Part 17 - Something About Gentleman

Ngaret banget updatenya 😆

Makasi part kemarin 🥺👀

Jangan lupa tekan bintang 💫

Jangan lupa follow penulis : Matchamallow untuk dapet info update di wall (meskipun sering php) 👀

➰➰➰

Fyi : istilah gentleman dalam masa ini adalah para pria yang menghormati para wanita.

➰➰➰

PART 17| SOMETHING ABOUT GENTLEMAN

Kereta kuda berlambang marquess berhenti di dekat kandang kuda. Dari sana memang dekat dengan bangunan utama di mana terdapat sebuah pintu kecil yang merupakan pintu belakang bangunan.

"Turunlah, Miss de Vere. Kita sudah sampai."

"Mengapa Anda tidak turun lewat pintu utama, My Lord?"

"Karena aku akan kembali ke London."

"Apakah Anda tidak akan menjawab pertanyaanku tadi?"

"Aku tidak berkewajiban menjawabnya. Dan itu pertanyaan paling kurang ajar yang pernah kudapat dari seorang wanita. Turunlah sebelum aku yang membantumu turun dengan cara yang tidak akan kausukai."

Kaytlin menaikkan alis dan membuka sedikit bibirnya yang tersenyum geli. Tidak terlihat takut atau terintimidasi dengan jawaban kasar Raphael tadi. "Aku akan turun kalau begitu. Kebetulan sekali Lord Vaughan dan Mr. Sommerby masih ada di sini. Aku akan menyapa mereka..."

Raphael menahannya. "Apa kau sedang mengancamku, Miss de Vere?"

"Mengancam?"

"Apa yang kauinginkan?" Raphael langsung menuju ke inti pembicaraan.

"Tidak ada." Kebingungan di wajah Kaytlin terlihat meyakinkan.

"Benarkah? Bahkan debut sekalipun? Ini kesempatan yang cukup bagus untuk memerasku."

"Aku tidak ingin debut atau memeras Anda. Aku hanya menyapa mereka seperti biasa, seperti aku menyapa Anda setiap hari. Mereka sudah sangat baik mengajakku dan Lisette bermain croquet bersama. Oh, iya sebelum Anda mengatakan itu tidak pantas, kami tentu saja sudah mendapat izin dari nenek Anda," jelas Kaytlin panjang lebar sebelum menambahkan, "tenang saja aku tidak akan bertanya tentang hubungan Anda dengan sang duchess."

"Aku tidak mengatakan apa pun, Miss de Vere. Itu hanya asumsimu!" gerutu Raphael.

"Ya," Kaytlin mengangguk-angguk. "Maka dari itu Anda tidak perlu cemas bukan?"

Raphael terdiam dan berpikir ulang. Dengan menunjukkan kecemasan, ia akan membuat Kaytlin semakin yakin. Akhirnya ia melepaskan Kaytlin dan membiarkannya turun.

Maximillian akan tiba seminggu lagi. Kantor cabang itu lebih penting dibanding apa pun sekarang. Raphael harus kembali ke London. Persetan dengan segala hal lain. Apalagi hanya karena Kaytlin de Vere.

Ya, ia harus kembali ke London.

➰➰➰

"Rafe, aku tidak menyangka kau akan kembali secepat ini?!" Derek dan George terkejut saat memasuki ruang baca dan menemukan Raphael ada di sana.

"Urusanku dengan pengacara Maximillian sudah selesai," jelas Raphael. Ia baru saja mengirim kurir untuk mengundur pertemuannya dengan sang pengacara. Lagipula memang ia sendiri kemarin yang memajukan jadwal.

"Padahal aku berencana akan ke London lusa bersama George." Dentingan gelas dan botol terdengar karena mereka sibuk mengambil brendi di lemari lalu membawanya ke meja. "Kami merindukanmu."

George mengambil tempat di sofa lain dekat Raphael lalu menuangkan brendi untuk dirinya sendiri. Begitu pula Derek. Raphael menegakkan tubuh, mengambil sebuah gelas di meja dan menuangkan brendi juga untuk dirinya.

"Biasanya kau jarang minum di musim panas seperti ini," komentar Derek.

"Kurasa aku perlu segelas. Aku...terkena hujan badai saat perjalanan kemari."

"Sungguh? Kupikir seharian ini sangat cerah. Poor, Rafe," komentar George.

Tentu saja tidak ada hujan badai, tapi apa yang dialami Raphael hampir mirip rasanya dengan terguyur hujan badai. Kaytlin de Vere sudah mengatakan dengan begitu meyakinkan bahwa dia tidak akan mengatakan apa pun tentang Sophie, tapi Raphael sering meremehkan gadis itu dan lihat apa yang ia dapat?

