Part 16.1 - Something About That Man


Jangan lupa follow akun penulis untuk mendapatkan notifikasi update di wall.

Jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah

➰➰➰

Kaytlin memasuki kamar dengan linglung. Ia terduduk di sisi tempat tidur. Tidak setiap hari ia dicium oleh pria. Peter pernah menciumnya dulu. Meski akhirnya mereka tidak bersama, tapi ia jelas...menyukai Kaytlin.

Sekarang Kaytlin tidak mengerti mengapa Lord Blackmere bisa menciumnya. Apakah bisa seseorang mencium orang lain tanpa perasaan? Tapi setelahnya ia hanya mengatakan bahwa itu membuktikan Kaytlin sangat naif dan bodoh, lalu ia meninggalkan Kaytlin dengan semua pertanyaan.

"Ada apa denganmu, Kay. Kau seperti baru melihat hantu," tanya Lisette yang sedang membuka korsetnya dibantu Gretchen.

"A...aku hanya terkejut karena mendengar suara saat berjalan di lorong tadi." Kaytlin tidak mungkin menceritakannya pada Lisette.

"Pasti itu suara tikus," keluh Gretchen. "Para pelayan selalu memasang perangkap tikus dan tikus-tikus itu sudah berkurang tapi tidak pernah hilang. Selalu saja ada tikus yang tersisa."

"Kalau hanya tikus, Kay tidak pernah takut. Dulu ia yang selalu mengusir tikus di dapur," kata Lisette.

"Baiklah, kalau hanya tikus aku bisa tenang sekarang." Cepat-cepat ia menjauh ke sudut ruangan dekat toilet untuk membuka gaunnya.

Ia mengerang dalam hati. Mengapa semua ini harus terjadi? Lalu bagaimana ia harus menghadapi pria itu besok? Bagaimana?

➰➰➰

Setelah tiga jam berbaring nyalang di tempat tidur sementara Lisette sudah mendengkur di sisinya, Kaytlin memutuskan ia harus bersikap sewajarnya besok.

Akhirnya ia bisa tidur sekarang setelah mengambil keputusan.

Tapi bagaimana cara untuk bersikap sewajarnya? Bagaimana?

➰➰➰

Tidak ada yang berubah pagi itu, pikir Kaytlin.

Ia duduk di meja makan untuk sarapan pagi dalam keheningan bersama Lisette dan Dowager Marchioness sementara di luar hujan rintik-rintik membuat bau tanah menguar.

Lisette mengambil makanan dan mengunyah dengan gerakan anggun, hampir serupa dengan yang dilakukan Dowager Marchioness. Hal itu membuat Kaytlin kagum tapi sekaligus merindukan masa lalu di mana keluarganya selalu makan bersama di pagi hari dan mengoceh meski mulut penuh dengan makanan.

Tentu saja Josephine de Vere melarang mereka melakukan itu di luar rumah demi kesopanan. Hanya di dalam rumah, dengan catatan tidak ada tamu. Mereka memperbincangkan apa pun yang bisa diperbincangkan. Kadang tentang kejadian di desa, kadang membicarakan kemajuan Kaytlin atau Lisette dalam berlatih piano di gereja. Bahkan kadang ayah mereka membuka topik politik atau ekonomi di Inggris, dan mereka mendengarkan dengan takjub. Semua terjadi di meja makan mereka yang kecil yang menyatu dengan dapur.

Sekarang, semua terasa begitu sepi dengan hanya mereka bertiga duduk di sebuah meja panjang di tengah ruangan yang megah dan luas. Dowager Marchioness duduk di kepala meja, sedangkan Lisette dan Kaytlin duduk di sisi kanan saling bersebelahan.

Setidaknya Kaytlin merasa masih aman pagi ini, karena ia tidak akan bertemu dengan Lord Blackmere. Pria itu tidak pernah sarapan bersama mereka selama ini.

Kaytlin mengambil roti panggang dengan pencapit perak, lalu lanjut menaruh sebuah ham, beberapa selada, selembar keju, selembar ham lagi, dan seiris roti lain di atasnya sebagai penutup. Ia memotong roti itu menjadi beberapa bagian sedemikian rupa. Baru setelahnya Kaytlin menusuk dengan garpu dan memasukkannya ke mulut. Sebelumnya ia sempat tersenyum pada Lisette yang tercengang menyaksikan porsi makannya. Untuk menghadapi Lord Blackmere pertama-tama diperlukan sarapan yang banyak. Berpikir saja sudah membuatnya menghabiskan energi, apalagi nanti.

