpura-pura tidak melihat.
Neneknya hanya membalas dengan anggukan, meski Raphael merasa wanita itu memperhatikan setiap langkahnya saat melintasi ruangan. Tepat saat Raphael sudah akan mencapai pintu penghubung, neneknya terdengar berkata, "Aku tidak mengerti mengapa kau menolak tawaran sponsor Malton."
Ingin rasanya Raphael mengerang, tapi ia menoleh dengan tenang. "Aku tidak menolaknya. Aku masih mempertimbangkannya."
"Aku yakin kau akan menolaknya."
"Tampaknya kau sangat ingin Kaytlin menjadi debutan, My Lady," ujar Raphael langsung ke tujuan.
Tidak ingin kalah, neneknya juga langsung membalas Raphael tanpa berbelit-belit. "Awalnya seperti itu. Tapi kurasa apa pun keputusanmu aku tidak peduli sekarang. Jika kau menolak tawaran sponsor Malton maka ia akan melamar Kaytlin. Pilihan kedua juga ternyata tidak buruk, bahkan lebih baik."
Entah apa tujuannya, Raphael harus mengakui neneknya berhasil membuatnya kebingungan sekarang. Tapi ia tidak akan memperlihatkannya. Malton memang menyusun segalanya dengan sangat sempurna.
"Kurasa aku memang harus menolak tawaran sponsor itu dan membuat Malton mengajukan lamaran jika ingin membuatmu senang, bukan? Untuk apa berbelit-belit lagi dengan menjadi debutan?" sindirnya.
"Sayangnya Kaytlin tidak mau Malton melamarnya," ungkap neneknya dengan nada kecewa. "Kaytlin mengatakan Malton tidak mencintainya. Sangat mirip ibunya, tipikal wanita yang rentan melakukan kesalahan. Andai saja ia bisa berpikir lebih realistis."
Andai situasi tidak seperti ini, Raphael mungkin sependapat dengan neneknya. Baru pertama kali ini ia merasa senang atas kebodohan Kaytlin. Lalu sedetik kemudian ia merasa kesal mengapa ia harus senang dengan itu.
"Aku ingin mengabarkan bahwa besok Maximillian akan ke London untuk melihat perkembangan kantornya. Aku tentu saja akan ikut serta, My Lady." Raphael menutup pembicaraan.
Neneknya menoleh. "Beruntung sekali. Dengan beritaku tadi setidaknya kau bisa ke London dengan tenang."
"Sejak awal aku hanya keberatan dengan masalah tabloid gosip itu. Sekarang karena hal itu sudah jelas, tentu saja aku merasa tenang. Aku akan memberikan kabar gembira untukmu sesegera mungkin. Sampai jumpa saat makan malam, My Lady," pamit Raphael.
***
Kaytlin mengira Lord Blackmere akan membicarakan tentang Anthony dengannya, tetapi tidak. Pria itu biasa saja saat makan malam dan tidak terlihat akan memulai pembicaraan apa pun yang menyangkut Kaytlin. Entah Kaytlin harus merasa lega ataukah sedih dengan semua itu.
Setelah beramah tamah--lebih banyak kepada Mr. Maximillian--Dowager Marchioness lebih dulu selesai makan dan meninggalkan ruangan. Lalu Lord Blackmere dan Mr. Maximillian menyusul. Kaytlin baru saja akan berjalan ke kamarnya bersama Lisette, tetapi pada akhirnya ia tidak tahan juga dan berbalik arah mengejar kedua pria tadi.
"My Lord, Anda mengatakan akan ke London besok pagi sehingga aku terpaksa berbicara sekarang. Bisakah aku meminta waktu Anda?" pinta Kaytlin penuh harap. Lord Blackmere dan Mr. Maximillian menoleh padanya.
"Tentang apa, Miss de Vere?" tanya Lord Blackmere tanpa berhenti berjalan. Ia hanya memperlambat langkahnya saja. Kaytlin mengikuti, sementara Maximillian berhenti dan membiarkan mereka.
"Tentang Earl of Malton."
"Sudah hampir seharian aku mengurusi hal itu sehingga tidak sempat mengurus hal lain. Bisakah kau tidak mengangguku kali ini dan katakan saja apa yang kauinginkan pada Her Lady?"
