Part 24.1 - Something About Proposal
Jangan lupa memberi bintang
Jangan lupa komen
Jangan lupa follow akun penulis matchamallow untuk mendapat info nggak penting
*
*
*
***
"Siapa Miss Selene St. Clair?" tanya Kaytlin setelah membaca tabloid gosip yang diberikan Melissa di rumahnya pagi itu.
"Dia seorang debutan...yang agak memprihatinkan. Sebenarnya ia sangat cantik, tetapi prospeknya hancur mengingat ibunya selalu mendandaninya seperti peserta karnaval. Aku kenal dengannya tetapi aku tidak yakin ibunya akan mengizinkan kau merombak gaunnya..." Melissa terdiam sejenak menyadari kebodohannya. "Kaytlin! Bagaimana bisa kau malah membahas Miss Selene St Clair?! Apa kau tidak melihat siapa yang masuk berita utama kolom gosip?!"
Kaytlin menyerahkan lembaran berita itu pada Melissa dengan malu. "Ya, aku tahu."
Seumur hidup Kaytlin memang tidak pernah membayangkan akan masuk ke tabloid gosip London, tetapi ia hanya masih teringat bahwa dirinya semalam berdansa dengan Anthony. Semuanya bagaikan mimpi. Hingga kini ia masih bisa merasakan tangan pria itu mendekap tangannya meski mereka berdua sama-sama memakai sarung tangan putih. Kaytlin tentu saja tidak menolak ajakan dansa itu. Selain karena tidak sopan jika menolak, jujur ia benar-benar senang Anthony memakai pakaian buatannya dan mengajak berdansa.
"My Lord, mengapa Anda mengajakku?" tanya Kaytlin saat mereka berdua ada di lantai dansa, bergerak, dan berputar berbarengan dengan para pedansa lain.
"Karena kau sering bertanya mengapa aku tidak berdansa," sahut Anthony dengan sedikit bergurau. "Lalu aku juga bertanya mengapa kau tidak pernah berdansa. Jadi mengapa kita tidak berdansa saja untuk menjawab pertanyaan masing-masing?"
Kaytlin tersenyum menahan tawa. "Anda selalu berpikir praktis."
"Aku memang selalu berpikiran praktis, tapi aku juga memiliki maksud lain," gumam Anthony saat mereka berdekatan. "Aku ingin kau tahu bahwa kau bisa tampak bersinar di antara semua orang di sini."
Kaytlin mendongak menatap pria itu yang lebih tinggi beberapa senti darinya. Kandelir besar di atas mereka menyebarkan cahaya. Mungkin Anthony tidak sadar bahwa dialah yang terlihat paling bersinar sekarang. Rambutnya coklat gelapnya yang disisir rapi, matanya yang berwarna kelabu, aroma tubuhnya yang sebenarnya tidak memiliki aroma--Kaytlin ingat saat mengukur tubuh pria itu--namun malam ini ia sepertinya memakai sedikit parfum sehingga Kaytlin bisa mencium samar bau cendana, mint, dan rumput yang segar, dengan sedikit aroma pakaian yang dikanji.
Sayangnya pria itu tidak pernah mau menunjukkan pesonanya terlalu lama. Selepas berdansa dengan Kaytlin, Anthony berdansa sekali dengan Melissa, lalu ia lebih suka terdiam di balkon menonton. Padahal jika mau, tidak akan ada lady yang menolak ajakan dansa pria itu. Kaytlin harus berdansa kembali karena ada beberapa gentleman menulis nama mereka di kartunya sehingga ia tidak sempat sama sekali berbicara dengan pria itu setelahnya.
"Apa yang ia katakan padamu?!" Pekikan antusias Melissa membuat Kaytlin kembali pada kenyataan.
"Kami hanya mengobrol biasa," ujar Kaytlin.
Dengan tatapan tak puas, Melissa lanjut bertanya bagai interogator handal. "Lalu bagaimana perasaanmu mengetahui Lord Anthony mengincarmu?"
Mulut Kaytlin terbuka heran. "Missy, ia tidak mengincarku."
"Kaytlin! Bagaimana kau bisa berkata seperti itu sementara satu London sekarang sedang menggunjingkanmu dengannya?!"
"Kami hanya berdansa. Ia juga berdansa denganmu," beber Kaytlin.
"Itu tidak sama! Aku sudah memakai kartu dansa seperti lady normal lainnya sejak awal. Tidak pernah ada dalam sejarah kita seorang gentleman membawakan kartu dansa bagi seorang lady!" Melissa bersikeras.
Lumrahnya memang kartu dansa itu diambil sendiri oleh para lady saat memasuki pesta, lalu para gentleman yang tertarik ingin berdansa menulis nama mereka di sana.
""Tapi itu sangat manis. Aku tidak menyangka Lord Anthony bisa melakukan itu. Kau senang, bukan?"
