PART 19.1 - Something About Lisette


➰➰➰

Seharusnya Raphael kembali ke estat, bukannya tidur di tengah semak seperti ini. Bisa saja ada grass snake di sana dan mematuknya karena Raphael mengganggu ketentraman si ular. Raphael akan mati membusuk tanpa ada yang tahu karena tidak ada yang menemukan mayatnya.

Sudahlah, racun grass snake tidak bereaksi secepat kobra atau black mamba. Lagipula Raphael tidak ingin mati dulu. Masih ada dua orang di dunia ini yang memerlukannya.

"Raphael!!"

Raphael mendengar teriakan Josephine yang mencarinya, tapi ia malas bergaul dengan wanita itu. Sudah cukup Raphael disangka sebagai perempuan karena gaun yang ia kenakan dan tidak ingin menambah rasa malunya lagi karena bermain dengan perempuan.

"Aku tahu kau bersembunyi di sana!"

"Pergilah, aku tidak suka bermain boneka," usir Raphael tanpa membuka mata. Ia tidak peduli Josephine tersinggung. Sudah banyak anak perempuan dan lelaki yang sering ia buat menangis karena ucapannya yang terlalu jujur. Tapi selama ini Josephine tidak pernah mempan ia buat menangis.

"Kau tahu aku tidak pernah bermain boneka," Josephine bersimpuh di samping Raphael dan mengguncangnya. "Ayo bangun....bangun..."

Raphael bangkit dengan kesal dan menyibak gaunnya agar rumput-rumput berjatuhan.

"Kenapa kau tidak bermain dengan yang lain saja?" gerutunya.

"Hanya kau anak terdekat di sini. Aku tidak menemukan yang lain."

"Ada banyak anak-anak pertanian jika kau berjalan setelah menyeberangi jembatan di sungai itu."

"Dan aku harus melewati hutan yang sangat luas. Aku seorang perempuan. Bibiku tidak akan mengizinkan. Kecuali mungkin kita pergi bersama ke sana, Raphael." Josephine tersenyum lebar.

Raphael memberikan tatapan yang menyiratkan rasa tidak tertarik sedikit pun.

"Seharusnya kau tidak memanggilku dengan nama itu."

"Jadi aku harus memanggilmu apa?"

"My Lord."

"Umph," Josephine menutup mulutnya menahan senyum. "Tapi kau belum mewarisi gelarmu."

"Tetap saja kau tidak boleh memanggilku seperti itu."

"Baiklah, Lord kecil."

"Aku juga tidak suka panggilan itu!"

"Sombong adalah sifat yang sangat buruk. Temanmu akan sulit menyukaimu."

"Aku tidak pernah minta disukai."

Josephine menjejalkan tempat umpannya kepada Raphael. "Bawakan ini."

"Dan seharusnya kau tidak boleh memerintahku seperti pelayan." Tapi Raphael menerima tempat umpan itu.

Josephine melihat ke kanan dan ke kiri, lalu ke belakang. "Di sini tidak ada pelayan yang bisa kuminta bantuan. Kau mau membawakannya, bukan? Kau adalah seorang pria, kau sendiri yang mengatakannya meski kau memakai rok__"

"Gaun."

"Ya, gaun. Dan seorang pria adalah gentleman. Gentleman harus membantu wanita. Maka dari itu__"

"Cepatlah berangkat!" bentak Raphael, berharap acara aneh itu segera berakhir.

Wanita bernama Josephine Forthingdale yang ia kenal beberapa minggu lalu sangat bawel. Usianya mungkin sudah pantas menjadi debutan, dan ia juga termasuk wanita yang menarik, tapi entah kenapa ia bisa terdampar di wilayah ini. Raphael tidak mengenalnya, wanita itu seakan jatuh dari atas langit seperti peri. Muncul tiba-tiba dan seenaknya mengklaim mereka harus berteman. Pada pertemuan pertama mereka, Josephine juga mengira Raphael anak perempuan. Apa boleh buat aturan konyol masyarakat yang mengharuskan bangsawan pria di bawah umur sembilan tahun memakai gaun wanita hanya untuk membedakannya dengan rakyat jelata. Sebenarnya Raphael sudah berumur sepuluh tahun, tapi ayahnya yang berengsek tidak ingat usia putranya. Sang marquess tidak kunjung memerintahkan pelayan memesan pakaian pria untuk Raphael.

"Kau bisa memasukkan kail ini ke umpan?" Sesampai di tepi sungai Josephine kembali menyodorkan kail dan tempat umpan di mana di dalamnya ada tanah berisi cacing menggeliat-geliat.

