Part 22.3 - Something About Distance

Kalau ada yang NGGAK BISA BACA ini, atau NEMU TULISANNYA ACAKADUT ini berarti ada error system. Buka library (perpustakaan) kalian, terus refresh. Caranya tarik aja ke bawah.

Kalau nggak bisa juga, keluarkan cerita ini dari perpustakaan terus cari lagi, dan baru masukkan lagi. Biasanya bisa.

==================================

Hola, apa kabar? Semoga kalian selalu sehat. Aku mengalami gangguan kesehatan ringan kemarin jadi maaf harus istirahat and mundur sampai hari ini. Jujur ya, jadi penulis online ongoing itu risikonya ya begini sih rata-rata. Hidup jadi nggak begitu sehat karena jam tidur nggak jelas, duduk mulu, makan nggak jelas, jarang gerak, tambah endut hahaha. Tapi tiap kerjaan emang ada risiko, sepanjang aku suka ngerjainnya ya udah. Lanjuttt!!

Siapa yang uda kangen Kay?

Siapa yang uda kangen Raphael?

Siapa yang uda kangen Sophie? ups 😆

Kalau author kangennya sama Winston dan para penghuni dapur the julid julid club. Kalian nggak kangen sama kejulidan mereka?? 🥺🥺

***

Playlist : Sixpence None The Richer - Breath Your Name

Bintang ⭐️ 4500

Komen 🎤 4500

Jangan lupa masukkan cerita kalian ke perpustakaan/ library agar mendapatkan notifikasi update

PART 22.3 - SOMETHING ABOUT DISTANCE



Kereta berlambang Marquess of Blackmere yang ditarik beberapa ekor kuda itu membelah jalanan pedesaan Hampshire di mana daerah tersebut terkenal sebagai daerah subur di Inggris sehingga menyajikan pemandangan hutan serta perkebunan di kanan dan kiri jalan.

"Bayangkan jika sudah ada jalur kereta api, maka waktu tempuh orang-orang ke mana pun akan lebih singkat." Christopher mengamati melalui jendela kereta kuda.

Raphael memberikan gelas kepada Christopher dan menuangkan anggur ke dalamnya. Lalu ia menuangkan segelas untuk dirinya sendiri. Mereka baru saja makan siang di sebuah kedai yang terletak di sisi Hampshire dan melanjutkan perjalanan setelahnya. "Aku sependapat denganmu. Secara pribadi aku akan ikut berinvestasi di luar namamu di London Iron Company, tapi tentu saja aku tidak seberani dirimu yang mengeluarkan setengah juta pound."

"Keputusan yang tepat. Kau selalu percaya padaku, bukan?" ungkap Christopher bangga.

"Tidak sepenuhnya," sahut Raphael.

Christopher mengangkat sebelah alis.

"Aku menyelidiki lebih dulu sebelum mengambil keputusan. Meski kau bertangan emas, kau manusia yang masih bisa melakukan kesalahan."

Christopher menyeringai dan menyesap anggurnya. "Aku tidak salah memilihmu sebagai partner utamaku di Inggris. Kau memang tidak boleh mempercayai seorang pun di dunia ini kecuali dirimu sendiri."

Sejenak Raphael terdiam. Kerutan muncul di dahinya. "Akhir-akhir ini aku bahkan tidak bisa mempercayai diriku sendiri."

"Ada apa?"

"Kadang aku merasa seperti kehilangan kendali atas diriku," Raphael menepuk-nepuk sarung tangannya di pangkuan untuk beberapa saat dengan gelisah. "Hanya masalah pribadi. Tidak ada hubungan dengan pekerjaan kita."

"Kadang kau memiliki sisi skeptis yang menghambatmu untuk maju. Dalam hal ini kau harus bersyukur bertemu denganku."

"Sepengetahuanku kau juga bukan orang yang optimis."

"Memang," Christopher terkekeh memperlihatkan senyum manisnya. "Optimis sedikit berbeda dengan 'selalu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian' pada semua hal."

"Termasuk denganku?"

"Tentu saja. Tapi ayolah, Fitzwilliam, kau bukannya tidak mendapatkan keuntungan. Kau juga secara tidak langsung memanfaatkanku untuk kepentinganmu sendiri. Hanya saja aku tidak ambil pusing untuk itu."

"Aku tidak bisa menyangkal akan hal itu. Nenekku yang dulunya konservatif sekarang berubah menjadi pengagummu."

"Dowager Marchioness of Blackmere, benar begitu gelarnya?"

Raphael mengangguk. "Ia sangat menantikan kau berkunjung ke estat. Pasti ia akan menyambutmu bagaikan menyambut sang ratu."

***

Hari itu tampak berbeda dari biasanya. Gorden-gorden di ruangan utama dan ruang makan telah diganti dengan yang baru. Pegangan tangga, tempat lilin, dan kandelir yang sebenarnya sudah bersih dipoles lagi agar lebih mengkilap. Winston Basset dan para pelayan juga terlihat sibuk.

Dowager Marchioness menyuruh Gretchen memanggil Kaytlin dan Lisette ke ruang duduk. Belum selesai mereka mengamati ruangan itu dengan keheranan, Lord Blackmere memasuki ruangan bersama seorang pria. Mereka bertiga berdiri bersamaan.