Meskipun Lord Blackmere mengucapkannya dengan sopan, Kaytlin bisa merasakan nada tidak senang dalam suaranya.
"Baiklah..." Akhirnya Kaytlin berhenti melangkah dan terdiam menatap punggung pria itu yang berlalu tak peduli.
"Apa ada hal penting yang ingin kausampaikan padanya, Miss de Vere?" tanya Mr. Maximillian. Kaytlin berbalik untuk menoleh. Pria itu berdiri berada beberapa langkah darinya. Jauh di belakang terlihat Lisette menatap khawatir di tempat Kaytlin meninggalkannya tadi.
"Aku bisa menyampaikan untuknya karena kami akan mendapat banyak waktu membicarakan apa pun selama perjalanan," lanjut Mr. Maximillian sembari tersenyum.
Banyak waktu. Kaytlin menatap pria itu tak berkedip. Tentu saja Lord Blackmere punya banyak waktu untuk seseorang yang berjasa bagi hidupnya. Kaytlin hanya perlu sepersekian dari banyak waktu itu yang sayangnya sungguh sulit ia dapatkan. Meski merasa masalah itu penting bagi Kaytlin, masalah itu tidak begitu mendesak dan tidak mendatangkan keuntungan bagi Lord Blackmere.
"Terima kasih, Mr. Maximillian," sahut Kaytlin sopan. "Tidak ada hal penting. Aku bisa menunggu."
***
PART 24.3 SOMETHING ABOUT PROPOSAL
"Kaytlin, kemarilah dan duduk sebentar. Aku ingin bertanya padamu lagi." Saat melewati ruang duduk, Dowager Marchioness ada di sana dan memanggilnya.
Kaytlin mendekat dan duduk dengan hati cemas.
"Aku dengar kau ingin berbicara dengan Raphael kemarin," tanya Dowager Marchioness tenang.
Punggung Kaytlin seketika menegang. Entah darimana Dowager Marchioness tahu, tapi ini sangat memalukan. "Maaf, My Lady. Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan bahwa tidak masalah bagiku jika His Lord menerima ataupun menolak sponsor dari Earl of Malton dan juga berharap masalahku tidak menganggunya."
Dowager Marchioness menyahut muram. "Kenyataannya, masalahmu memang sudah mengganggunya."
Apa yang diucapkan Dowager Marchioness begitu menusuk. Kaytlin berharap itu hanya gurauan tetapi Dowager Marchioness terlihat serius.
"Bukan, aku tidak bermaksud seperti yang kaupikirkan," seloroh Dowager Marchioness lagi menyadari raut Kaytlin. Lalu ia berdecak. "Kau tidak perlu bertanya padanya. Dia pasti akan memberikan jawaban. Dan aku juga menunggu jawabannya."
"Baiklah, My Lady. Aku juga ingin minta maaf kepada Anda yang terpaksa terusik dengan semua ini. Aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi."
"Terusik? Aku malah menikmatinya!" Dowager Marchioness tiba-tiba tertawa yang membuat Kaytlin kebingungan.
"Terus terang ini tidak pantas disebut masalah," lanjut wanita tua itu. "Dan jangan berhenti. Tetaplah mengganggu Raphael." Ia membuka tutup cangkir porselen dan menyesap tehnya.
Kaytlin terdiam tak bisa berkata-kata lagi. Ia berpikir apakah tidak sedang salah mendengar.
"Kurasa sudah cukup. Aku tahu kau tidak mengerti, tapi kau akan menerima apa pun keputusannya, bukan?"
"Te...tentu saja, My Lady," jawab Kaytlin cepat-cepat.
Dowager Marchioness tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke jendela. "Aku hanya menebak-nebak apa yang akan dilakukan Raphael tercintaku sekarang."
***
Raphael sempat menduga pembicaraan dengan Duke of Torrington akan sangat alot. Sang duke menyambutnya dan Maximillian di rumahnya di Belgravia dengan wajah tertekuk masam. Wallingford ada di sana dan seperti biasa menjadi pencair suasana. Awalnya sang duke mengatakan dengan ketus bahwa Maximillian memanfaatkan Raphael karena dengan gelarnya sebagai marquess, Maximillian akan mudah memasuki pergaulan aristokrat Inggris yang memang sulit ditembus orang biasa sepertinya meskipun Maximillian kaya raya. Dan bahkan bertemu dengan seorang duke terhormat sepertinya.