Raphael mengernyit melihatnya. "Kau yang ingin memancing, bukan aku."

"Aku tidak tega. Sebagai gentleman kau harusnya membantuku lagi."

"Membunuh makhluk hidup adalah dosa," Raphael menerima kail dan umpan itu. "Kau hanya melimpahkan dosa itu kepadaku sehingga kau tidak perlu berdosa."

"Membunuh untuk keperluan mencari makan dengan tidak berlebihan itu diperbolehkan."

"Siapa yang mengatakannya?"

"Aku."

Raphael memberikan pancing yang sudah ia kaitkan cacing kepada Josephine dengan wajah datar. Lalu ia duduk sedangkan Josephine maju ke tepian sungai melempar pancingnya dengan sangat amatir berkali-kali.

"Memangnya kau yakin akan menemukan ikan di sana?" tanya Raphael malas.

"Tidak tahu, aku harus mencobanya dulu."

"Berapa kali kau sudah memancing?"

"Ini pertama kali."

Raphael memutar bola mata menatap langit-langit hutan.

"Jangan meremehkanku. Aku sering melakukan hal-hal tak terduga."

"Aku percaya itu."

"Percaya aku bisa memancing?"

"Percaya kau orang aneh."

"Ini tidak aneh. Orang sudah biasa mencoba suatu hal, hasilnya hanya berhasil atau gagal. Hidup ini sebenarnya sederhana. Kadang manusia saja yang mempersulitnya."

"Aku benci mendengar kata-kata bijak."

"Aku tidak pernah mendengar kau menyukai sesuatu." Josephine membalas santai. "Lord kecil, kau bisa berenang?"

"Kenapa kau bertanya itu?"

"Aku tidak bisa berenang." Josephine menunjuk sungai. "Aku akan menaiki dahan yang menjorok itu. Kalau aku jatuh tolong selamatkan aku."

"Yang benar saja. Aku juga tidak bisa berenang!"

"Begitukah?" Josephine mengerjap-ngerjap. "Kupikir seorang anak bangsawan bisa melakukan apa saja."

"Kau juga anak bangsawan, bukan?"

"Dari mana kau tahu?"

"Aku menyuruh pelayanku menyelidikimu."

"Tidak kusangka kau menaruh perhatian padaku." Josephine tersenyum.

"Bukan perhatian. Aku harus memastikan tidak bergaul dengan penjahat."

"Karena sudah terbukti aku bukan penjahat, belajarlah berenang mulai sekarang."

"Kenapa tidak kau sendiri saja yang belajar berenang?" Raphael menggerutu.

"Aku sudah pernah mencoba. Dan aku tenggelam. Aku belum berani lagi mencobanya padahal aku biasanya pantang menyerah akan sesuatu."

"Meski aku bisa berenang pun aku belum tentu mau menyelamatkanmu."

"Kau selalu seperti itu. Tapi aku tahu kau pasti akan menyelamatkan aku."

➰➰➰

Jangan lupa menekan bintang💫

Jangan lupa follow akun penulis : Matchamallow

Ini adalah cerita untuk Lisette, karena sejak awal sudah kurencanakan bahwa cerita Lisette tidak akan berdiri sendiri.

Maaf aku selalu minta bintang dan komen, karena dengan kalian rame ngevote dan komen otomatis cerita ini bakal naik di tagar dan bisa ditemukan orang lebih banyak 🙏🙏 harap maklum.

Vote semampu kalian, jangan lupa aja 😉

Komen 5000

Lisette de Vere

PART 19.1| SOMETHING ABOUT LISETTE

"Apakah kira-kira ini bisa diterima?" tanya Lisette pagi itu saat mereka baru bangun tidur dan membantu Kay menyulam bentuk bunga krisan kecil di kain yang merupakan pekerjaan dari Madame.

"Ini sempurna," cetus Kay. "Kau sudah mulai mahir sekarang."

Lisette memiringkan kepala menatap sulamannya dan tersenyum senang. "Seharusnya kau mengajariku saja sejak dulu."

"Kupikir dulu kau sangat benci menjahit."

"Aku memang tidak suka menjahit, menyulam, dan sebangsanya. Tapi wanita...harus menjahit. Itu seperti sebuah kodrat yang menyebalkan," keluh Lisette mengambil satu bagian pekerjaan lagi.

"Kau gugup karena akan menjadi istri dari seseorang?"

