Part 23.1 - Something About Gossip
Untuk pembaca-pembacaku yang terkena covid (ada beberapa yg info di instagramku), semoga update-ku bisa membuat kalian terhibur. Aku akan berusaha produktif. Semangat, kalian harus sembuh!!!
*
*
*
NAMA PEMERAN DAN GELARNYA
Kaytlin de Vere
Lisette de Vere
Raphael Fitzwilliam – Marquess of Blackmere
Sophie Lyndon – Duchess of Schomberg
***
Derek Vaughan – Viscount Vaux of Harrowden
George Sommerby
Anthony Weston – Earl of Malton
Madame Genevieve
Christopher Maximillian
Damon Falkner – Duke of Torrington
Harry Lockwood – Viscount Wallingford
Tambahan : Dowager Marchioness of Blackmere, Mellisa Humpwell, Josephine Forthingdale de Vere, Richard de Vere, Sir Walcott, Winston Basset, Dorie, Pete, Gilles, dll
➰➰➰
PART 23.1 SOMETHING ABOUT GOSSIP
Melihat dari ekspresi Kaytlin dan keadaan sekitar, tidak perlu waktu lama bagi Anthony Weston, Earl of Malton menyadari kesalahannya. "Ah, maksudku Miss Kaytlin. Agak sulit membedakan cara menyapa Miss de Vere, jadi aku biasa memanggil mereka dengan nama masing-masing jika mereka sedang bersama," jelasnya sambil menoleh pada semua.
"Ya Tuhan, Malton. Untung saja kami mengenal bagaimana dirimu," geram salah satu gentleman. "Kau harus meminta maaf pada Miss Kaytlin, kelihatannya ia sangat syok."
"Ya, Malton kau harus meminta maaf padanya." Para gentleman yang lain ikut sepakat menimpakan kesalahan pada Anthony.
"Tidak apa-apa," sergah Kaytlin. "Mungkin His Lord spontan menyapaku karena aku tergesa-gesa."
"Meski tidak sengaja, tetap saja aku harus meminta maaf. Adakah yang dapat aku lakukan untuk memperbaiki kesalahanku, Miss Kaytlin?" ringis Anthony dengan ceria. Dan keceriaan itu dengan mudah menular pada sekitar mereka.
"Tidak perlu, My Lord. Aku pun sering melakukan kesalahan." Kaytlin membalas juga dengan riang seolah memang semua itu hal kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Syukurlah semua gentleman yang hadir sepertinya tidak seserius para ton lainnya di season dan ikut tertawa. Lisette dan Dowager Marchioness terlihat lega. Mr. Maximillian tersenyum entah mengerti atau tidak situasi yang terjadi. Hanya Lord Blackmere yang masih mengerutkan kening meski ia duduk dengan tenang. Dulu pria itu sering berkomentar tentang tata kramanya, tetapi kali ini bukan kesalahan Kaytlin. Yah, ia tidak melakukan kesalahan apa pun.
Kecuali rambutnya.
Kaytlin teringat itu. "Ah, aku harus meninggalkan pertemuan ini untuk memperbaiki...penampilanku karena aku mengalami sedikit masalah dengan ranting pohon saat berjalan melewati taman. Kumohon maafkan ketidakpantasanku."
Sungguh sulit untuk merangkai kata-kata yang tepat karena dalam tata krama ada larangan menyebutkan 'anggota tubuh'. Kaytlin tidak tahu pasti apakah 'rambut' juga termasuk di dalamnya.
"Kami yang minta maaf karena sudah menahanmu, Miss." Para gentleman mempersilakan. Beberapa terkejut mendengar alasan rambutnya tersangkut dan bergumam dengan dramatis betapa malang nasib Miss Kaytlin.
Lalu Kaytlin beralih pada Anthony dan tersenyum seraya berucap pelan. "Aku akan segera kembali, My Lord."
Anthony mengangguk. Kaytlin merendahkan tubuh sebelum berbalik meninggalkan ruangan dengan lega.
***
"Kami tidak menyangka kau akan menghadiri acara Miss Lisette, Blackmere," tukas salah satu dari tiga orang gentleman yang duduk bersama Raphael di teras dekat istal di mana ia sering makan siang bersama Derek dan George jika mereka menginap. Ketiga gentleman itu sepertinya menganggap berkumpul bersama seseorang yang jarang muncul dalam season dan acara-acara di London lebih menarik dibandingkan tujuan mereka semula yakni mendekati Lisette de Vere.