Christopher Maximillian mendengarkan semua keluhan dan caci maki sang duke dengan tenang dan tersenyum santai tanpa menyela. Lalu dengan kelihaiannya berbicara, pria itu membuat sang duke seakan tersihir, dan pada akhirnya bukan hanya mengizinkan Wallingford menyewakan tanahnya, ia juga tertarik mendengarkan ajakan investasi pada salah satu usaha Maximillian.
"Investor sangat jauh berbeda dengan bekerja," kata Maximillian. Suara baritonnya terdengar sangat manis dan meyakinkan jika sudah menjelaskan sesuatu. Raphael masih kagum terhadap kemampuannya yang satu itu. Jika Maximillian seorang perayu wanita, pasti akan banyak wanita yang takluk akan rayuannya melebihi Derek. Syukurlah Maximillian terlihat tidak pernah tertarik begitu dalam pada wanita. Pria itu memang pernah menyewa wanita penghibur mahal saat di Inggris sebelumnya, tetapi Maximillian memang hanya menggunakan jasanya dengan tepat. Tidak lebih.
"Investor sama seperti para bangsawan yang memperoleh pendapatan dari sewa."
"Bagaimana bisa?" tanya Torrington.
"Modal utama kalian adalah tanah, sedangkan kami uang. Intinya sama-sama menginvestasikan sesuatu dalam bentuk yang berbeda."
Torrington memikirkan itu dengan kening berkerut dalam, lalu ia mengangguk-angguk. "Sepertinya aku mengerti."
"Aku sudah menduga sejak awal bahwa Anda seorang bangsawan yang cerdas, Your Grace. Aku tidak mendapat kesulitan menjelaskan banyak hal kepada Anda, padahal biasanya kebanyakan orang tidak terlalu bisa menangkap istilah-istilah dalam dunia bisnis." Dan seperti biasa Maximillian selalu mengakhiri dengan pujian.
"Tentu saja, Mr. Maximillian, sepupuku memang sangat pintar. Dan ia juga berpikir kritis, maka dari itu ia sangat berhati-hati sebelum memutuskan sesuatu. Benar bukan, Your Grace?" Wallingford menoleh dengan ceria pada Torrington yang terdiam linglung.
"Aku yakin sang duke tidak akan kekurangan tanpa perlu menjadi investor."
"Tepat sekali, Mr. Maximillian," timpal Torrington dengan angkuh. "Tapi aku cukup tertarik setelah mendengarkan penjelasan Blackmere tentang investasinya pada ekspor sabun milikmu. Hal itu sangat membantu Yang Mulia Ratu."
"Benarkah?" Maximillian terlihat antusias.
"Akhir-akhir ini Sang Ratu menggalakkan sanitasi untuk menanggulangi kolera dan penyakit-penyakit menular yang biasa menjangkiti masyarakat. Memperluas pemasaran sabun yang harganya lebih terjangkau masyarakat kelas bawah tentu saja membantu usaha beliau," ucapnya menyebut 'masyarakat kelas bawah' dengan terang-terangan tanpa beban.
"Aku sangat senang bahwa usahaku secara tidak langsung membantu Sang Ratu," ujar Maximillian, lalu ia melanjutkan lagi penjelasan tentang usahanya yang lain yakni perkapalan, menyangkut kapal pengangkut barang dan sekarang sedang berusaha membuat kapal pesiar yang sekaligus mengangkut kargo. Maximillian mengatakan dengan yakin bahwa kapal pesiar akan sangat populer beberapa dekade ke depan.
Pada akhirnya mereka mengakhiri pertemuan itu dengan kesepakatan kapan akan bertemu lagi dengan Wallingford dan sang duke bersama pengacara. Saat hal itu terjadi, dua orang lady melintas melewati ruangan itu. Mereka menoleh bersamaan.
"Maaf jika kami mengganggu kalian, para gentleman, tetapi Duchess of Schomberg harus pulang dan aku mengantarnya." Yang menginterupsi mereka adalah Dowager Duchess of Torrington, ibu dari sang duke. Dan ia bersama Sophie, berpakaian lengkap dengan topi bepergian.