"Yah," Lisette mengedikkan bahu. "Kau tahu sendiri aku tidak pernah memiliki kekasih. Dan tiba-tiba aku menjadi debutan. Aku tidak tahu apakah ibu mertuaku nanti akan sangat kejam ataukah baik hati. Bagaimana kalau kita sudahi semua ini dan kabur saja?"

Kaytlin terbelalak geli. "Kabur dari tempat ini?"

"Ya, kabur dari Blackmere Park." Lisette mengangguk-angguk dan terkikik.

"Itu ide yang bagus," gumam Kaytlin. Sejujurnya itu memang ide yang bagus. Tidak baik juga bagi Kaytlin berlama-lama di sini.

"Kau akhirnya setuju, Kay?" tanya Lisette antusias.

"Jika...banyak faktor yang mendukung."

"Faktor yang mendukung?"

"Pertama, kita harus mengumpulkan uang lebih banyak."

"Dengan bantuanku, kau akan bisa menjahit lebih cepat sekarang."

"Kedua kita harus menemukan tempat tinggal."

"Baiklah, kita juga akan mencarinya mulai sekarang. Kalau bisa kita tinggal di tempat kita bekerja untuk berhemat. Oh, aku mulai terdengar seperti seorang ibu rumah tangga yang efisien."

Kaytlin tertawa kecil lalu melanjutkan, "Ketiga, ini hanya terjadi jika kau tidak menemukan pria yang tepat dan Lord Blackmere mengusir kita."

"Kupikir kau selalu menganggapnya orang baik," goda Lisette.

"Aku memang selalu menganggapnya orang baik. Dan sampai sekarang pun," Kaytlin tersenyum. "Tapi kita tidak bisa memprediksi tindakannya, bukan?"

"Akhirnya kau sadar juga." Lisette menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Jujur akhir-akhir ini aku takut kau terpikat padanya dari gerak-gerikmu yang__"

Kaytlin hampir saja menusuk jarinya dengan jarum karena gugup. Untung saja ia terlalu ahli dalam menjahit dan memutuskan menjahit lebih pelan, tapi Kay tidak bisa berkonsentrasi sementara Lisette terus mengoceh.

"__bahkan kau sendiri mungkin tidak menyadarinya. Kau selalu menatapnya terlalu lama. Yah, kau memang menatap Lord Vaughan dan Mr. Sommerby juga, tapi kau memberikan porsi kepada Lord Blackmere lebih lama. Selalu. Dan kau sering mendekatinya, bercakap-cakap dengannya. Apa kau tidak tahu bagaimana kemarin kepala pelayan Mr. Basset menatap kalian? Oh!! Tambahkan lagi kau juga sering bertanya tentangnya kepada Dowager Marchioness dan Gretchen entah untuk apa__"

Lisette terdiam sejenak sebelum berteriak, "Kay!! Kau menjahit gaunmu sendiri!"

Kaytlin menunduk dan melihat ia memang tanpa sadar menjahit gaunnya hingga menempel dengan kain sulaman.

➰➰➰

Kenyataan itu cukup membuat Kaytlin terpukul. Seperti kata Lisette ia memang tidak sadar saat melakukannya. Ia benci menjadi dirinya yang terlahir penuh rasa ingin tahu dan agak bodoh. Seandainya saja ia bisa menjadi lady yang elegan, anggun, dingin, seperti Dowager Marchioness, atau...Duchess of Schomberg. Tidak, kenapa wanita itu yang malah muncul di bayangannya?! Dengan tekad yang kuat, Kaytlin memutuskan ia harus lebih ketat dalam menjaga kelakuannya meski godaan bahkan hanya untuk melihat saja terlalu besar.

Seperti yang dilakukannya pagi ini saat sarapan bersama dan ketiga pria itu ikut sarapan di dalam ruangan. Kaytlin tidak habis pikir kenapa mereka akhir-akhir ini sering bergabung untuk sarapan, padahal Kaytlin berharap lebih baik seperti dulu. Tentu saja Kaytlin tidak bisa kabur apalagi mengusir mereka.

Ketiga pria itu memberi salam. Kaytlin menganggukkan kepala seperti Lisette dan Dowager Marchioness, tapi tanpa menatap mereka.

Mereka makan dalam diam dan beberapa saat kemudian, Dowager Marchioness mulai bercakap-cakap tentang tirai dan karpet yang harus diganti di ruang tamu karena sudah ada yang berjamur. Agar tidak terlalu mencolok dan mencurigakan, Kaytlin melihat mereka sesekali, kecuali Lord Blackmere tentunya. Urutannya Dowager Marchioness, taplak meja, Lord Vaughan, dan Mr. Sommerby. Lalu kembali lagi Lord Vaughan, taplak meja, dan Dowager Marchioness.