"Benar, biasanya kau tidak pernah muncul meski kau pemilik estat ini."
"Maximillian ingin mengenal tentang kebiasaan hidup masyarakat Inggris, jadi kupikir melihat acara sosialisasi yang diadakan di estatku sendiri adalah permulaan yang bagus," jelas Raphael muram. Meski tidak ingin, ia terpaksa memperhatikan Earl of Malton yang juga termasuk dalam tiga orang gentleman itu. Tampaknya Malton juga menganggap tujuannya mendekati Lisette de Vere bukan yang utama dan fakta itu cukup menggelisahkan. Jika serius, pria itu tidak mungkin memilih duduk bersama Raphael dan Maximillian. Lisette de Vere sedang piknik bersama para pengagumnya ditemani oleh neneknya di pinggir sungai tak jauh dari istal tempat Raphael bercakap-cakap sekarang.
"Beruntung sekali kami bertemu dengan Anda, Mr. Maximillian. Kami tahu Anda adalah rekanan Blackmere dan memiliki banyak usaha industri," lanjut Kenwick, gentleman yang menyapa pertama tadi.
"Kupikir para aristokrat Inggris tidak terlalu tertarik pada industri karena masih menjunjung nilai tradisional," tukas Maximillian.
"Sebagian besar memang masih seperti itu. Tapi beberapa dari kami tentu saja menyadari bahwa dunia mulai berubah." Kenwick menjawab praktis.
"Benar, pertanian sudah tidak bisa diandalkan lagi," timpal Sewell, gentleman ketiga. Ia menoleh pada Malton. "Bagaimana menurutmu, Malton? Kau masih mengandalkan pendapatan utamamu dari para petani dan peternak di lahanmu, bukan?"
Malton yang sejak tadi hanya diam mendengarkan kini mengangguk. Tampaknya ia tipe yang tidak akan berbicara panjang lebar jika tidak ada yang meminta. "Bagaimana pun juga harus ada yang tetap bertani agar kita bisa hidup."
"Itu sangat tepat sekali!" Maximillian tertawa diikuti mereka semua kecuali Raphael.
"Dengan metode yang tepat, pertanian tentu saja masih bisa diandalkan."
"Apa maksudmu dengan metode yang tepat?" tanya Raphael sedikit tertarik, mengingat ia juga termasuk yang tidak bisa lagi terlalu mengandalkan pertanian. Wilayahnya dekat dengan London di mana arus industri sudah mulai menggerus pertanian cepat atau lambat meski sebagian besar orang tidak menyadarinya. Beberapa petani di lahan Raphael kini beralih menjadi pekerja pabrik. Raphael tidak mempermasalahkan uang sewa mereka, tetapi kadangkala ia hanya berpikir apa yang mungkin dapat ia lakukan untuk meningkatkan kualitas mereka semua.
"Akan sangat panjang jika aku menjabarkannya satu per satu," tanggap Malton. "Perlakuan antara tipe tanah yang satu dengan yang lain tentu saja pasti berbeda. Yang jelas perkembangan tekhnologi memang berperan besar. Aku menggunakan mesin dan sistem pengairan yang tertata. Pekerjaan bisa diselesaikan lebih cepat sehingga aku selalu bisa memanfaatkan musim semi dan musim panas semaksimal mungkin. Jika tertarik, aku bisa mengirimkan makalah tentang itu."
"Aku akan sangat senang jika kau mengirimkan makalahnya," jawab Raphael.
"Aku akan mengirimkan surat pada sekretarisku untuk mengirimkannya kemari, My Lord," ucap Malton sungguh-sungguh.
"Aku tidak pernah menduga kau ternyata bertani dengan cara modern," komentar Kenwick.
"Setelah berkali-kali kegagalan tentu saja aku harus mencoba banyak cara," Malton menyeringai.
Maximillian ikut menimpali. "Di Amerika, pabrikku juga lebih mengandalkan penggunaan mesin sehingga tidak terlalu memeras tenaga dan waktu para pekerja. Sudah saatnya semua beralih pada teknologi tetapi beberapa negara bagian masih mengandalkan perbudakan."