Semua pria yang kebetulan sudah beranjak dari sofa segera mengangguk hormat termasuk Raphael yang berusaha bersikap sewajarnya.
"Ah, mungkin kalian sudah pernah bertemu ibuku dan Lady Sophie Lyndon, Duchess of Schomberg. Mereka sangat akrab karena mereka adalah bagian dari Lady of Bedchamber," jelas Duke of Torrington. Lady of Bedchamber adalah istilah untuk para pelayan khusus Ratu Victoria di Buckingham saat ada acara-acara tertentu. Yang dipilih tidak sembarangan, biasanya mereka adalah istri dari seorang duke atau lady muda yang berasal dari keluarga bangsawan terpandang dan sebelumnya mendapatkan pelatihan.
"Kebetulan sekali aku mengenal semua yang ada di sini," Ia tersenyum pada Raphael dan mengangguk. "Lord Blackmere," Lalu mengalihkan pandangan pada Christopher. "Dan meski belum pernah bertemu, Anda pasti adalah Mr. Maximillian yang sangat terkenal itu."
Maximillian menaikkan sebelah alis. "Senang bertemu Anda, Your Grace. Seterkenal itukah diriku?"
"Anda akan terkejut," tanggap Sophie. "Selamat datang di Inggris, Mr. Maximillian. Sayang sekali aku tidak bisa berlama-lama." Ia mengedarkan pandangan sekali lagi dan semua mengucapkan salam perpisahan padanya.
***
Di saat Raphael berpikir bahwa Sophie benar-benar sudah pulang, ternyata wanita itu masih ada di selasar menuju pintu depan rumah sang duke. Ia masih menyimak situasi, antara percaya atau tidak bahwa wanita itu sedang menunggunya.
Dan wanita itu memang sedang menunggunya. "Mr. Maximillian, bisakah aku berbicara pribadi dengan Lord Blackmere sebentar?"
Christopher yang berjalan di sebelahnya tersenyum dan mengangkat bahu. "Tentu saja. Aku akan pergi__"
"Oh, tidak perlu, Mr. Maximillian," Ia menoleh pada Raphael. "Apakah kau bisa ikut denganku?"
Meski tak setuju, Raphael terpaksa mengikuti wanita itu ke sebuah tempat yang mirip seperti tempat bersantai dengan meja billyard di tengah ruangan. "Sophie, kita masih berada di rumah Torrington."
"Jangan khawatir. Aku sering mengunjungi Dowager Duchess dan mengetahui ruangan ini jarang terpakai kecuali jika ada pertemuan."
"Tetap saja, ini sangat tidak pantas dan berisiko."
"Astaga, Raphael. Kaupikir apa yang kita lakukan selama ini pantas dan tidak berisiko?" Sophie tertawa miris.
"Kau tahu maksudku."
"Kita hanya akan berbicara. Apakah kau tidak bersedia?"
"Baiklah, katakan."
Sophie meneliti wajah Raphael yang gusar. "Kau terlihat tidak senang bertemu denganku. Kupikir kau memang sedikit menjauh akhir-akhir ini__"
"Aku sedang bersama Maximillian."
"Aku tahu. Aku mengerti jika kau tidak bisa bertemu denganku. Tapi apakah kau sebegitu sibuknya hingga tidak memiliki waktu juga untuk membalas suratku? Jika kau bosan padaku katakan terus terang. Aku memang membosankan dan tidak berharga. Hidupku sudah hancur." Sophie mendengus sinis.
"Sophie, kau harus melihat dari segi yang berbeda. Kau seorang duchess yang dekat dengan Ratu kita. Semua orang memperhatikan dan memujamu. Kau juga tidak kekurangan apa pun. Kau tidak hancur__"
"Kau tahu di dalam aku sehancur apa, Raphael. Ayah dan Ibu tidak menyayangiku. Mereka melemparku kepada bandot tua demi uang dan kehormatan. Usiaku terus bertambah. Kian hari aku merasa kian tua."
Raphael ingin tertawa. "Demi Tuhan, kau baru dua puluh enam tahun."