Kaytlin dan Lisette menahan diri untuk tidak ternganga melihatnya meski dalam hati tentu saja mereka sangat-sangat tercengang. Awalnya saat mendengar kata 'pebisnis Amerika' mereka pikir akan menemukan pria buncit dengan rambut sedikit botak dan berusia agak tua.

Christopher Maximillian, jika benar itu dia, sepertinya berusia awal tiga puluh tahunan dan di luar dugaan, pria itu sangat tampan. Hanya saja ketampanannya sangat berbeda. Jika Lord Derek Vaughan penuh kejailan dan menyenangkan, ketampanan Christopher Maximillian cenderung kasar dengan aura berbahaya. Rambutnya coklat gelap dan terdapat jejak-jejak cambang di sekitar bibir hingga rahangnya meski sudah dicukur. Caranya berjalan dan tatapan matanya yang biru gelap hingga nyaris hitam terkesan seperti puma yang hendak menerkam mangsa.

Tapi kesan berbahaya tersebut seketika lenyap saat ia menyunggingkan senyum.

"Aku sangat senang mengetahui kau berkunjung kemari, Christopher." Dowager Marchioness yang pertama kali menyapa.

"Anda masih terlihat cantik seperti saat terakhir kali kita bertemu, My Lady."

Kaytlin dan Lisette tercengang kembali mendengar aksen pria itu.

Lalu yang lebih mengejutkan, Christopher Maximillian memeluk Dowager Marchioness erat. Di mana seharusnya seorang pria mencium punggung tangan seorang wanita saat bertemu. Beberapa pelayan kebingungan tetapi Winston Basset dan Marquess of Blackmere terlihat biasa. Dowager Marchioness hanya tertawa pelan dan balas menepuk punggung pria itu.

"Dan siapa para lady ini?" Christopher beralih pada Kaytlin dan Lisette.

"Mereka adalah anak perwalian Raphael," Dowager menunjuk sopan dengan kedua tangan. "Miss Kaytlin dan adiknya, Lisette de Vere."

Mata Christopher Maximillian membulat lalu menyipit dengan geli. "Aku baru mengetahui istilah anak perwalian. Senang berkenalan dengan kalian, Ladies."

Christopher Maximillian mengulurkan tangan dan...menyalami Kaytlin dan Lisette.

Kaytlin dan Lisette menatap tangan mereka yang bersalaman satu per satu dengan Christopher.

"Dari reaksi kalian aku tahu aku telah melakukan banyak pelanggaran," tuturnya bangga dan percaya diri.

"Jangan khawatir, Christopher," sela Dowager Marchioness. "Hanya ada kita di sini. Kaytlin serta Lisette juga tidak mempermasalahkan."

"Senang berkenalan dengan Anda, Mr. Maximillian." Kaytlin dan Lisette menyahut hampir berbarengan sambil tersenyum antusias.

"Jadi kalian kakak beradik?" tanya Christopher. "Kalian sangat berbeda."

"Itu selalu menjadi kesan pertama semua orang saat bertemu kami," jawab Lisette.

"Aku percaya kalian bersaudara. Di Amerika aku memiliki badan riset dan aku sering mempelajari sedikit dari para ilmuwanku. Mereka terkadang meneliti banyak hal, salah satunya domestikasi. Tapi itu masih sebatas pada tanaman."

Kaytlin dan Lisette mengerjap-ngerjap.

"Apakah maksud Anda persilangan?" tanya Kaytlin ragu.

Christopher terperangah. "Itu yang kumaksud."

"Kay, apa maksudmu?" tanya Lisette.

"Earl of Malton pernah mengatakan bahwa ia sering mencoba melakukan persilangan sapi dan ia mengatakan persilangan itu sudah berhasil pada tanaman sebelumnya," gumam Kay pelan hingga menyerupai bisikan yang hanya terdengar Lisette dan Christopher. "Dan beberapa usahanya menghasilkan sapi-sapi yang berbeda__"

"Apa yang sedang kalian bahas?" Giliran Dowager Marchioness bertanya dengan kebingungan.

"Kay, kumohon kau jangan menjawab dengan sesuatu yang melibatkan sapi," ringis Lisette pelan, sepelan Kaytlin tadi. Christopher menaikkan kedua alis dan merapatkan mulutnya menahan tawa.

"Kami sangat mengagumi Mr. Maximillian memiliki badan riset yang meneliti tentang ilmu alam," sahut Kaytlin dengan wajah seserius mungkin.

"Sebenarnya para ilmuwanku tidak mengkhususkan diri pada ilmu alam karena mereka bekerja untuk industri kimiaku," potong Christopher mengalihkan perhatian Dowager Marchioness. "Hanya saja aku membebaskan mereka meneliti apa pun sepanjang itu untuk kemajuan. Di kantorku di London nanti aku juga akan membuka laboratorium dan mendatangkan beberapa ilmuwanku."

Dowager Marchioness tersenyum kagum. "Itu berarti kau akan lama berada di Inggris?"

"Aku memang merencanakan ekspansi bisnisku sehingga selama ini Raphael mengurus segala keperluan pembukaan kantor bersama pengacaraku."

"Berita yang bagus. Apakah kau akan menginap di estat ini sebelum ke London?"