Makanan Kaytlin sudah habis dan ia memutuskan untuk mengambil roti serta selada, dan telur lagi agar tetap terlihat sibuk makan sementara mereka bercakap-cakap. Ia dan Lisette tidak boleh pergi dari meja makan sebelum Dowager Marchioness yang beranjak lebih dulu.

Lalu Lord Vaughan mengubah topik tentang kuda setelah Kaytlin pikir pembicaraan tirai berjamur selesai. Mr. Sommerby dan Lord Blackmere menanggapi. Dowager Marchioness parahnya juga ikut menanggapi dan percakapan mereka berkembang terus menerus seakan tiada akhir. Ya, Tuhan.

Untuk kali ketiga Kaytlin terpaksa menambah lagi rotinya karena sudah habis dan ia mengoleskan sedikit selai di atasnya lalu memotong roti itu dalam potongan-potongan kecil. Kaytlin memasukkan potongan roti itu ke mulut dengan lahap untuk lebih meyakinkan. Tak lupa ia menambah teh untuk membantunya menelan.

Ia hampir saja menangis saat potongan rotinya tinggal dua sementara percakapan itu belum kelar juga. Perutnya sudah sangat penuh dan sesak.

Tepat saat ia menelan potongan roti terakhir dengan penuh perjuangan, Dowager Marchioness berdiri.

"Aku hampir saja lupa bahwa hari ini ada kunjungan dari para gentleman yang melakukan pendekatan," ujarnya.

Kaytlin meneguk teh terakhirnya penuh rasa haru dan berdiri bersama Lisette. Ia menganggukkan kepala dan keluar dari ruang makan mengikuti Dowager Marchioness.

Pencapaian yang luar biasa. Ia berhasil tidak menatap Lord Blackmere sekali pun.

Ia selamat...

➰➰➰

"Aku tak habis pikir pada apa yang kaulakukan tadi. Memakan makanan sebanyak itu. Kupikir kau benar-benar kelaparan!" seru Lisette panik sambil menepuk punggung Kaytlin yang memuntahkan makanannya di semak belakang.

Mungkin Kaytlin tidak akan sanggup menatap sarapan lagi selama seminggu ke depan. Untung saja ia jarang memakai korset karena tubuhnya sudah terlalu ramping. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika ia memakai korset tadi. Mungkin ia akan muntah di meja makan.

Strategi pura-pura lapar ini terlalu berbahaya untuk diterapkan lagi.

➰➰➰

Kaytlin menyandarkan sisi tubuhnya pada pilar yang ada di ruang tamu. Ia lelah meski tak melakukan apa pun. Berpikir ternyata membuat lelah.

Setidaknya acara kunjungan para pengagum Lisette hari ini bisa menyibukkan Kaytlin meski bukan ia yang didekati para pria itu.

Ada lima pria yang melakukan kunjungan pendekatan. Kaytlin hanya mengenal dua orang yang pernah dibicarakan Lisette yakni Viscount of Amherst dan Earl of Malton. Dan memang hanya mereka berdua yang terlihat lebih baik dari segi visual wajah dibandingkan gentleman lainnya. Bukannya menilai seseorang dari penampilan fisik, tapi tentu saja Kaytlin juga harus mengusahakan sebaik mungkin terlebih dulu untuk Lisette, bukan?

Pengagum Lisette datang satu per satu menyerahkan buket bunga disertai pembacaan puisi betapa Lisette mirip dengan bunga mawar, bunga lily, violet, bulan purnama, matahari pagi, serta entahlah apa lagi. Kaytlin tahu Lisette pasti tersiksa mendengar puisi-puisi yang terlalu berlebihan itu, tapi Lisette sudah terlatih menjadi aktris yang meyakinkan. Ia tersenyum senang dan berterima kasih, lalu memberikan bunga itu kepada pelayan agar dipajang dalam vas air di kamarnya.

Earl of Malton datang terakhir tanpa bunga dan puisi, tapi ia memberikan kotak hadiah kepada Lisette yang membuat suasana hening dan canggung seketika. Lisette menerimanya dengan ragu.

"Kalau boleh tahu, apa yang Anda berikan ini, My Lord?" tanya Lisette.

"Itu hanya mantel bulu cerpelai."