"Seperempat abad lebih! Aku tidak secantik dan semuda dulu!" bentaknya tiba-tiba. Raphael terkejut Sophie bertindak senekat itu seakan lupa di mana mereka berada. "Sekarang aku sangat mengerti jika kau bosan padaku. Aku sangat mengerti jika kau tiba-tiba tertarik pada wanita lain yang lebih__"
Raphael mendekat dan menelan ucapan Sophie dalam ciuman yang singkat namun dalam. "Hentikan, jangan berpikiran sejauh itu."
Sophie menatapnya dengan mata berkilat-kilat. Kemarahannya masih terlihat. Raphael masih bergeming di tempatnya. Dan ia sempat melihat Sophie menangis sebelum menarik Raphael ke bibirnya lagi.
"Raphael...Raphael," Sophie mendekapnya setelah mereka berciuman. "Jangan meninggalkanku."
Raphael tidak menjawab apa pun dan hanya mendekap tubuh wanita itu dan mengelus rambutnya.
"Aku tahu kau tidak pernah sama lagi seperti dulu sebelum aku menikah. Tapi itu bukan keinginanku. Aku tersiksa. Tidak ada yang mencintaiku lagi selain dirimu di dunia ini. Jika kau meninggalkanku maka aku tidak memiliki siapa-siapa lagi. Dan aku mencintaimu. Kau harus percaya bahwa aku selalu mencintaimu. Aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku," isak Sophie di dadanya. "Aku berjanji akan membuatmu bahagia suatu hari nanti. Aku berjanji."
"Ya." Hanya itu yang bisa Raphael katakan. Ia tidak tahu apakah jiwanya juga sudah hilang seperti Sophie. Tidak ada yang bisa ia rasakan saat ini selain kehampaan.
***
"Torrington sangat tidak berprinsip," gerutu Raphael saat perjalanan ke Brown's, hotel tempatnya dan Christopher menginap. "Semoga ia tidak berubah lagi saat penandatanganan kesepakatan nanti."
"Tidak, dia tidak akan mangkir. Aku tahu dia ingin bertemu denganku secara langsung karena tertarik pada investasi, tetapi ia tidak mau terang-terangan mengatakannya. Hipokrit." Christopher terkekeh. "Dia memiliki ego yang tinggi."
"Hampir semua bangsawan memiliki ego tinggi."
"Hampir semua manusia," ralat Christopher. "Semua memiliki tujuan masing-masing, Ingatlah, tidak ada pertemanan dan hubungan tanpa kepentingan."
"Dengan kata lain kau mengisyaratkan bahwa tidak ada manusia yang tulus di dunia ini."
"Ketulusan dan kesetiaan murni hanya dimiliki oleh binatang." Christoper menuturkan.
Raphael terdiam lalu menoleh ke jendela sambil bertopang dagu.
"Tapi aku percaya padamu." Christopher menepuk-nepuk punggung Raphael dan tersenyum. Raphael tahu Christopher memandangnya hanya setingkat lebih tinggi dibanding orang lain, tidak lebih. "Entah kenapa, aku sangat menyukaimu. Mungkin jika kau wanita aku akan menikahimu."
Raphael mendengus. "Jika aku wanita, aku tidak akan mau dinikahi olehmu."
"Kau wanita yang sangat pintar kalau begitu." Christopher menyeringai. "Omong-omong ia wanita pirangmu itu, bukan? Duchess tadi. Sangat cantik. Penuh percaya diri. Tapi ia memendam kecemasan, ketakutan...dan ambisi."
Kemampuan Christopher membaca wajah memang tidak diragukan.
"Kehidupan yang keras membuatnya seperti itu." Raphael mengingat Sophie yang dulunya sangat pemalu dan sopan. Sebenarnya wanita itu sangat pemberani dan memang ia baru memunculkan sikap itu sekarang setelah menjadi duchess. Tapi sewaktu-waktu ia bisa menjadi begitu rapuh. Entah bagaimana Raphael bisa jatuh cinta pada wanita itu. Sepertinya karena Sophie memiliki nasib yang hampir mirip dengannya, dikecewakan oleh orangtua. Dan mungkin karena ia wanita pertama yang mengucapkan cinta pada Raphael.