Sayangnya prediksi Kaytlin meleset karena tanpa disangka Lord Blackmere memasuki ruangan bersama Mr. Sommerby dan Lord Vaughan. Rambut mereka agak berantakan dan seperti biasa mereka tidak memakai pakaian formal seperti kebanyakan para pria bangsawan di London. Mereka memakai setelan berkuda, yakni mantel hitam yang menutupi kemeja. Tanpa cravat atau pun dasi. 

Potongan-potongan roti lapisnya melewati kerongkongan dengan menyakitkan karena Kaytlin menahan diri untuk tetap tenang padahal ia tersedak.

"Selamat pagi, My Lady," Lord Blackmere mengangguk singkat pada Dowager Marchioness dan mereka. "Miss de Vere."

Lord Vaughan dan Mr. Sommerby ikut memberi salam dan duduk di meja di sisi kiri bersama Lord Blackmere. Kaytlin meminum air dengan was-was. Ia tidak menyangka harus menghadapinya secepat ini.

"Aku senang kalian semua memilih bergabung untuk sarapan pagi ini," tutur Dowager Marchioness membuka pembicaraan.

"Cuaca selalu tidak bisa diprediksi," sahut Lord Blackmere.

Kaytlin mengamatinya memindahkan beberapa pilihan sarapan ke piringnya dengan lancar. Ekspresinya terlihat wajar seperti yang biasa pria itu lakukan. Ia tadi juga melihat Kaytlin sekilas sama seperti yang lain. Tidak seperti Kaytlin yang sekarang, kebingungan dan membeku di tempatnya, tidak tahu harus melakukan apa.

Cubitan di paha kanannya membuat Kaytlin menoleh. Ternyata Lisette yang memberikan tatapan tajam penuh peringatan yang kira-kira berarti 'Berhenti menatapnya terus!'

Kaytlin mengalihkan mata pada Lord Vaughan dan Mr. Sommerby. Kadang ia memang sering lupa. Kebetulan Lord Vaughan sedang memandang ke arahnya juga.

"Miss Kaytlin, aku baru tahu bahwa kau sangat bersemangat saat sarapan." Derek tersenyum dan memandang piring Kaytlin. Karena hal itu, semua ikut menatap piring Kaytlin termasuk Lord Blackmere dan Dowager Marchioness.

"Terima kasih atas perhatian Anda, My Lord," tanggap Kaytlin.

"Kakakku terlalu banyak melakukan kegiatan setiap pagi sehingga ia merasa lapar," sela Lisette yang jelas mengerti bahwa Lord Vaughan sedang menggoda kakaknya, bukan sedang memuji.

"Maksudmu berolahraga, Miss de Vere?" Sekarang giliran George Sommerby yang bertanya.

"Jika berjalan-jalan di sekitar taman bisa termasuk di dalamnya, Mr. Sommerby. Sejak dulu Kay melakukan banyak hal setiap pagi di rumah, jadi ia merasa sedikit...kebingungan melepas energinya di tempat ini karena semua sudah dikerjakan pelayan."

"Pantas saja kakakmu suka berlari-lari," Derek terkekeh. "Seharusnya kau berkuda jika kau memiliki energi berlebih, Miss de Vere."

"Kami tidak bisa berkuda, My Lord," jawab Kay.

"Sayang sekali. Biasanya para lady berkuda di pagi hari dan mereka terlihat anggun meski sangat berbahaya duduk menyamping. Kami bisa saja mengajari kalian, tapi di sini tidak ada kuda betina yang bisa kalian tunggangi," tanggap Derek muram.

"Benar, hanya ada Tommy Boy. Kalian hanya akan mematahkan leher kalian jika menungganginya." George menyeringai.

"Malah aku merasa leher Tommy yang akan patah jika kalian menungganginya. Kalian semua penunggang kuda yang buruk," gerutu Raphael.

"Kau juga penunggang kuda yang buruk, Blackmere."

"Maka dari itulah aku tidak memiliki banyak kuda." Raphael menjawab santai.