Semua gentleman lain terkesiap dibuatnya. Wajah Lisette sangat tegar, tidak tampak seperti wanita yang bertubi-tubi terkena cobaan mulai dari hujan puisi absurd hingga hadiah mantel bulu cerpelai dari seorang pria. Kaytlin hanya bisa meringis. Sepertinya Earl of Malton tidak mengerti bahwa memberikan hadiah dalam bentuk pakaian dan segala perlengkapan kepada seorang wanita yang bukan tunangan atau istri adalah hal yang tidak pantas. Hadiah kecil seperti bunga, permen, atau sekotak coklat diperbolehkan. Tidak lebih dari itu. Untung saja saat itu Dowager Marchioness belum muncul. Kaytlin tahu Lisette sebenarnya sudah ingin menolak, tapi melakukannya di depan umum hanya akan mempermalukan pria itu dan Lisette sudah berjanji pada Kaytlin untuk bersikap sopan.

Earl of Malton bukannya tidak menyadari reaksi di sekelilingnya meski ia terlihat tenang. "Apa aku melakukan kesalahan?"

Lisette baru saja membuka bibir hendak berbicara, tapi ia mengurungkan niat lagi, lalu dengan resah ia menjawab, "Jika pun Anda melakukan kesalahan, sebagai wanita aku tidak pantas mengkritiknya."

"Aku tidak keberatan dikritik oleh siapa pun termasuk wanita."

Tanggapan Earl of Malton membuat beberapa berdebat tentang itu. Tentu saja itu melanggar norma dan aturan masyarakat lagi. Earl of Malton sudah membuat kehebohan lebih awal padahal acara belum dimulai. Bukannya Kaytlin berharap ada kehebohan, tapi ini sungguh tidak ia sangka.

"Terima kasih, My Lord." Lisette berbalik dengan dingin dan menaruh kotak hadiah itu di meja.

➰➰➰

Dowager Marchioness yang muncul beberapa saat kemudian setelah kejadian memutuskan mereka akan melakukan piknik di dekat sungai di mana ada sebuah tempat yang ditumbuhi banyak pohon sehingga mereka tidak akan kepanasan oleh terik matahari. Tempat itu juga cukup dekat sehingga tidak akan jauh berjalan kembali ke estat jika ada hujan atau pun badai.

Viscount of Amherst memang tampan seperti yang dikatakan Lisette. Pria itu juga pandai mengatur penampilan serta pandai berbicara. Tidak heran ia berhasil menggandeng lengan Lisette saat berjalan menuju lokasi piknik.

"Aku memiliki seorang kakak perempuan yang sudah menikah dengan seorang pangeran dari Eropa Timur."

Lisette terhenyak kagum. "Seorang pangeran?"

"Seorang pangeran di Eropa setara dengan kedudukan Earl di Inggris," jelas Lord Amherst.

"Anda sangat berwawasan," puji Lisette seperti yang selalu diajarkan bahwa sebagai wanita kita harus selalu menyanjung dan menyetujui setiap ucapan pria.

"Aku juga memiliki seorang adik perempuan yang baru memasuki usia debutan, Miss de Vere," lanjutnya. "Ia mirip denganku."

"Benarkah? Apakah aku mengenalnya?"

Percakapan mereka terus berlanjut. Para pria pengagum Lisette yang lain juga tidak mau kalah. Mereka bercerita tentang kelebihan-kelebihan mereka. Ada yang bercerita bahwa ia anggota White's Club yang merupakan klub elit para bangsawan pria di London, ada yang menceritakan bahwa ia akan mengadakan pesta berkelas di rumahnya yang besar di Mayfair dan tentu saja akan mengundang Lisette untuk hadir.

Kaytlin berjalan dengan riang di baris paling belakang. Sesekali ia melompat saat ada dahan yang cukup rindang di atas kepalanya, melihat apakah ujung jarinya berhasil menyentuh dahan itu atau tidak. Hamparan bunga bluebell di bawah pohon juga menarik perhatiannya. Kaytlin berjongkok sambil memeluk lututnya di sana untuk mengamati. Rombongan di depannya berjalan dengan kecepatan siput, jadi Kaytlin tidak khawatir akan tertinggal. Mungkin ini aneh, tapi ia merasa senang tidak ada yang memperhatikannya. Akhir-akhir ini ia jarang berpetualang karena terhalang oleh kepantasan. Tidak terasa ia sudah menjadi wanita berusia dua puluh dua tahun. Waktu berjalan terlalu cepat.