Tidak banyak yang bisa ia ceritakan tentang Sophie kepada Maximillian, karena ia memang tidak nyaman menceritakan hal-hal pribadi di hidupnya. Untungnya, Maximillian juga menganggap pembicaraan semacam itu hanya selingan dan akhirnya kembali kepada pembicaraan yang ia agungkan yakni bisnis dan uang.
Tapi seberapa kuat pun Raphael mencoba lupa, di malam hari saat ia hanya sendiri di dalam kamar hotel, ia tetap teringat pada wanita berambut hitam di estatnya. Dan ia berdiri dengan bimbang di hadapan kertas yang masih kosong. Kertas itu sudah berhari-hari berada di atas meja. Raphael sudah memikirkannya setiap malam dan belum memutuskan apa pun. Jika ia menerima tawaran sponsor Malton, maka Kaytlin otomatis akan lepas dari perwaliannya dan sewaktu-waktu pergi setelah Lisette menerima lamaran. Jika ia tidak menerima sponsor Malton, maka Malton kemungkinan besar akan melamar.
Neneknya sudah mengatakan Kaytlin akan menolak lamaran itu.
Tapi bagaimana jika ia berubah pikiran dan menerima? Sepertinya pria yang disukai Kaytlin adalah Malton, tapi ia menjaga perasaan adiknya.
Sebenarnya apa yang Raphael inginkan? Ia juga tidak mungkin akan menikahi wanita itu.
Raphael hanya perlu waktu untuk tegas melepaskan wanita itu. Pada akhirnya Raphael memang harus melepaskannya. Ia mengambil pena berisi tinta di depannya dan akhirnya menulis jawaban.
***
Tidak ada dansa di pesta kali ini, hanya acara minum teh sore biasa yang mengundang cukup banyak orang. Beberapa tamu memilih duduk di meja dan bangku yang sudah disediakan, sisanya memilih berjalan-jalan di sekitar taman yang luas.
"Kakakmu benar-benar makin dekat dengan Malton akhir-akhir ini?"
Beranjak dari lamunannya, Lisette menoleh pada Amherst lalu mengalihkan pandangan pada Kaytlin yang sedang duduk di salah satu bangku yang mengelilingi sebuah meja. Ada Dowager Marchioness dan Anthony di sana sedang berbicara serius dengannya lalu beberapa gentleman mulai menyapa Kaytlin dan ikut berbincang.
Semuanya berubah sejak Anthony mengajak Kaytlin berdansa. Lisette merasa sedikit lega tetapi ia tetap merasa ada hal yang mengganjal. Kaytlin tidak terlihat bahagia, malah kakaknya itu terlihat sedih semenjak mendapat tawaran dari Anthony. Lisette mulai menduga-duga penyebabnya.
"Ya, benar," sahut Lisette atas pertanyaan Amherst tadi. Mereka lanjut berjalan bersama di jalan setapak kebun yang luas.
"Apakah kakakmu masih bertunangan?"
"Bertunangan?" Lisette terkejut, lalu ia teringat pada rumor yang memang terjadi akhir-akhir ini secara tidak sengaja pada Kaytlin. "Ah, sebenarnya pertunangannya sudah lama berakhir. Mungkin ia akan menjadi debutan sebentar lagi. Atau mungkin juga...ia akan mendapat lamaran."
"Benarkah? Aku akan memberikan ucapan selamat pertama jika benar Miss Kaytlin akan mendapat lamaran."
"Terima kasih, My Lord."
"Apakah pria itu Malton?"
"Maaf?" Lisette kebingungan kembali.
"Yang akan melamar Miss Kaytlin."
"Oh." Lisette terhenyak. "Maaf, My Lord, semuanya masih belum pasti sehingga aku tidak bisa memberikan informasi lebih mendalam. Aku takut akan melakukan kesalahan."
"Seharusnya aku yang meminta maaf karena terlalu ingin tahu," tutur Amherst sopan. Lalu mereka kembali berjalan dan Amherst melanjutkan pembicaraan tentang dirinya seperti yang biasa pria itu lakukan. Lisette sampai sangat hafal segala hal tentang pria itu mulai dari keluarga, pendidikan, hobinya, tanahnya, hingga berapa banyak hewan peliharaannya. Lisette tidak perlu berusaha untuk berbicara banyak karena Amherst selalu menjaga percakapan. Sungguh berbeda dengan Anthony yang sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa dengan jelas. Penawarannya terhadap Kaytlin juga tidak jelas. Bahkan perasaannya pun tidak jelas, apakah pria itu sebenarnya menyukai Lisette ataukah Kaytlin. Entah kenapa Lisette jadi membanding-bandingkan mereka.