Christopher menoleh pada Raphael yang masih berdiri dengan bersidekap di belakang sofa lalu kembali pada Dowager Marchioness. "Ada beberapa hal yang harus kupelajari tentang kebiasaan di Inggris. Raphael juga harus menyiapkan janji temu, jadi aku akan menginap. Anggap saja aku akan berlibur dari pekerjaanku selama beberapa hari ini padahal sesungguhnya aku tidak akan pernah bisa berhenti bekerja."

Dowager Marchioness tersenyum senang. "Aku menjamin kau akan merasa nyaman di sini, Christopher. Sekarang silakan beristirahat. Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh,"

***

"Meski kau banyak melakukan perbaikan pada manormu, aku masih bisa merasakan kesuramannya," komentar Christopher saat berjalan bersama Raphael di lorong mengikuti Winston di depan mereka.

"Manor ini dibangun saat era Stuart. Aku tidak ingin terlalu menghilangkan keasliannya. Di ruang depan dan tengah aku masih membiarkannya dengan nuansa semula, tetapi di beberapa ruang tamu dan kamar aku terpaksa membiarkan tukang mendekor dengan gaya modern."

(Stuart era : masa pemerintahan Anne Stuart, ratu Inggris yang berkuasa sebelum George, setelah George baru Victoria)

Mereka berbelok memasuki kamar yang dibukakan Winston. Nuansa di kamar jauh lebih cerah dengan dominasi warna biru serta furnitur bergaya Georgian.

"Aku akan menyuruh pelayan yang mengambil koper Anda untuk membawanya kemari," pamit Winston.

"Kau mendengarkan ideku untuk membangun reservoir dan instalasi pipa air," kata Maximillian setelah mencoba leding di kamar mandi.

"Tidak hanya itu, aku juga sudah membangun tungku pemanas di bawah reservoir yang terhubung dengan pipa besi, sehingga pelayan tidak perlu naik turun mengantarkan air panas saat musim dingin nanti."

"Oh ya?"

"Untuk saat ini hanya beberapa kamar yang sudah lengkap dengan sistem air leding," keluh Raphael. "Ada ratusan kamar di estat ini dan semua memerlukan perbaikan bertahap, tapi aku tidak mau terlalu memaksakan mengeluarkan dana untuk itu. Masih banyak hal lain yang lebih utama."

"Jika aku menjadi dirimu, mungkin aku berpikir ingin menjadikan tempat ini sebagai hotel."

Raphael mendengus geli. "Jika ingin pun, aku tidak bisa melakukannya. Selain seantero London akan menghujatku, manor ini adalah harta yang diwariskan terikat gelar."

"Ah, monarki," Christopher menyeringai dan ikut memperhatikan pemandangan lewat jendela bersama Raphael. "Kupikir aku memang harus mempelajari banyak hal mendetail sebelum aku berurusan dengan kaummu."

Kata terakhir terdengar agak sinis, tapi Raphael tidak tersinggung dengan itu. Raphael tahu riwayat Christopher yang terlahir di jalanan, miskin, dan direndahkan hingga setengah kehidupannya yang telah berjalan. Sekarang ia telah berhasil memiliki segalanya dan memanjat tangga sosial sehingga bisa memasuki dunia pergaulan kelas atas di New York dan Inggris, tetapi tetap saja hal itu tidak membuatnya sejajar dengan seseorang seperti Raphael yang terlahir dengan darah bangsawan.

"Kau hanya perlu mengetahui cara memanggil orang-orang dan peraturan dasar. Beberapa orang akan maklum karena kau memang bukan berasal dari Inggris."

"Aku tidak terlalu mengkhawatirkan itu karena aku cepat belajar demi hal-hal yang kuinginkan," ucap Christopher enteng. "Omong-omong, aku baru tahu bahwa kau sudah memiliki anak," guraunya tiba-tiba.

"Anak perwalian memiliki arti berbeda dengan...anak," terang Raphael. "Di Inggris tidak mengherankan jika kita tiba-tiba menerima wasiat berupa titipan anak yatim piatu dari seseorang yang kita kenal baik. Dalam kasusku, dulu aku pernah berteman dengan ibu mereka. Dan sebelum meninggal, ibu mereka menyerahkan perwalian padaku."

"Apakah perwalian itu berupa perjanjian tertulis?"

"Tidak. Kami hanya memegang ucapan."

"Apa saja tugas wali?"

"Menghidupi mereka, mensponsori mereka ke season, sampai mereka menikah."

"Itu adalah beban."

Raphael mengangguk. "Bisa dikatakan seperti itu jika kau melihatnya dari segi kapitalis. Tetapi ini adalah tanah Inggris, di mana tradisi sangat dijunjung tinggi."

"Tidak bisa kubayangkan jika kau menerima mereka dalam keadaan bangkrut seperti dulu," ejek Christopher terang-terangan.

"Meskipun aku sedang tidak bangkrut pun, aku sebenarnya menolak mereka di awal." Raphael menarik napas."Tapi aku memiliki kebiasaan buruk."

"Kau tidak tega," Christopher bersidekap dan mengusap rahangnya. "Kau harus melepaskan sifatmu yang satu itu, Fitzwilliam."