Menjadi dewasa itu menyedihkan.

Tiga alas kain digelar sesampai di tempat tujuan oleh Gretchen dan Paul, si wakil kepala pelayan. Mereka mengeluarkan makanan serta minuman yang sudah dipersiapkan dari keranjang dan menatanya di atas alas tadi. Pelayan pribadi Dowager Marchioness menuang teh dan menyiapkan makanan untuknya. Lisette tidak membutuhkan pelayan karena perhatian para gentleman itu sudah tertuju padanya sejak awal. Semua beramai-ramai bertanya apa yang menjadi kesukaan Lisette.

Earl of Malton sejak tadi hanya diam, tidak berusaha menceritakan apa pun tentang dirinya atau mencoba mendekati Lisette seperti yang lain. Ia hanya ikut berjalan di belakang, duduk di lokasi piknik sendirian, dan mendengarkan ocehan semua orang sambil sesekali tersenyum. Tidak tampak sedih atau pun tersinggung bahwa ia tidak mendapat banyak perhatian. Pokoknya ia sangat-sangat santai seakan lupa pada tujuannya berkunjung.

"Apa Anda ingin teh, My Lord?" tawar Kaytlin karena iba. Ia mendekati Earl of Malton dan duduk satu alas dengannya, tapi tidak terlalu dekat. Sebenarnya ia agak khawatir bahwa perhatiannya tidak perlu, atau takut pria itu akan mengusirnya. Bagaimana pun juga Earl of Malton adalah bangsawan, dan sebagian besar bangsawan yang Kaytlin temui sangat arogan terutama yang bergelar tinggi, tapi ternyata tidak.

Earl of Malton mengulurkan tangan menerima cangkirnya. Kaytlin bersemangat menuangkan teh untuknya dari teko perak. "Terima kasih, Miss de Vere." Ia mengambil dua butir gula, Kaytlin pun mengambil dua butir. Itu sesuatu yang lucu.

Sambil meminum teh, Kaytlin tepekur tanpa sadar mengamati pria itu. Sebenarnya ia pria yang cukup menarik, dengan mata berwarna biru dan rambut berwarna coklat gelap. Hanya saja penampilannya tidak berubah seperti terakhir kali mereka bertemu di pesta. Warna rompi dan jas yang tidak menarik perhatian, bahkan cenderung membosankan. Serta cravat yang membuat Kaytlin gatal ingin memperbaikinya agar rapi dan estetik. Tapi tentu saja Kaytlin tidak mungkin melakukan hal tidak sopan itu.

"My Lord, apakah Anda serius mendekati adikku?" tanya Kaytlin membuka pembicaraan.

"Tentu saja, Miss de Vere," Ia tersenyum lagi. "Kalau tidak, aku tidak mungkin kemari. Tapi sepertinya aku membuat kesalahan yang bahkan aku sendiri tidak mengerti."

"Anda memberikan hadiah mantel kepada Lisette."

"Itukah kesalahanku?" tanya Lord Malton.

Kaytlin menggangguk-angguk.

"Awalnya aku ingin membawakan sepatu, tapi aku takut salah ukuran."

Kaytlin tertawa pelan. "Itu sama saja, My Lord. Kenapa Anda tidak memberikan bunga saja seperti yang lain?"

"Aku lebih suka memberi hadiah yang bermanfaat bagi penerimanya."

"Anda sungguh berpikiran...efisien..." Kaytlin memuji terlebih dulu sebelum mengutarakan maksud. "Meskipun hal itu dianggap tidak pantas oleh masyarakat, maksudku seorang pria yang memberikan pakaian dan segala aksesorinya kepada wanita dalam masa pendekatan, tapi aku dan Lisette tidak terlalu mempermasalahkan, karena seperti yang sudah pernah kita bicarakan sebelumnya bahwa aturan masyarakat kadang bisa begitu konyol."

"Ya, Tuhan," Lord Malton terkejut. "Pantas saja semua melihatku seakan aku melakukan suatu kejahatan besar. Aku sudah membuat adikmu berada dalam situasi sulit."

"Tenang saja, My Lord. Aku sudah mengatakannya tadi. Tapi....maaf...bagaimana bisa seorang earl seperti Anda bisa benar-benar tidak tahu?" tanya Kaytlin setengah berbisik. Sifat ingin tahunya muncul lagi bukan?

Lord Malton ikut bergumam pelan. "Aku adalah seorang earl di wilayah yang jauh dari pusat kota. Bahkan bisa dikatakan wilayah itu di perbatasan Skotlandia. Singkatnya, aku sangat kampungan."