Hanya satu yang tidak Lisette ketahui tentang Amherst : tanggapannya terhadap Kaytlin.
Lama mereka berjalan sambil bercakap-cakap tanpa terasa mereka tiba di sebuah kebun buah. Amherst berhenti berjalan dan menghadap Lisette. Ia memberanikan diri menyentuh helaian rambut pirang Lisette di dekat telinganya.
"Miss de Vere, sepertinya sudah berkali-kali aku mengucapkan padamu kalau kau sangat cantik. Aku tidak pernah melihat kecantikan seperti dirimu yang merupakan perpaduan antara kemurnian seorang gadis dan kewibawaan seorang bangsawan. Kau sangat sempurna."
"Terima kasih...My Lord," ucap Lisette canggung. Ia tahu bahwa ia harus membiasakan diri dengan sentuhan Amherst mulai sekarang. Selama ini pria itu hanya pernah menyentuh tangan atau sikunya. Atau pinggangnya saat berdansa. Itu pun dalam kepantasan karena banyak orang di sekitar. Sedangkan saat ini mereka hanya berdua saja di sebuah kebun.
"Dan kau cenderung memberikan banyak perhatian padaku di antara semua pengagummu. Ataukah aku hanya salah menduga?" Amherst menunduk ke arah wajahnya. Pria itu akan menciumnya.
Lisette hampir berumur sembilan belas tahun dan heran pada gadis-gadis muda berusia tujuh belas atau bahkan lima belas yang sudah menikah, sementara baru berciuman saja Lisette sudah merasa ketakutan.
Tapi Lisette bertahan di sana dengan penuh tekad. Bibir Amherst bertemu bibirnya. Pria itu melumat bibirnya, menelusuri ke dalam dengan hangat. Tangan pria itu meluncur mengelus tulang punggungnya. Sekujur tubuh Lisette terasa kaku. Amherst adalah pria yang sopan, muda, kaya, dan sejauh ini cukup baik meski Lisette kadang enggan mendengar ceritanya terus menerus. Ia membayangkan dirinya di masa depan menjadi istri pria itu, tinggal di estatnya yang dekat dengan London bersama Kaytlin. Lisette akan bisa melaluinya karena Kaytlin ada di sana dan setiap hari ia akan bercerita bahwa ia bahagia.
Sangat bahagia.
Atau mungkin ia tidak akan bisa bersama Kaytlin setiap hari karena Kaytlin tinggal di tempat yang berbeda dengannya. Tapi itu tidak masalah, semasih keamanan dan kebahagiaan Kaytlin terjamin. Tidak masalah bahwa Lisette sebenarnya tidak bahagia...
Air mata turun di pipi Lisette.
Menyadari itu, Amherst mengakhiri ciumannya. "Apakah aku membuatmu takut?"
Lisette menggeleng. "Tidak..." dustanya. Ia memalingkan wajah dengan canggung dan resah lalu kembali menatap pria itu. "Aku hanya sedikit terkejut."
"Aku mengerti," tukasnya sambil mendekat dan menggenggam tangan Lisette. "Tapi aku bersungguh-sungguh kepadamu, Miss de Vere. Apakah besok aku bisa menemui Lady Blackmere untuk membicarakan tentang hubungan kita?"
Mendengar itu, seharusnya Lisette merasa gembira. Tapi ia tanpa sadar mundur selangkah.
"Ada apa?" tanya Amherst.
"Bukan...hanya saja..." Lisette kebingungan dan berusaha tersenyum meski sulit. Ia menyeka keningnya dengan punggung tangan. Bukan karena berkeringat tapi karena ia tiba-tiba merasa tertekan dengan semua ini. "Maaf, My Lord, sepertinya aku sedang tidak sehat. Bisakah kita membicarakan ini semua lain waktu?"
"Tentu," sahutnya penuh pengertian. "Aku akan mengantar__Miss de Vere?!"