Kaytlin dan Lisette mengawasi mereka berdebat. Cukup mengherankan bahwa Dowager Marchioness tampaknya tidak terganggu dengan hal itu mengingat mereka sedang sarapan. Mungkin karena Dowager Marchioness sendiri sudah menyelesaikan sarapan dan sedang menyesap teh.

"Bagaimana kalau kapan-kapan kita mengadakan kasti?" Tiba-tiba Derek mengemukakan ide.

"Itu sangat menyenangkan, My Lord," sahut Kaytlin antusias. "Kami biasa bermain kasti saat di desa dulu."

"Kaytlin cukup mahir memainkan permainan itu. Karena ia suka...berlari-lari," dukung Lisette. "Tidak pernah ada yang berhasil memukulnya dengan bola saat berlari."

"Sempurna. Aku kebetulan sangat mahir memukul dan melempar. Akan kita lihat siapa yang akan menang."

"Tapi jumlah kita tidak cukup untuk bermain kasti, Vaughan," George menyela lagi.

"Mungkinkah kita perlu mengajak teman-teman dari Perkumpulan Lanjut Usia Lincah dan Produktif?" tanya Kaytlin.

"Kau akan membuat mereka semua terbunuh, Miss de Vere." Derek meringis.

"Mungkin kita bisa mengadakan croquet saja? Aku tidak ingat kapan terakhir kali melakukan olahraga itu." Ucapan Dowager Marchioness mengejutkan semuanya.

Croquet

"Itu juga ide yang bagus!" seru George.

"My Lady, Anda tidak keberatan?" tanya Derek tersenyum pada Dowager Marchioness.

Dowager Marchioness menurunkan tehnya di meja dan mengelap bibir dengan serbet. "Mengapa tidak? Olahraga sangat baik untuk kita semua."

"Anda sungguh murah hati, My Lady," puji Derek dengan lihai.

"Blackmere apakah kau akan ikut?" tanya George.

"Tidak. Aku tidak akan ada di sini."

"Kau akan pergi?" tanya Dowager Marchioness.

"Ada yang harus kuurus dengan kantor Maximillian yang baru di London."

Dowager Marchioness bangkit dari kursinya dengan segenap keanggunan. "Kau harus mengundang Mr. Maximillian kemari jika ia tiba nanti. Aku sangat ingin bertemu dengannya lagi."

"Ia berencana akan menginap di Brown's tapi tentu saja ia akan dengan senang hati mengunjungi tempat ini," sahut Lord Blackmere.

Mendengar itu membuat Kaytlin tertegun. Jadi ia tidak akan ada kesempatan untuk membahas tentang kejadian semalam pada Lord Blackmere. Setidaknya ia mendapat waktu beberapa hari untuk mempersiapkan diri. Atau mungkin itu tidak perlu karena sepertinya Lord Blackmere juga tidak ingat. Buktinya ia bisa bersikap dengan sangat natural seakan memang tidak terjadi apa-apa. Ia juga bahkan tidak meminta maaf kepada Kaytlin. Entah mungkin Lord Blackmere sudah biasa mencium sembarang gadis jadi hal itu sangat lumrah.

Tunggu! Memangnya mencium sembarang orang itu sebuah kebiasaan yang lumrah di London?

Kaytlin bertambah pusing.

➰➰➰

Cuaca Inggris di musim panas selalu tidak dapat diprediksi. Biasanya selalu mendung meski tidak turun hujan. Kadang hujan turun dengan deras. Kadang mendung dengan suhu meningkat. Tadi pagi terlihat mendung di langit serta hujan gerimis, tapi tiba-tiba cuaca mendadak cerah sehingga ketiga pria di Blackmere Park memutuskan untuk berburu.

"Aku sudah menghitungnya," celetuk Derek di tengah keheningan hutan di mana sejak tadi hanya terdengar suara tonggeret dan burung.

Raphael merasakan firasat buruk.

Setiap Derek mulai membahas sesuatu, Raphael akan merasakan firasat buruk.

"Menghitung?" Dan George selalu meladeni ocehan Derek meski ia sibuk membidik entah apa di kejauhan.

"Miss Kaytlin sudah menatap kita lima kali saat sarapan tadi."

"Tentu saja ia harus menatap ke arah kita karena kau selalu berbicara, Derek," gerutu Raphael.

"Ia juga menatap kita pada saat aku tidak sedang berbicara."