"Aku berusaha," Raphael melangkah menuju pintu keluar. "Aku juga harus beristirahat. Sampai jumpa saat makan malam, Maximillian."

***

"Apa yang sedang kaujahit?" tanya Lisette yang menghampirinya di kamar sore itu.

"Gaun milik Melissa yang sobek di pesta beberapa waktu lalu."

"Kau merombaknya menjadi model yang berbeda?"

Kaytlin mengangguk. "Kerusakannya terlalu parah sehingga kemungkinan akan dibuang. Aku meminta gaunnya untuk percobaan sehingga aku menggunting sedikit kerahnya dan menyesuaikan dengan sisa renda dari Madame."

"Itu tampak lebih baik. Kau sudah bisa membuat model yang lebih rumit sekarang," puji Lisette senang.

"Benarkah? Kuharap Melissa juga akan senang dengan ini."

"Apakah tidak ada pekerjaan dari Madame?"

"Akhir-akhir ini tidak begitu banyak karena season sudah memasuki pertengahan."

"Baru saja aku berpikir untuk membantumu."

"Syukurlah tidak banyak pekerjaan. Bukankah kau besok akan menyambut para gentleman tamumu?"

"Benar," Lisette beringsut di bantalnya dan menekuk kaki menghadap Kaytlin sambil berpikir. "Kay, tamu Lord Blackmere..."

"Mr. Maximillian? Memangnya kau tertarik padanya?" Kaytlin terbelalak geli.

"Tidak, meskipun aku tidak menyangka ia masih muda dan juga sangat tampan."

"Yah, ia sangat tampan. Dan sepertinya ia orang yang baik."

Lisette merengut dengan wajah kesal. "Aku tidak pernah mendengar kau mengatakan seseorang tidak baik. Bahkan kepada Marie Ann yang menyebalkan di desa pun."

Kaytlin tertawa. "Kabarnya Mr. Maximillian sangat kaya hingga melebihi Croesus, tetapi ia mau beramah tamah dengan siapa pun baik kepada Dowager Marchioness dan para pelayan. Itu cukup membuktikan ia orang yang baik untuk sementara ini."

"Ia memang sangat ramah, tapi perasaanku mengatakan ia seseorang yang pandai sekaligus juga berbahaya."

"Berbahaya?" Kaytlin kebingungan.

"Hmm, berbahaya. Ia sepertinya memiliki jiwa yang kosong meski ia tampak ramah."

"Aku heran bahwa kau selalu bisa melihat sisi tersembunyi dari seseorang sebaik apa pun orang itu tampak dari luar. Tapi kuakui tebakanmu jarang meleset."

"Dan kau selalu mencari hal positif, bahkan dari orang yang paling mengesalkan seperti Lord Blackmere sekalipun." Lisette menggeram kesal.

Kaytlin tertawa muram. "Dan aku seringkali salah, bukan?"

"Tapi akhir-akhir ini ia terlihat tidak mempedulikanmu lagi dan itu melegakan karena kau bisa lebih bebas."

"Kau memperhatikannya?"

"Aku memperhatikan dirimu, Kay," koreksi Lisette.

"Benarkah? Aku merasa sedikit bersalah karena aku jarang memperhatikanmu. Bagaimana perkembanganmu dengan Lord Amherst?"

"Aku sudah cukup akrab dengannya sehingga mungkin aku bisa membahas banyak hal yang...lebih pribadi."

"Lebih pribadi?"

"Yah...tentang bagaimana pandangannya terhadap keluarga dan persaudaraan." Tatapan Lisette menerawang, lalu ia berbalik dan berbaring santai. "Aku memikirkan ucapan Melissa kemarin untuk mengusahakan seseorang bagimu. Aku malah sempat berpikir kau akan tertarik pada Mr. Maximillian. Ia akan mengatasi semua permasalahan kita, tapi setelah melihat karakternya, aku berpikir ulang dan berhati-hati."

Kaytlin tertawa kembali. "Jika menyukai Mr. Maximillian hanya karena ia kaya dan akan membereskan semua masalah kita, itu sangat tidak terpuji, Lis. Kau juga tidak boleh memperlakukan Lord Amherst seperti itu."

"Kasusku berbeda. Amherst yang menyukaiku dan aku cukup menyukainya." Lisette menjalin kedua tangan di atas perutnya dan menggoyang-goyangkan kaki. "Mungkin aku sanggup jatuh cinta padanya."

"Memangnya bisa seperti itu?"

"Seperti apa?"

"Berusaha jatuh cinta pada seseorang?"

Lisette mengangguk. "Kehidupan tak semuluk cerita dongeng. Kau juga harus mencoba sewaktu-waktu agar kau tidak terjerumus ke dalam roman picisan yang sebenarnya hanya akan mendatangkan penderitaan padamu saat kau sadar."

"Astaga, Lis, kau terdengar seperti orang yang sudah sangat tua." Kaytlin tertawa.

"Karena kita berdua berbeda, Kay. Aku memutuskan sesuatu dengan pikiran sedangkan kau cenderung memakai perasaan." Lisette menarik napas. "Setelah kupikir-pikir, aku memiliki pemikiran seperti Papa dan kau seperti Mama. Aku kadang khawatir padamu, tapi selama ini kau terbukti bisa mengatasi semua masalah. Mungkin aku hanya terlalu berlebihan."