Mata Kaytlin membulat. "Tidak, My Lord. Anda terlalu merendah. Aku dan Lisette juga berasal dari desa."

"Ya, aku tahu. Ia pernah menceritakannya saat aku bertanya." Lord Malton tersenyum.

Kaytlin ikut tersenyum. "Jadi Anda sempat berbincang dengan Lisette?"

"Cukup banyak. Adikmu sebenarnya banyak bercerita. Tapi akhir-akhir ini kami tidak terlalu banyak bercakap-cakap lagi. Mungkin karena aku tidak bisa membuat puisi seperti yang lain. Setelah ini aku akan mencoba membaca Byron atau Shelley..."

"Tidak. Tidak. Anda tidak perlu berusaha sejauh itu. Sepengetahuanku, Lisette tidak begitu tertarik pada puisi. Sama sepertiku," larang Kaytlin. Ia tidak ingin Lisette lebih menderita mendengar tambahan puisi lagi.

"Benarkah? Kelihatannya adikmu sangat senang saat menerima bunga tadi."

"Ia melakukannya hanya untuk menghargai usaha orang lain." Kaytlin tersenyum geli.

"Kelihatannya Anda sangat mengenal adik Anda, Miss."

"Sangat." Mereka berdua bahkan tak pernah terpisahkan. Sejak menyadari keberadaan mereka di dunia hingga saat ini, ia dan Lisette tidak pernah tidak tidur bersama. Bahkan saat demam pun mereka tetap tidur bersama hingga saling menularkan satu sama lain.

"Oh, kudengar Anda mempunyai banyak sapi?" Pernyataan Kaytlin untuk mencairkan suasana terdengar aneh bahkan oleh dirinya sendiri. Kaytlin tidak akan heran jika Lord Malton tidak menjawab. Lord Blackmere sering menganggap pertanyaannya konyol dan enggan menanggapi.

Tapi lagi-lagi di luar dugaan, Lord Malton malah menanggapi antusias. "Aku memang menyukai beternak dan merasa aku terlahir untuk itu. Aku menyukai segala inovasi tentang peningkatan produktivitas serta kualitas produk hewani dengan cara membuat mereka bahagia."

"Bahagia?"

"Benar. Aku memastikan semua ternakku bahagia karena aku percaya ternak yang bahagia akan membuat produk yang sehat bagi manusia yang mengonsumsinya. Tidak pernah sekali pun aku memisahkan induk dan anak sapi yang baru melahirkan karena mereka adalah keluarga, meski katanya itu akan mengurangi kuantitas produksi susu."

"Aku bisa membayangkannya." Kaytlinmerasa kagum akan konsep kekeluargaan pada diri Lord Malton meski hanya padahewan.

"Kurasa kau juga sangat sentimentil dan imajinatif. Oh, ya, dari mana kau tahu tentang semua itu, Miss de Vere?"

"Lisette yang menceritakannya," sahut Kaytlin lugas.

"Aku senang cukup diperhatikannya hingga bisa menjadi topik pembicaraan kalian."

"Tentu saja. Ia bercerita bahwa Anda...selalu bercerita tentang sapi-sapi Anda." Kaytlin mengangguk-angguk senang.

"Sapi-sapiku?" Lord Malton hampir keceplosan tertawa. Mungkin Kaytlin terlalu bersemangat.

"Well, terima kasih telah menghiburku, Miss de Vere. Aku sangat menghargainya."

Menghibur?

Kaytlin meminum tehnya lagi dengan gelisah. Pria itu tidak bodoh sehingga tidak menyadari kesan yang diberikan Lisette.

Tapi ia merasa Earl of Malton pria yang baik pada pertemuan kedua ini. Tidak banyak pria di Inggris yang bisa menerima kritikan dari wanita seperti yang Lord Malton katakan tadi. Tidak banyak juga pria di Inggris yang tidak peduli pada peraturan konyol masyarakat.

Tapi sekali lagi seperti yang Lisette katakan sebelumnya, perasaan hati sulit diubah. Seperti Kaytlin juga yang sibuk mengubah hatinya.

Rasanya bagai takdir bahwa ia dan Lord Malton duduk bersama dan memiliki nasib yang hampir serupa.

Kaytlin menarik napas. Ia tidak sadar menjadi melankolis lagi.

Hentikan Kaytlin. Tidak perlu berpikir terlalu berat.

Ia saja belum tentu memikirkanmu.