George menurunkan senjata dan menoleh. "Mungkin ia bukan menatap kita. Bukankah kau pernah mengatakan Miss de Vere menyukai Rafe?"

"Hentikan..."

"Instingku mengatakan ia memang menyukai Rafe," gencar Derek setelah mendapat dukungan George. "Entah menyukai seperti seorang perempuan kepada laki-laki atau kepada seorang teman, atau mungkin ada hal yang ia inginkan darimu. Yang jelas ada sesuatu tentangmu yang membuatnya tertarik."

"Jangan mempercayai instingmu, Derek. Kau banyak merugi di meja judi dan pacuan kuda," ejek Raphael.

"Instingku memang payah dalam kedua hal itu tapi tidak pernah salah dalam menilai wanita. Miss Kaytlin memang menyukai Blackmere. Well, ini agak mengherankan bahwa ia bisa memilih untuk menyukai Blackmere, padahal dia pilihan yang terburuk di antara kita bertiga bukan, George? Aku tidak mengerti seleranya."

Raphael menarik napas perlahan. "Kalian tahu? Aku sedang membawa senapan dengan peluru penuh karena kita tidak melihat satu hewan pun sejak tadi."

Seperti biasa ancaman itu tidak membuat George dan Derek takut.

"Seharusnya kau merasa bangga disukai oleh wanita. Miss de Vere menarik dengan caranya sendiri, seperti peri hutan yang kelam atau lukisan Romawi. Adiknya juga sangat cantik. Aku heran kau bisa tinggal di sini tanpa sedikit pun memperhatikan mereka."

"George benar. Mungkin kau tidak menyukai Miss Kaytlin tapi apa kau tidak sedikitpun memperhatikan adiknya? Bukankah ia mirip Lady Josephine? Dan ia juga berambut pirang sesuai seleramu," dukung Derek makin bersemangat.

"Dari mana kau menyimpulkan rambut pirang adalah seleraku?"

Derek mengangkat bahu. "Melihat wanita-wanita yang pernah terlibat denganmu mulai dari Lady Josephine hingga Lady Sophie."

"Omong-omong apa kau tidak mempertimbangkan untuk menikahi salah satu dari mereka saja? Bukankah itu lebih praktis?" George mengucapkannya dengan santai.

"Kumohon. Jika kalian memang tertarik pada mereka, aku tidak akan melarang kalian lagi untuk melakukan pendekatan, tapi jangan menghasutku."

"Terimakasih atas kebaikanmu, Blackmere. Entah kenapa saat ini aku masih betah dengan status melajangku," ringis Derek.

"Aku juga," sambut George. "Aku belum siap untuk menikah, memiliki istri yang membosankan, dan menjadi pria bejat yang jahat karena memiliki simpanan."

"Gambaran masa depan versimu itu membuatku terharu, George," puji Derek.

"Semua orang melakukan itu. Bahkan Duke of Devonshire kelima pun melakukannya. Memangnya aku harus membayangkan yang seperti apa lagi?" George mengangkat bahu acuh tak acuh.

"Kau bisa mencontoh ratu kita."

"Sang ratu mencoba memberikan sebuah contoh kehidupan berkeluarga yang harmonis. Sayangnya kita semua tidak bisa mengendalikan jiwa liar."

Derek tergelak mendengar penuturan George.

George memandang Raphael kembali. "Cepat atau lambat kau harus menikah dan memiliki keturunan, bukan? Tidak sepertiku, kau mempunyai tanggung jawab untuk menjaga kelestarian gelar Marquess of Blackmere," ungkap George. Mereka bertiga memang selalu blak-blakan.

"Aku belum memiliki keinginan untuk menikah dan nenekku juga tidak menuntut kelestarian gelar," jelas Raphael.

"Tidak kusangka kau juga memiliki jiwa bebas seperti aku dan Derek," puji George tidak sungguh-sungguh.

"Kau terlalu cepat menilai, Sommerby. Blackmere tidak menikah karena ia masih menunggu Duchess of Schomberg menjadi janda."

"Benarkah?" Mata George membulat.

Raphael menatap tajam Derek. "Kau terlalu sok tahu, Vaughan."

"Aku terlalu mengenalmu, Blackmere." Derek terkekeh.

"Memangnya Duchess of Schomberg akan menjadi janda?" tanya George.

"Mengingat ia menikah dengan Duke of Schomberg yang begitu tua kemungkinan besar, yah."