"Tapi karena kau sudah ada di sini kami membatalkannya. Lebih baik kita menghadiri undangan pesta Crowley di estatnya di pedesaan. Aku sebenarnya merasa udara London tidak begitu baik untuk paru-paruku sejak industri meningkat," keluh Derek.

"Kau mulai menua, Vaughan," ledek George.

"Kau seumuran denganku, Sommerby." Derek menyeringai. George tertawa terbahak-bahak seperti pemabuk di kedai minum murahan. Raphael menyesap brendinya dengan tenang.

"Besok kita akan bermain rounders bersama Miss de Vere, bukan?"

"Tentu saja. Pesta Crawley besok lusa."

Raphael hampir saja tersedak. "Kalian benar-benar bermain dengan kedua anak itu?"

"Ya," George tertawa geli. "Meski wanita, mereka lawan yang cukup tangguh. Apa kau ingin ikut, Rafe?"

"Tidak," sahut Raphael ketus. "Bagaimana kalau kita lakukan hal yang lain saja? Berburu atau berkuda seperti biasa."

Apa pun itu asal bisa menjauhkan Kaytlin de Vere dari kedua sahabat laknat di depannya ini. Yang pasti akan sangat gembira begitu mengetahui fakta yang terjadi.

"Tidak bisa, Rafe. Kami sudah berjanji pada Miss de Vere kemarin. Seorang gentleman harus menepati janji."

"Sejak kapan kalian menjadi gentleman?"

"Suka atau tidak, kita memang terlahir sebagai gentleman, bukan?" Derek dan George tertawa bangga. Raphael tak percaya ini.

➰➰➰

Kaytlin memasuki kamar, melewati Lisette yang sedang membaca buku, dan memasukkan jahitannya ke lemari yang biasa ia pakai untuk menyimpan pekerjaannya itu.

Tidak tahu apa yang terjadi, tapi jauh di dalam hati Kaytlin sebenarnya tidak ingin apa yang ia asumsikan adalah benar. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa ia begitu peduli. Mungkin ia hanya tidak ingin Lord Blackmere menjadi bahan gunjingan seantero kota London.

Dan... ia tidak lagi menganggap itu hal yang romantis.

Tidak ada yang romantis dari perselingkuhan...

Tapi Kay ingat bahwa semua hal pasti ada penyebabnya. Jika memang asumsinya benar, mengapa? Mengapa Lord Blackmere melakukannya? Pasti ada alasan. Kaytlin masih menimang-nimang apakah ia harus mencari tahu atau tidak.

"Ada apa, Kay?" tanya Lisette dari atas sofa tempat ia duduk.

"Tidak apa-apa." Kaytlin tidak sadar masih berdiri di depan lemari. Ia bergegas membuka mantel dan selop kainnya.

"Akhir-akhir ini kau sering melamun," ujar Lisette setengah menggerutu dengan mata yang masih fokus pada novel yang ia baca. Lisette pernah berkata agar Kaytlin selalu bercerita padanya tentang apa pun, tapi akhir-akhir ini Kaytlin terlalu banyak menyimpan segala hal.

Karena Kaytlin sendiri juga tidak mengerti tentang dirinya.

Oh, Kay, Itu bukan urusanmu, seperti yang Lord Blackmere katakan setiap saat.

Lupakan dan jangan mencari tahu.

Kaytlin menatap pantulan wajahnya di cermin rias. Wajah yang tidak begitu ia sukai meski kata almarhum ibunya ia cantik. Kaytlin menarik pipinya ke atas dengan tangan agar bibirnya membentuk senyuman. Lalu melepaskannya. Ia tersenyum. Benar, ia harus tetap tersenyum seperti biasa, karena tidak ada masalah.

➰➰➰

"My Lord, Anda berada di sini?"

Raphael mendongak dari tempatnya duduk di sebuah bangku taman. Kaytlin de Vere berdiri di depannya dan tersenyum sambil memegang erat tongkat pemukul bola dari kayu. Rambutnya diikat ke belakang dengan pita dan lebih rapi dari sebelumnya karena sudah mulai panjang. Ia mengenakan pakaian musim panas berwarna hijau tua yang tidak berlapis dan sepatu bot hitam.

"Ini rumahku, Miss de Vere," jawab Raphael mengimbangi pertanyaan bodoh Kaytlin.

"Maksudku, bukankah kemarin Anda mengatakan akan kembali ke London?"

"Entah aku berada di sini atau di Zanzibar sekalipun, itu urusanku. Aku bebas berada di mana pun yang kuinginkan."