"Tentu...saja," sahut Kaytlin. "Ia sahabat yang baik."
"Kau menganggapnya sahabat? Tidak ada hal spesial?!"
"Ia sahabat yang spesial."
Melissa menatap jengkel.
"Kay tidak bisa tidur semalaman," jelas Lisette yang sejak tadi terdiam sambil meminum teh. "Ia menatap kartu dansanya terus menerus sebelum akhirnya menaruh kartu itu di kotak berharganya."
"Liss!!" Kaytlin terperanjat malu. "Kau pura-pura tidur!"
"Kau tahu Kaytlin tidak tidur semalaman yang artinya kau juga tidak tidur semalaman?" tanya Melissa polos.
Kaytlin menoleh pada Lisette yang terdiam dengan setengah cangkir teh ke bibir, terlihat kebingungan.
"Oh, Lissy maafkan aku. Pasti kegelisahanku yang membuatmu tidak bisa tidur. Aku tidak sadar selalu berguling ke kanan dan ke kiri jika tidak bisa tidur." Kaytlin menjelaskan pada Melissa.
"Itu kebiasaan buruk!" ejek Melissa.
Kaytlin mengangguk-angguk.
"Bagaimana tanggapan walimu?" lanjut Melissa.
"Dowager Marchioness tadi malam melihat, tapi ia tidak mengatakan apapun dan juga tidak memarahiku."
"Meskipun tahu kau masuk tabloid gosip?!" Lisette tercengang.
"Ah, dia tidak tahu," ujar Kaytlin santai. "Bukankah aku pernah mengatakan di Blackmere Park tidak berlangganan tabloid gosip?"
Melissa berpikir lalu mengangguk-angguk. "Benar juga."
Dan syukurlah Lord Vaughan serta Mr. Sommerby sedang tidak ada di estat, tambah Kaytlin, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi seandainya berita itu sampai ke tangan Dowager Marchioness dan Lord Blackmere pun, Kaytlin merasa tidak akan apa-apa. Siapa yang akan peduli?
***
Suasana pagi hari di Blackmere Park berlangsung dengan monoton seperti biasa. Selepas sarapan pagi, Raphael selalu berada di ruang kerja apalagi dengan adanya Maximillian di manornya. Pria itu sedang duduk di depan Raphael mendiktekan sesuatu pada pengacaranya yang beberapa hari lalu datang dari London sehingga Raphael memiliki waktu untuk urusannya sendiri yang menyangkut estat serta korespondensi.
Sudah berhari-hari suasana sangat tenang. Harapannya untuk menjadi begitu sibuk sehingga tidak memikirkan hal lain selain pekerjaan tercapai sudah. Tetapi terkadang firasat buruk sering muncul dalam diri Raphael bahwa ketenangan biasanya adalah awal dari suatu pergolakan besar. Semoga saja itu hanya pikirannya yang berlebihan.
"Selamat pagi, My Lord." Winston memasuki ruangan dengan nampan berisi koran yang sudah disetrika dan surat-surat. Kepala pelayan itu menaruh keduanya di meja Raphael. Raphael melihatnya sekilas lalu melanjutkan pekerjaan.
Dan kembali menyimak lagi saat merasa menangkap sesuatu yang asing di matanya.
"Winston," Raphael mengangkat selebaran mirip koran tetapi lebih kecil di nampan. "Apa ini?"
Winston berdeham. "Itu tabloid gosip, My Lord. Pelayan dapur berlangganan tabloid itu. Aku juga membacanya dan ingin berbagi berita dengan Anda."
Raphael melirik Winston seakan pria tua itu sudah mengalami gangguan pikiran. "Rasanya aku tidak pernah tertarik pada gosip."
"Rasanya Anda harus membaca yang ini, My Lord."
Karena Winston bersikeras, akhirnya Raphael membacanya.
"Apa ada masalah?" tanya Maximillian karena setelahnya, Raphael terdiam begitu lama.
Dengan satu tangan, Raphael melipat tabloid gosip itu dan menutup mata dengan tenang. "Tidak, ini tidak penting."
***
"Apa-apaan ini?" Raphael menerobos ruangan dan mengulurkan tabloid gosip itu kepada neneknya yang sedang minum teh di ruang santai.
Dowager Marchioness menyipitkan mata untuk melihat. "Itu tabloid gosip," Lalu ia mengerutkan alis menatap Raphael. "Kau berlangganan tabloid gosip?"
"Tidak," sahut Raphael.
Alis neneknya berkerut semakin dalam.
"Tidak penting dari mana aku mendapatkannya. Bacalah." Raphael memberikan tabloid itu lalu menghenyakkan diri di salah satu sofa sembari menaikkan sebelah kaki. Ia terpaksa meninggalkan ruang kerja, meninggalkan Maximillian, dan meninggalkan semuanya demi pembahasan konyol ini.