"Omong kosong. Duke of Schomberg memang sudah tua tapi umur tidak ada yang tahu. Bisa saja ia malah hidup lebih panjang dibanding kita semua," kilah Raphael.

"Kau agak pesimis, Blackmere."

"Maksudmu aku harus mendoakan seseorang cepat mati, Vaughan?"

"Well, kita lihat saja nanti, Blackmere," Derek mendekat dan membersihkan debu yang tak terlihat di bahu Raphael dengan kibasan tangannya. "Sebaiknya kau tidak mengatakan atau menyanggah apa pun itu dibanding harus memberikanku sebuah alasan untuk menertawaimu nanti, bukan?"

Raphael menepis tangan Derek dengan kasar. Derek tertawa geli karena berhasil membungkam Raphael.

"Omong-omong kau benar akan pergi lagi sekarang? Akhir-akhir ini kau jarang sekali di estatmu sendiri. Mumpung kau ke London, bagaimana kalau kau menghadiri sedikit pesta di sana bersama kami nanti?"

"Tidak."

"Kau benar-benar payah."

➰➰➰

Pesta dansa hari itu terasa membosankan, tidak seperti pesta-pesta dansa sebelumnya. Padahal pesta ini amat meriah dengan banyak undangan penting dan juga mendatangkan orkestra terkenal.

Sepertinya hanya dirinya yang khawatir memikirkan ciuman itu. Kaytlin harus berhenti memikirkan ciuman itu dengan serius sementara Lord Blackmere biasa saja tanpa beban. Lagipula Lord Blackmere sudah menegaskan dengan tepat di akhir bahwa Kaytlin begitu naif.

Benar, Kaytlin merasa begitu naif karena terus memikirkan hal yang bahkan sudah jelas mengapa. Dan kenyataan bahwa ia tidak bisa berbicara dengan siapa pun mengenai kejadian itu hanya membuat Kaytlin semakin merana. Ia tidak mungkin bertanya pada Dowager Marchioness. Tidak mungkin. Lisette juga tidak mungkin. Kaytlin pasti akan menerima ceramah panjang lebar tentang Lord Blackmere dari Lisette.

Menarik napas dalam-dalam, Kaytlin bergumam. Baiklah, lupakan.

"Sepertinya aku sudah menemukan beberapa pria yang menarik perhatianku."

Syukurlah Lisette membuka topik mencengangkan itu sehingga Kaytlin langsung benar-benar lupa. "Pria yang menarik perhatianmu? Di pesta dansa?" tanya Kaytlin antusias.

"Yang pertama Viscount of Amherst."

"Dari namanya terdengar seperti pria yang tampan."

"Kau sok tahu, Kay," Lisette menggerutu. "Tapi kau benar."

"Ya, Tuhan! Apa ia hadir di sini?"

"Terakhir kali berdansa dengannya ia mengatakan akan hadir, nanti aku akan menunjukkannya padamu."

"Itu pilihan yang tidak bijaksana." Tiba-tiba Melissa menghampiri mereka. Terakhir kali bertemu, Kay dan Lisette langsung akrab dengan gadis berambut coklat itu.

"Tidak bijaksana?"

"Ibuku berkata bahwa Viscount of Amherst seorang pesolek dan masih berpikiran sempit. Ia tidak akan memperhatikanmu setelah menjadi istrinya. Yang ia pedulikan hanyalah dirinya sendiri."

"Lalu kenapa ia mencari...istri?"

"Karena semua bangsawan harus memiliki pewaris. Kata Ibu, itu hal terpenting. Aku tidak menakut-nakutimu, tapi kalau kau mengatakan ingin menikah karena mencari kebahagiaan, ia bukan pilihan yang tepat."

"Tapi ia seorang viscount. Hal yang patut dipertimbangkan." Lisette menautkan alisnya kebingungan.

"Kita pikirkan itu nanti. Lalu siapa pria kedua?" tanya Kaytlin menghibur.

"Ia seorang earl."

Kaytlin dan Melissa tercengang takjub. "Benarkah? Siapa dia?" tanya Kaytlin.

"Masalahnya ia menarik perhatianku dalam artian yang mengerikan. Aku tidak begitu menyukainya. Ia mengajakku berbicara tentang ternak dan pertanian! Bayangkan!"