Raut wajah Kaytlin terlihat menahan kekesalan. "Aku hanya mencoba beramah-tamah."

"Miss Kay! Kau sudah siap?!" teriak Derek di kejauhan.

"Siap, My Lord." Kaytlin menoleh, lalu kembali pada Raphael dengan wajah riang seakan sudah lupa perdebatan tadi. "Apakah Anda tidak ingin ikut ber..."

"Tidak," sambar Raphael sebelum Kaytlin selesai mengucapkan.

Orang biasa pasti akan berhenti berbicara pada Raphael setelah menerima respon bertubi-tubi itu, tapi Kaytlin adalah makhluk yang luar biasa. "Kemarin Anda mengatakan aku boleh meminta sesuatu. Bagaimana jika aku meminta Anda ikut bermain?"

Dari semua permintaan yang terpikirkan, Raphael tidak pernah mengira Kaytlin akan meminta yang ini. "Apa kau serius, Miss de Vere?"

"Tentu saja."

"Kau memintaku berlari-lari seperti kebiasaan anehmu?!"

"Sebaiknya Anda tidak seserius itu, My Lord. Ini hanya permainan. Anda hanya perlu berhasil mengenaiku dengan bola. Seperti yang kulakukan sebentar lagi bersama Lord Vaughan." Kaytlin berbalik dan bergegas. "Lihatlah."

Seperti Raphael akan mau saja melakukan perbuatan bodoh itu.

Di tengah Blackmere Park memang banyak terdapat padang rumput, tanah berbukit, sungai, dan hutan kecil. Di luar pagar barulah membentang tanah pertanian yang ditempati oleh penduduk. Letak tanah para marquess berada di perbatasan ibukota, yang membuatnya dekat dengan pedesaan sekaligus juga tidak begitu jauh dari London.

Tidak heran Derek dan George sangat betah di Blackmere Park.

Beberapa pelayan terlihat ikut bermain untuk melengkapi jumlah anggota. Raphael berani bertaruh mereka pasti dipaksa Derek dan George. Terlihat dari wajah mereka yang kebingungan bercampur gugup. Raphael tidak ingat nama mereka satu-per satu tapi ia tahu pelayan-pelayan itu bertugas di dapur dan taman. Kebanyakan dari mereka berdiri menjadi penjaga base yang diatur membentuk segilima.

Kaytlin yang menjadi pemukul lebih dulu sedangkan Derek pelempar bola. George berada di belakang Kaytlin sebagai penangkap jika Kaytlin tidak berhasil memukul bola. Tapi sepertinya George tidak akan berguna, karena begitu lemparan pertama, Kaytlin sudah memukul bola dengan presisi yang tepat dan melambung jauh hingga Derek mundur mencari letak jatuhnya bola.

Terdengar teriakan Lisette menyemangati kakaknya. "Kay!! Cepat, Kay!!"

Tanpa menunggu, Kaytlin langsung membuang pemukulnya dan berlari dengan cepat menuju ke base pertama, kedua, dan seterusnya. Derek kembali dan melempar Kaytlin dengan bola, tapi Kaytlin sudah lebih dulu mencapai base terakhir.

Kedua kakak beradik itu sepertinya memang sudah sangat terbiasa bermain rounders karena saat giliran Lisette pun tidak jauh berbeda dengan Kaytlin. Lisette memang tidak berlari sekencang Kaytlin tapi para pelayan yang menjadi base sangat gugup. Ada yang menjatuhkan bola yang dioper George ke mereka, bahkan ada pula yang berlari kocar-kacir takut terkena bola padahal seharusnya mereka menangkapnya.

Keadaan tidak berubah saat mereka berganti posisi. Sekarang tim Derek dan George yang menjadi pemukul. George berhasil mencapai base terakhir karena lemparan Kaytlin tidak berhasil mengenainya, meskipun nyaris.

"Kay memang tidak berbakat melempar," komentar Lisette terdengar samar karena mereka ada di daerah terbuka yang luas.

Derek mengaduh kesakitan dan berguling-guling di tanah berumput dengan dramatis saat bola Kaytlin berhasil mengenainya. Tentu saja tidak akan ada yang percaya atau bersimpati padanya.

Atau tidak.

"Maaf, My Lord, Anda tidak apa-apa?" Kaytlin menghampiri Derek dengan cemas.

"Miss Kay, ia hanya berakting seperti pemain teater murahan," seru George memperingatkan.

"Bagaimana kalau dia benar terkilir atau patah tulang?" tanya Kaytlin.

"Ha! Aku akan bersyukur jika itu terjadi." George tertawa.