Dowager Marchioness membaca tabloid itu dengan sebelah tangan sementara satu tangannya yang lain memegang cangkir teh. Raphael menunggu tanda-tanda keterkejutan tetapi neneknya tetap menghirup tehnya dengan santai.
"Aku sudah melihatnya semalam. Mereka memang berdansa," putus neneknya sebelum menaruh tabloid gosip itu di meja.
Lalu ia terdiam.
Butuh kesabaran yang besar bagi Raphael untuk menunggu.
Dan menunggu.
"Tidak ada yang salah dengan itu. Itu bukan skandal. Dan Earl of Malton juga tidak mencemarkan Kaytlin." Akhirnya Dowager Marchioness berbicara.
"Tapi tetap saja," Raphael memikirkan sebuah alasan. "Mereka masuk tabloid gosip."
"Apa yang kaucemaskan? Reputasi Kaytlin? Reputasimu?"
"Peringatkan saja dia untuk tidak sembarangan merayu semua pria__"
"Merayu?!" Neneknya terbelalak lalu meletakkan tehnya di tatakan dengan gusar. "Raphael, aku harus memperjelas dua hal untukmu. Pertama, ia tidak merayu pria. Kedua, entah ia merayu pria atau tidak itu adalah urusannya."
"Ia...masih berada di bawah perwalianku."
"Kau tidak mensponsorinya." Neneknya membalas. "Ia seorang wanita, Raphael. Suatu saat ia harus menikah dan berkeluarga. Memang kau mengharapkan ia akan seterusnya melajang dan bergentayangan di estatmu ini? Tentu saja tidak, bukan. Menurutku sejak dulu kau malah ingin ia secepatnya pergi dari sini."
Tidak menyangka reaksi neneknya akan seperti ini, Raphael kehabisan kata-kata. Neneknya dulu terkenal keras dan sangat menjunjung reputasi. Memang, setelah insiden serta kematian ayahnya, neneknya sudah sedikit berubah. Sekarang Raphael seakan tidak mengenalnya lagi.
"Kebetulan kau menemuiku, sekalian aku menyampaikan kabar gembira," lanjut neneknya.
"Kabar gembira?" Karena akhir-akhir ini pandangannya sering bertolak belakang dengan neneknya, Raphael sangsi itu juga akan menjadi kabar gembira untuknya.
"Malton ingin bertemu denganku untuk membicarakan Kaytlin. Aku menyanggupinya. Ia akan datang sore ini."
Meskipun tidak pantas bagi seorang bangsawan untuk berlama-lama tercengang, Raphael melakukannya. Ia menyesal telah menemui neneknya dan mendengar informasi ini. Maximillian benar tentang nasehatnya untuk menjauhi Kaytlin dan segala sesuatu tentangnya. Seharusnya Raphael tidak tergoda dan tetap duduk di ruang kerjanya apapun yang terjadi, meski Kaytlin masuk tabloid gosip atau membakar estatnya sekalipun.
"Ini sebuah solusi yang sangat sempurna bagi Kaytlin," Dowager Marchioness bergumam. "Apalagi yang lebih sempurna dari adanya seorang earl yang mau mendekati Kaytlin meski tahu ia bukan debutan dan tidak memiliki maskawin?"
"Malton sangat misterius. Kita tidak tahu siapa pastinya pria itu."
"Persetan siapapun Earl of Malton," umpat neneknya dengan elegan. "Sebaiknya kau jangan terlalu memikirkannya seperti yang seharusnya. Yang terpenting kau memiliki kesempatan untuk melepaskan sebuah beban di pundakmu tanpa perlu mengeluarkan biaya sponsor. Dan kau juga tidak perlu repot mengurusnya. Aku akan berbicara pada Malton mewakilkanmu nanti sebagai walinya. Kembalilah bekerja."
Memang seharusnya itulah yang Raphael lakukan.
Ia berdiri dari sofa dan menatap neneknya lekat-lekat. Berusaha menghapus kecurigaan bahwa neneknya tahu lebih dari yang seharusnya dan dengan senang hati sengaja menyiksa Raphael.
"Terima kasih atas niat baikmu, Nenek." Raphael mengangguk hormat. "Kabarkan padaku jika Malton datang. Aku akan berbicara dengannya."
----bersambung 24.2-----
Tenang, Raph, baru pemanasan. Ini belum seberapa kok 😂.
Makasi sudah menekan bintang dan komen.
Aku ingin bilang nih nggak usah capek2 mikir terlalu jauh Kay anaknya siapa. Kasian nanti kalian. Kay itu aseli anak kandung Josephine dan Richard de Vere, warga kampung durian runtuh 😂.
Aku kemarin cuma menekankan masalah praktik BABY FARMING di Inggris dan itu benar terjadi pada masa itu. Oke? Lanjuttt 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top