Kaytlin tertawa. "Sepertinya itu menyenangkan. Sejak menginjakkan kaki di London, aku belum pernah bertemu pria lajang yang mengajakku berbicara tentang hal lain selain cuaca."

"Aku setuju dengan Kay," dukung Melissa. "Artinya ia menganggapmu setara untuk memperbincangkan hal-hal penting. Biasanya para pria sering menganggap remeh wanita untuk topik yang berat."

Lisette melotot. "Apa kalian serius?! Ia membicarakan tentang pengembangbiakan sapi tanpa perkawinan."

"Jadi bagaimana pengembangbiakan sapi tanpa perkawinan?" tanya Kay.

"Katanya dengan menggunakan suntikan."

"Suntikan?"

"Aku juga tidak mengerti. Sudahlah, lupakan," Lisette menggeleng-geleng. "Lagipula jika aku menikah dengannya, aku akan tinggal di sebuah estat terpencil di Skotlandia dengan beberapa hewan ternak di sekitarku."

"Yang kaubicarakan pastilah Earl of  Malton. Itu pilihan yang lebih baik dibanding Viscount of Amherst."

"Ia juga tidak terlalu tampan."

"Tapi rupanya tidak buruk. Ia cukup...menawan. Yang terpenting ia orang yang baik, Lisette. Jika kau mencari suami yang akan perhatian padamu, dia mungkin pilihan yang tepat."

"Aku sangsi ia akan memberikan perhatian padaku lebih banyak dibanding sapi-sapinya," gerutu Lisette.

"Season masih panjang, Lis," hibur Kaytlin.

"Baiklah, aku juga tidak ingin terburu-buru memilih."

"Ibu juga berkata begitu padaku," ujar Melissa.

"Untung saja ada ibumu, Melissa. Kita jadi mengetahui banyak hal," puji Kaytlin.

"Ibu selalu menjelaskan padaku hampir semua hal, terutama pria-pria yang harus kita hindari."

"Oiya, Melissa, kebetulan kau memiliki pengetahuan yang banyak tentang para bangsawan. Apakah tidak ada duke yang masih lajang?"

"Duke?" Mata Melissa membulat mendengar pertanyaan Lisette. "Seingatku Ibu pernah menjelaskan jumlah duke di Inggris Raya ini kurang dari lima puluh orang, dan sebagian besar diantaranya sudah sangat tua."

"Ternyata benar..." Kaytlin dan Lisette kecewa.

"Ada satu yang kukenal masih lajang dan cukup muda, Duke of Torrington. Tapi His Grace tidak sembarangan menghadiri pesta. Ia kadang muncul di pesta bangsawan kalangan kerajaan atau hanya muncul di pesta kerabat dan kenalannya. Seumur hidupku aku hanya pernah melihatnya dua kali."

"Bagaimana penampilannya?" tanya Kay dan Lisette antusias.

"Ia tinggi. Wajahnya cukup tampan. Ia sangat dingin dan angkuh seperti para bangsawan bergelar tinggi lainnya. Tentu saja dengan gelar dan penampilannya itu ia menjadi incaran nomer satu. Tapi keluarganya sangat prestisius dan selektif. Sepertinya ia akan menikah dengan putri seorang duke, atau mungkin seorang putri kerajaan seperti kerabat-kerabatnya yang lain."

"Terdengar terlalu jauh untuk digapai," keluh Lisette. "Kita harus melupakan rencana A kita. Tidak ada duke yang sedang mencari pasangan manusia di season ini. Kecuali terjadi keajaiban."

"Beberapa duke mencari pasangan, tapi mereka sudah berumur lebih dari setengah abad. Kalau kau bisa menanggalkan syarat ketampanan, kau bisa menikah dengan seorang duke tua dan menjadi seorang duchess. Kata ibuku, Itu hal yang cukup terhormat."

Lisette bergidik. "Sepertinya aku tidak bisa. Memangnya ada gadis debutan yang sanggup melakukannya?"

"Banyak. Ah, kalian lihat seorang lady bergaun burgundi yang baru saja datang?"

Kaytlin dan Lisette serempak menoleh ke arah pintu masuk dan melihat wanita yang dimaksud Melissa. Dari penampilan dan gerak-geriknya yang elegan, tidak akan ada yang meragukan bahwa ia adalah seorang lady kelas atas. Beberapa pria bangsawan menunggu wanita itu di bawah dan mengucapkan salam. Salah satu mencium punggung tangannya. Lalu mereka semua mengikuti dengan antusias bagai kawanan lebah.