"Menurut mereka perbudakan lebih mendatangkan keuntungan karena tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Budak lebih murah dibanding menggaji karyawan," gumam Kenwick.
Kening Sewell berkerut. "Ini masih menjadi perdebatan di parlemen."
"Di Amerika pun keadaannya tak jauh beda," jelas Maximillian.
Perbincangan mereka terus mengalir sementara pelayan menerima perintah Winston untuk menyediakan teh, wine, dan kue. Saat mereka akhirnya membicarakan tentang rencana pembangunan rel, Malton menoleh ke arah lain. Pria itu tiba-tiba berdiri dari kursi dan membuat perhatian semua orang di meja teralih padanya.
"Aku takut aku harus meninggalkan kalian untuk berbicara pada Miss Kaytlin," pamitnya.
Semua menoleh ke arah sungai di mana Kaytlin baru muncul menyusul rombongan itu dan duduk di samping Dowager Marchioness.
"Kau sangat halus, Malton. Mendekati kakaknya yang mudah didekati, untuk mendekati adiknya," gurau Sewell dengan sedikit nada sindiran.
"Tidak, aku tidak pernah memanfaatkannya seperti itu. Mungkin kalian harus mencoba berteman dengan Miss Kaytlin. Ia sangat baik dan menyenangkan. Selamat siang, semua." Lalu ia dengan tegas berlalu.
Kenwick mengangkat bahu. "Malton ada benarnya. Dulu aku juga sempat berbincang satu dua kali dengan Miss Kaytlin. Ia sangat ramah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya bukan debutan, hanya pendamping Miss Lisette, jadi aku tidak melanjutkan."
"Ya, ia memang bukan debutan." Sewell menyetujui.
"Aku tidak pernah bertanya tentang hal ini tapi mengapa Miss Kaytlin tidak menjadi debutan?" Kembali Kenwick bertanya.
Pertanyaan itu juga memancing Maximillian yang ada di sebelah Raphael. "Jadi Miss Kaytlin bukan debutan?"
"Sepertinya aku pernah mendengar ia tidak menjadi debutan karena sudah bertunangan," celetuk Sewell lebih dulu sebelum Raphael menjawab. "Tapi aku tidak tahu pasti."
Dengan kening berkerut, Raphael teringat apa yang dikatakan Sophie terakhir kali tentang Kaytlin. Sepertinya Kaytlin beralasan karena sudah menyukai seseorang, bukan bertunangan. Berita apa pun memang selalu cepat menyebar di London dengan asumsi yang berbeda-beda.
"Apa itu benar, Blackmere?" Tiba-tiba mereka menoleh pada Raphael. Maximillian ikut menoleh juga meski lebih lambat beberapa detik.
Tidak menduga akan ditodong, Raphael bergeming kebingungan. Suasana seketika hening dan semua menunggunya seakan Raphael adalah Raja George yang akan memberikan keputusan.
"Aku...juga tidak begitu mengerti, karena sejak awal Her lady yang mengurusnya," kilah Raphael menimpakan kepada neneknya untuk sementara. Ia harus berhati-hati mengucapkan sesuatu yang bisa menjadi pertanyaan kembali, baik sekarang ataupun di masa mendatang.
"Ah, kami lupa kau sangat sibuk dengan urusanmu." Sewell mengangguk-angguk mengerti.
Kembali mereka melanjutkan percakapan pembangunan rel. Raphael merasa lega dan bersyukur mereka kembali pada topik yang seharusnya. Tak lama kemudian mereka pamit untuk bergabung dengan para gentleman lainnya di tepi sungai. Hanya ada Maximillian dan Raphael di meja yang sunyi.
Di kejauhan terlihat Malton bercakap-cakap bertiga bersama Kaytlin dan neneknya, entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas ketiganya terlihat senang.
"Meski bukan debutan, tampaknya Miss Kaytlin cukup bahagia. Ia terlihat akrab dengan nenekmu." Terdengar komentar Maximillian. Raphael harus berhenti memperhatikannya sebelum Maximillian tersadar.
"Kau hanya belum tahu ia memang memiliki bakat untuk akrab dengan orang-orang lanjut usia."
Maximillian terkekeh. "Sepertinya banyak hal luar biasa darinya sebagai lady Inggris."