***

Bukannya tidak pernah mencoba, selama ini Kaytlin mencoba berkali-kali malah dengan pria yang berada di sekitarnya. Bukan untuk jatuh cinta dengan mereka, tetapi hanya pengalihan agar ia tidak terlalu fokus kepada satu pria. Terkadang ia mencoba mengamati Lord Vaughan dan George Sommerby. Kadang juga ia mengamati Anthony. Dan sekarang ia mencoba mengamati Christopher Maximillian saat sedang makan malam.

Pria itu memang sangat tampan dan menyenangkan. Setiap percakapannya cenderung berbobot. Tidak pernah sekali pun Kaytlin mendengarnya membicarakan sesuatu yang membosankan seperti cuaca. Dan yang terpenting ia seseorang yang tidak terlalu peduli aturan masyarakat. Kaytlin cukup menyukainya, tapi hanya sebatas itu. Sama seperti ia menyukai Lord Vaughan, Mr. Sommerby, dan Anthony.

"Kuharap kau suka makanan Inggris, Christopher." Kaytlin mendengar Dowager Marchioness membuka percakapan saat hidangan penutup dan anggur dihidangkan.

"Semua sangat enak, My Lady. Terima kasih atas jamuan ini."

"Ini hanya hidangan yang kupikir tidak terlalu mengerikan bagi orang Amerika sepertimu," tukas Lord Blackmere.

"Memangnya ada hidangan Inggris yang mengerikan untuk orang Amerika sepertiku?" Maximillian mengulang dalam bentuk pertanyaan.

Lord Blackmere menyebutkan beberapa makanan. "Burlington Whimpsey, Black Pudding, Jellied Eel, Haggis...kecuali kau menggemari sesuatu yang melibatkan kepala sapi, belut, dan bagian terdalam dari tubuh hewan dalam mengolahnya, maka itu tidak mengerikan."

Maximillian terkekeh. "Aku tidak pernah menemukannya saat ke Inggris beberapa tahun lalu."

"Kau akan menemukannya cepat atau lambat. Aku hanya berbaik hati memberitahukan lebih dulu."

"Kau sebenarnya memiliki selera humor, Fitzwilliam," goda Maximillian.

Di tengah pembicaraan mereka, perhatian Maximillian beralih pada Lisette dan Kaytlin tanpa diminta. "Selamat malam, Miss de Vere dan...Miss de Vere. Kalian tampaknya tidak berbicara sejak tadi?"

"Selamat malam, Mr. Maximillian," sahut Lisette. Kaytlin juga membalas dengan sapaan yang sama.

"Ada banyak peraturan yang harus ditaati oleh wanita muda di Inggris," jelas Lisette ragu. "Termasuk tidak berbicara atau mengemukakan sesuatu saat tidak ditanya."

"Oh, itu pasti membosankan." Maximillian menurunkan alis penuh simpati.

"Tidak, Mr. Maximillian. Kami sudah terbiasa."

"Di lingkungan tempatku tinggal di Amerika tidak jauh berbeda meski tidak seketat di Inggris," jelasnya.

"Tentu saja kau boleh bercakap-cakap dengan Mr. Maximillian di manor ini dengan sopan tentunya," tukas Dowager Marchioness sambil tersenyum pada Lisette. Lalu Dowager Marchioness beralih pada Kaytlin, "Dan kau juga, Kaytlin."

Kaytlin yang sejak tadi hanya mengamati dengan riang, terkejut dan berusaha menjawab, "Te...terima kasih atas kemurahan hati Anda, My Lady."

"Maximillian pasti juga senang mengetahui pandangan kalian tentangnya."

Kaytlin menoleh pada Maximillian. "Sebenarnya aku dan adikku sangat tertarik pada Amerika sama seperti kami tertarik mengetahui tempat-tempat di luar Inggris lainnya di dunia."

Lisette mengangguk-angguk antusias menyetujui ucapan Kaytlin.

"Sekarang sedang terjadi pergolakan di Amerika, Miss de Vere."

"Utara dan Selatan?" tanya Kaytlin.

Maximillian mengangguk. "Tapi aku tinggal di New York dan pabrikku berada di wilayah industri yang tentu saja jauh dari pergolakan. Untuk sementara," tambahnya, lalu menyipitkan mata. "Bagaimana kalian bisa tahu?"

Kaytlin dan Lisette saling berpandangan ragu.

Lisette membuka mulut menjawab, "Kakakku berteman dengan seorang veteran perang di season yang selalu mengikuti perkembangan politik__"

"Sir Walcott?!" Dowager Marchioness terkesiap.

"Itu terjadi begitu saja, My Lady," tanggap Kaytlin gugup, takut Dowager Marchioness akan menyalahkan pria tua itu karena topik politik tidak lazim dibicarakan kepada perempuan di Inggris. "Sebenarnya aku yang tidak sadar selalu lanjut bertanya...dan bertanya," akunya malu.

Maximillian tertawa. "Mereka berdua adalah gadis yang penuh semangat dan keingintahuan, My Lady."