Tidak, kenyataan itu terlalu pasti, bukan keraguan.

Jelas, ia tidak memikirkanmu.

➰➰➰

"Jangan mengganggu Blackmere, George. Mungkin ia sekarang sedang berduka karena kehilangan seorang pengagum."

"Miss de Vere, bukan?" George tertawa. "Aku tahu. Aku memperhatikannya sejak terakhir kita bermain rounders bersama. Ia tidak pernah mendekat pada Raphael lagi."

"Apa kalian sedang bertengkar, Rafe?" tanya Derek tiba-tiba.

"Tidak." Raphael menyahut singkat tanpa menoleh pada mereka. Ia masih sibuk membaca literatur London Underground Plan yang direkomendasikan Maximillian untuknya. Maximillian tertarik pada perkembangan lokomotif uap. Sebagai seseorang yang sudah lama mengenal Maximillian sebagai dewa bertangan emas, Raphael tentu saja tidak bisa tidak menyelidiki tentang segala hal yang pria itu incar. Ia tidak peduli pada Kaytlin de Vere meski ia sadar bahwa anak bodoh itu terlalu jelas menampakkan gelagat sedang menghindarinya. Dengan cara yang konyol tentu saja. Lihat saja nanti, wanita itu pasti akan kembali merecokinya, entah kapan.

"Mungkin Miss de Vere sudah sadar dari guna-guna."

"Mungkin," ujar Derek.

"Siapa saja yang mengincar Miss Lisette hari ini?" tanya George sambil membuang satu kartu di meja.

"Malton, Amherst, Alridge, Hollyhurst, Doncaster." Derek mengucapkan dengan lancar.

"Si tua bangka Hollyhurst juga?"

"Well," Derek mengangkat bahu dan ganti melempar kartu. "Kau jangan bertingkah seperti baru menjadi bagian dari ton, George. Lagipula Hollyhurst masih berusia lima puluh tahun lebih."

"Siapa yang menurutmu berpotensi?"

"Amherst, ia terlihat memonopoli Miss Lisette. Dan Malton, mungkin. Karena Miss Kaytlin sempat bertanya padaku tentang dia tadi."

Mendengar itu Raphael tidak bisa berkonsentrasi lagi pada bukunya. Kaytlin sudah mengatakan ia tidak akan membahas masalah Sophie. Memang, dia tidak membahas Sophie, tapi Malton. Masalahnya...sejak kapan wanita itu memilih bertanya pada Derek?

"Memangnya kau mengenal mereka, Vaughan?" ejek George.

"Miss Kaytlin cukup pintar bertanya kepadaku. Bertanyalah kebejatan seseorang pada orang bejat."

"Aku cukup tahu Amherst, ia berasal dari keluarga baik-baik dan cukup berada. Meski ia tampak terlalu dandy bagiku seperti Beau Brummel. Mungkin wanita suka tipe yang seperti itu," komentar George. "Tapi aku tidak mengenal Malton."

"Malton jarang muncul di London. Ia seorang Earl di wilayah perbatasan. Dan ia juga sibuk di sana karena memiliki pertanian dan peternakan."

"Mengapa tidak Miss Lisette sendiri yang bertanya padamu? Mengapa harus Miss Kaytlin?" tanya George.

"Entahlah. Mungkin Miss Lisette malu. Atau mungkin juga Miss Kaytlin yang tertarik pada Malton," Derek tersedak tawa. "Makanya ia mencampakkan Blackmere."

George ikut tertawa. "Blackmere, kami hanya bergurau. Kau jangan bersedih."

Raphael tidak menjawab. Ia tahu mereka memang bergurau seperti biasa.

Jadi, Earl of Malton seorang petani dan peternak. Ledekannya pada Kaytlin kini mulai ia pikirkan sendiri tentang apakah wanita itu akan menikah dengan semacam petani atau kusir kuda. Benar-benar tipikal Josephine. Mencari kebahagiaan. Raphael hampir tersenyum.

Tapi hal itu hanya mengganggunya sebentar, dan Raphael cepat menemukan kesadarannya seperti semula. Mungkin ia sedikit terpengaruh karena Derek dan George yang mengejeknya selama ini bahwa Kaytlin menyukainya. Pada akhirnya tidak pernah ada yang menyukai Raphael seutuhnya. Josephine. Bahkan mungkin Sophie. Josephine pergi darinya. Sophie mengecewakannya sekali.  Tapi anehnya Raphael tidak bisa membenci mereka. 

➰➰➰

Makasi yang sudah menekan bintang 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top