"Kau akan terkejut."
"Dan kau sepertinya mengenal karakternya dengan sangat detail." Maximillian mengangkat sebelah alis sarat keingintahuan yang terkendali.
Raphael memilih tidak menjawab.
Dengan tenang, Maximillian memalingkan pandangan dan menuangkan anggur ke dalam gelas. "Anggur yang bagus," komentar Maximillian setelah menyesapnya.
"Salah satu yang selamat dari tangan ayahku di gudang bawah tanah."
"Beruntung," Maximillian menerawang sisa anggur dalam gelasnya dengan penuh kekaguman.
Dalam keadaan santai tanpa urusan pekerjaan seperti ini, topik apa saja akan bisa tiba-tiba dibahas oleh Maximillian.
"Selama ini aku sering melihat kehancuran seorang pria, dan hanya tiga kegilaan yang menjadi penyebabnya," gumam Maximillian setelah keheningan beberapa saat. "Yang pertama, kegilaan pada zat adiktif ; alkohol...candu, dan sebangsanya. Yang kedua adalah judi. Investasi juga adalah skala besar dari perjudian di meja. Banyak aristokrat jatuh bangkrut sebenarnya karena investasi yang salah, tapi yang ketiga adalah yang paling fatal."
Maximillian beringsut santai, dan menaikkan sebelah kakinya. Matanya menatap tajam. "Wanita."
Itu seperti ucapan tersirat. Raphael merasakan ancaman bahwa Maximillian sudah mengambil kesimpulan tentang dirinya mengingat rekannya itu adalah seorang pengamat yang terlalu jeli.
"Sayangnya hampir semua kaum pria menjadi bodoh di depan wanita yang membuat mereka gila. Kau ingat bagaimana ayahmu?"
Merenungkan kesinisan itu, Raphael mengingat Josephine dan beberapa wanita di desa yang mengendong anak sembari bekerja di ladang. "Kau tidak bisa menyamaratakan, Maximillian. Ada beberapa wanita yang baik...yang mendedikasikan hidupnya demi anak mereka...serta kehidupan."
"Baiklah, kau mungkin beruntung pernah menemukan beberapa." Christopher tersenyum skeptis.
"Sebenarnya kau ingin mengutarakan sesuatu yang berhubungan denganku dan wanita, bukan? Katakan saja," geram Raphael.
Maximillian tertawa pelan. "Kau memperhatikan yang berambut hitam itu. Apakah ia tidak menjadi debutan karena ia milikmu?"
Tepat seperti dugaan Raphael.
Karena tidak ada gunanya berkelit dari Maximillian, Raphael mengungkapkan dengan hati-hati. "Tidak. Ia memang tidak menawarkan dirinya menjadi debutan dan aku juga tidak menjadikannya debutan sesuai permintaannya," jawab Raphael sebelum menambahkan, "Dan dia tidak memiliki hubungan apa-apa denganku."
"Jadi perkiraanku tepat bahwa kau masih bersama wanita pirang itu?"
"Ya."
Maximillian tertawa lagi lalu mengangguk-angguk mengerti setelahnya. "Aku yakin kau akan bisa mengatasinya dengan mudah, Fitzwilliam," Ia menoleh ke arah tepi sungai. "Miss Kaytlin hanya godaan sesaat dan akan menghilang dalam sekejap mata."
"Begitukah menurutmu?"
"Dulu kau sanggup melepaskan si rambut pirang padahal kau sangat menyukainya. Meski kau sekarang kembali padanya lagi, kulihat kau tetap memegang kendali atas dirimu. Sedangkan yang satu ini...kau memperhatikannya, tetapi tidak terlalu mendalam. Sudahlah, kau akan cepat melupakannya." Maximillian tersenyum mengangkat gelas, lalu meminum anggurnya lagi hingga tandas.
"Yah, aku juga berpikiran sama denganmu sebelum ini." Raphael mengiyakan dan merasa yakin sudah melakukan keputusan yang benar.
***bersambung 23.2***
Nggak ada target kali ini. Inget aja untuk memberi bintang dan komen ya, itu sangat berkesan bagi aku sebagai penulis.
Aku dapat kiriman pic dari penulis Wattpad deedein . Thank you so much DD.
***
Ramein medsos SAY yuk!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top