"Benar, mereka sangat bersemangat. Mungkin dunia sudah mulai berubah dan pikiranku sekarang terbuka untuk itu." Dowager Marchioness tersenyum. "Kau pandai membaca karakter seseorang, Christopher. Tidak heran kau menjadi seorang pebisnis yang berhasil,"

"Mungkin. Kadang aku tahu bahwa seseorang sedang kesal atau senang saat berbicara denganku hanya dengan mengamati pergerakan raut wajahnya," lalu ia menatap Kaytlin dan Lisette kembali. "Kuharap di season nanti mereka akan mendapat pasangan yang tahu kualitas mereka."

Entah itu pujian atau gurauan, Kaytlin ikut mengucapkan terima kasih bersama Lisette dan tidak berusaha meralat bahwa ia bukan debutan.

"Apakah kau juga akan menyempatkan diri menghadiri season, Christopher?" sela Dowager Marchioness.

Maximillian menggeleng tanpa ragu. "Aku tidak sedang mencari pasangan, My Lady. Kudengar season adalah ajang untuk mencari pasangan, bukan?"

"Pada umumnya seperti itu. Tapi sebenarnya itu adalah acara sosialiasi, di mana semua orang-orang bertemu dan jika beruntung, menjadi teman," jelas Dowager Marchioness.

"Apakah itu juga semacam tempat untuk mencari relasi?" Mata Mr. Maximillian menyipit penuh pertimbangan.

"Tepat seperti itu," ujar Dowager Marchioness.

"Itu terdengar menarik sekarang," Lalu ia beralih pada Lord Blackmere. "Mungkin kita harus mencoba menghadiri season sewaktu-waktu, Fitzwilliam."

Suasana hening untuk sejenak tepat setelah Maximillian mengucapkan hal tersebut.

"Sayangnya aku tidak akan menghadiri season, Maximillian," sahut Lord Blackmere datar.

"Mengapa?"

"Jika seorang pria Inggris  yang belum menikah menghadiri season, para wanita akan berspekulasi dia sedang mencari pasangan."

"Memangnya kau tidak akan menikah? Bukankah biasanya keluarga bangsawan memerlukan penerus?"

Lord Blackmere bergeming sejenak, memikirkan jawaban dengan penuh pertimbangan. "Aku tidak mengatakan tidak akan menikah."

"Apa itu berarti kau sudah memiliki pasangan?"

"Maximillian, kita bisa bicarakan ini nanti."

Dowager Marchioness menjatuhkan garpu puddingnya dengan tiba-tiba sehingga semua perhatian teralih padanya. Wanita itu terlihat tegang, lalu tersadar secepat semua menoleh.

"Sayang sekali, aku merasa lelah dan mengantuk sehingga sepertinya aku harus lebih dulu meninggalkan kalian." Dowager Marchioness berdiri dan memasang senyum yang dipaksakan.

Semua ikut berdiri dan mengucapkan salam berbarengan.

"Maafkan ketidaksopananku selama makan malam ini sehingga mungkin tidak berkenan di hati Anda, My Lady," tukas Maximillian setelahnya.

"Tidak, Christopher," Dowager Marchioness tersenyum tulus. "Kau sudah melakukan yang terbaik sebagai dirimu."

Lalu dengan langkah terburu-buru, Dowager Marchioness pergi keluar ruang makan diikuti para pelayannya.

"Kami juga akan kembali ke kamar," ucap Kaytlin sembari membungkuk bersama Lisette, sangat menyadari keanehan suasana yang berubah tiba-tiba.

"Selamat malam, Mr. Maximillian..."

Lalu dengan penuh tekad Kaytlin beralih memandang Lord Blackmere dan mengangguk wajar seolah ia tidak mengetahui apa pun. "My Lord."

Dengan sopan pria itu balas mengangguk padanya dan Lisette.

***

"Kay!" Melissa berseru kagum di depan cermin saat Kaytlin baru saja selesai melakukan pengepasan pada gaun Melissa yang ia rombak. "Ini sangat indah. Bukankah ini gaunku yang robek terkena kayu sofa itu? Bagaimana caramu melakukannya?"

"Aku hanya memperbaikinya sambil mengubah sedikit desain dan menambahkan renda," sahut Kaytlin sambil memasukkan peralatan menjahitnya ke kotak.

"Kau menambahkan renda?" Melissa meneliti renda di bagian kerah dan pinggangnya yang terlihat halus. "Aku tidak akan bisa membayar semua ini. Ayah dan Ibu hanya membelikanku gaun setiap awal season."

"Kau tidak perlu membayar apa pun, Missy. Aku mengambil renda yang tak terpakai atas seizin Madame Genevieve karena aku memang ingin berlatih membuat gaun. Kebetulan aku bekerja lepas di sana. Tadi pagi aku menyetorkan pekerjaanku lalu aku singgah ke rumahmu sebelum pulang. Sayangnya Lisette tidak bisa ikut karena ia harus menerima para gentleman di estat."

"Benarkah?" Melissa terbelalak senang. "Apakah aku boleh memakai gaun ini di pesta?"

"Apa kau bersedia memakainya?" Giliran Kaytlin yang tak percaya.

"Tentu saja, Kay. Gaun ini menjadi sangat...lebih baik," Melissa kembali mematut dirinya di cermin lalu ia mengerutkan kening menyadari sesuatu. "Tunggu, Kay! Kau bekerja?!" Ia berbalik syok.