Itu adalah suara seruan Lord Amherst karena Lisette berbalik dengan tergesa-gesa. Ia kabur bagaikan seekor hewan buruan. Tapi Lisette perlu melarikan diri dari semua ini. Lisette sangat sadar perbuatannya salah. Ia bisa saja merusak hubungannya dengan Amherst dan membuat kesalahan besar yang bisa mempertaruhkan nasibnya dan Kaytlin di masa depan. Tapi ia ketakutan. Sangat. Ia tidak pernah disentuh dengan begitu intim oleh pria dan ia perlu Kaytlin saat ini. Ia tahu ia tidak akan bisa berlindung pada Kaytlin selamanya. Hanya hari ini ia akan berlari dan menganggap tidak ada apa-apa. Besok ia akan kembali dan meminta maaf, lalu pasrah pada kehidupan yang ia pilih di depannya.
Keluar dari kebun buah, Lisette berpapasan dengan beberapa tamu pesta menuju taman utama. Sembari tetap berjalan cepat ia menunduk menyeka sisa airmata agar tidak terlihat Kaytlin dan orang-orang yang ia kenal nantinya, tidak peduli ia menabrak siku satu dua orang. Mereka tidak mengenalnya.
"Miss de Vere." Orang terakhir yang Lisette tabrak menyapa. Lisette mengenal suara itu dan menoleh ke belakang.
Anthony berdiri beberapa langkah darinya. Sebenarnya ia adalah orang terakhir di muka bumi yang Lisette harapkan melihat keadaannya sekarang.
"Ada apa?" Ia bertanya, menyipitkan mata mengamati. "Kau menangis. Apa ada yang melakukan sesuatu yang buruk kepadamu?"
"Ada! Kaulah orangnya!" sahut Lisette geram.
"Aku?"
"Seandainya kau tidak setengah-setengah memberikan perhatian kepada Kaytlin mungkin aku tidak akan seperti ini! Mengapa kau harus memilih mensponsorinya?! Jika kau menyukainya mengapa kau tidak melamarnya saja sehingga aku tidak akan kebingungan terhadap apa yang harus kulakukan?!" semburnya. Ia sudah tidak tahan lagi dan tidak peduli kemungkinan menjadi tontonan para tamu yang sewaktu-waktu bisa melintas.
"Ak..." Anthony terdiam dengan mulut sedikit terbuka, kebingungan akan reaksi Lisette yang tak terduga. "Aku minta maaf. Aku berusaha sebaik mungkin tanpa melangkahi wali kalian. Kau tidak perlu kebingungan akan apa yang harus kaulakukan. Kurasa dengan ini kau tidak perlu memaksakan diri menikah dengan siapa pun, bukan? Atau jika kau ingin menikah, menikahlah."
Seorang pria yang pernah mengatakan menyukainya bisa dengan mudah mengucapkan itu. Lisette tak habis pikir. "Segalanya...belum pasti," ucapnya dengan nyeri.
"Hidup memang penuh ketidakpastian__"
"Tidak, aku tidak suka itu! Aku perlu kepastian! Segalanya harus jelas dan terencana bagiku!" balasnya dengan berapi-api. Ya, Tuhan, siapa pun tidak akan mau menikah dengannya jika melihatnya seperti saat ini. Tanpa sponsor Marquess of Blackmere, Lisette sadar ia hanyalah seorang wanita miskin tanpa gelar. Dan ia baru saja membentak seorang aristokrat yang tidak melakukan kesalahan apa pun padanya.
Sebenarnya apa yang ia lakukan?
"Jika kau mengatakan aku tidak melamarnya, kau harus tahu bahwa aku sudah mencoba membicarakan kemungkinan untuk melamarnya. Tapi kakakmu menolak. Ia mengatakan hanya akan menikah dengan orang yang mencintainya."
Pernyataan itu membuat Lisette membeku untuk beberapa saat.
Jadi...Anthony sudah melamarnya?
Kesadaran itu membuat Lisette terpukul. Tanpa mempedulikan Anthony lagi, ia berbalik melanjutkan langkahnya yang terasa melayang. Pikirannya gamang. Mengapa Kaytlin tidak menceritakan hal itu padanya? Mengapa?
***
Bersambung part 24.4
Terima kasih sudah memberi bintang dan komen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top