Wanita itu berjalan dengan sangat alami seakan sudah terlahir seperti itu, tidak seperti Kaytlin dan Lisette yang menjatuhkan buku dari kepala mereka beberapa kali saat latihan. Bahkan sampai kini pun mereka kadang masih tidak bisa berjalan dengan seimbang.

"Dia Her Grace Sophie Lyndon, Duchess of Schomberg. Kata ibuku, Her Grace masih debutan saat menikah dengan Duke of Schomberg yang berusia delapan puluh tahun lebih."

"Ya, Tuhan." Lisette terkesiap pelan.

"Ia wanita yang sangat cantik," gumam Kaytlin terpana. Mereka berdua baru kali ini melihat seorang duchess yang memukau.

"Sangat disayangkan, bukan?"

"Pantas saja semua pria mengerumuninya padahal ia sudah menikah."

"Itu biasa terjadi pada wanita yang bergelar tinggi, Kay," Melissa menjelaskan lalu ikut mengamati gerak-gerik sang duchess . "Tapi yah, Her Grace memang sangat menarik," putusnya setuju.

"Maaf, ini topik yang tidak pantas, tapi aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika harus disentuh oleh seorang pria tua setiap malam," bisik Lisette sepelan mungkin sehingga hanya terdengar mereka bertiga.

Meskipun baru saja saling mengenal beberapa hari, Melissa sepertinya cocok dengan kedua kakak beradik de Vere itu sehingga ia pun bersedia menanggapi topik yang bisa membuat guru tata krama terkena serangan jantung di tempat.

"Kabarnya Duke of Schomberg sudah sakit-sakitan jadi sepertinya tidak mungkin...setiap malam," Melissa berdeham. "Lagipula sang duchess sudah memberikannya seorang putra. Ingat ucapanku tadi bahwa yang terpenting bagi bangsawan adalah pewaris?"

Kaytlin dan Lisette mendengarkan dan mengangguk-angguk saksama bagaikan murid yang tekun.

Melissa melanjutkan, "Setidaknya kompensasi yang didapat setimpal. Jika His Grace meninggal, dia akan menjadi salah satu janda terkaya di Inggris Raya karena kekayaan Duke of Schomberg sangat besar di luar dari aset yang terikat gelar. Putranya akan menjadi duke, dan sang duchess sendiri akan mendapat warisan yang melimpah sesuai perjanjian. Ibu yang mengatakan padaku."

"Apakah ia bahagia dengan kehidupannya itu?" tanya Kaytlin.

"Entahlah," Melissa mengangkat bahu.

"Mungkin ia tidak pernah merasakan jatuh cinta atau menyukai seseorang. Jika aku ada di posisi Her Grace, aku pasti tidak bahagia," pungkas Lisette.

Melissa melihat sekitar dan memberikan kode untuk Lisette dan Kaytlin mendekat. "Kata ibuku Duchess of Schomberg memiliki kekasih gelap."

Kaytlin dan Lisette tercengang. Untung saja mereka sudah mendapatkan informasi tentang skandal para ton dari Gretchen sehingga bisa menahan diri. Lalu Lisette yang lebih dulu melontarkan pertanyaan mewakili semua, "Siapa kekasih gelapnya?"

"Tidak tahu. Ibuku tidak tahu. Bahkan semua orang tidak tahu siapa pria itu."

"Sayang sekali padahal itu sangat romantis," komentar Kay sambil mendesah.

Lisette melotot. "Ada yang salah dengan otakmu, Kay. Tidak ada yang romantis dari perselingkuhan!"

"Ia menikah paksa." Kaytlin mengedikkan bahu.

"Jika ibuku mendapat informasi siapa pria itu, aku akan memberitahukan kalian."

"Tunggu...ibumu memberitahukan hal-hal semacam ini juga padamu?" Kaytlin mengerutkan alis.

"Tidak. Ibuku mengatakan pada teman-temannya saat acara minum teh. Aku mencuri dengar."

Kaytlin dan Lisette mengangguk-angguk mengerti.

➰➰➰

Makasi sudah menekan bintang.

Masih misteri ya, tenang kan baru 1/2 😣 Besok lanjut lagi ya ke part 16.2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top