Kaytlin kadang tak habis pikir mengapa kadang kata 'bekerja' terdengar begitu mengerikan bagi bangsawan.

"Ya, aku ingin membuka usaha menjahit suatu saat nanti. Jadi aku belajar di sana sambil bekerja. Ini tidak semenakutkan yang kaubayangkan. Aku tidak menjahit semata-mata untuk menghidupi diriku. Aku memang menyukai pekerjaan itu," ujar Kaytlin sungguh-sungguh.

Melissa menarik Kaytlin dan mengajaknya duduk di tepian tempat tidur. "Kurasa banyak para wanita di pesta yang tidak bisa membeli gaun yang mahal sepanjang musim. Jika kau bisa menetapkan harga yang tidak begitu mahal untuk sebuah gaun, mereka pasti akan sangat senang."

"Itulah tepatnya yang kupikirkan," lonjak Kaytlin riang. "Aku tidak ingin mengambil konsumen kalangan elit milik Madam, jadi aku mencari para lady dan gentleman yang tidak terlalu mampu membeli pakaian mahal."

"Kau sangat baik, Kay," puji Melissa.

"Hanya saja aku belum begitu percaya diri dengan kemampuanku dan aku juga harus menghafalkan harga-harga beberapa bahan mulai sekarang. Kurasa aku akan memulai usahaku di awal season tahun mendatang."

"Itu berarti kau masih ada di sini?" tanya Melissa penuh harap.

"Entahlah, tapi aku pasti akan tetap berkomunikasi denganmu lewat surat jika aku tidak lagi berada di London."

Mata Melissa berkaca-kaca. "Apakah kau tidak akan menikah?"

"Hal itu belum kupikirkan sekarang," Kaytlin meringis. "Menikah atau tidak, aku tidak begitu mempermasalahkan. Itu bukan prioritas utamaku."

Melissa terdiam untuk beberapa saat. Ia menatap Kaytlin dengan campuran ekspresi sedih, bingung, dan kesal.

Lalu tiba-tiba Melissa mengerang dramatis. "Kayyy, aku merasa sedikit iri padamu, andaikan sebagai wanita aku bisa sekuat dirimu untuk tidak jatuh cinta. Wanita pada umumnya akan jatuh cinta berkali-kali bahkan sejak mereka masih kecil. Aku mulai jatuh cinta pada seorang anak yang kutemui di toko permen saat aku berumur tujuh tahun. Bayangkan! Tujuh tahun! Bukankah itu menjijikkan?!" Melissa menutup matanya dengan kedua tangan.

"Tidak, itu tidak menjijikkan." Kaytlin mengernyit heran.

"Sedangkan kau tidak pernah sekali pun!" Kemudian Melissa menangis yang membuat Kay kebingungan.

"Melissa, semua tidak seperti yang kaubayangkan..."

Tapi tangisan Melissa makin menjadi-jadi seperti anak kecil. Kaytlin mau tak mau berusaha menenangkan.

"Well, aku memang tidak mudah menyukai seorang pria, maksudku suka dalam arti yang mendalam, tapi sekalinya terjadi entah kenapa aku selalu menyukai pria yang...sudah menyukai wanita lain. Itu terjadi saat aku remaja dulu di desa sekali dan juga beberapa waktu terakhir ini__"

Seketika Melissa berhenti menangis dan menegakkan tubuh ke arah Kay. Kay merasakan firasat buruk bahwa ia telah diperdaya.

"Beberapa waktu terakhir ini?" ulang Melissa dengan mata menyipit.

"Yah, itu cukup membuktikan bahwa aku hanya wanita biasa, sama sepertimu dan___"

"Aku sudah menduganya!!" seru Melissa. "Siapa, Kay?!"

"Kurasa aku tidak perlu menyebutkan siapa dia."

"Kurasa kau perlu." Melissa tersenyum lebar.

"Tidak bisakah kau hanya menghiburku saja setelah aku mengakui dilemaku?"

"Pria yang menyukai wanita lain?" Wajah Melissa berubah khawatir. "Tunggu! Apa dia sudah menikah?"

"Tentu saja belum! Aku tidak mungkin menyukai suami orang!" pekik Kaytlin.

Melissa berbinar kembali. "Syukurlah, berarti kau masih punya harapan. Aku dan Lisette bisa berjuang juga untukmu."

"Oh, tidak." Kaytlin menggeleng. "Lisette akan membunuhku jika tahu siapa dia."

"Membunuh? Berarti Lisette mengenalnya? Sia___"

"Aku harus pulang, selamat siang, Missy." Sebelum Melissa mendesaknya lebih jauh, Kaytlin sudah mengangkat roknya dan melesat kabur keluar kamar menuruni tangga.

"Kay! Kau tidak akan bisa menghindar dariku selamanya!" Melissa berteriak dari balkon kamarnya pada Kaytlin yang baru memasuki kereta, membuat semua orang di jalanan menoleh pada mereka.

"Aku harus menemani Lisette. Ia menyuruhku cepat pulang karena ia tidak nyaman sendirian menerima tamu!" Kaytlin beralasan.