Kaytlin berjongkok di sana, di dekat Derek, lalu entah apa yang terjadi. Derek tidak berpura-pura lagi. Ia duduk di sana dengan santai memperbincangkan sesuatu yang tak terdengar, sementara Kaytlin mendengarkan dan sesekali menanggapi.

Alarm tanda bahaya seperti muncul di kepala Raphael. Inilah yang membuat Raphael terpaksa duduk di sini mengawasi mereka semua bagaikan sipir yang mengawasi tahanannya. Derek yang sangat mengetahui masa lalu Raphael dan Kaytlin yang baru saja memergokinya bersama Sophie adalah duet yang mematikan. Raphael tidak bisa terus menerus seperti ini sepanjang waktu sementara banyak pekerjaan yang menunggunya ke depan.

Dan permintaan Kaytlin bukan uang, debut, atau hal-hal lain yang lebih menguntungkan dan cerdas. Tidak. Ia meminta Raphael bermain rounders. Dengan siku yang bertumpu di meja, Raphael menutup mata dan memijat pelipisnya.

"My Lord, apakah Anda baik-baik saja?" Kepala pelayan yang baru saja datang membawa minuman bertanya setelah melihat gelagat Raphael.

"Aku baik-baik saja." Raphael bangkit dari kursi untuk melepas jasnya, menyisakan kemeja berompi dan celana panjang yang dibalut sepatu bot. "Aku akan bermain rounders."

Winston terlihat syok untuk sesaat, lalu berhasil mengendalikan diri lagi meski wajahnya berubah cemas. Cepat-cepat ia menaruh nampan berisi minuman di meja dan menegakkan tubuh. "Apakah Anda yakin baik-baik saja, My Lord? Jika Anda merasa tidak sehat, aku akan segera memanggil dokter."

Baiklah, sekarang kepala pelayan estatnya meragukan kewarasannya. Raphael sangat memaklumi.

"Aku sangat baik-baik saja. Dan sangat sadar."

➰➰➰

"Miss de Vere, kalau boleh tahu apa yang kaukatakan pada Blackmere sehingga ia mau bermain rounders?" Derek yang berada di belakang Kaytlin bertanya dengan takjub.

Kaytlin yang sudah siap di posnya berbalik agar bisa melihat Derek. "Aku mengatakan bahwa bermain rounders sangat seru, My Lord."

"Benarkah?" Derek sangat kebingungan hingga dahinya berkerut dalam. Ia mengingat-ingat apa yang dimakan Blackmere pagi ini.

"Vaughan, menyingkirlah jika kau tidak ingin terkena bola," seru Raphael dari pos di depan mereka.

"Astaga, aku penangkap bolamu, Blackmere!" Derek berteriak. "Kalau yang seperti ini saja kau tidak tahu, sebaiknya kau duduk kembali."

Raphael melempar untuk pertama kali. Lemparan yang mulus dan dengan kemampuannya Kaytlin pasti akan dengan mudah memukul bola itu. Namun Derek terkejut saat bola itu mendarat di penangkap kulit di tangannya.

Masih ada dua kesempatan lagi. Derek mengembalikan bola kembali pada Raphael. Raphael yang tidak pernah bermain rounders tidak berhasil menangkap bola itu dan membungkuk memungutnya. Ini sungguh permainan rounders paling payah yang pernah Derek saksikan.

Lalu Raphael melempar lagi. Dan Derek kembali terkejut karena bola itu mendarat di tangannya lagi. Ia mendongak menatap Kaytlin yang gelisah.

"Miss de Vere, aku bukan sekutumu tapi apa kau sedang lelah?" tanya Derek.

Kaytlin menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja."

"Ini kesempatan terakhirmu." Derek melempar bolanya lagi pada Raphael.

"Kay!! Fokus, Kay!!" seru Lisette di dekat pohon yang bingung melihat kakaknya kehilangan kemampuan.

Raphael membuat lemparan terakhir. Syukurlah Kaytlin berhasil memukulnya dengan keras hingga bola melambung di atas Raphael. Kaytlin membuang tongkat dan berlari ke base pertama.

Raphael masih mencari bola yang terjatuh. Ia merasa melakukan hal yang salah dengan bersedia bermain rounders. Ini sangat bukan dirinya. Tapi ia bersumpah hanya hari ini ia akan melakukan perbuatan bodoh. Besok dan seterusnya sampai ia mati tidak akan pernah lagi.

Berhasil mendapatkan bola, ia berbalik dan berlari ke pos semula. Kaytlin sedang berlari mencapai base ketiga. Pelayan yang menjaga base keempat sangat gugup dan selalu menjatuhkan bola. Tidak bisa diharapkan jika Raphael melempar pada orang itu. Jadi Raphael memutuskan ia sendiri yang berlari menuju base ketiga.