***

Ternyata Kaytlin meninggalkan topinya di kamar Melissa dan baru sadar setelah sampai di Blackmere Park. Rambutnya juga mencuat di mana-mana akibat jepitnya yang banyak terlepas saat berlari tadi. Keputusan untuk menjepit rambutnya ternyata ide buruk karena rambutnya belum terlalu panjang. Seandainya saja Kaytlin tadi membawa pita atau semacamnya.

Kaytlin berhenti sejenak di teras depan dan memperbaiki tatanan rambutnya dengan sia-sia. Akhirnya ia mengurai dan menjepit bagian depannya saja agar rapi. Pikirannya kembali pada Melissa. Mulai hari ini ia harus lebih hati-hati dan berusaha sedikit lebih pintar jika tidak ingin dibodohi anak jail itu. Padahal usianya paling tua di antara semua teman-temannya tapi Kaytlin merasa paling sering menjadi korban.

Namun alasan Lisette menyuruhnya cepat pulang memang benar. Lisette mengatakan kehadiran Kaytlin selalu membuatnya lebih tenang saat harus terpaksa beramah-tamah dengan para pengagumnya. Kaytlin berangkat secepat kilat tadi pagi ke Bond Street karena pekerjaannya yang sudah rampung diperlukan Madame Genevieve dengan segera, lalu ia menyempatkan ke rumah Melissa membawakan gaun yang akan dipakai Melissa nanti sore. Ia melewatkan sarapan di estat, tapi syukurlah Melissa tadi mengajaknya sarapan bersama.

Seharusnya acara kunjungan pengagum Lisette sudah dimulai di ruang tamu. Itu berarti Kaytlin harus melewati mereka tanpa diketahui menuju kamarnya lebih dulu untuk setidaknya memperbaiki tatanan rambut. Di sinilah sulitnya berada dalam masyarakat yang ketat akan tata krama sekaligus juga penampilan. Dan benar saja, saat mendekati ruang tamu, ia dapat mendengar suara orang-orang berbicara yang berarti acara tersebut sudah dimulai.

Kaytlin berjalan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara di belakang para pria yang sedang sibuk bercakap-cakap. Suasana sepertinya agak ramai entah kenapa. Kaytlin tidak ingin mencari tahu lebih lanjut karena ia juga sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Tepat di saat ia selangkah lagi mencapai ruang berikutnya dan selamat, sebuah suara terdengar.

"Kaytlin, aku mencarimu sejak tadi!"

Refleks Kaytlin berbalik dan melihat siapa yang memanggilnya. Itu Anthony. Pria itu menghampirinya dari kumpulan gentleman yang sedang berdiri di dekat pilar sambil tersenyum antusias.  Sialnya, semua orang yang tadinya tidak melihat Kaytlin ikut menoleh sehingga dalam sekejap ia menjadi pusat perhatian di ruangan itu. Kaytlin meringis mengingat keadaan rambutnya lagi.

Tunggu...tadi baru saja Anthony memanggilnya...Kaytlin?!

Ia pasti lupa mereka sedang berada di depan umum.

Kaytlin merasakan firasat buruk bahwa itulah yang membuat semua orang terdiam aneh. Bukan rambutnya. Ada berapa gentleman di ruangan itu yang menyaksikannya? Bagaimana kabar reputasinya nanti? Dan harapan Kaytlin, tidak ada Dowager Marchioness. Biasanya wanita itu muncul terlambat menjelang siang.

Tapi sial, Dowager Marchioness ada di sana, duduk bersama Lisette yang ikut terdiam menatap Kaytlin.

Dan seakan semua itu belum cukup membuat Kaytlin lebih menderita, Mr. Maximillian dan Lord Blackmere juga duduk di sana menyaksikannya.

***
Terima kasih telah menekan bintang dan komen.

Kayaknya sampai sini uda jelas siapa second lead malenya, ya?

Banyak yang mengira Christopher Maximillian bakal jadi second lead male seperti Daniel di Sean and Valeria? Wkwk tapi maaf aku jarang membuat plot sama di setiap ceritaku. (Dan aku tipe penulis yang nggak begitu gemar membuat semua pria-pria di sekitar si wanita jatuh cinta pada tokoh utama wanita dengan begitu mudahnya) Lagipula Maximillian adalah tokoh berkarakter kuat yang memusatkan dunianya untuk bisnis.

Lalu kenapa Maximillian ada di cerita ini? Tentu saja dia punya peran penting nantinya.

Pada gambar kamar di estat Blackmere tidak semua akurat sesuai sejarah karena sulit banget menemukan kamar yang sesuai dengan era itu. Tempat tidur biasanya masih memakai kanopi, lampu yang dipakai saat itu belum lampu listrik karena masih memakai lampu gas. Tapi instalasi pipa/ air kran memang sudah ada dan dibangun menggunakan pipa besi, bukan pipa PVC seperti sekarang.

Teori genetika belum ditemukan pada masa ini (1850-an) tetapi persilangan-persilangan hewan dan tumbuhan sudah dilakukan sejak lama (wah ternyata petani dan peternak seperti Malton nggak sadar pinter ya? wkwk). Gregor Mendell yang menemukan teori genetika juga sudah melakukan percobaan mulai tahun 1830 pada kacang polong, tetapi teori Mendell sendiri baru diakui setelah akhir abad 19, jauh setelah ia meninggal.

***
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top