"Blackmere!! Blackmere!! Kau tidak boleh melakukan itu! Itu melanggar aturan!" teriak Derek.

"Persetan!" balas Raphael.

George yang menonton di dekat Lisette awalnya terperangah bingung, tapi akhirnya ia tertawa keras-keras dan menyemangati Raphael. "Teruskan, Blackmere!!"

Kaytlin yang hampir seperempat jalan lagi terkejut melihat Raphael menghampirinya. "My Lord!! Anda tidak boleh melakukan ini!"

"Kau mengatakan asal bisa melempar bola dan mengenaimu. Itu saja bukan?!" seru Raphael.

"Ya, Tuhan!! Ini curang!!" Kaytlin berbalik dan berlari ke arah berlawanan. Raphael mengejarnya. Derek yang kebingungan ikut mengejar di belakang Raphael. George menyusul di belakang Derek karena tidak ingin melewatkan keseruan. Lisette menyingsing roknya dan terpaksa juga ikut berlari menyusul karena khawatir.

Mereka berlari-lari beriringan di padang rumput disaksikan para pelayan yang mematung kebingungan.

Lalu sesuatu tak terduga terjadi. Sebelah kaki Kaytlin terpeleset di sisi bukit berumput dan ia terguling-guling hingga tercebur ke sungai.

"Kay!!!" teriak Lisette yang meski jauh dari sana sempat melihatnya.

Raphael berhenti dan tercengang di sisi bukit. Derek ikut berhenti di sebelahnya.

"Blackmere!! Apa yang kaulakukan?! Ia tercebur!!" pungkas Derek.

"Aku tahu ia tercebur!" bentak Raphael.

"Lalu apa yang kautunggu lagi? Sebagai gentleman, cepat tolong dia!"

"Kau juga gentleman! Kenapa tidak kau yang menolongnya?!"

"Aku tidak bisa berenang." Derek meringis.

Raphael menoleh dan terperangah. Sungai itu cukup dalam dan juga berarus, meski tidak terlalu deras. Dengan kesal, Raphael menuruni bukit secepat kilat dan melompat ke air.

Ia sempat mendengar Lisette berteriak. "Tunggu, My Lord..."

Air sungai itu jernih dan tidak terlalu dingin di musim panas. Dalam sungai itu sekitar satu setengah kali tingginya. Ia melihat sekeliling melalui penglihatannya yang buram karena air beriak dan tidak melihat apapun. Lalu ia kembali ke permukaan untuk melihat apa Kaytlin terhanyut.

Dan ia melihat Kaytlin de Vere sudah memanjat naik di sisi sungai. Baik-baik saja dan tidak luka sedikit pun. Kaytlin menoleh dan terkejut melihat Raphael berada di air.

"My Lord, apa yang kaulakukan di sana?" tanyanya tanpa rasa bersalah.

"Menurutmu apa yang kulakukan di sini setelah kau terjatuh?!"

"My Lord, aku baru saja mau mengatakan kalau Kaytlin bisa berenang," seru Lisette dengan miris di atas bukit.

Derek yang tersedak lebih dulu, lalu ia tertawa terbahak-bahak bersama George.

"Mengapa kau tidak mengatakan kalau kau bisa berenang?!" bentak Raphael pada Kaytlin.

Mulut Kaytlin ternganga membentuk huruf O. "Memangnya aku tahu aku akan terjatuh sehingga sempat memberitahukan itu?!" balasnya tak terima.

"Hentikan, Blackmere!!" seru Derek tanpa berhenti tertawa. "Kau hanya akan membuatku mati tertawa. Jangan berkata apa-apa lagi."

Memangnya siapa tadi yang menyuruhnya menceburkan diri? Gentleman sialan. Raphael menggertakkan gigi dan akhirnya terdiam seperti usul Derek.

Winston Basset datang menghambur bersama beberapa pelayan yang bermain rounders tadi dengan sangat terlambat. "My Lord, apakah Anda perlu pertolongan?" teriaknya cemas.

Ya, Tuhan...

Hari ini, Raphael Fitzwilliam, Marquess of Blackmere IV berlari-lari di padang rumput seperti orang bodoh dan menceburkan diri ke sungai dengan sia-sia di hadapan teman-teman beserta para pelayannya.

"Aku baik-baik saja, Basset. Sangat baik-baik saja."

Meskipun ia sangat tidak tahan ingin mencekik leher Kaytlin de Vere.

➰➰➰

Makasi sudah menekan bintang

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top